Makalah ini membahas tata kelola kolaboratif dalam pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Tata kelola kolaboratif melibatkan kolaborasi antara pemerintah dan pemangku kepentingan non-pemerintah dalam penyusunan kebijakan. Namun hasil penelitian menunjukkan penerapan tata kelola kolaboratif dalam pelaksanaan TPB di Indonesia belum optimal karena keterlibatan pemangku kepentingan masih
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Tata Kelola Kolaboratif TPB
1. Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik
Studi Kasus Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)
di Indonesia
Makalah Kebijakan
Oswar Muadzin Mungkasa
NIP 196307261992031001
Perencana Madya
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Pelatihan Jabatan Fungsional Perencana Utama
Angkatan XX Tahun 2020
LPEM-FEB UI
2. i
PERNYATAAN ORISINALITAS
Makalah Kebijakan ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Oswar Muadzin Mungkasa
NIP : 196307261992031001
Instansi : . Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Tanda Tangan :
Tanggal : 14 Agustus 2020
Pembimbing : Khoirunurrofik Ph.D
3. ii
ABSTRAK
Sejak beberapa dekade lalu, keterlibatan pemangku kepentingan non-pemerintah
dalam proses penetapan kebijakan publik telah menjadi arus utama bahkan saat ini sudah
menjadi suatu keniscayaan. Istilah government telah berubah menjadi governance, yang
bermakna bahwa pengelolaan negara tidak hanya berada di tangan pemerintah tetapi
berkolaborasi dengan pemangku kepentingan non-pemerintah. Istilah Tata Kelola Kolaboratif
(collaborative governance) kemudian diperkenalkan untuk menjelaskan bagaimana
kolaborasi pemerintah dan pemangku kepentingan non-pemerintah dapat berkolaborasi secara
efektif dan efisien.
Tata kelola kolaboratif telah menjadi bagian dari prinsip pemerintahan di Indonesia.
Terbukti dari berbagai dokumen pembangunan yang menjelaskan hal ini seperti Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Sehingga ketika kesepakatan global
Sustainable Development Goals (SDGs) atau dikenal dengan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB) dimulai, proses internalisasi ke dalam dokumen pembangunan menjadi
mudah.
Menggunakan Model Tata Kelola Kolaboratif Ansell dan Gash untuk menguji
efektifitas pelaksanaan TPB,kemudian menunjukkan bahwa penerapan tata kelola kolaboratif
dalam pelaksanaan TPB di Indonesia masih belum optimal. Prinsip ‘no left behind’,
transparansi, akuntabel dan inklusif TPB diterjemahkan secara sederhana hanya berupa
keterlibatan pemangku kepentingan secara formal dan normatif dalam proses pelaksanaan
TPB, setidaknya dalam penyusunan Rencana Aksi.
Memanfaatkan metode wawancara kemudian ditelusuri praktik unggulan dan
pembelajaran tata kelola kolaboratif di Indonesia sebagai masukan bagi penyempurnaan tata
kelola kolaboratif TPB di Indonesia. Hasil survei menunjukkan beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian adalah inklusifitas yang masih terfokus pada kuantitas dan bukan kualitas,
sehingga kaum marjinal masih banyak yang belum terlibat; komunikasi publik yang belum
dilaksanakan secara sistematis; pengelolaan pengetahuan sebagaidasarinovasi belum tergarap
dengan baik.
Memanfaatkan model Ansell dan Gash, kemudian dikembangkan model tata kelola
kolaboratif TPB di Indonesia sebagai upaya meningkatkan efektifitas penerapan tata kelola
kolaboratif dalam pelaksanaan TPB di Indonesia. Dalam model dikembangkan langkah
kolaborasi yang terdiri dari Pengenalan, Pemaduan, Pengembangan dan Pemantapan. Selain
itu, dikembangkan tambahan dimensi yaitu Dimensi Pengetahuan yang mencakup data,
informasi, inovasi, dan komunikasi.
4. iii
Agar dapat mewujudkan model tersebut, dibutuhkan langkah penguatan berupa (i)
pemetaankapasitas dan pemilihan pemangku kepentingan secara sistematis untuk memastikan
keterwakilan keseluruhan pemangku kepentingan khususnya kaum marjinal; (ii)
pengembangan dan pemantapan forum pemangku kepentingan sebagai wadah tatap muka,
penyepakatan konsensus, pemantauan dan evaluasi kegiatan; (iii) pemaduan sumberdaya baik
manusia, pengetahuan,maupun keuangan melalui kemitraan antarpemangku kepentingan; (iv)
pengembangan strategi komunikasi sebagai acuan berkomunikasi secara efektif baik internal
pemerintah maupun komunikasi publik; (v) pengembangan pengelolaan pengetahuan sebagai
upaya memastikan data, informasi, dan inovasi terdokumentasi dan terdistribusi dengan baik
sehingga dapat menjadi sumber pengetahuan bagi peningkatan kapasitas pemangku
kepentingan; (vi) peningkatan kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan sebagai salah satu
dimensi utama dalam tata kelola kolaboratif.
5. iv
DAFTAR ISI
halaman
Pernyataan Orisinalitas ………………………………………………………………. i
Abstrak ………………………………………………………………………………. ii
Daftar Isi……………………………………………………………………………… iv
Daftar Tabel …………………………………………………………………………. vi
Daftar Gambar ……………………………………………………………………….. vi
Daftar Ringkasan …………………………………………………………………...... vii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………… 1
1.2 Permasalahan ……………………………………………………….. 6
1.3 Tujuan ……………………………………………………………….. 7
1.4 Kerangka Pikir ……………………………………………………… 7
1.5 Metode Penelitian …………………………………………………… 8
BAB II Tinjauan Literatur. Model Tata Kelola Kolaboratifdan Praktik
Unggulan
2.1 Pemahaman Dasar ………………………………………………….. 9
2.1.1 Tata Kelola (governance)……………………………............. 9
2.1.2 Kolaborasi ……………………………………………........... 9
2.2 Karakteristik Tata Kelola Kolaboratif ………………………......….. 10
2.2.1 Proses Tata Kelola Kolboratif ………………………………. 10
2.2.2 Kriteria Keberhasilan Tata Kelola Kolaboratif……………… 10
2.2.3 Pemangku Kepentingan ………………………………….…. 10
2.3 Model Tata Kelola Kolaboratif Ansell dan Gash …………..…......... 10
2.4 Praktik Unggulan ……………………………………………..…….. 12
2.4.1 Forum Pemangku Kepentingan ……………………….…….. 12
2.4.2 Desain Besar Isu Strategis DKI Jakarta …………………….. 13
2.4.3 Strategi Ketahanan Kota Jakarta ……………………………. 14
BAB III Analisis Kebijakan. Tinjauan Implementasi Tata Kelola Kolaboratif
di Indonesia
3.1 Pembelajaran Tata Kelola Kelola Kolaboratif Praktik Unggulan ..... 15
3.2 Implementasi Tata Kelola Kolaboratif TPB di Indonesia...………… 17
BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1 Kesimpulan ………………………………………………………… 20
4.2 Rekomendasi ………………………………………………………. 21
4.2.1 Model Tata Kelola Kolaboratif Pelaksanaan TPB …..……. 21
4.2.2 Langkah Penguatan Tata Kelola Kolaboratif Pelaksanaan
TPB ………………………………………………….…….... 22
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………. 25
6. v
Lampiran
A. Tata Kelola Kolaboratif : Konsep dan Praktik Unggulan
A.1 Tata Kelola Kolaboratif Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan …. 28
A.2 Panduan Kepemimpinan Bersama ……………………………………… 28
A.3 Memudahkan Upaya Kolaborasi Pemangku Kepentingan ……………... 28
A.4 Dokumen Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat …………………………. 28
A.5 Dokumen Desain Besar Isu Strategis Jakarta …………………………... 29
A.6 Dokumen Strategi Ketahanan Kota Jakarta …………………………….. 29
B. Hasil Penelitian Tata Kelola Kolaboratif
B.1 Rekapitulasi Berbagai Hasil Penelitian …………………………………. 30
B.2 Faktor Pendukung dan Penghambat Tata Kelola Kolaboratif ………….. 36
C. Survei Wawancara Tata Kelola Kolaboratif
C.1 Laporan Hasil Wawancara ………………………………………………. 38
C.2 Daftar Pertanyaan ………………………………………………………… 50
D. Ringkasan Hasil Wawancara
D.1 Rekapitulasi Jawaban Responden ………………………………………… 54
D.2 Ringkasan Hasil Wawancara Pembelajaran Tata Kelola Kolaboratif
Praktik Unggulan …………………………………………………………. 57
D.3 Ringkasan Hasil Wawancara Tata Kelola Kolaboratif
Pelaksanaan TPB…………………………………………………………. 59
7. vi
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1 Operasionalisasi Konsep Tata Kelola Kolaboratif Ansell dan Gash … 11
Tabel 2 Desain Besar Isu Strategis Jakarta …………………………………… 13
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Pikir ………………………………………………………… 8
Gambar 2 Rangkaian Transformasi Kolaborasi ………………………………….. 9
Gambar 3 Model Tata Kelola Kolaboratif Ansell dan Gash .…………………….. 11
Gambar 4 Model Tata Kelola Kolaborasi Pelaksanaan TPB ….…………………. 21
Gambar 5 Kategori Pemangku Kepentingan ………………………….………….. 23
8. vii
DAFTAR SINGKATAN
AUS AID Australian AID
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BORDA Bremen Overseas Reserch and Development Association
BUMD Badan Usaha Milik Daerah
BUMN Badan Usaha Milik Negara
CIFOR Center for International Forestry Research
CTC the Coral Triangle Centre
Daring dalam jaringan
DKI Daerah Khusus Ibukota
EPODE Together Let’s Prevent Childhood Obesity
FGD Focused Group Discussion
FBI4SDGs Filantropi dan Bisnis Indonesia untuk SDGs
GBCI Green Building Council Indonesia
IAPI Ikatan Ahli Pertamanan Indonesia
IFC International Finance Corporation
Luring luar jaringan
MDGs MilleniumDevelopment Goals
PAMSIMAS Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
Pemprov DKI Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Kepmen Keputusan Menteri
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MPA Marine Protected Area
NPM New Public Management
OPA Old Public Administration
Perpres Peraturan Presiden
PILI Pusat Informasi Lingkungan Indonesia
PKK Program Kesejahteraan Keluarga
Pokja AMPL Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Pokja PKP Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pokja PPAS Kelompok Kerja Perumahan Permukiman Air Minum dan
Sanitasi
PPN Perencanaan Pembangunan Nasional
PU Pekerjaan Umum
RAD Rencana Aksi Daerah
RAN Rencana Aksi Nasional
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJPN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
SANIMAS Sanitasi oleh Masyarakat
SAT Self Assessment Tool
SDGs Sustainable Development Goals
SPPN Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
TPB Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
UI Universitas Indonesia
UN United Nations
UNICEF United Nation Emergency Children’s Fund
9. viii
USAID United States Agency forInternational Development
UU Undang Undang
WASPOLA Water Supply and Sanitation Policy Formulation and
Action Planning.
WSLIC2 Water and Sanitation forLow Income Communities 2
10. ix
… then we might not solve every problem,
but we can get some thing meaningful done
(dikutip dari Investing Democracy. EngagingCitizens
in Collaborative Governance – Carmen Sirianni)
11. 1
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang.
Sejak akhir dekade 80-an, istilah governance mulai digunakan menggantikan
government untuk menunjukkan perlunya gelombang reformasi dalam bidang pemerintahan.
Penggunaan istilah governance dengan makna baru mulai dipopulerkan Bank Dunia pada
tahun 1989 melalui laporan bertajuk “Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable
Growth” (Pratikno, 2007). Di lain pihak, The Commission on Global Governance memaknai
governance sebagai upaya berbagai pemangku kepentingan baik perorangan, lembaga
pemerintah, masyarakat dan swasta mengelola urusan bersama.
Perubahanini sebenarnya bertujuan untuk mendemokrasikan administrasi publik yang
ditandai dengan pergeseran paradigma Old Public Administration (OPA) berikut istilah
government yang bermakna institusi pemerintah ke paradigma baru yaitu NPM atau New
Public Management dengan penggunaan istilah governance yang dimaknai adanya
keterlibatan kelompok kepentingan dan masyarakat.
Paradigma old public administration (OPA) masih melihat pengaruh politik,
tersentralistik, terbatasnya peran administrator dalam pembuatan kebijakan dan meletakkan
efisiensi serta rasionalitas menjadi nilai utama organisasi. Sehigga paradigma OPA dinilai
tidak mampu bertahan terhadapperubahan sosial yang cenderung cepat. Sementara newpublic
management (NPM) menekankan pada perubahan dalam bentuk relasi pemerintah dari
birokrasi yang tersentralistik kepada kolaborasi antarorganisasi.
Kalau goverment dilihat sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”.
Government mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur,
melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah penerima yang
pasif. Dilain pihak, governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan yang
“diperintah” karena kita semua adalah bagian dari proses governance (Dewi,2012). Institusi
dari governancemeliputi tiga ranah yaitu negara ataupemerintah, swasta ataudunia usaha dan
masyarakat yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing
(Sedarmayanti, 2003). Perubahan istilah government menjadi governance mengandung
maksud perubahan peran pemerintah tidak lagi memonopoli dalam pengelolaan tata
pemerintahan tetapi bersama pemangku kepentingan non-pemerintah.
Selanjutnya, munculnya paradigma NPM menjadi penanda awal munculnya konsep
kolaborasi sebagai bagian dari paska-NPM. Sejak bergesernya paradigma dari government ke
governance dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kebijakan publik, istilah
kolaborasi sudah sering digunakan untuk melihat proses kerjasama antarpemangku
kepentingan yang tidak lagi terpaku pada organisasi rasional dan hirarki. Secara epistemologi,
12. 2
kata kolaborasi berasaldaribahasa Inggris yaitu ‘co-labour’yangbermakna bekerja bersama.
Pada abad ke-19, kata kolaborasi mulai digunakan ketika industrialisasi mulai berkembang
dan organisasi berkembang semakin rumit (Wanna, 2008).
