SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  54
SATU 
Pendahuluan 
A. Pokok-pokok Pikiran dan Latar Belakang Masalah 
Peradilan I slam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan 
“Peradilan Agama” telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak 
zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah Peradilan, 
Peradilan Agama sudah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang 
dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul Seabad Peradilan 
Agama di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 didteteapkan sebagai hari 
Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl. 1882- 
152, tentang Peradilan Agama di pulau Jawa-Madura. 
Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya 
ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya 
UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 
1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri 
tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara, Melainkan terserak-serak dalam 
berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, 
lagi tidak pula seragam. 
Setelah lama Indonesia merdeka, bangsa Indonesia berangsur sadar 
untuk membuang jauh politik colonial itu. Hal itu diperlihatkan oleh tonggak-tonggak 
sejarah sendiri, yaitu sebagai berikut : 
1. Pada tahun 1951, dengan UU Darurat No. 1 tahun 1951, LN 1951-9, yang 
kemudian dikuatkan menjadi UU dengan UU No. 1 tahun 1961, LN 1961-3, 
Peradilan Agama diakui eksistensi dan perannya; 
2. Pada tahun 1957, dengan PP No. 45 tahun 1957, LN 1957-99, yang 
merupakan pelaksanaan dari UU No. 1 tahun 1951, didirikan/dibentuk 
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jaw a-Madura; 
3. Pada tahun 1964, dengan UU No. 19 tahun 1964, LN 1964-107, yang 
kemudian digantikan dengan UU No. 14 tahun 1970, LN 1970-74, Peradilan 
Agama diakui sebagai salah satu dari empat lingkungan Peradilan 
Negara yang sah. 
4. Pada tahun 1974 terbit UU No. 1 tahun 1974, LN 1974-1, yang dilaksanakan 
dengan PP No. 9 tahun 1975, LN 1975-12, di mana segala jenis perkara di 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 1
bidang perkawinan bagi mereka yang beragama islam dopercayakan 
kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikannya. 
5. Pada tahun 1977 terbit PP No. 28 tahun 1977, LN 1977-38 yang 
memberikan kekuasaan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan 
perkara di bidang Perwakafan Tanah Milik. 
Peradilan Agama kini telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 
Tahun 1989. Peradilan Agama akan lebih mantap dalam menjalankan 
fungsinya, para pencari keadilan pun demikian, akan lebih mudah dan 
konkret berurusan. Para ilmuan, cerdik cendikia, mahasiswa dan pelajar 
mulai mengambil perhatian. Dalam kondisi inilah penulis ingin 
menyumbangkan sebuah buku yang berjudul Hukum Acara Peradilan 
Agama hingga proses mengenal dan berkembangnya Peradilan Agama 
akan lebih melaju. 
B. Metode Penelitian dan Analisis 
1. Metode Penelitian 
Penelitian dan pengumpulan data yang penulis lakukan dalam menyusun 
buku ini adalah : 
a. Library research (kepustakaan), yaitu dengan cara melalui buku-buku, 
umum maupun agama, berbagai peraturan perundang-undangan, 
surat-surat edaran dan petunjuk dari Mahkamah Agung maupun 
Departemen Agama, yurisprudensi peradilan, prasaran, makalah dan 
tulisan-tulisan lainnya yang relevan. 
b. Experienced research atau empiris (pengalaman) yang mencakup 
observasi, field dan lain-lain. Pengalaman itu penulis dapatkan karena 
penulis sejak tahun 1963-1987 terus-menerus mengabdi pada instansi 
Peradilan Agama. Sejak tahun1972-1985 penulis sebagai Ketua 
Pengadilan Tinggi Agama Sumatra-Selatan, Lampung dan Bengkulu di 
Palembang. Sejak tahun 1985-1987 sebagai Ketua Pengadilan Tinggi 
Agama Sumatra Barat, Riau dan Jambi di Padang. Sejak tahun hingga 
saat ini mengajar dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama 
pada Fakultas Syariah Institut Agama I slam Negeri. 
Melalui mengajar, penulis membimbing praktik Peradilan Agama bagi 
mahasiswa ke Pengadilan-pengadilan Agama, membimbing dan 
menguji tesis yang berkaitan dengan Peradilan Agama. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 2
2. Metode Analisis 
Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan, dipergunakan 
beberapa metode, yaitu sebagai berikut: 
a. Deskriptif, pada umumnya dipergunakan dalam menguraikan sejarah, 
mengutip atau menjelaskan bunyi peraturan perundang-undangan dan 
dalam uraian umum; 
b. Komperatif, pada umumnya dipergunakan dalam membanding antara 
Peradilan Agma, Peradilan I slam dan Peradilan Umum, terutama 
terhadap materi yang mungkin dapat menimbulkan kerancuan; 
c. Deduktif dan induktif. Deduktif, tolak ukurnya adalah peraturan 
perundang-undangan, syariat I slam dan filsafat hukum, sedangkan 
Induktif adalah dalam menyusun logika untuk mengambil kesimpulan 
umum; 
d. Problem solv ing atau pemecahan masalah. Bila diketemukan suatu 
masalah, penulis identifikasikan, analisis, kemudian penulis sajikan 
alternative pemecahannya; 
e. Historis kritis, yaitu dalam menguraikan sering pula penulis ketengahkan 
sejarahnya, dikaji sebab-sebabnya, saling keterkaitannya. 
C. Peradilan Agama dan Peradilan Islam 
Pengertian Peradilan Agama dan Peradilan I slam 
1. Peradilan Agama 
Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu di 
antara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman 
yang sah di Indonesia. UU No. 14 tahun 1970, LN 1970-74 tentang Ketentuan-ketentuan 
Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat (1). Kata-kata 
“Peradilan Negara” dan “kekuasaan Kehakiman” adalah semakna. Tiga 
lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan 
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. 
Peradilan Agama adalah salah satu di antara tiga Peradilan Khusus di 
Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan 
Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan 
Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 3
tertentu. Dalam pasal 10 ayat (1) menjelaskan dalam hal ini, Peradilan 
agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan 
pula tidak hanya untuk orang-orang I slam di Indonesia, dalam perkara-perkara 
perdata I slam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata I slam. 
2. Peradilan I slam 
Kata “Peradilan I slam” yang tanpa dirangkaikan dengan kata-kata “di 
I ndonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan I slam menurut konsepsi I slam 
secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut 
ajaran islam secara universal. Oleh karena itu, di mana-mana asas 
peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum I slam itu 
tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya 
untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja. 
D. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum dan Peradilan 
Agama 
Sebagaimana sudah disebutkan bahwa Peradilan Agama adalah 
peradilan perdata sedangkan Peradilan Umum adalah juga peradilan 
perdata di samping peradilan pidana. Dilihat dari segi asas-asas Hukum 
Acara, tentulah ada prinsip-prinsip kesamaannya secara umum di samping 
secara khusus tentu ada pula perbedaan antara Hukum Acara Perdata 
Peradilan umum dan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. 
1. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum 
Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. merumuskan Hukum Acara Perdata 
ialah: 
Rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang 
harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana 
pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan 
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. 
Prof. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosoedibio merumuskan Hukum Acara Perdata 
ialah: 
Keseluruhan daripada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur 
dengan cara bagaimana tertib hukum perdata dapat ditegakkan dalam 
hal penegakan dikehendak, berhubung terjadinya suatu pelanggaran 
dan bagaimana ia dapat di pelihara dalam hal suatu tindakan 
pemeliharaan dikehendaki, berhubung terjadinya suatu peristiwa perdata. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 4
2. Hukum Acara Peradilan Agama 
Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan 
Perdata dan Peradilan I slam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan 
peraturan perundang-undangan Negara dan syariat I slam sekaligus. Oleh 
karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama diusulkan sebagai 
berikut: 
Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan 
Negara maupun dari syariat I slam yang mengatur bagaimana 
cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama dan juga mengatur 
bagaimana cara Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, 
untuk mewujudkan hukum material islam yang menjadi kekuasaan Peradilan 
Agama. 