Menurut Agranoff (2003), proses kolaborasi dilatarbelakangi oleh adanya
ketergantungan (interdependence) terhadap pihak lain dari satu organisasi dalam mencapai
suatu tujuan yang sulit dicapai secara mandiri. Ketergantungan (interdependence) seringkali
disebabkan oleh kompleksitas pekerjaan, keterbatasan sumberdaya, dan kemampuan
organisasi dalam menyelesaikan suatu program.
CIFOR/PILI (2005) memaknai kolaborasi sebagai bentuk kerjasama, interaksi,
kompromi beberapa elemen yang terkait baik individu, lembaga dan atau pihak yang terlibat
secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat. Nilai-nilai yang
mendasari sebuah kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk
berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis masyarakat
(Ensikopedi Ekologi Indonesia).
Peter (1998) menambahkan bahwa dalam kerjasama kolaboratif hubungan prinsipal-
agen tidak berlaku karena kerjasama yang terjadi adalah kerjasama antara prinsipal dengan
prinsipal. Tidak ada hirarki dalam kolaborasi. Pada abad ke-21, kolaborasi merupakan
pendekatan utama yang dapat menggantikan pendekatan hirarki. Pendekatan hirarki dianggap
sudah usang karena diperlukan proses yang panjang dan bertingkat (Marshall, 1995).
Selain itu, ketika terjadi pergeseran penyebutan government menjadi governance
mengemuka pula istilah collaborative governance (tata kelola kolaboratif). Menurut Ansell
dan Gash (2007), tata kelola kolaboratif adalah cara pengelolaan pemerintahan yang
melibatkan secara langsung pemangku kepentingan di luar pemerintah, berorientasi pada
konsensus, dan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan kolektif, yang memiliki
tujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan dan program publik. Penekanannya
adalah pada pencapaian derajat konsensus di antara para pemangku kepentingan.
Emerson, Nabatchi dan Balogh (2015) lebih jauh menggambarkan tata kelola
kolaboratif secara lebih fleksibel dengan memasukkan bentuk kolaborasi lintas pemerintahan,
kolaborasi informal, kolaborasi hibrid sepertikemitraan publik-swasta, dan kemitraan swasta-
komunitas.
Selain itu, Hetherington (2006) menjelaskan bahwa inisiatif menerapkan tata kelola
kolaboratif sebenarnya sebagai upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengatasi berbagai
tantangan yang berkembang dalam kehidupan bernegara. Tata kelola kolaboratif ini sebagai
bentuk inovasi dan akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat yang selama
ini cenderung menganggap bahwa pemerintah boros dan gagal untuk mewakili
kepentingan masyarakat (Jung, Mazmanian, Tang, 2009)
Keterlibatan pemangku kepentingan non-pemerintah dalam proses pengambilan
13. 3
kebijakan publik diyakini dapat meningkatkan kualitas hasil pembangunan. Khrisna dan
Lovell (1985) mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) alasan penting keterlibatan
masyarakat yang dapat meningkatkan keberhasilan program, yaitu (i) meningkatkan kualitas
rencana; (ii) sesuai kebutuhan masyarakat; (iii) menjamin kelangsungan rencana; (iv)
meningkatkan kesetaraan dalam pelaksanaan rencana (Zulkifli, 2017).
Keban (2007) dalam Mutiarin dan Arif (2014) menyebutkan bahwa manajemen
kolaboratif mampu menjadikan birokrasi berkinerja lebih baik dan institusinya mendapat
manfaat seperti (i) terbentuknya kemampuan yang lebih besar dalam mengatasi permasalahan
yang kompleks; (ii) tercapainya kemajuan yang lebih tinggi karena adanya pertukaran
informasi, pengetahuan dan technicalknow-how;(iii) berkurangnya dan terhindarinya konflik;
(iv) tumbuhnya rasa keadilan dan saling percaya; (v) terdorongnya upaya keberlanjutan
pemecahan masalah secara bersama; (vi) berkemampuan mengikis ego daerah dan sektoral.
Pemerintah di seluruh dunia mulai menerapkan tata kelola kolaboratif dalam
menangani konflik, menghilangkan hambatan koordinasi antarinstitusi, dan membuka pintu
bagi partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik (Nobloch, 2016). Beberapa
ahli mengemukakan bahwa perencanaan kolaboratif sudah berhasil dilaksanakan di beberapa
negara misalnya untuk mengatasi kasus lingkungan, keamanan, pengelolaan air yang
melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan lintas daerah administratif (O'Flynn dan
Wanna, 2008).
Tata kelola kolaboratif telah menjadi praktik baku di Amerika Serikat, mulai dari
penyediaan perumahan rakyat, kesehatan masyarakat, pendidikan, konservasi lingkungan, air
bersih, dan jalan bebas hambatan. Praktik ini meluas di banyak bagian dunia. Sebagian besar
proyek pengembangan ekonomi yang didukung lembaga international sepertiBank Dunia dan
PBB telah mensyaratkan keterlibatan pemerintah, LSM, dan kelompok masyarakat dalam
perencanaaan dan pelaksanaan kegiatan (Tang dan Mazmanian, 2008).
Lembaga non pemerintah seperti LSM internasional juga telah menunjukkan
keberhasilan dalam menerapkan tata kelola kolaboratif. Salah satunya adalah The Coral
Triangle Center (CTC/Pusat Segitiga Karang). Segitiga karang merupakan kawasan
keberagaman hayati laut antara Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste dan
Kepualuan Solomon. CTC diinisiasi oleh pemerintah Indonesia dan the Nature Conservncy
(LSM) pada tahun 2010, yang berfokus membangun kolaborasi melindungi sumberdaya laut
pada Marine ProtectedAreas (Kawasan Perlindungan Laut/MPA). CTC berhasilmemasilitasi
terbentuknya 60 forum pemangku kepentingan, dan akhirnya berfungsi menjadi sumber
pertukaran pengetahuankolaborasi. Contoh lainnya TogetherLet’sPreventChildhoodObesity
(EPODE) di Perancis yang menciptakan kampanye kolaborasi menggunakan teknologi
pemasaran sosial dan East Africa Dairy Development Program (Kenya) yang memasilitasi
kolaborasi petani dan pengusaha (Ansell dan Gash, 2017).
14. 4
Selain itu, keniscayaan kebutuhan terhadap kolaborasi lintas pemangku kepentingan
untuk mendukung pencapaian tujuan global juga telah didengungkan beberapa dekade
sebelumnya. Dimulai dari dokumen UN Conference on Environment and Development 1992
yang dikenal sebagai Agenda 21 yang mencantumkan ‘mendorong keterlibatan aktif
organisasi non-pemerintah dan bisnis dalam pelaksanaannya’.Dekade berikutnya, pada World
Summit on Sustainable Development 2002 (dikenal juga sebagaiJohannesburg Summit on the
Earth Summit), kebutuhan melibatkan peangku kepentingan non-pemerintah makin menguat
menjadi kemitraan lintas pemangku kepentingan sebagai kunci utama dalam pencapaian
Millenium Development Goals (MDGs)/Tujuan Pembangunan Milenium (Pattberg dan
Widerberg, 2016).
Saat ini, Agenda global yang secara masif menerapkan prinsip kolaborasi dalam
pelaksanaan programnya adalah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang merupakan
agenda pembangunan global baru periode 2016-2030 untuk meneruskan seluruh Tujuan
Pembangunan Milenium termasuk pencapaian tujuan yang tidak tercapai, terutama
menjangkau kelompok masyarakat yang sangat rentan.
Agenda 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB (Sustainable
Development Goals/SDGs) berisi 17 Tujuan dan 169 Target yang di dalamnya turut
ditekankan tata cara pelaksanaan agenda pembangunan berkelanjutan, yaitu partisipasi,
inklusivitas, tata pemerintahan yang terbuka, serta kerjasama kemitraan multi–pihak.
TPB merupakan komitmen global dan nasional untuk meningkatkan kualitas hidup
dari satugenerasike generasiberikutnya. Oleh karena itu, TPBmenjadi salah satuacuandalam
pembangunan nasional dan daerah, mulai dari tahap perencanaan,pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi, dan pelaporan.
Pemerintah Indonesia juga telah mengadopsi prinsip tata kelola kolaboratif,
sebagaimana tercantum dalam ArahPembangunan Jangka Panjang Indonesia 2005-2025 yang
diantaranya secara jelas mengarahkan (i) pentingnya organisasi masyarakat sebagai mitra
pemerintah, sebagai bagian penting dari upaya memperbesar kemandirian masyarakat dalam
menyelesaikan permasalahannya sendiri; (ii) terakomodasinya aspirasi masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan publik yang berhubungan dengan hajat hidupnya (RPJPN
2005-2025). Dalam RPJMN 2010-2015 terkait Tujuan 16 TPB telah ditetapkan kebijakan
meningkatkan partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Dalam Sidang Kabinet bulan Desember 2015, Presiden RI mengarahkan untuk
mengoptimalkan peran koordinasi Kementerian PPN/BAPPENAS dengan melibatkan semua
pihak (pemerintah, parlemen, organisasi masyarakat dan media, filantropi dan bisnis, pakar
dan akademisi) untuk bersinergi sesuai peran, fungsi dan kemampuan para pihak.
Kondisi ini menjadikan pelaksanaan TPB di Indonesia tidak membutuhkan waktu
lama untuk memulai secara nasional. Bahkan Indonesia termasuk negara pertama di Asia
15. 5
Tenggara. Indonesia sangat berkomitmen untuk melaksanakan TPB karena tujuan
pembangunan nasional dan tujuan pembangunan global pada dasarnya saling menguatkan.
Indonesia secara resmimencanangkan implementasi TPB melalui Peraturan Presiden
Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Perpres ini menekankan pentingnya pelaksanaan prinsip TPB yaitu no one is left behind dan
inclusiveness, yang diwujudkan dengan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, melalui
4 (empat) platform partisipasi yang meliputi Pemerintah dan Parlemen, Organisasi
Kemasyarakatan dan Media, Pelaku Usaha dan Filantropi serta Akademisi dan Pakar.
Selanjutnya Pemerintah juga telah menerbitkan Surat Keputusan MenteriPPN/Kepala
Bappenas Nomor Kep. 64/M.PPN/HK/04/2018 tentang Pembentukan Tim Pelaksana,
Kelompok Kerja, dan Tim Pakar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2017–2019.
Untuk memastikan keterlibatan semua elemen masyarakat,maka keanggotaan Tim Pelaksana,
4 (empat) Pilar Kelompok Kerja, dan Tim Pakar yang berasal dari unsur nonpemerintah
ditetapkan secara bergilir setiap 2 (dua) tahun dengan memperhatikan keterwakilan unsur non
pemerintah.
Sampai saat ini, pelaksanaan TPB di Indonesia telah menghasilkan beberapa produk
diantaranya Rencana Aksi Nasional (RAN) TPB 2017-2019, Rencana Aksi Daerah (RAD)
TPB pada 15 provinsi, dan inisiatif dari 14 asosiasi yang mewakili sekitar 500 perusahaan dan
filantropi mendeklarasikan diri sebagai Platform Filantropi dan Bisnis Indonesia untuk SDGs
atau yang disingkat dengan “FBI4SDGs”.
Namun demikian, penerapan tata kelola kolaboratif dalam pelaksanaan TPB di
Indonesia ditengarai masih belum optimal. Prinsip ‘no left behind’, transparansi, akuntabel
dan inklusif menjadi prinsip dasar TPB, yang nota bene merupakan wujud tata kelola
kolaboratif, cenderung diterjemahkan hanya berupa keterlibatan pemangku kepentingan
secara formal dan normatif dalam pelaksanaan TPB, setidaknya dalam penyusunan Rencana
Aksi.
Hal ini terkonfirmasi dalam hasil tinjauan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (2018) dan hasil Seminar Nasional Masyarakat Sipil
Indonesia untuk SDGs (2019) bahwa ditemukan kemitraan dan kolaborasi masih belum
terjalin maksimal, masih ada rasa saling curiga antara pemangku kepentingan, bahkan
masyarakat marjinal masih belum terlibat. Hal ini ditegaskan dalam sambutan Duta Besar Uni
Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend, pada acara tersebut yang menekankan perlunya ada
meaningful participation.
Penerapan tata kelola kolaboratif dalam penyusunan kebijakan publik juga telah
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Sebagai contoh, Kedeputian Gubernur DKI Jakarta
bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup menginisiasi konsep Desain Besar Isu Strategis
yang merupakan dokumentasi komitmen dan konsensus para pemangku kepentingan terkait
16. 6
mulai pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, perguruan tinggi, asosiasi
profesi, LSM, kedutaan besar, perwakilan lembaga internasional, praktisi, dan perwakilan
masyarakat, dalam penanganan isu strategis.
Desain Besar merupakan masukan bagi pengambilan keputusan perencanaan
pembangunan terkait isu strategis DKIJakarta sepertibangunan gedung hijau, kota layak anak,
persampahan, air minum dan air limbah, pertanian perkotaan, ketahanan kota, polusi udara,
dan kawasan kumuh. Selain itu, telah terbentuk beberapa forum pemangku kepentingan yang
menjadi wadah pemangku kepentingan dan berfungsi menyusun dan mengawal pelaksanaan
konsensus dalam Desain Besar. Forum ini aktif melakukan pertemuan berkala.
Beberapa hasil penelitian mahasiswa juga mencatat keberhasilan pelaksanaan tata
kelola kolaboratif di daerah. Namun demikian, sebagaimana pelaksanaan TPB, tidak semua
penerapan tata kelola kolaboratif berjalan baik.
Terangkum dari hasil studi mahasiswa berbagai perguruan tinggi, bahwa sebagian
besar pemerintah daerah dipandang gagal dalam menerapkan tata kelola kolaboratif dengan
berbagaialasan, diantaranya pemerintah sangat dominan; berbeda pandangan dan kepentingan
termasuk ego sektoral yang tidak dapat dipertemukan; bersifat formalistis; tidak berhasil
menyepakati konsensus; tidak beranimelakukan terobosan; ketersediaansumberdaya manusia
tidak memadai; tidak terlihat adanya komitmen; masyarakat kurang aktif; dan forum
pemangku kepentingan kurang berfungsi..
Walaupun Tata kelola kolaboratif telah menjadi kebijakan pemerintah dan telah
diadopsi pada penyusunan kebijakan publik baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah, namun penerapannya dalam penyusunan kebijakan publik di Indonesia termasuk
pelaksanaan TPB masih belum optimal. Untuk itu, dibutuhkan upaya melakukan peninjauan
terhadap praktik tata kelola kolaboratif dengan memanfaatkan momentum pelaksanaan TPB
di Indonesia.
1.2 Permasalahan
Pelaksanaan TPB yang menerapkan konsep inklusif dan partisipatif seyogyanya
menghasilkan kebijakan publik yang efektif. Namun berdasar evaluasi awal terhadap
pelaksanaan TPB ditengarai bahwa inklusifitas dan partisipasi belum optimal yang
ditunjukkan oleh pemanfaatan data dan pelaporan didominasi oleh pemerintah, keterlibatan
para pihak masih belum mewakili pemangku kepentingan sesungguhnya bahkan terkesan
elitis, tujuan yang disepakati masih belum merupakan konsensus, dan potensi konflik belum
terkelola dengan baik.
Sementara di lain pihak, pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelaksana TPB
masih banyak yang belum memahami konsep inklusif dengan baik, pelibatan pemangku
kepentingan non-pemerintah oleh pemerintah daerah masih bersifat normatif, termasuk proses
17. 7
pencapaian konsensus masih didominasi pemerintah.
Sehingga dibutuhkan upaya penguatan tata kelola kolaboratif dalam pelaksanaan TPB
agar prinsip ‘no one is left behind’, inklusif dan partisipatif dapat terwujud.
1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah kebijakan (policy paper) adalah mengembangkan
pilihan kebijakan penerapan tata kelola kolaboratif di Indonesia dengan menggunakan kasus
pelaksanaan TPB di Indonesia.
1.4 Kerangka Pemikiran
Penyusunan kebijakan publik menggunakan konsep tata kelola kolaboratif telah
menjadi arus utama dalam pelaksanaan pembangunan di dunia termasuk Indonesia. Namun
kenyataan ini perlu dibuktikan pelaksanaannya di Indonesia.
Pada saat yang bersamaan, sejak beberapa tahun lalu, pelaksanaan TPB sebagai
program global mempunyai konsep dasar yang sejalan dengan tata kelola kolaboratif yaitu
inklusif, partisipatif dengan motto ‘no one left behind’. Menjadi menarik kemudian ketika tata
kelola kolaboratif diterapkan dalam pelaksanaan TPB di Indonesia.
Untuk itu, peninjauan pelaksanaan tata kelola kolaboratif di Indonesia dilakukan
melalui dua cara yaitu (i) kompilasi beragam hasil penelitan terkait tata kelola kolaboratif di
Indonesia termasuk hasil tugas akhir mahasiswa; (ii) menggunakan model tata kelola
kolaboratif Ansell dan Gash menguji efektifitas pelaksanaan tata kelola kolaboratif pada
praktik unggulan dan pelaksanaan TPB.
Hasil peninjauan terhadap pelaksanaan tata kelola kolaboratif berujung pada
pembelajaran pelaksanaan tata kelola kolaboratif dan masukan bagi penguatan pelaksanaan
TPB di Indonesia. Keseluruhannya kemudian menjadi masukan bagi pengembangan model
tata kelola kolaboratif TPB yang diadopsi dari model Ansell dan Gash.
Upaya penguatan pelaksanaan TPB di Indonesia digambarkan dalam bentuk model
tata kelola kolaboratif TPB yang diwujudkan melalui langkah strategis sebagai bagian dari
pilihan kebijakan tata kelola kolaboratif TPB di Indonesia. Gambaran ringkas Kerangka Pikir
dapat dilihat pada Gambar 1.
18. 8
Gambar 1 Kerangka Pikir
1.5 Metode Penelitian
Pendekatan penelitian ini berupa pendekatan kualitatif-deskriptif dengan
menggunakan pendekatan deduktif yang menggunakan kacamata teori tata kelola kolaboratif
untuk mendapatkan faktor tata kelola kolaboratif dalam pengambilan kebijakan publik.
Kerangka model tata kelola kolaboratif yang disampaikan oleh Ansell dan Gash sebagaidasar
menentukan faktor yang mempengaruhi tata kelola kolaboratif dalam pelaksanaan TPB di
Indonesia. Faktor yang mempengaruhi ini digunakan sebagai masukan bagi penyempurnaan
pelaksanaan TPB di Indonesia.
Sumber data adalah buku, jurnal, skripsi/tesis/disertasi, materi paparan, dokumen
pemerintah serta media massa yang terkait tujuan penelitian. Termasuk observasi tidak
langsung didapatkan dari observasi peneliti baik berupa tulisan skripsi maupun jurnal.
Dilengkapi pula dengan wawancara tertulis dan wawancara langsung untuk pendalaman.
Daftar Pertanyaan selengkapnya pada Lampiran C.
Praktik Unggulan TKK
Kebijakan Publik
Tata Kelola Kolaboratif/TKK
Penerapan TKK di Indonesia
Model TKK Ansell-Gash SDGs/TPBTKK di
Daerah
Pembelajaran TKK
Penguatan SDGs
Model TKK SDGs
Langkah Strategis
19. 9
BAB II
Tinjauan Literatur
Model Tata Kelola Kolaboratif dan Praktik Unggulan
2.1 Pemahaman Dasar
2.1.1 Tata Kelola (governance)
Chotary dan Stoker (2009) mendefinisikan tata kelola adalah tentang aturan main
penyusunan keputusan bersama diantara keberagaman pelaku dan organisasi, dan tidak
terdapat sistem kendali formal yang mampu mendikte pola hubungan antara pelaku dan
organisasi (Kurniadi, 2020).
2.1.2 Kolaborasi
Disadari bahwa terdapat beragam pemahaman kolaborasi, namun secara umum
kolaborasi dapat dipahami sebagai hubungan antarorganisasi yang saling berpartisipasi dan
saling menyetujui untuk bersama mencapai tujuan, saling berbagi informasi, sumberdaya,
manfaat,dan bertanggungjawab dalam pengambilan keputusan bersama untuk menyelesaikan
berbagai masalah (Lai, 2011). Kolaborasi menjadi pilihan karena pada dasarnya organisasi
tidak dapat bekerja sendiri sehingga dengan berkolaborasi diperoleh manfaat lebih besar dari
perpaduan sumberdaya pemangku kepentingan disertai biaya produksi yang lebih murah
(Mungkasa, 2020).
Agranoff dan McGuire (2003) mengungkapkan bahwa para pihak berkolaborasi karena
adanya elemen kohesifitas yaitu (i) Saling Percaya, mempunyai tujuan bersama dan saling
ketergantungan; (ii) Tujuan yang sama; (iii) Perubahan Cara Pandang dan Komitmen, adanya
kerangka berpikir, persepsi, dan cara bekerja yang serupa; (iv) Kepemimpinan dan
Kemampuan Memandu, mampu menerapkan prinsip arahan minimal sebagai pengganti
perintah dan kendali (Febrian,
2018)
Eppel (2013), menyatakan terja-
dinya trasnformasi hubungan
dari pengakuan keberadaaan
bersama (co-existence), kemu-
dian melakukan komunikasi
(communication), kerjasama
(cooperation), koordinasi (co-
ordination) hingga sampai pada
kolaborasi. Selengkapnya pada
Gambar 2.
Gambar 2 Rangkaian Transformasi Kolaborasi
20. 10
2.2 Karakteristik Tata Kelola Kolaboratif.
2.2.1 Proses Tata Kelola Kolaboratif
Menyimak beragamliteratur, ditemui garis besartahapan Tata Kelola Kolaboratif, yang
terdiri dari4 (empat)langkah yaitu (i) Persiapan,berupa kegiatan pemetaansituasi, pemangku
kepentingan dan isu terkait; (ii) Perencanaan, berupa kegiatan penyepakatan tujuan, target,
kebijakan dan strategi, peta jalan dan rencana kegiatan termasuk dukungan sumberdaya; (iii)
Pelaksanaan berupa pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi; dan (iv) Pengembangan,
berupa penyiapan perluasan dan replikasi kegiatan, termasuk memastikan keberlanjutan.
2.2.2 Kriteria Keberhasilan Tata Kelola Kolaboratif
Ansell dan Gash (2007), menyatakan bahwa terdapat 6 (enam) kriteria untuk
mewujudkan sebuah tata kelola kolaboratif; yaitu (i) Kolaborasi diprakarsai oleh institusi
pemerintah; (ii) Peserta kolaborasi terdiri dari institusi pemerintah dan non-pemerintah; (iii)
Semua peserta turut dalam proses pengambilan keputusan; (iv) Forum kolaborasi dibentuk
secara resmi dan bertemu secara regular; (v) Forum kolaborasi membuat keputusan secara
konsensus; (vi) Fokus kolaborasi adalah pada kebijakan dan pengelolaan publik.
2.2.3 Pemangku Kepentingan
Salah satu komponen penting dalam tata kelola kolaboratif adalah pemangku
kepentingan, yang dimaknai sebagai individu, kelompok organisasi baik laki-laki atau
perempuan yang memiliki kepentingan, terlibat atau dipengaruhi (positif atau negatif) oleh
suatu kegiatan pembangunan (Hertifah, 2003). Sedangkan Gonsalves dkk. (Iqbal, 2007)
menambahkan tidak sekedar terpengaruh tetapi juga ikut mempengaruhi (Arrozaaq, 2017).
Salah satu langkah penting dalam pemilihan pemangku kepentingan adalah melakukan
pemetaanpemangku kepentingan dan aktivitasnya. Langkah ini dimaksudkan untuk mendapat
gambaran kekuatan dari para pemangku kepentingan, termasuk kemungkinan pemangku
kepentingan yang belum bergabung. Dengan demikian, kekuatan kolaborasi akan semakin
menguat dan menghasilkan keluaran yang lebih efisien dan efektif.
2.3 Model Tata Kelola KolaboratifAnsell dan Gash
Model Tata Kelola Kolaboratif yang paling dikenal adalah Model Ansell dan Gash yang
dapat dijadikan panduan dalam sebuah penelitian untuk melihat efektifitas proses kolaborasi
yang sedangberjalan. Model ini menggunakan 4 (empat)dimensi untuk mengukur kesuksesan
Tata Kelola Kolaboratif, yaitu
a. Pertama, Proses Kolaboratif sebagai inti Tata Kelola Kolaboratif, mencakup (i) dialog
tatap muka; (ii) membangun kepercayaan; (iii) komitmen terhadap proses; (iv) saling
memahami.
21. 11
b. Kedua, terdapat 3 (tiga) dimensi lainnya yang memengaruhi yaitu (i) kondisi awal,
mencakup kesenjangan sumberdaya, ketersediaan insentif, dan beban masa lalu; (ii)
desain kelembagaan, mencakup keterbukaan, ketersediaan prosedur, dan kewenangan;
(iii) kepemimpinan fasilitatif, mencakup pemimpin fasilitatif, dan pemimpin organik.
Sumber: Ansell dan Gash, 2007.
Gambar 3 Model Tata Kelola Kolaboratif Ansell dan Gash
Keempat dimensi Tata Kelola Kolaboratif tersebut dianalisis dan dilaksanakan sehingga
diperoleh Keluaran Tata Kelola Kolaboratif yang didasarkan pada keputusan yang berorientasi
konsensus dan bersifat formal (Febrian, 2018).
Tabel 1 Operasionalisasi Konsep Tata Kelola Kolaboratif Ansell dan Gash
sumber: diolah dari Hadi (2015) dalam Mungkasa (2020).
22. 12
2.4 Praktik Unggulan
2.4.1 Forum Pemangku Kepentingan
Pada akhir tahun 90-an, pembangunan masih sangat sektoral, fenomena ‘working in
silos’ (bekerja sendiri-sendiri) dan pendekatan ‘top-down’ (atas-bawah) masih sangat
dominan, termasuk pembangunan air minum dan sanitasi. Saat yang bersamaan, pemerintah
Indonesia mendapat hibah dari pemerintah Australia melalui AusAID (lembaga bantuan
internasional Australia) bermitra dengan WSP (program air dan sanitasi) Bank Dunia berupa
bantuan penyusunan kebijakan pembangunan air minum dan sanitasi di Indonesia
menggunakan pendekatan partisipatif.
Untuk itu kemudian diaktifkanlah forum pemangku kepentingan yang beranggotakan
perwakilan dari lembaga pemerintah terkait, yang dikenal sebagaiKelompok Kerja Air Minum
dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL), yang dilengkapi sekretariat dan tenaga
profesional. Forum mengedepankan saling berbagi pengetahuan, bersifat egaliter, tanpa
hirarki, tidak ada salah dan benar, semua keputusan melalui konsensus.
Pokja AMPLpada tahun2006 berhasil menelurkan Kebijakan Nasional Pembangunan
Air Minum Berbasis Masyarakat (tautan pada Lampiran A). Selain itu, Pokja AMPL turut
berkiprah dalam proses penyiapan beberapa kegiatan besar seperti WSLIC 2 (Water and
Sanitation for Low Income Community), SANIMAS (Sanitasi oleh Masyarakat), dan
PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat).
Skema Pokja AMPL ini pun kemudian di replikasi di banyak daerah mengikuti
keberadaan berbagai proyek besar tersebut. Kiprah Pokja AMPL Nasional kemudian tidak
hanya berhenti pada penyusunan kebijakan bahkan merambah juga pada kegiatan komunikasi
publik dalam upaya menangani kendala penyediaan air minum dan sanitasi yang belum
menjadi prioritas. Keluaran yang sangat dikenal diantaranya dalam bentuk Media Informasi
AMPL‘Percik” dan media informasi khusus anak ‘PercikYunior”, beberapa buku AMPL,dan
situs internet (www.ampl.or.id).
Beberapa pemangku kepentingan non-pemerintah kemudian bersama dengan Pokja
AMPL Nasional menginisiasi pembentukan Jejaring AMPL, yang merupakan wadah untuk
mensinergikan potensi informasi, pengetahuan dan komunikasi antarpemangku kepentingan
dalam kerjasama yang memberikan manfaat kepada semua pihak.