E. Susunan Badan Peradilan di Indonesia 
UUD 1945 menyebut “Badan Peradilan” dengan “Kekuasaan Kehakiman” 
atau “Badan Kehakiman”, ketiganya sama maksudnya dan searti. Pasal 24 
berbunyi: 
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain 
-lain badan kehakiman menurut undang-undang. 
Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan 
undang-undang. 
Pasal 24 UUD 1945 dilaksanakan oleh UU No. 14 tahun 1970 dan UU No. 14 
tahun 1970 menyebut “Kekuasaan Kehakiman” atau “Badan Kehakiman” 
dengan “Badan Peradilan”. Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 berbunyi: 
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: 
a. Peradilan Umum; 
b. Peradilan Agama; 
c. Peradilan Militer; 
d. Peradilan Tata Usaha Negara. 
Menurut Pasal 10 ayat (2) dan 11 ayat (2) dari UU tersebut, Mahkamah 
Agung adalah Peradilan Negara Tertinggi dan ia mempunyai organisasi, 
administrasi dan keuangan tersendiri. Oleh karena masing-masing lingkungan 
peradilan tersebut terdiri dari pengadilan tingkat pertama dan tingkat 
banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung (di bidang teknis 
fungsional yudikatif), artinya di bidang memeriksa dan mengadili perkara, 
maka susunan badan-badan peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut; 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 5
1. Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan 
Tinggi (PT), dan Mahkamah Agung (MA). 
(UU No. 2 tahun 1986, LN 1986-20, tt. Peradilan Umum); 
2. Lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama (PA), 
Pengadilan TInggi Agama (PTA), dan Mahkamah Agung. 
(UU No. 7 tahun 1989, LN 1989-49, tt. Peradilan Agama); 
3. Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer (Mahmil), 
Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), dan Mahkamah Militer Agung 
(Mahmilgung) yakni pada Mahkamah Agung; 
4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha 
Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan 
Mahkamah Agung. 
(UU No. 5 tahun 1986, LN 1986-77, tt. Peradilan Tata Usaha Negara) 
PN, PA, Mahmil dan PTUN disebut Pengadilan tingkat pertama karena ia 
adalah pengadilan sehari-hari yang pertama kali menerima, memeriksa, 
mengadili, dan menyelesaikan perkara pada lingkungannya masing-masing. 
PT, PTA, Mahmilti dan PTTUN disebut Pengadilan tingkat banding karena 
ia menerima perkara banding yang berasal dari pengadilan tingkat pertama 
pada lingkungannya masing-masing. 
Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding disebut judex facti, 
artinya perkara di tingkat banding (dalam hal banding) akan diperiksa 
secara keseluruhan, baik tentang fakta-fakta maupun tentang bukti-bukti 
dan lain sebagainya seperti pemeriksaan selengkapnya di muka pengadilan 
tingkat pertama dulunya. Mahkamah Agung tidak lagi melakukan judex facti 
itu dan karenanya MA tidak bisa disebut sebagai pengadilan tingkat ketiga. 
Secara mudah dikatakan bahwa MA itu memeriksa mana yang benar 
antara pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding yang sudah 
memeriksa terdahulu terhadap suatu perkara yang dimintakan kasasi ke MA. 
Oleh karena itu, MA tidaklah memeriksa perkara secara keseluruhan lagi 
melainkan hanya terbatas dalam hal-hal tertentu saja. (UU No. 15 tahun 1985, 
LN 1985-73, tt MA, Pasal 30). 