Mengimbangi keberadaan Pokja AMPL yang dipandang mampu meningkatkan
portofolio pembangunan air minum dan sanitasi, maka Bappenas, Kementerian Perumahan
Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum menginisiasi pembentukan Kelompok Kerja
Perumahandan Kawasan Permukiman (Pokja PKP). Disadari kemudian bahwa segmen kerja
air minum dan sanitasi bersinggungan erat dengan perumahan dan kawasan permukiman,
sehingga akhirnya dilakukan penyatuan kedua Pokja AMPL dan Pokja PKP menjadi
23. 13
Kelompok Kerja Perumahan, Permukiman, Air Minum dan Sanitasi (Pokja PPAS). Sampai
saat ini Pokja AMPL/PKP/PPAS telah berjumlah hampir 400 di seluruh Indonesia.
Sepertinya keberadaan Pokja AMPL/Pokja PKP dan Jejaring AMPL bukan dengan
sengaja menerapkan prinsip tata kelola kolaboratif. Namun peran, dan fungsi yang dijalankan
memenuhi kriteria tata kelola kolaboratif. Mungkin ini yang menjadi salah satu faktor
pendukung keberhasilan pokja sebagai forum pemangku kepentingan.
2.4.2 Desain Besar Isu Strategis DKI Jakarta
Jakarta sebagaisebuah metropolitan dengan penduduk mencapai 10 juta di malam hari
dan 12 juta di siang hari, dan mencapai 30 juta penduduk jika mencakup Metropolitan
Jabodetabek, tentunya mempunyai beragam isu strategis yang perlu ditangani. Namun kendala
utama menangani isu strategis ini adalah fenomena ‘working in silos’.
Desain besar adalah solusi fenomena ‘working in silos’ yang berupa dokumen
komitmen dan konsensus terhadap konsep penanganan suatu isu strategis dengan
menggunakan pendekatankolaboratif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait.
Dokumen Desain Besar setidaknya terdiri dari isu, visi dan misi, tujuan dan target, kebijakan
dan strategi, peta jalan, rencana kegiatan, serta pemantauan dan evaluasi.
Desain besar menjadi rujukan bagi organisasi perangkat daerah (OPD), organisasi
masyarakat, lembaga usaha, dan lainnya untuk menyusun rencana kegiatan jangka pendek,
jangka menengah bahkan jangka panjang. Selain itu, juga berfungsi mempercepat pelaksanaan
pembangunan dan keselarasan program, dan kegiatan pembangunan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang
Tata Ruang dan Lingkungan Hidup memasilitasi kegiatan penyusunan Desain Besar Isu
Strategis DKI Jakarta. Sampaisaat ini, telah diluncurkan 5 (lima) Desain Besar,dan Strategi
Ketahanan Kota Jakarta. Selengkapnya pada Tabel2 dan tautan pada Lampiran A.4.
Tabel 2 Desain Besar Isu Strategis Jakarta
Dokumen
Mitra Utama
Peluncuran
Pemerintah Non-Pemerintah
Desain Besar Bangunan
Gedung Hijau
Dinas Penanaman Modal
dan Perijinan Terpadu
Satu Pintu
International Finance
Corporation (IFC) Bank
Dunia
14 Sept 2016
Desain Besar Sistem
Pengelolaan Sampah Jakarta
Dinas Lingkungan Hidup D'Art of Waste Institute
Bandung
23 Jan 2018
Desain Besar Jakarta Menuju
KotaLayak Anak 2018–2022
Dinas Pemberdayaan
Perlindungan Anak dan
Pengendalian Penduduk
Plan Indonesia
Desain Besar Pertanian
Perkotaan Jakarta 2018-2030
Dinas Ketahanan
Pangan, Kelautan dan
Pertanian
Platform MURIA,
KARINA, CARE, Partners
for Resilience Indonesia
Desain Besar Penyediaan
Layanan Air Minum dan Air
Limbah Domestik
Dinas Sumberdaya Air USAID IUWASH Plus
24. 14
Dokumen
Mitra Utama
Peluncuran
Pemerintah Non-Pemerintah
Strategi Ketahanan Kota
Jakarta
Kedeputian Gubernur
DKI bidang TataRuang
dan Lingkungan Hidup
Rockefeller Foundation
melalui Program 100
Resilient Cities
30 Agst 2019
Sumber: diolah dari Mungkasa (2020)
Proses penyusunan Desain Besar menerapkan prinsip kolaborasi tidak hanya dalam
bentuk diskusi tapi juga dalam bentuk memadukan sumberdaya baik keuangan maupun
sumberdaya manusia, data dan informasi. Untuk itu, pada setiap kegiatan penyusunan
Desain Besar terdapat setidaknya masing-masing 1 (satu) mitra utama baik dari pemerintah
Provinsi DKI Jakarta maupun non-pemerintah.
Kegiatan tidak berhenti dengan terselesaikannya dokumen Desain Besar namun
ditindaklanjuti sesuai rencana aksi. Sebagai contoh, Desain Besar ditindaklanjuti dengan
penetapan Kawasan Hijau di seputaran Mesjid Raya ‘Hasyim Asy’ari’ di Daan Mogot.
Kawasan Hijau ini dimaksudkan sebagaipercontohan pembangunan Gedung Hijau di Jakarta.
Desain Besar juga didukung oleh langkah penyusunan regulasi terkait baik berupa
revisi maupun regulasi pendukung yang baru. Sebagai contoh, Desain Besar Pertanian
Perkotaanbahkansecara khususditetapkan melalui PeraturanGubernur Nomor 14 Tahun 2018
tentang Pelaksanaan Pertanian Perkotaan.
Secara umum, sebagian materi Desain Besar telah terinternalisasi dalam RPJMD
sesuai dengan kesepakatan pemangku kepentingan agar memperoleh legitimasi dalam
pelaksanaannya.
Kelanjutan dari proses penyusunan Desain Besar adalahterbentuknya beberapa Forum
Pemangku Kepentingan, dengan fungsi utama adalah (i) mengembangkan jejaring diantara
pemangku kepentingan; (ii) menjadi ajang saling berbagi pengetahuan; (iii) menjadi wadah
pemantauan pelaksanaan peta jalan desain besar. Selain itu, Desain Besar Bangunan Gedung
Hijau telah dipresentasikan dan dibahas dalam beberapa ajang pertemuan internasional
2.4.3 Strategi Ketahanan Kota Jakarta
Upaya dalam membangun ketahanan kota Jakarta mendapatkan momentum baru ketika
Jakarta terpilih sebagai salah satu dari 37 kota dunia untuk bergabung dalam jejaring
internasional 100 Resilient Cities (100RC) pada bulan Mei 2016.
Program 100RC dipelopori oleh The Rockefeller Foundation pada tahun 2013 dan
bertujuan membantu kota untuk menjadi lebih berketahanan dalam menghadapi tantangan dan
isu sosial, ekonomi serta fisik kota yang semakin meningkat di abad ke-21. Salah satu bentuk
keluarannya adalah dokumen Strategi Ketahanan Kota Jakarta yang merupakan pilihan solusi
strategis dan taktis yang disusun dengan semangat perwujudan Jakarta sebagaiKota 4.0 (kota
yang menempatkan pemerintah sebagai kolaborator dan masyarakat sebagai ko-kreator) dan
disepakati bersama oleh pemangku kepentingan dalam mewujudkan ketahanan kota.
25. 15
BAB III
Analisis Kebijakan:
Tinjauan Implementasi Tata Kelola Kolaboratif di Indonesia
3.1 Pembelajaran Tata Kelola Kolaboratif Praktik Unggulan
Upaya penerapan tata kelola kolaboratif telah juga berlangsung di Indonesia, walaupun
berdasar pada hasil penelitian baik mahasiswa, maupun peneliti diperoleh kenyataan bahwa
masih belum banyak tata kelola kolaboratif yang sepenuhnya menerapkan konsep tersebut dan
berhasil. Faktor penyebabnya adalah (i) tidak ada kepemimpinan yang kuat; (ii) perbedaan
kepentingan yang sulit dipertemukan; (iii) kekurangan sumberdaya; (iv) para pemangku
kepentingan tidak sepenuhnya mendukung kolaborasi; dan (v) kurang komunikasi.
Salah satu praktik unggulan tata kelola kolaboratif khususnya terkait forum pemangku
kepentingan adalah Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL),
Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) yang kemudian
keduanya melebur menjadi Kelompok Kerja Permukiman PerumahanAir Minum dan Sanitasi
(Pokja PPAS), dan Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Keduanya secara
bersama-sama menjadi salah satu elemen yang dipandang cukup berhasil meningkatkan
kinerja pembangunan air dan sanitasi melalui kolaborasi para pemangku kepentingan.
Di lain pihak, konsep Desain Besar Isu Strategis Jakarta dan Strategi ketahanan Kota
Jakarta dipandang cukup berhasil dalam menerapkan tata kelola kolaboratif dalam proses
penyusunannya. Kunci sukses adalah keberhasilan menerapkan skema kolaborasi dalam
mengatasi fenomena ‘working in silos’ atau bekerja sendiri-sendiri (Mungkasa, 2020).
Menarik mengetahui kinerja beberapa praktek unggulan tata kelola kolaboratif di
Indonesia menggunakan dimensi Model Tata Kelola Kolabortif Ansell dan Gash. Pengukuran
kinerja dilaksanakan secara kualitatif berdasar wawancara terhadap beragam responden
penggiat Pokja AMPL/Pokja PKP/Pokja PPAS dan Jejaring AMPL, pelaku penyusunan
Desain Besar Isu Strategis Jakarta dan Strategi Ketahanan Kota Jakarta, dan diperoleh
beberapa kesimpulan:
a. Secara umum, kegiatan pengelolaan pokja, dan jejaring, serta penyusunan desain besar,
dan strategi ketahanan kota telah menerapkan tata kelola kolaboratif
b. Dimensi Proses Kolaboratif dan Dimensi Keluaran dan Dampak yang paling memenuhi
kelengkapan tata kelola kolaboratif. Sementara Dimensi lainnya masih relatif banyak
yang perlu ditingkatkan
c. Dimensi Kondisi Awal. Berbeda dengan model Ansell dan Gash yang menekankan
konflik sebagai dasar kolaborasi, maka hasil wawancara menunjukkan bahwa perbedaan
motivasi, pemahaman, komitmen, bahkan kesenjangan sumberdaya bukan menjadi
masalah jika tujuan kolaborasi jelas. Sementara konflik hanya dimaknai sebagai
26. 16
fenomena ‘working in silos’, ego sektor, sehingga berdampak kurangnya saling percaya.
Selain itu, kolaborasi diprakarsai bersama sejak awal oleh pemangku kepetinga n
pemerintah dan non-pemerintah.
d. Dimensi Kepemimpinan Fasilitatif, dimaknai sebagai sikap pemimpin yang proaktif,
apresiatif, komunikatif, egaliter, sering hadir mendampingi pertemuan sehingga
menimbulkan rasa respek daripemangku kepentingan yang berujung pada meningkatnya
kualitas kolaborasi. Disamping itu, kemampuan mengembangkan jejaring dan
memperluas jenis kegiatan menjadi nilai lebih pemimpin.
e. Dimensi Disain Kelembagaan. Hal yang menarik bahwa walaupun tersedia aturan baku
namun kelenturan (fleksibilitas) tetap dipertahankan. Dilain pihak, pertemuan formal
yang dilaksanakan berkala dan disertai pertemuan informal berikut agenda yang terjaga
membantu mempertahankan ‘chemistry’ (sambung rasa) diantara pemanku kepentingan.
Pergantian personil yang sering terjadi dapat teratasi dengan kegiatan yang
terdokumentasi baik sehingga konsistensi tetap terjaga. Keberadaan sekretariat dan
tenaga profesional menjamin keberlangsungan keseluruhan agenda, terdokumentasinya
kegiatan, dan kualitas komunikasi tetap terjaga.
f. Tata kelola kolaboratif.
Dampak keberhasilan kolaborasi yaitu (i) terjadinya koordinasi, sinergi, keterpaduan
kegiatan/program yang berujung pada peningkatan kualitas (efektifitas dan efisiensi)
kebijakan publik; (ii) kebijakan publik hasil kolaborasi ditindaklanjuti dan dikawal;
(iii) tata kelola kolaboratif menjadi arus utama dalam proses penyusunan kebijakan
publik; (iv) terbentuk jejaring dan forum pemangku kepentingan berbagai isu
strategis; (v) berkurangnya ego sektor dan fenomena bekerja sendiri; (vi)
keterbukaan antara lembaga pemerintah dan non pemerintah mulai membaik
sehingga komunikasi lebih lancar dan hubungan lebih cair.
Faktor pendorong keberhasilan kolaborasi adalah (i) kesamaan motivasi,
pemahaman, dan komitmen; (ii) kepemimpinan fasilitatif tapi tegas; (iii) lingkungan
egaliter, terbuka,komunikasi lancar dan saling percaya;(iv) visi, misi, tujuan, target,
keluaran dan manfaat yang jelas; (v) tersedia jejaring, dan forum pemangku
kepentingan berikut sekretariat;(vi) pemaduan sumberdaya berupa SDM,keuangan,
data, informasi serta pengetahuan; (vii) tersedianya kampiun kolaborasi; (viii)
pengambilan keputusan berdasar konsensus; (ix) didukung regulasi; (x) banyaknya
pertukaran pengetahuan yang mendorong inovasi baru.
g. Hambatan berarti dalam proses kolaborasi diantaranya (i) waktu yang dibutuhkan relatif
lebih lama; (ii) terlalu birokratis dan tidak ingin keluar dari zona nyaman; (iii) bekerja
sendiri, tidak terbuka dan rasa saling curiga; (iv) pergantian pegawai dan pimpinan; (v)
27. 17
perbedaan kepentingan; (vi) pemangku kepentingan yang terlibat banyak dan kurang
memenuhi kualifikasi; (vii) data dan informasi masih belum memadai dan tidak terbuka.
h. Beberapa hal yang dipandang perlu dilakukan untuk melengkapi proses kolaborasi
selama ini diantaranya (i) perluasan cakupan substansi dan pelibatan lebih beragam
pemangku kepentingan; (ii) dibutuhkan dukungan tenaga ahli; (iii) peningkatan
pemahaman tentang kolaborasi, dan advokasi kepada pimpinan; (iv) pelibatan kelompok
marjinal; (v) proses kaderisasi pemimpin; (vi) pemantauan dan evaluasi diperkuat
(Laporan Lengkap pada Lampiran C).
3.2 Implementasi Tata Kelola Kolaboratif Pelaksanaan TPB di Indonesia
Tata kelola kolaboratif terkait dengan beberapa target TPB khususnya Tujuan 16 yaitu
menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan,
menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangun kelembagaan yang efektif,
akuntabel dan inklusif di semua tingkatan, yang dirinci dalam Target 16.6 yaitu
mengembangkan lembaga yang efektif, akuntabel dan transparan di semua tingkat, dan Target
16.7 yaitu menjamin pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, partisipatif dan
representatif di setiap tingkatan.
Beberapa bentuk keterlibatan pemangku kepentingan dan masyarakat adalah (i)
penyusunan keanggotaan Tim Pelaksana, Kelompok Kerja, dan Tim Pakar; (ii) menjadi
anggota TimPelaksana, Kelompok Kerja, dan Tim Pakar secara bergilir setiap 2 (dua) tahun
dengan memerhatikan keterwakilan unsur nonpemerintah; (iii) musyawarah dan mufakat
dalam pengambilan keputusan oleh Tim Pelaksana,Kelompok Kerja dan Tim Pakar TPB; (iv)
pelaksanaan perencanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan Peta Jalan TPB; (v)
penyusunan RAN dan RAD TPB;
Mekanisme evaluasi untuk organisasi nonpemerintah dilakukan melalui sebuah
forum, tim atau kelembagaan khusus yang dibentuk secara ad hoc oleh Tim Pelaksana TPB
yang merupakan panel independen dan nir kepentingan. Keorganisasian dari kelembagaan
tersebut berisikan para anggota yang diakui kompetensi, pengalaman, dan integritasnya dari
pemangku kepentingan.
Mekanisme pemantauan dan evaluasi pihak non pemerintah, yaitu organisasi
kemasyarakatan dan media, pelaku usaha dan filantropi, serta akademisi berbeda dengan
mekanisme yang dilakukan pada pemerintah. Program dan kegiatan dari pihak nonpemerintah
untuk pelaksanaan pencapaian TPB bersifat sukarela (voluntary),oleh karena itu mekanisme
pelaporannyapun juga bersifat sukarela. Meskipun bersifat sukarela, namun pelaporan
program dan kegiatan tetap harus dapat dipertanggungjawabkan. Pelaporan dilakukan melalui
mekanisme “penilaian diri sukarela” (voluntary self assesment) dengan menggunakan format
laporan melalui self assesment tool (SAT) yang disepakati.
28. 18
Prosessangatpenting lainnya yang menjadi bagian dari penerapanprinsip inklusif dan
memastikan keterlibatan semua pihak adalah melalui sistem daring (online) lewat laman
(website) dan surat elektronik (email). Selain itu, diperlukan penguatan sarana pelaksanaan
yang meliputi: (i) perluasan penggunaan teknologi; (ii) penguatan kerja sama multipihak; (iii)
penguatan koordinasi; (iv) peningkatan kapasitas; (v) pemberian penghargaan kepada para
pihak; serta (vi) penguatan pelaksanaan strategi komunikasi.
Namun demikian, terkesan bahwa penerapan tata kelola kolaboratif setidaknya upaya
pelibatan para pihak non pemerintah masih bersifat normatif dan formalitas. Sebagaimana
diungkapkan dalam laporan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (2018) bahwa diperoleh beberapa temuan terkait penerapan tata kelola
kolaboratif pada pelaksanaan TPB yaitu (a) Penetapan indikator TPB dan pelaporan
pemerintah masih kurang memperhatikan data yang dikumpulkan dan dihasilkan oleh
pemangku kepentingan non pemerintah; (b) Pelaporan pelaksanaan TPB secara nasional
bersifat executive–heavy atau belum membuka ruang bagi pelaporan di luar pemerintah; (c)
Belum tersedianya mekanisme pengaturan konflik kepentingan dalam Tim Pelaksana yang
memungkinkan identifikasi, pencegahan dan penanganan konflik kepentingan pada saat
membuat, melaksanakan dan mempertanggung jawabkan keputusan (Hoelman dan Saenong,
2018).
Pernyataan di atas kemudian dibandingkan dengan hasil wawancara kepada
Sekretariat SDGs Nasional dan Sekretariat SDGs DKI Jakarta, dan diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut
a. Pelaksanaan kegiatan TPB telah menerapkan tata kelola kolaboratif
b. Hanya pada Dimensi Kondisi Awal,terdapatperbedaan jawaban antara SekretariatSDGs
Nasional dan Sekretariat DKI Jakarta, terutama menyangkut kesamaan motivasi dan
prakarsa kegiatan.
c. Dimensi Kondisi Awal. Perbedaan motivasi, kesenjangan sumberdaya khususnya antara
pemangku kepentingan pemerintah dan non-pemerintah berupa dana, informasi,
sumberdaya manusia (jumlah, keterampilan, pengetahuan), termasuk kesan pemerintah
terhadap pemangku kepentingan non-pemerintah sebagai pihak pelengkap dan
kekurangan dana, serta perbedaan nilai yang berpotensi konflik menjadi gambaran
kondisi awal. Namun keseluruhannya tidak menjadi hambatan berarti dalam memulai
proses kolaborasi. Hal ini kemudian menjadikan prakarsa kegiatan dipandang sebagai
prakarsa bersama pemerintah dan non pemerintah.
d. Dimensi Kepemimpinan Fasilitatif. Upaya meningkatkan partisipasi dan perluasan
kegiatan dilakukan melalui sosialisasi, diseminasi, advokasi, penerbitan regulasi,
komunikasi dan kampanye publik memanfaatkan saluran komunikasi publik. Termasuk
29. 19
melalui e-planning, e-monev, pengarusutamaan indikator TPB dalam peraturan, dan
kegiatan lapangan bersama.
e. Dimensi Disain Kelembagaan. Seluruh kegiatan dikelola secara formal yang ditetapkan
melalui peraturan yang diperbaharui sesuai kebutuhan, dilengkapi agenda pertemuan
berkala, didukung sekretariat dan tenaga profesional. Hasil kegiatan dipublikasikan
melalui saluran komunikasi publik.
f. Dimensi Proses Kolaboratif.
Beragam pemangku kepentingan pemerintah dan non-pemerintah terlibat langsung
dalam pengambilan keputusan melalui dialog tatap muka baik secara daring maupun
luring. Namun dalam pertemuan teknis, kehadiran pemangku kepentingan disesuaikan
dengan agenda pertemuan
saling percaya, komitmen, dan pemahaman bersama terwujud melalui dialog tatap
muka dan saling terbuka diantara pemangku kepentingan;
komitmen terlihat dari partisipasi aktif dan kontribusi dari pemangku kepentingan,
termasuk diantaranya berbentuk kolaborasi pengarusutamaan TPB berbasis kawasan
di Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara;
g. Dimensi Keluaran dan Dampak.
keberhasilan tata kelola kolaboratif terlihat dari komitmen yang berwujud keterlibatan
pemangku kepentingan khususnya non-pemerintah semakin banyak dan intensif yang
memudahkan tersampaikannya pandangan pihak di luar pemerintah.
Keterlibatan pemangku kepentingan non-pemerintah semakin mudah dengan
terbentuknya banyak forum pemangku kepentingan;
kolaborasi terwujud karena dukungan bentuk kepemimpinan yang fasilitatif, saling
percaya dan menghormati diantara pemangku kepentingan, kemitraan yang setara,
partisipasi yang aktif, proses yang akuntabel/terbuka, dan prosesnya dipandang
memberi manfaat bagi semua;
hambatan utama adalah keterlibatan pemangku kepentingan meningkat dari segi
jumlah namun belum mewakili keseluruhan kepentingan pemangku kepentingan;
kondisi yang tidak terduga yang terjadi adalah banyaknya perbedaan pendapat dan
situasi pandemi Covid 19;
jika dimungkinkan agar struktur tim koordinasi menjangkau pemangku kepentingan
lebih efisien disertai komunikasi yang lebih intensif
30. 20
Bab IV
Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1 Kesimpulan
Tata kelola kolaboratif terbukti telah berhasil diterapkan pada praktik unggulan
pengelolaan Kelompok Kerja AMPL/PKP/PPAS, dan Jejaring AMPL, serta penyusunan
Desain Besar Isu Strategis Jakarta dan Strategi Ketahanan Kota Jakarta. Hal yang sama juga
berlaku dalam pelaksanaan TPB di Indonesia.
Konflik sebagai pencetus kolaborasi tidak terbukti dalam studi ini, namun insentif
berupa kejelasan tujuan kolaborasi yang menjadi pendorong utama. Salah satu bentuk insentif
yang menarik adalah berupa pertukaran pengetahuan dan pengenalan inovasi baru di antara
pemangku kepentingan.
Konflik lebih dimaknai sebagaidampak fenomena ‘working in silos’ atau ego sektor,
yang berdampak pada kurangnya komunikasi diantara pemangku kepentingan. Sehingga
perbedaan motivasi, pemahaman, komitmen, bahkan kesenjangan sumberdaya pada saat awal
bukan menjadi masalah ketika kolaborasi mempunyai manfaat.
Keberhasilan penerapan tata kelola kolaboratif banyak dipengaruhi oleh faktor sebagai
berikut
Pertemuan tatap muka secara teratur dengan agenda yang terukur membantu
mempertahankan ‘chemistry’ (sambung rasa) diantara pemanku kepentingan.
kepemimpinan yang proaktif, apresiatif, komunikatif, egaliter, mampu mengembangkan
dan memanfaatkan jejaring serta memperluas jenis kegiatan yang menimbulkan rasa
hormat dari pemangku kepentingan.
Pemaduan sumberdaya diantara pemanku kepentingan baik sumberdaya manusia, data
dan informasi, pengetahuan, keuangan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas
proses kolaborasi.
Komunikasi yang lancar membantu aliran informasi, mendorong keterbukaan, dan
meningkatkan saling percaya.
ketersediaan sumberdaya manusia khususnya keberadaan sekretariat dan tenaga
profesional pendukung meningkatkan kualitas produk kebijakan
Namun ditemui hambatan utama dalam upaya kolaborasi yang berupa upaya yang
relatif lebih banyak, dan lebih lama serta pemangku kepentingan khususnya pemangku
kepentingan pemerintah masih banyak yang kesulitan keluar darikebiasaan lama ataubertahan
pada zona nyaman. Termasuk juga pergantian personil banyak terjadi dalam waktu singkat.
Selain itu, beberapa hal yang dipandang perlu dilakukan untuk melengkapi proses
kolaborasi selama ini diantaranya (i) perluasan cakupan substansi dan pelibatan lebih beragam
31. 21
pemangku kepentingan termasuk kelompok marjinal; (ii) penguatan aspek pemantauan dan
evaluasi
4.2 Rekomendasi
Penerapan tata kelola kolaboratif dalam pelaksanaan TPB belum optimal, sehingga
dipandang perlu untuk melakukan penguatan dalam proses penyusunan kebijakan publik.
Penguatan tersebut terutama berupa penegasan tahapan kolaborasi dan penambahan dimensi
pendukung yang dituangkan dalam bentuk model tata kelola kolaboratif TPB di Indonesia.
Selanjutnya, model tersebut diwujudkan melalui beberapa langkah penguatan tata kelola
kolaboratif pelaksanaan TPB di Indonesia.
4.2.1 Model Tata Kelola Kolaboratif TPB
Upaya meningkatkan efektifitas proses penyusunan kebijakan dalam pelaksanaan
TPB dapat dimodelkan dengan mengadopsi model Ansell dan Gash. Salah satu kelemahan
model ini adalah tidak menunjukkan secara eksplisit tahapan kolaborasi tetapi hanya proses
kolaborasi sehingga menyulitkan dalam menetapkan agenda kegiatan. Selain itu, faktor data,
informasi dan pengetahuan kurang memperoleh perhatian.
Memperhatikan hal tersebut, dilakukan beberapa perubahan terhadap model Ansell
dan Gash dengan mengembangkan tahapan secara eksplisit yang terdiri dari:
a. Pengenalan, dimaksudkan sebagai tahapan persiapan yang terdiri dari beberapa
kegiatan berupa pembentukan Tim Kecil yang bertugas menyiapkan proses
kolaborasi, pemetaan pemangku kepentingan (keragaman, kapasitas, pendanaan,
jejaring), pemetaan kondisi sumber-daya, sosial ekonomi budaya, kerangka
regulasi/kebijakan, dinamika politik/kekuasaan; pemetaan isu strategis awal;
pengembangan kemitraan awal; serta penyiapan agenda.
b. Pemaduan, dimaksudkan sebagai tahap penyamaan pandangan, pemahaman, dan
penyepakatan komitmen. Kunci utama adalah disepakatinya visi, misi, tujuan dan
target. Beberapa kegiatan berupa pembentukan pokja, pengembangan SOP,termasuk
resolusi konflik, serta konsensus; alokasi sumberdaya termasuk pendanaan (dana
bersama); pemetaan isu strategis bersama; penyepakatan visi, misi dan tujuan; dan
advokasi ke para pimpinan
c. Pengembangan,dimaksudkan sebagai kegiatan penentuan peta jalan dan rencana
aksi yang rinci. Pada tahap ini telah disepakati tanggungjawab semua pihak dalam
pelaksanaan kegiatan.
d. Pemantapan, dimaksudkan sebagai tahapan pemantauan, evaluasi dan peningkatan
kualitas kolaborasi selanjutnya.
32. 22
Gambar 4 Model Tata Kelola Kolaboratif TPB
Sementara itu, dilakukan penambahan Dimensi Pengetahuan pada model tata kelola
kolaboratif TPB dengan pertimbangan perlunya insentif yang berlangsung terus menerus dan
berdampak langsung pada proses kolaborasi. Insentif tersebut berupa fasilitasi penyediaan
informasi, pengetahuan, dan pengembangan inovasi sehingga proses kolaborasi pada akhirnya
juga menghasilkan kualitas kebijakan yang semakin baik. Model selengkapnya pada Gambar
3 di atas.