Diadakannya MA yang tunggal dan bukan lagi bersifat judex facti 
adalah untuk uniformitas hukum karena menjunjung prinsip Negara Kesatuan 
dalam satu Wawasan Nusantara dan satu Wawasan Hukum serta demi 
keadilan hukum. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 6
F. Titelatuer Badan Peradilan Agama 
Titelatuer atau sebutan resmi Badan-badan Peradilan Agama sejak 
berlakunya UU No. 7 tahun 1989 telah menjadi seragam, 
Hukum Acara Peradilan Agama 
SKEMA SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 
Mahkamah 
PANGAB Depertemen 
Agama 
Departemen 
Kehakiman 
Departemen 
Hankam 
Agung 
PT PTTUN Mahmilti 
PN 
PTA 
PA 
PTUN Mahmil 
Keterangan: 
PTA : Pengadilan Tinggi Agama; 
PT : Pengadilan Tinggi; 
PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; 
Mahmilti : Mahkamah Militer Tinggi; 
PA : Pengadilan Agama; 
PN : Pengadilan Negara; 
PTUN : Pengadilan Tasa Usaha Negara; 
Mahmil : Makhamah Militer; 
Hankam : Pertahanan dan keamanan; 
PANGAB : Panglima Angkatan Bersenjata. 
Hubungan ke Mahkamah Agung adalah di bidang teknis fungsional Yudikatif 
Hubungan ke Departemen adalah di bidang organisatoris, administrative dan 
finansial. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 7
DUA 
Sumber Hukum Acara 
Peradilan Agama 
A. Keharusan Adanya UU Tersendiri Tentang Acara 
UUD 1945 Pasal 24 berbunyi: 
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan 
lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. 
Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan 
undang-undang. 
Sekarang ini, pasal 24 UUD 1945 tersebut dilaksanakan oleh UU No. 14 
tahun 1970, Pasal 12 yang berbunyi: 
Susunan, Kekuasaan serta Acara dari Badan-badan Peradilan tersebut 
dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang tersendiri. 
Pasal 10 ayat (1) berbunyi: 
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: 
a. Peradilan Umum; 
b. Peradilan Agama; 
c. Peradilan Militer; 
d. Peradilan Tata Usaha Negara. 
Apabila Pasal 12 UU No. 14 tahun 1970 memerintahkan demikian, 
sedangkan UU tersebut merupakan pelaksanaan dari UUD 1945 Pasal 24, 
maka mewujudkan UU tentang Susunan, Kekuasaan serta Acara dan bagi 
tiap-tiap lingkungan peradilan tersebut di atas adalah merupakan sebagian 
dari bukti melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, di samping 
sebagai satu cirri dari cinta kepada Negara Hukum sebagai subsistem dari 
system Pemerintahan Negara Ri. 
Dalam masa 19 tahun kemudian setelah tahun 1970, terbitlah UU No. 7 
tahun 1989, tentang Peradilan Agama dan UU ini membuat antara lain 
tentang Sususan, Kekuasaan dan Acara Peradilan Agama. 
B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama 
Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai 
Peradilan khusus, yakni Peradilan I slam di Indonesia, yang diberi wewenang 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 8
oleh peraturan perundang-undangan, untuk mewujudkan hukum material 
I slam dalam batas-batas kekuasaannya. 
Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan 
mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum 
dan keadilan) maka Peradilan Agama dahulunya, mempergunakan Acara 
yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, 
bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal 
I slam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan 
Negara Indonesia). Namun Kini, sejak terbitnya UU No. 7 
tahun1989, yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan (29 Desember 
1989), maka Hukum Acara Peradilan Agama menjadi konkret. Pasal 54 dari 
UU tersebut berbunyi: 
Hukum Acarq yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan 
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam 
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus 
dalam undang-undang ini. 
Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang 
bersumber (garis besar) kepada dua aturan, yaitu: (1) Yang terdaopat dalam 
UU No. 7 tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum. 
Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata 
Peradilan Umum, antara lain. 
1. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen 
Indonesia yang di Baharui). 
2. RBg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen 
untuk Daerah Seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura. 
3. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan 
Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie. 
4. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum 
Perdata Eropa. 
5. UU No. 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum. 
Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama 
berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, 
adalah sebagai berikut. 
1. UU No. 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan 
Kehakiman. 
2. UU No. 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung. 
3. UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975, tentang Perkawinan dan 
Pelaksanaannya. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 9
C. Kesulitan Beracara di Muka Peradilan Agama 
Dari uraian tentang sumber hukum acara peradilan agama terdahulu, 
tampaklah kini bahwa ber-acara di muka peradilan agama tidaklah 
semudah seperti diperkirakan oleh sementara orang bahkan mungkin lebih 
sulit dari ber-acara di muka peradilan umum. Untuk ber-acara di muka 
peradilan agama orang harus memahami secara benar dan baik hukum 
acara yang termuat dalam UU No. 7 tahun 1989 sebagai ketentuan khusus. 
Selanjutnya orang harus memahami dan mengerti pula terhadap aturan-aturan 
hukum acara perdata yang digunakan di muka peradilan umum 
sebagai ketentuan umumnya, padahal mempelajari hukum acara peradilan 
umum saja sudah merupakan suatu hal yang tidak mudah. Selain dari itu 
orang juga harus memahami bagaimana cara mewujudklan hukum material 
islam melalui hukum proses islam. 
Alat bukti saksi misalnya, ia tidak diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 dan itu 
berarti harus berpedoman kepada alat bukti saksi yang diatur dalam hukum 
acara perdata peradilan umum, cq. HIR/RBg 
Alat bukti saksi bagi peradilan umum, umumnya sudah dipandang 
memadai kalau saksi itu : (1) tidak dipaksa, (2) tidak deauditu, (3) dewasa, (4) 
tidak ada hubungan keluarga atau semenda yang dekat atau hubungan 
atasan dan bawahan dalam kerja, (5) dua orang atau lebih satu orang 
tetapi ada alat bukti lain di sampingnya, (6) kesaksian diberikan di bawah 
sumpah. Dalam hukum proses islam banyak lagi persoalannya, misalnya : (1) 
apakah saksi mesti beragama islam atau tidak atau dalam keadaan 
bagaimana yang diperkenankan non islam, (2) kapan saksi itu boleh diterima 
kalau lelaki semua dan empat orang puola bahkan harus beragama islam, 
(3) kapan saksi itu boleh digantikan dengan bersumpah lima kali, (4) kapan 
boleh kesaksian satu sakti ditambah sumpah penggugat, dan lain 
sebagainya. 
Patut ditambahkan bahw a kata “ber-Acara” di sini maksudnya 
adalah menyangkut: (1) pihak-pihak yang berperkara, termasuk pemegang 
kuasa, pengacara, advokat, Lembaga Bantuan Hukum dan sebagainya, (2) 
petugas pengadilan itu sendiri seperti hakim dan panitera, mereka-mereka ini 
tentunya harus benar-benar memiliki keterampilan khusus. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 10
TIGA 
Kekuasaan Peradilan Agama 
Kata “kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang 
berasal dari bahasa Belanda Competentie, yang kadang-kadang 
diterjemahkan juga dengan “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut 
dianggap semakna. 
Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan hukum 
acara perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “kekuasaan 
relativ e” dan “kuasaan absolute”, sekaligus dibicarakan pula di dalamnya 
tentang tempat mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang 
menjadi kekuasaan pengadilan. 
A. Kekuasaan Relatif 
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis 
dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan 
yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan 
Negeri Magelang dengan Pengadilan Negeri Purworejo, antara Pengadilan 
Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja. 
Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan Negeri Purworejo satu jenis, 
sama-sama lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama pengadilan tingkat 
pertama. Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturaja 
satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Agama dan satu tingkatan, 
sama-sama tingkat pertama. 