4.2.2 Langkah Penguatan Tata Kelola Kolaboratif Pelaksanaan TPB
Upaya penguatan tata kelola kolaboratif TPBmenyangkut beberapa langkah strategis,
yaitu
a. Pemetaan dan pemilihan pemangku kepentingan
Upaya melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan perlu memperhatikan
kesesuaian dari pemangku kepentingan yang terpilih. Tidak cukup hanya banyak tetapi
juga perlu memastikan menjangkau seluruh kategori pemangku kepentingan terutama
kaum marjinal. Pemilihan pemangku kepentingan dilakukan menggunakan kriteria yang
terbuka, bisa diuji, dan terbukti menjangkau seluruh kategori pemangku kepentingan.
Keberagaman dan kelengkapan ragam pemangku kepentingan yang terlibat akan
menentukan kualitas keluaran kolaborasi. Dengan demikian kolaborasi menjadi bermakna.
33. 23
Pemangku kepentingan sendiri dikategorikan berdasar tingkat pengaruh dan
kepentingan dalam 3 (tiga) kategori yaitu (i) inti; (ii) pendukung dan (iii) pelengkap.
Kategori inti adalah pemangku kepentingan yang
mempunyai pengaruh besar baik karena mempunyai
kewenangan maupun kedekatan dengan kekuasaan. Di
lain pihak, pemangku kepentingan yang mempunyai
kepentingan besar karena kemungkinan terdampak atau
memberi dampak terhadap isu.
Sementara kategori pendukung adalah pemangku
kepentingan yang mempunyai kekuasaan besar tetapi
tidak mempunyai kepentingan maupun mempunyai kepentingan besar tetapi kewenangan
kecil. Kategori pelengkap adalah pemangku kepentingan yang tingkat pengaruh dan
kepentingan rendah tetapi tetap mempunyai kaitan dengan isu strategis.
Pemangku kepentingan kategori inti menjadi bagian dari tim inti forum pemangku
kepentingan. Sementara pemangku kepentingan pendukung akan diundang pada setiap
tahapan berdasar kesesuaian isu yang dibahas, dan pemangku kepentingan pelengkap akan
diundang pada uji publik sebagai bagian dari masyarakat umum.
b. Forum pemangku kepentingan
Salah satu prinsip dari tata kelola kolaboratif adalah tatap muka, yang menyiratkan
perlunya wadah untuk berkumpul. Bentuknya dapat berupa forum pemangku kepentingan
yang merupakan wadahbertukar pikiran, berbagi pengetahuan, serta mengambil keputusan
berdasarkonsensus. Dengan demikian, forum ini perlu diformalkan yang dilengkapi fungsi
kesekretariatan dan tenaga profesional. Namun sejauh mungkin dihindari terbentuknya
hirarki yang mengurangi kualitas kolaborasi.
c. Kemitraan antarpemangku Kepentingan
Salah satu alasan mendasar para pemangku kepentingan berkolaborasi adalah
memadukan sumberdaya agardapat menangani isu bersama secara lebih efektif dan efisien.
Dengan demikian, dibutuhkan suatu upaya bersama dalam bentuk kemitraan para
pemangku kepentingan yang bentuknya dapat beragam, baik pemerintah-pemerintah,
pemerintah-non pemerintah maupun sesama non pemerintah. Kemitraan ini sebaiknya
dimulai bahkan sejak sebelum proses kolaborasi berlangsung, bahkan pemangku
kepentingan non pemerintah dapat menjadi mitra utama dalam pelaksanaan kolaborasi
yang turut mengawal kegiatan sejak awal sampai akhir.
d. Pengembangan strategi komunikasi
Pada tahapawal,isu yang mengemuka biasanya adalah ketidakpahaman para pemangku
kepentingan terhadap program/kegiatan yang baru. Hal ini terutama karena belum
terpaparnya publik terhadap informasi. Setelah kolaborasi berlangsung, dibutuhkan upaya
Gambar 5 Kategori Pemangku Kepentingan
34. 24
komunikasi yang intensif agar proses kolaborasi tetap terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan. Untuk itu, dibutuhkan sebuah strategi komunikasi yang menjadi
acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam berkomunikasi.
Strategi komunikasi ini tidak hanya menjadi acuan bagi komunikasi publik eksternal
tetapi termasuk juga advokasi kepada pengambil keputusan, dan para pemangku
kepentingan pemerintah secara luas.
e. Pengelolaan pengetahuan
Sebuah program/kegiatan global dan masif membutuhkan basis data sebagai dasar
pengambilan keputusan. Tidak hanya itu, data tersebut perlu dikembangkan menjadi
pengetahuan yang dapat meningkatkan kualitas keluaran proses kolaborasi. Disamping itu,
pengelolaan pengetahuan dapat menjaga keberlanjutan proses kolaborasi. Pengetahuan
yang terdistribusi mendorong timbulnya inovasi. Data,informasi, pengetahuan dan inovasi
ditunjang komunikasi dapat merupakan insentif proses kolaborasi.
Selain itu, tentu saja agar pengelolaan pengetahuan dapat berlangsung baik, perlu
ditunjang pengembangan basis data sebagai dasar dalam penetapan kebijakan publik.
Seluruh data,informasi, dan pengetahuan dibuat terbuka,didistribusikan, mudah dijangkau
sehingga terbentuk spiral pengetahuan yang semakin lama semakin besar. Para pemangku
kepentingan meningkat kapasitasnya dan pada saat bersamaan tentunya proses
pengambilan keputusan menjadi lebih berkualitas;
f. Kepemimpinan fasilitatif
Dalam beberapa hasil penelitian termasuk hasil wawancara ditemukan bahwa
kepemimpinan menjadi kunci keberhasilan kolaborasi. Dibutuhkan pemimpin yang
egaliter, mudah berdiskusi, senantiasa hadir dalam pertemuan, mampu menjaga dinamika
kolaborasi. Kamampuan seperti ini disebut kepemimpinan fasilitatif. Tidak mudah
menemukan tetapi setidaknya kriteria ini perlu menjadi pertimbangan. Dibutuhkan
peningkatan keterampilan kepemimpinan seperti memimpin rapat, dan bernegosiasi agar
proses kolaborasi tetap terjaga kualitasnya.
g. Peningkatan kapasitas
Keberhasilan sebuah program/kegiatan selalu ditunjang oleh kapasitas SDM, dana,
pengetahuan yang memadai. Untuk itu, pelatihan, pembelajaran, pengelolaan pengetahuan,
saling berbagi, serta kemitraan menjadi penting.
Perbedaan kapasitas antardaerah juga bisa terjadi yang dapat mempengaruhi proses
kolaborasi. Untuk itu, dengan menggunakan dimensi model tata kelola kolaboratif dapat
diklasifikasikan kondisi kemampuan setiap daerah.
35. 25
Daftar Pustaka
Agranof, R, dan McGuire, M. 2003. Collaborative Public Management: New. Strategies for
Local Government. Washington, D.C: Georgetown. University Press .
Ansell, Chris, dan Gash, Alison. 2007. Collaborative Governance in Theory and Practice,
Journal of Public Administration Research and Theory, 18 (4). Diakses melalui
https://pdfs.semanticscholar.org/43e8/b7aca0f7fa8cd629ecb264e4d1b046964edf.pdf
?_ga=2.211306065.514697534.1584967083-496098665.1584967083 pada tanggal
23 Maret 2020.
Ansell, Chris dan Gash, Alison. 2017. Collaborative Platforms as a Governance Strategy.
Journal of Public Administration Research and Theory. Dapat diakses pada
doi:10.1093/jopart/mux030
Arrozaaq, Dimas Luqito Chusuma. 2017.Studi tentang Kolaborasi Antarstakeholders dalam
Pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo. Surabaya: Ilmu
Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga.
Bahagijo, Sugeng; Santono, Hamong; dan Okitasari, Mahesti. 2019. Panduan Kemitraan
Multipihak untuk Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.
Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Bowo, Dwi S. 2009. Good Forest Governance: Sebuah Keniscayaan dalam Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Lestari.Jurnal Ilmu KehutaanVol. III, No.1 Januari. Yogyakarta:
UGM.
DeLeon, P. and Gallagher, B.K., 2011. A Contemporary Reading of Advice and Consent.
Policy studies journal, 32 (S1).
Dewi, Ratna Trisuma. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Collaborative Governance
dalam Pengembangan Industri Kecil (Studi Kasus Tentang Kerajinan Reyog dan
Pertunjukan Reyog di Kabupaten Ponorogo). Tesis.
Donahue, John D. and Richard J. Zeckhauser. 2011. Collaborative Governance: Private Roles
for Public Goals In Turbulent Times. Princeton: Princeton University Press
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik,.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Emerson, Kirk dan Nabatchi, Tina. 2015. Collaborative Governance Regimes. Georgetown
University Press, Washington DC.
Emerson, K., Nabatchi, T.,dan Balogh, S. 2011. An Integrative Framework for Collaborative
Governance, Journal of Public Administration Research and Theory, 22 (1).
Eppel, Elizabeth. 2013. Collaborative Governance : Framing New Zealand Practice Institute
for Governance and Policy Studies. Working Papers 13/02. April.
Fauziah, Hanna. 2018. Analisis Collaboartive Governance dalam Pengelolaan Bank Sampah
di Kabupaten Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Universitas Katolik Parahyangan.
Febrian, R.A. 2016. Collaborative Governance dalam Pembangunan Kawasan Perdesaan,
Jurnal Pemerintahan, Politik, dan Birokrasi, 2 (1):
Hetifah Sj. 2009. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance.YayasanOborIndonesia, Jakarta.
Hoelman, Mickael B. dan Saenong, Ilham B. 2018. Kertas Posisi Koalisi Masyarakat Sipil
Untuk Agenda 2030. Tata Kelola Dan Akuntabilitas Pelaksanaan TPB di Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(TPB/SDGs), Jakarta.
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). 2019. Prosiding. Seminar
Nasional Masyarakat Sipil Indonesia untuk SDGSs. Konsolidasi Pemangku
Kepentingan dalam Pelaksanaan dan Pencapaian SDGS di Indonesia. Jakarta:INFID.
36. 26
Jahro, Siti. 2019. Collaborative Governance dalam Pengelolaan Sampah Di Kelurahan
Kiduldalem, Kelurahan Jogosari, dan Desa Pleret Kabupaten Pasuruan. Universitas
Negeri Jember. https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/90675/
Siti%20Jahro%20-%20140910 201051_.pdf?sequence=1 diakses pada 6 April 2020
Johansson, K.E.V, Ole Elgstro, Ngolia Kimanzu, Jan-Erik Nylund, Reidar Persson, 2010.
Trends in Development Aid, Negotiation Processes and NGO Policy Change,
Voluntas, 21.
Jung, Yong-duck; Mazmanian, Daniel; Tang, Shui-Yan. 2009. Collaborative Governance in
The United States and Korea: Cases In Negotiated Policy Making and Service
Delivery. Article. School of Policy, Planing and Development,University Of South
California, Bedrosian Center On Governance and Public Enterprise, Los Angeles.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional. 2018. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Koordinasi, Perencanaan,Pemantauan,Evaluasi, dan Pelaporan Pelaksanaan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. 2018. Surat Keputusan Menteri
PPN/ Kepala Bappenas Nomor Kep. 64/ M.PPN/ HK/ 04/ 2018 tentang Pembentukan
Tim Pelaksana,Kelompok Kerja,dan Tim Pakar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Tahun 2017–2019. Jakarta.
Khusna, Isnaeni Nurul. 2017. Dinamika Collaborative Governance Antarstakeholder dalam
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sleman. Dinamika
Knobloch, Jenna. 2016. We can work it out: Implementation and collaborative governance.
Masters of Public Policy Oregon State University Spring
Kurniadi,. 2020. Collaborative Governance dalam Penyediaan Infrastruktur. Jakarta :
Deepublish.
Lai, Emily R. 2011. Collaborations: A Literature Review. Pearson.
Manurung, Surtha Tessalonica Paquin. 2018. Collaborative Governance dalam Mencapai
Program Wajib Belajar di Kecamatan Cidadap. Skripsi. Universitas Katolik
Parahyangan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Administrasi
Publik,
Marshall, EdwardM. 1995. Trasnforming theWay We Work :The Powerofthe Collaborative
Work Place,
Mungkasa, Oswar.2018. Forum Pemangku Kepentingan : Upaya Meningkatkan Keberhasilan
Program. Presentasi. Pembelajaran dari Pokja AMPL dan Jejaring AMPL.
Penyusunan DesainBesarIsu Strategis Jakarta.PenyusunanRencana StrategisJakarta
Berketahanan. Lokakarya Nasional Sinkronisasi Pengembangan Transformasi
Perpustakaan untuk Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat. Literasi untuk
Kesejahteraan. Kerjasama Bappenas, Perpustakaan Nasional dan Perpuseru
(didukung Coca Cola Foundation). Kuta, Bali. Materi dapat dijangkau melalui
https://www.academia.edu/36408753/PAPARAN._Forum_Pemangku_Kepentingan
_Upaya_Meningkatkan_keberhasilan_program
Mungkasa, Oswar. 2020. Tata Kelola Kolaboratif. Mengelola Kolaborasi Beragam Pemangku
Kepentingan. Makalah lepas. Makalah dapat dijangkau melalui
https://www.academia.edu/43431805/MAKALAH._Tata_Kelola_Kolaboratif_Colla
borative_Governance_._Menata_Kolaborasi_Pemangku_Kepentingan
Mungkasa, Oswar. 2020. Memudahkan Upaya Kolaborasi Beragam Pemangku Kepentingan.
Disadur dari Chapter 6 Stewarding Sustainability Transformations in Multi-
stakeholder Collaboration dalam Kuenkel, Petra. 2019. Stewarding Sustainability
Transformations. An Emerging Theory and Practice of SDG Implementation.
Springer, Scham, Swiss. Makalah dapat dijangkau melalui
37. 27
https://www.academia.edu/43159114/RINGKASAN_Memudahkan_Upaya_Kolabor
asi_Beragam_Pemangku_Kepentingan
Mutiarin, Dyah dan Zaenudin, Arif. 2014. Manajemen birokrasi dan kebijakan: penelusuran
konsep dan teori. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
O'Flynn, J. dan Wanna J. 2008. Collaborative Governance: A New Era Of Public Policy In
Australia. E Press, Australia
Pattberg, P., dan Widerberg, O. 2016. Transnational multistakeholder partnerships for
sustainable development: Conditions for success. Ambio, 45(1).