Pasal 4 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 berbunyi: 
Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota 
kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau 
kabupaten 
Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi: 
Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di 
kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukummnya 
meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup 
kemungkinan adanya pengecualian. 
Tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau 
dikatakan mempunyai “yurisdiksi relatif” tertentu, dalam hal ini meliputi satu 
kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai 
pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, contoh, di kabupaten 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 11
Riau Kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi 
transportasi sulit. 
B. Kekuasaan Absolut 
Kekuasaan absolute artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan 
dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, 
dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau 
tingkatan pengadilan lainnya, misalnya: 
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka 
yang beragama I slam sedangkan bagi yang selain I slam menjadi kekuasaan 
Peradilan Umum. 
Pengadilan Agama lah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara 
dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan 
Tinggi Agama atau Mahkamah Agung. 
Banding dari Peradilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, 
tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi. 
Terhadap kekuasaan absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk 
meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan 
absolutnya atau bukan. Jika jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya, 
Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Jika pengadilan agama 
menerimanya juga maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang 
disebut “eksepsi absolut’ dan jenis eksepsi ini boleh diajukan kapan saja, 
malahan sampai di tingkat banding atau di tingkat kasasi. 
C. Jenis Perkara yang Menjadi Kekuasaan Peradilan Agama 
Kata “kekuasaan” di sini maksudnya kekuasaan absolut. Dala berbagai 
peraturan perundang-undangan, kukuasaan absolut tersebut sering disingkat 
dengan kata “kekuasaan” saja, misalnya: 
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan 
lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. 
Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan 
undang-undang. (UUD 1945 Pasal 24) 
Susunan kekuasaan serta Acara dari badan-badan peradilan tersebut 
dalam Pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang. (UU No. 14 tahun 
1970, Pasal 12) 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 12
Kekuasaan absolut Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 49 dan 50 
UU No. 7 tahun 1989, yang berbunyi: 
Pasal 49 
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan 
menyelesaikan perkara-perara di tingkat pertama antara orang-orang 
yang beragama I slam di bidang: 
a. Perkawinan; 
b. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum 
islam; 
c. Wakaf dan shadaqah. 
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a. 
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang 
mengenai perkawinan yang berlaku. 
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b. 
ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan 
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli 
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. 
Pasal 50 
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain 
dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, 
maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus 
diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum. 
Penjelasan Pasal 50 
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak 
berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek 
yang tidak menjadi sengketa itu. 
a. Perkara Perkawinan diatur dalam UU No. 1 tahun 1974; 
b. Perkara Kewarisan, Wasiat dan Hibah diatur pada Pasal 49 ayat (1) UU 
No. 7 tahun 1989, Penentuan Mengenai Harta Peninggalan disebut 
dalam Pasal 49 ayat (3) UU No. 7 tahun 1989; 
c. Perkara Wakaf dan Shadaqah diatur dengan PP No. 28 tahun 1977, LN 
1977-38. 
D. Ganjalan Terhadap Kekuasaan Peradilan Agama 
Ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yang kemungkinan akan menjadi 
ganjalan dalam pelaksanaan kekuasaan Peradilan Agama. Tiga hal tersebut 
sebagai berikut. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 13
1. Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 
Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 berbunyi: 
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain 
dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, 
maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus 
diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. 
Penjelasan pasal tersebut berbunyi: 
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak 
berarti menghentikan proses peradilan di pengadilan agama atas objek 
yang tidak menjadi sengketa. 
2. Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989, angka 2 
Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989, angka 2, mengatakan; 
Bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang 
menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian 
masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta 
peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan 
berdasarkan hukum islam. 
Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat 
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan 
dalam pembagian warisan. 
3. Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989 
Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989, berbunyi: 
Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih 
dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan 
dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan 
hukum yang tetap tentang hal itu. 
4. Pasal 12 PP No. 28 tahun 1977 
Pasal 12 PP No. 28 tahun 1977 adalah tentang Perwakafan tanah milik. 
Pasal 12 berbunyi: 
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan 
perawakafan tanah, disalurkan melalui pengadilan agama setempat 
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 14
EMPAT 
Tempat Mengajukan Gugatan/ 
Permohonan 
Peradilan Agama sebagaimana sudah dijelaskan terdahulu, adalah 
Peradilan I slam di Indonesia. Hukum Acara yang dipergunakan adalah 
yang termuat dalam UU No. 7 tahun 1989 sebagi aturan khusus (lex 
specialis) ditambah dengan Hukum Acara yang berlaku di lingkungan 
Peradilan Umum sebagi aturan umum (lex generalis) bagi hal-hal yang 
tidak ditemukan dalam UU No. 7 tahun 1989. 
A. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan di Zaman 
Rasulullah dan Khalifah Empat 
Dari berbagai hadis dan sejarah Rasulullah Saw. Ataupun dari sejarah 
Peradilan I slam di masa Khalifah Empat/masa Sahabat, ternyata semua 
gugatan/permohonan perkara diajukan ke tempat Rasulullah Saw., diam 
atau ke tempat Qadi yang ditunjuk oleh beliau yang terdekat letaknya 
dengan kediaman penggugat/pemohon. Atau kepada khalifah, 
walaupun pada ketika itu belum ada gedung pengadilan tersendiri. Jadi, 
asal mula tempat mengajukan gugatan/permohonan adalah ke 
pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal pihak 
penggugat/pemohon. 
Mungkin atas dasar menurut kode etik siding, tempat duduk tergugat 
di muka siding selalu di sebelah kanan dari penggugat sedangkan 
penggugat di sebelah kirinya. 
B. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan di Muka 
Pengadilan Agama Bagi Perkara Perkawinan 
UU No. 7 tahun 1989 Pasal 54 mengatakan bahwa hukum acara 
peradilan agama selain daripada yang dimuat dalam UU tersebut, 
mempergunakan hukum acara perdata peradilan umum. Pengaturan 
tempat mengajukan gugatan/pemohonan yang dimuat dalam UU No. 7 
tahun 1989 hanya terbatas bagi perkara perkawinan cerai talak dan 
cerai karena gugatan. 
Berpegang kepada aturan tempat mengajukan 
gugatan/permohonan yang dimuat dalam UU No. 1 tahun 1974 dan PP 
No. 9 tahun 1975. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 15
Tegasnya: (1) Untuk perkara perkawinan tentang cerai talak dan cerai 
karena gugatan berpedoman kepada UU No. 7 tahun 1989, (2) untuk 
perkara perkawinan selain (1) berpedoman kepada UU No. 1 tahun1974 
dan PP No. 9 tahun 1975, (3) untuk perkara selain (1) dan (2) 
berpedoman kepada Acara Perdata Peradilan Negeri. 
Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara 
perkawinan sebagai berikut. 
1. Permohonan suami untuk menceraikan isterinya dengan cerai talak, 
diajukan oleh suami (pemohon) ke Peradilan Agama yang mewilayahi 
tempat kediaman isteri (termohon). 
Pasal 66 ayat (5) menyebutkan bahwa permohonan soal penguasaan 
anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan 
bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar 
talak diucapkan. 
2. Gugatan perceraian diajukan oleh si isteri (penggugat) atau kuasanya ke 
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman isteri 
(penggugat). Bila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat 
kediaman bersama tanpat izin tergugat (suami), dan atau bila 
penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian 
diajukan oleh penggugat ke Pengadilan Agama yang mewilayahi 
tempay kediaman tergugat. 
3. Permohonan untuk beristeri lebih dari seorang diajukan oleh pemohon 
(suami yang bersangkutan) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi 
tempat kediaman suami (pemohon). 