CIFOR/PILI. 2005. Ensiklopedi Ekologi Indonesia. Pusat Informasi Lingkungan Indonesia
(PILI). Diakses pada tanggal 20 Mei 2020 melalui https://ecopedia.wordpress.com/
2006/01/12/pengelolaan-kolaboratif-collaborative-management/
Ratner. 2012. Collaborative Governance Assessment. Malaysia:CGIAR.
Republik Indonesia. 2017. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017
tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 136).
Sedarmayanti. 2003. Good Govenance (Kepemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi
Daerah. Bandung: Penerbit Mandar Maju..
Syamsurizaldi, dan Putri, Annisa Aulia. 2019. Model Collaborative Governance pada Nagari
Rancak di Provinsi Sumatera Barat. Universitas Andalas, Padang.
Tang, Shui-Yan dan Mazmanian, Daniel A. 2008. An agenda for the study of collaborative
governance. USC Judith and John Bedrosian Center on Governance and the Public
Enterprise, School of Policy, Planning and Development, University of Southern
California. https://www.researchgate.net/ publication/229005955
Wanna,John, 2008, CollaborativeGovernment:meanings,dimensions,driversand outcomes,
dalam O‟Flynn, Jannie dan Wanna, John. Collaborative governance: a new era of
public policy in Australia?, Canberra: Australian National University E Press
Zulkifli, Arif. 2017. Partisipasi Masyarakat atau Society Participation. Diakses melalui
http://bangazul.com/partisipasi-masyarakat-atau-society-participation/ pada tanggal
21 Maret 2020
38. 28
LAMPIRAN A
Tata Kelola Kolaboratif : Konsep, dan Praktek Unggulan
A.1 Tata Kelola Kolaboratif: Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Beberapa acuan penting, yaitu
I. Sejarah Tata Kelola Kolaboratif
II. Tata Kelola
III. Kolaborasi
IV. Tata Kelola Kolaboratif
Pemahaman dan Konsep
Pemangku Kepentingan
Tahapan
Kriteria dan Ukuran Keberhasilan
Hambatan Kolaborasi
V. Beragam Model Tata Kelola Kolaboratif
Model Ansell dan Gash
Model Collaborative Governance Regime
Model Transformasi Kolaboratif
Model Kolaborasi Lintas Sektor
Pendekatan Sejenis
VI. Rangkuman Pembelajaran Mancanegara dan Indonesia
Rangkuman Hasil Penelitian Tata Kelola Kolaboratif di Indonesia
Pembelajaran Mancanegara (Cina dan Tunisia)
Praktik Unggulan Indonesia:
Forum Pemangku Kepentingan (Pokja AMPL/PKP/PPAS,Jejaring AMPL)
Desain Besar Isu Strategis Jakarta
Strategi Ketahanan Kota Jakarta
VII. Rangkuman
Laporan dapat di akses pada
https://www.academia.edu/43431805/MAKALAH._Tata_Kelola_Kolaboratif_Collaborative
_Governance_._Menata_Kolaborasi_Pemangku_Kepentingan
A.2 Panduan Kepemimpinan Bersama
Makalah dapat diakses pada
https://www.academia.edu/43200390/RINGKASAN._Pedoman_Kepemimpinan_Bersama_
The_Collective_Leadership_Compass_CLC_Sebuah_Model_Praktik_Pengendalian_Perubah
an
A.3 Memudahkan Upaya Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Makalah dapat diakses pada
https://www.academia.edu/43159114/RINGKASAN._Memudahkan_Upaya_Kolaborasi_Ber
agam_Pemangku_Kepentingan
A.4 Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Berbasis Masyarakat
Kebijakan ini merupakan hasil kolaborasi pemangku kepentingan pemerintah yang
terdiri dari Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum,
39. 29
Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian keuangan, dan
pemangku kepentingan non pemerintah.
Sejak diluncurkan, seluruh program air minum dan penyehatan lingkungan non
perpipaan dikembangkan berdasarkan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat.
Dibutuhkan waktu setidaknya 5 (lima) tahun melalui puluhan lokakarya, sesikerja, uji
coba sebelum dapat disepakati oleh seluruh pemangku kepentingan. Telah terbentuk lebih dari
300 kelompok kerja AMPL/PPAS di seluruh Indonesia.
Dokumen dapat diakses pada
https://www.academia.edu/3606706/Kebijakan_Pembangunan_Air_Minum_dan_Pen
yehatan_Lingkungan_AMPL_Berbasis_Masyarakat
A.5 Dokumen Disain Besar
Sampai saat ini telah berhasil disepakati dan diluncurkan sebanyak 5 (lima) Desain
Besar isu strategis, yaitu
i. Desain Besar Bangunan Gedung Hijau Jakarta
Dapat diakses melalui http://jakberketahanan.org/wp-content/uploads/2018/01/5.-
Desain-Besar-Bangunan-Gedung-Hijau.pdf
ii. Desain Besar Sistem Pengelolaan Sampah Jakarta
Dapat diakses melalui http://jakberketahanan.org/wp-content/uploads/2018/01/4.-Desain-
Besar-Sistem-Pengelolaan-Sampah.pdf
iii. Desain Besar Penyediaan Layanan Air Minum dan Air Limbah Domestik Jakarta
2018-2022
Dapat diakses melalui http://jakberketahanan.org/wp-content/uploads/2018/01/3.-Desain-
Besar-Air-Minum-dan-Limbah-Domestik.pdf
iv. Desain Besar Jakarta Menuju Kota Layak Anak 2018-2022
Dapat diakses melalui http://jakberketahanan.org/wp-content/uploads/2018/01/Desain-
Besar-Jakarta-Menuju-Kota-Layak-Anak-2018-2022.pdf
v. Desain Besar Pertanian Perkotaan Jakarta 2018-2030
Dapat diakses melalui http://jakberketahanan.org/wp-content/uploads/2018/01/Desain-Besar-
Pertanian-Perkotaan.pdf
A.6 Dokumen Strategi Ketahanan Kota Jakarta
Dapat diakses melalui http://jakberketahanan.org/2019/08/29/strategi-ketahanan-kota-jakarta/
40. 30
LAMPIRAN B.1
Rekapitulasi Hasil Penelitian Tata Kelola Kolaboratif
Tabel B.1 Rekapitulasi Hasil Penelitian Tata Kelola Kolaboratif
No Judul dan Hasil Penelitian
1 Model Collaborative Governance pada Nagari Rancak di Provinsi Sumatera Barat.
Syamsurizaldi; Annisa Aulia Putri, Suherdian Antoni (2019)
Jurnal Wacana Publik Vol 1 No 2
Nagari rancak memiliki variasi aktor yang berkolaborasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan nigari
Aktor governance yang berkolaborasi dengan pemerintah nagari mulai dari tingkat nagari,
kecamatan, kabupaten,provinsi dan nasional
keterbukaan diri dan inisiatif dari Wali Nagari dan Perangkat Nagari menjadi pendorong
terwujudnya kolaborasi
Kolaborasi aktor governance terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan pemerintahan
nagari yaitu perencanaan,penganggaran,pelaksanaan,pengawasan dan pertanggung
jawaban. Interaksi paling intensif pada tahapan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
Kontribusi hasil penelitian ini yaitu menemukan bahwa aspek rasa banagari,
kepemimpinan visioner dan terbuka menjadi kata kunci dalam berkolaborasi
2 Collaborative Governance dalam Pembangunan Kawasan Perdesaan (Tinjauan Konsep dan
Regulasi).
Ranggi Ade Febrian (2016)
WEDANA
kurang berjalannya konteks sistemterlihat dari kondisi perubahan peraturan perundang-
undangan,
penggerak berupa elemen kepemimpinan yang sangat mempengaruhi perencanaan
pembangunan di desa,
dinamika kolaborasi yang terjadi masih diwarnai oleh ego sektoral.
3 Collaborative Governance dalam Penanganan Rob di Kelurahan Bandengan Kota
Pekalongan.
Tika Mutiarawati dan Sudarmo (2017)
Jurnal Wacana Publik Vol 1 No 2
Kolaborasi kurang sukses terlihat dari tidak terwujudnya consensus
Kolaborasi semi formal namun berlangsung intensif dan bersifat self governance dan self
determination.
Ditemukan pula adanya hambatan dalam kolaborasi, yaitu:
(i) Munculnya cara pandang yang berbeda antarpemangku kepentingan yang
selanjutnya menimbulkan ego sektor dan kurang percaya (curiga) atas kinerja/
usaha dari masing-masing pemangku kepentingan;
(ii) Pembagian akuntabilitas/responsibilitas yang tidak merata.
(iii) Sumber daya keuangan masih lemah.
(iv) Sumber daya manusia dan sumber daya teknis yang terbatas.
4 Collaborative Governance Komisi Penanggulangan AIDS dan Lembaga Swadaya
Masyarakat Lokal Dalam Kasus HIVdan AIDS di Kota Surakarta.
Asri Swatini (2010)
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS)
proses kolaborasi diantara KPA Surakarta tidak bekerja secara efektif tetapi tergantung
41. 31
No Judul dan Hasil Penelitian
pada LSM lokal peduli AIDS dalam pencarian data dan penjangkauan kelompok sasaran
Faktor penghambat berupa : (i) adanya kecenderungan budaya ketergantungan pada
prosedurdan tidak berani mengambil terobosan dan risiko; (ii) sistem penganggaran
pemerintah yang kaku; (iii) ketersediaan sumberdaya manusia
5 Dinamika Collaborative Governance Antarstakeholderdalam Upaya Penanggulangan HIV
dan AIDS di Kabupaten Sleman.
Isnaeni Nurul Khusna (2017)
dinamika kolaborasi antara tiga pemangku kepentingan berjalan baik dengan melihat
aspek keterlibatan, motivasi bersama dan kapasitas aksi bersama
terjadi komunikasi intensif, saling percaya, saling memahami, legitimasi internal dan
komitmen bersama
Faktor penghambat dalam dinamika kolaborasi adalah kultur dan keterbatasan
sumberdaya.
6 Kota Layak Anak Berbasis Collaborative Governance
Noverman Duadji, Novita Tresiana (2018)
SAWWA : Jurnal Studi Gender – Vol. 13, No. 1.
kebijakan tersusun secara parsial, segmentatif, dan sektoral, tidak ada kerjasama dengan
kelembagaan lainnya, kurang mengikutsertakan atau melibatkan potensiyang dimiliki
masyarakat.
dibutuhkan prasyarat adanya jejaring kerja (networking)dari kelembagaan masyarakat
dan organisasikemasyarakatan.
merumuskan kebijakan pembangunan kota/ kabupaten layak anak dilakukan melalui
proses dialog tatap muka
7 Studi tentang Kolaborasi Antarstakeholders dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan di
Kabupaten Sidoarjo
Dimas Luqito Chusuma Arrozaaq. (2017)
Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga.
sikap dan presepsipara pemangku kepentingan yang tidak sama.
Bertindak egosektoral masih mewarnai persepsipara pemangku kepentingan sehingga
masing-masing SKPD/lembaga yang berkepepentingan masih terfragmentasi oleh
program kerjanya di masing- masing instansi.
Kolaborasi kurang berkelanjutan
Swasta kurang dilibatkan
Pemerintah kurang memasilitasi terkait pemasaran
8 Collaborative Governance dalam Program Rintisan Desa Inklusif di Desa Sendangadi
Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman
Syamsul Arifin dan Utami Dewi (2018)
Jurnal Fakultas Ilmu Sosial UNY.
42. 32
No Judul dan Hasil Penelitian
belum adanya kepemimpinan fasilitatif sehingga hanya beberapa aktor yang berperan.
belum adanya perjanjian kerjasama yang mengatur tugas masing-masing aktor yang
berdampak pada kurangnya komitmen dari masing-masing aktor dalam program.
indikator keberhasilan program adalah (i) memiliki data dan informasi tentang aset desa
termasuk data difabel; (ii) Ada wadah bagi warga difabel; (iii) Ada jaminan keterlibatan
dalam proses pengambilan kebijakan; (iv) Adanya perencanaan anggaran yang
mengarusutamakan inklusi difabel (proses,alokasi anggaran, realisasi, dan evaluasinya);
(v) Regulasi yang mendukung (PERDES); (vi) Kesetaraan akses pada layanan umum
desa; (vii) Keberadaan sarana fisik yang lebih aksesibel; (viii) Adanya bentuk
tanggungjawab sosial dari masyarakat; dan (ix) Adanya ruang untuk berinovasi dan
berjejaring.
9 Analisis Collaboartive Governance dalam Pengelolaan Bank Sampah di Kabupaten
Bandung.
Hanna Fauziah (2018)
Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Administrasi Publik,
Universitas Katolik Parahyangan.
penerapan tata kelola kolaboratif masih kurang berhasil karena kolaborasi tidak optimal,
yang terutama disebabkan oleh (i) komunikasi kurang, (ii) komitmen pemangku
kepentingan kurang; (iii) konsensus tidakterwujud karena sulit menyatukan kepentingan
yang berbeda; (iv) belum timbul rasa saling percaya; (v) masyarakat kurang aktif.; (vi)
forum kurang berfungsi
modal awal sudah tersedia berupa (i) perda yang mengatur peran pemangku kepentingan;
(ii) Bank Sampah menjadi kegiatan bersama.
10 Collaborative Governance dalam Mencapai Program Wajib Belajar di Kecamatan Cidadap
Surtha Tessalonica Paquin Manurung (2018)
Universitas Katolik Parahyangan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu
Administrasi Publik
kolaborasi terwujud yang menghasilkan beberapa kegiatan yaitu (i) pendidikan kesetaraan
hasil kerjasama forum peduli anak dan sekolah swasta; (ii) pendidikan bagi anak putus
sekolah hasil kerjasama pemda dengan forum peduli anak
terwujudnya kolaborasi didukung oleh (i) Forum Peduli Anak berperan aktif dalam
kolaborasi, (ii) sumberdaya manusia memadai; (iii) saling percaya
11 Collaborative Governance Dalam Pengelolaan Sampah di Kelurahan Kiduldalem,
Kelurahan Jogosari, dan Desa Pleret Kabupaten Pasuruan
Siti Jahro, ((2019)
Universitas Negeri Jember
Tata kelola kolaboratif dalam pengelolaan bank sampah telah terlaksana mulai dari
tahapan penilaian, inisiasi, deliberasi hingga implementasi.
Kolaborasi dalam pengelolaan bank sampah di Kabupaten Pasuruan masih bersifat
semiformal yakni hanya berdasarkan pada komitmen para pemangku kepentingan yang
terlibat.
Para pemangku kepentingan memiliki peran masing-masing
Forum Komunikasi Peduli Lingkungan, Tim Penggerak PKK, pemuda dan tokoh
masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang aktif..
43. 33
No Judul dan Hasil Penelitian
12 Collaborative Governance dalam Pengelolaan Bumdes di Desa Toapaya Selatan Kecamatan
Toapaya Kabupaten Bintan Tahun 2018
Suryati, Afrizal, Nazaki (2019)
Program Studi Ilmu Pemerintahan, fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Maritim Raja AliHaji
Pemdes, LSM dan masyarakat menandatanganiMOU.
Catatan
Kemitraan kelompok tani, BUMDEs dengan LSM dimaknai sebagai bagian tata kelola
kolaboratif.
Pada skripsi sebagian besar seperti ini pemahamannya
13 Collaborative Governance dalam Pembangunan Sektor Pertanian di Kabupaten Bandung
Rofi' Ramadhona Iyoega. (2020)
PERSPEKTIF 9 (1)
http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif diakses pada tanggal 6 April 2020
Penerapan tata kelola kolaboratif belum optimal, terbukti dari (i) Peran pemerintah daerah
sangat dominan; (ii) Perguruan tinggi berkontribusi minim;
Catatan:
Sebagaimana komentar terdahulu, tata kelola kolaboratif dimaknai minimal hanya sebatas
kerjasama, atau kemitraan.
14 Collaborative Governance (Studi Deskriptif Proses Pemerintahan Kolaboratif Dalam
Pengendalian Pencemaran Udara di Kota Surabaya)
Denny Irawan. 2017
Kebijakan dan Manajemen Publik Volume 5, Nomor 3, September-Desember
Penerapan tata kelola kolaboratif belum efektif yang ditandai (i) kurangnya keterlibatan
pemangku kepentingan; (ii) sumberdaya keuangan kurang; (iii) komitmen pemerintah
masih rendah
15 Collaborative Governance Penanganan HIV AIDS di Provinsi DKI Jakarta
Agung Rheza Fauzi, Amy Yayuk Sri Rahayu, (2019)
SAWALA Volume 7 Nomor 1
secara umum sudah berjalan dengan baik namun perlu ditingkatkan (i) komitmen
pemangku kepentingan belum terlihat jelas; (ii) intensitas pertemuan antarpemangku
kepentingan rendah; (iii) kepemimpinan Komisi Penanggulangan AIDS belum terlihat;
(iii) kesepakatan bersama masih terbatas;
16 Collaborative Governance di DKI Jakarta : Partisipasi Masyarakat Dalam Membuat
Kebijakan Pajak
Bella Sepri Nika Sari (tanpa tahun)
Magister Administrasi dan Kebijakan Pajak UI
tata kelola kolaboratif dalam bentuk pertemuan BPRD dan wajib pajak berjalan baik.
Catatan:
Tata kelola kolaboratif dimaknai sekedar pertemuan pemerintah dan masyarakat. Itu pun
dalam rangka mendengar tanggapan masyarakat terhadap regulasi pajak.
17 Kebijakan Sanksi Administrasi BPHTB Untuk Pemberian Hak Baru Atas Tanah di Provinsi
DKI Jakarta Dalam Perspektif Collaborative Governance
Dominicus Donny P., Inayati. (2018)
Jurnal Manajemen Pelayanan Publik Volume 02 Nomor 1
44. 34
No Judul dan Hasil Penelitian
Tata kelola kolaboratif dalam bentukkerjasama BPRD, Kanwil BPN dan PPAT. Tidak
termasuk unsurmasyarakat.
Tata kelola kolaboratif dipandang belum terstruktur dan tanpa jadwal kerja yang jelas,
terlihat dari (i) tidak jelas koordinator proses ini; (ii) forum diskusi tidak melibatkan
PPAT
Catatan:
Tata kelola kolaboratif dimaknai sebatas pertemuan koordinasi diantara institusi
pemerintah tanpa keterlibatan masyarakat.
18 Collaborative Governance dalam Penguatan Kelembagaan Program Sanitasi Lingkungan
Berbasis Masyarakat (SLBM) di Kabupaten Banyumas
Denok Kurniasih, Paulus Israwan Setyoko, dan Moh. Imron (2017)
Sosiohumaniora, Volume 19 No. 1 Maret
Tata kelola kolaboratif tidak terlihat disebabkan (i) pendekatan masih top-down; (ii)
masyarakat belum berpartisipasi aktif.
19 Faktor-Faktor Yang Menghambat Collaborative Governance dalam Implementasi
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas di Kota Pekanbaru
Meiga Ervianti (2018)
JOM FISIP Volume 5 Edisi Juli-Desember
Tata kelola kolaboratif tidak jelas bentuknya
Hanya dikatakan bahwa penerapan tata kelola kolaboratif terhambat oleh (i) partisipasi
masyarakat kurang; (ii) kurangnya koordinasi antara pemerintah dan non pemerintah, (iii)
sosialisasitidak dilakukan secara merata; (iv) kurangnya sumberdaya manusia yang
berkompeten
Catatan:
Tata kelola kolaboratif dilihat sebagai bentukkoordinasi antarpemerintah, antara
pemerintah dan non pemerintah tanpa keterlibatan masyarakat.
20 Collaborative Governance dalam Upaya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di
Kota Semarang
Fawwaz Aldi Tilano, Sri Suwitri (2018)
Departemen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Univeristas
Diponegoro
Tata kelola kolaboratif telah berjalan baik namun masih lemah dalam kepemimpinan
fasilitatif belum berjalan baik dan akses ke sumberdaya belum memadai.
Forum LLAJ yang telah terbentuk belum dimanfaatkan
21 Collaborative Governance dalam Pengembangan KonservasiMangrove Baros di Desa
Tirtohargo Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul
Devi Arianti dan Lena Satlita (2018)
Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Ilmu Administrasi Negara UNY
tata kelola kolaboratif belum optimal dilaksanakan, yang ditandai dengan (i) belum ada
forum komunikasi, (ii) masih terdapat ego sektoral, (iii) keterbatasan sumberdaya, dan (v)
keterlibatan swasta yang kurang maksimal.
22 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Collaborative Governance dalam Pengembangan
Industri Kecil (Studi Kasus Tentang Kerajinan Reyog dan Pertunjukan Reyog di Kabupaten
Ponorogo)
Ratna Trisuma Dewi (2012)
Tesis.
tata kelola kolaboratif belum terwujud disebabkan (i) kurang komitmen; (ii) kurang
45. 35
No Judul dan Hasil Penelitian
kepercayaan; (iii) keterbatasan informasi; (iv) kurang koordinasi; (v) pemerintah
cenderung mendominasi pengambilan keputusan; (vi) belum terbentukforum.
Faktor pendukung (i) sumberdaya manusia; (ii) sumberdaya keuangan; (iii) otoritas
23 Collaborative Governnce dalam Program Pengembangan Nilai Budaya Daerah melalui
Banyuwangi Ethno Carnival
Bagus Nuari Harmawan (2016)
Skripsi, Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Soisal dan Ilmu Politik Universitas Jember
tata kelola kolaboratif berbentuk kerjasama pengelolaan kegiatan budaya antara
pemerintah dan penyelenggara.
Bentuk kerjasama ini dipandang kurang berhasil karena (i) faktor budaya; (ii) institusi.
Catatan
Tata kelola kolaboratif dipahami sebagaikerjsama pemerintah dan penyelenggara swasta.
24 Sumarto (2008) dalam Mardiyanta (2011) pengalaman partisipasi yang telah berlangsung di
berbagai daerah (Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kebumen, Kota
Solo dan Kota Parepare)
kelemahan yang mempengaruhi kualitas dan efektivitas partisipasi antara lain
belum meratanya kemauan politik maupun pemahaman di jajaran pemerintahan tentang
pentingnya dan manfaat partisipasi masyarakat
Tidak jarang partisipasi diselenggarakan semata sebagaiformalitas proyek
regulasi tentang proses partisipasitidak cukup mengikat dan tidak memberikan insentif
yang cukup berarti
forum pemangku kepentingan yang berpotensimenjadi media penyalur suara warga
seringkali tidak mampu mengembangkan dan mempertahankan diri menjadi lembaga
yang demokratis dan kuat;
pengetahuan dan keterampilan menyelenggarakan forum partisipatif masih lemah.
Sumber: hasil olahan dari berbagai sumber
LAMPIRAN B.2
48. 38
Tata Kelola Kolaboratif
Pembelajaran Praktik Unggulan
Kelompok Kerja – Jejaring - Desain Besar – Strategi Ketahanan
dan Pelaksanaan TPB di Indonesia
Latar Belakang
Sejak akhir dekade 80-an, istilah governance mulai digunakan menggantikan
government untuk menunjukkan perlunya gelombang reformasi dalam bidang pemerintahan.
Perubahan ini sebenarnya bertujuan untuk mendemokrasikan administrasi publik yang
ditandai dengan pergeseran paradigma Old Public Administration (OPA) berikut istilah
government yang bermakna institusi pemerintah ke paradigma baru yaitu NPM atau New
Public Management dengan penggunaan istilah governance yang dimaknai adanya
keterlibatan kelompok kepentingan dan masyarakat.
Perubahan istilah government menjadi governance mengandung maksud perubahan
peran pemerintah tidak lagi memonopoli dalam pengelolaan tata pemerintahan tetapi bersama
pemangku kepentingan non-pemerintah. Institusi dari governance meliputi tiga ranah yaitu
negara atau pemerintah, swasta atau dunia usaha dan masyarakat yang saling berinteraksi dan
menjalankan fungsinya masing-masing.
Menurut Ansell dan Gash (2007), tata kelola kolaboratif adalah cara pengelolaan
pemerintahan yang melibatkan secara langsung pemangku kepentingan di luar pemerintah,
berorientasi pada konsensus, dan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan bersama,
yang memiliki tujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan dan program publik.
Penekanannya adalah pada pencapaian konsensus di antara para pemangku kepentingan
Pendekatan ini juga telah menjadi arus utama di Indonesia, namun pelaksanaannya
yang masih terkesan belum sepenuhnya mengikuti konsep sebenarnya. Tata kelola kolaboratif
dimaknai hanya dalam bentuknya yang paling minimal seperti koordinasi, kemitraan maupun
sinergi. Sementara kolaborasi sebagai wujud nyata tata kelola kolaboratif masih dijalankan
secara normatif.
Kondisi ini yang kemudian menjadi salah satu sorotan dalam makalah bertema “Tata
Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaan TPB di
Indonesia”. Makalah yang menjadi tugas Pelatihan Jabatan Fungsional Perencana Utama
Tahun 2020 kerjasama Bappenas dan LPEM-FEB UI. Makalah ini mencoba menguji
penerapantata kelola kolaboratif di Indonesia khususnya dalam penyusunan kebijakan publik.
Sebagai studi kasus adalah pelaksanaan TPB yang salah satu prinsip utamanya adalah
keterlibatan semua pihak dalam pelaksanaanTPB.
Pengujian kualitas tata kelola kolaboratif menggunakan Model Tata Kelola Kolaboratif
Ansell dan Gash yang menggunakan 5 (lima) dimensi untuk mengukur kesuksesanTata Kelola
Kolaboratif, yaitu
c. Pertama,ProsesKolaboratif sebagaiinti Tata Kelola Kolaboratif, mencakup (i) dialog
tatap muka; (ii) membangun kepercayaan; (iii) komitmen terhadap proses; (iv) saling
memahami.
d. Kedua, terdapat 3 (tiga) dimensi lainnya yang memengaruhi yaitu
(i) kondisi awal, mencakup kesenjangan sumberdaya, ketersediaan insentif, dan
beban masa lalu
(ii) desain kelembagaan, mencakup keterbukaan, ketersediaan prosedur, dan
kewenangan
49. 39
(iii) kepemimpinan fasilitatif, mencakup pemimpin fasilitatif, dan pemimpin organik
e. Ketiga, Keluaran dan Dampak sebagai hasil dari proses kolaboratif.
Gambar 1 Model Tata Kelola Kolaboratif Ansell dan Gash
Sumber : Ansell dan Gash, 2017.
Sehubungan dengan itu, keberadaan Kelompok Kerja (Pokja) Air Minum dan
Penyehatan Lingkugan (AMPL)/Pokja Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP)/Pokja
Perumahan,Permukiman, Air Minum dan Sanitasi (PPAS),Jejaring AMPL,dokumen Desain
Besar Isu Strategis Jakarta dan dokumen Strategi Ketahanan Kota Jakarta dipandang sebagai
beberapa contoh praktik unggulan tata kelola kolaboratif di Indonesia. Pembelajarannya
dipandang dapat menjadi masukan penting bagi penyempurnaan tata kelola kolaboratif di
Indonesia khususnya dalam pelaksanaanTPB.
Sementara pada saat yang sama, juga dilakukan pengujian terhadap pelaksanaan TPB
di Indonesia menggunakan model yang sama untuk mengetahui kondisi saat ini sebagai dasar
mengukur kesenjangan tehadap kondisi tata kelola kolaboratif yang ideal.
Tujuan Wawancara
Sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang, maka wawancara ini dimaksudkan
untuk memperoleh pembelajaran dan konfirmasi praktik unggulan dari keberadaan Pokja
AMPL/Pokja PKP/Pokja PPAS, Jejaring AMPL, Desain Besar Isu Strategis Jakarta, dan
Strategi Ketahanan Kota Jakarta, serta kondisi penerapan tata kelola kolaboratif dalam
pelaksanaan TPB di Indonesia saat ini dengan menggunakan model Ansell dan Gash.
Bentuk Wawancara
Wawancara dilaksanakan pada tanggal 1-15 Juli 2020 dalam dua bentuk yaitu (i)
tertulis dan (ii) jika dipandang perlu, dilakukan wawancara langsung melalui saluran
telekomunikasi untuk melakukan konfirmasi dan pendalaman terhadap wawancara tertulis.
Namun berdasar hasil wawancara tertulis, wawancara langsung dipandang belum perlu