4. Izin kawin sebagai pengganti izin orang tua/wali/keluarga bagi calon 
memperlai (lelaki atau perempuan) yang belum berusia 21 tahun dan 
tidak telah pernah kawin sebelumnya, diajukan ke Pengadilan Agama 
yang mewilayahi tempat kediaman tersebut. 
5. Bagi calon mempelai wanita yang mau kawin mendahului dari umu 16 
tahun atau bagi calon mempelai pria yang mau kawin mendahului dari 
umur 19 tahun, maka untuk mendapatkan dispensasi kawin, ia 
mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh 
orang tua masing-masing. 
6. Pencegahan perkawinan terhadap rencana perkawinan karena tidak 
memenuhi syarat-syarat perkawinan atau karena alas an hukum lainnya, 
diajukan permohonannya ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum 
dimana perkawinan akan di langsungkan. 
7. Calon mempelai yang ditolak untuk melangsungkan perkawinannya oleh 
PPN (Pegawai Pencatat Nikah) karena menurut PPN tidak boleh, 
sedangkan menurut calon boleh diajukan oleh si calon ke Pengadilan 
Agama yang mewilayahi PPN tersebut. 
8. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang 
mewilayahi di mana perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atauke 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 16
Pegadilan Agama yang mewilayahi suami-isteri yang bersangkutan, atau 
ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman salah seorang 
dari suami isteri tersebut. 
9. Gugatan gabungan (kumulasi objektif), misalnya gugatan cerai yang 
disertai dengan gugatan mengenai akibat dari perceraian tersebut, 
maka dilihatlah kepada pokok perkaranya. Dalam hal ini, pokok 
perkaranya adalah gugatan cerai, untuk mana berlakulah ketentuan 
seperti telah disebutkan di butir 2. di muka. 
Sebagian ditemui aturan tempat mengajukan gugatan/permohonan 
dalam perkara perkawinan, di dalam UU No. 7 tahun 1989 dan sebagian 
lagi ditemui dalam UU No. 1 tahun 1974 jo. PP No. 9 tahun 1975. 
C. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan Dalam 
Perkara Selain Perkara Perkawinan 
Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara selain 
perkara selain perkara perkawinan sama dengan tempat mengajukan 
gugatan/permohonan menurut Hukum Acara Perdata Pengadilan 
Negeri, yaitu sebagai berikut. 
1. Asas umumnya diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi 
tempat tinggal tergugat. 
2. Kalau tempat tinggal tergugat tidak diketahui, diajukan ke 
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat nyatanya tergugat 
berdiam (berada). 
3. Jika tergugat lebih dari seorang, tidak tinggal dalam suatu wilayah 
Pengadilan Agama, diajukann ke Pengadilan Agama yang 
mewilayahi salah satu dari tempat tinggal tergugat menurut yag=ng 
dipilih oleh penggugat. 
4. Jika tergugat-tergugat satu sama lain sebagai perutang pertama dan 
penanggung, diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggal si 
perutang pertama. 
5. Jika tergugat tidak dikenal atau tidak mempunyai tempat tinggal 
atau tempat tinggalnya tidak dikenal, diajukan ke Pengadilan Agama 
temoat tinggal penggugat atau salah satu dari penggugat. 
6. Jika gugatan mengenai benda tetap (onroerende goederen), di 
ajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat benda tetap 
itu. 
7. Kalau penggugat dan tergugat telah memilih tempat berperkara 
dengan akta secara tertulis, diajukan ke Pengadilan Agama yang 
telah dipilih itu. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 17
LIMA 
Gugatan dan Permohonan 
A. Gugatan/Permohonan Sebagai Hak Prive 
Hukum Perdata sebagaimana dimaklumi adalah mengatur tentang hak 
dan kewajiban antara seseorang dengan pihak lain, sedangkan Hukum 
Acara Perdata adalah mengatur tentang cara 
mewujudkan/mempertahankan Hukum Perdata itu. Apakah seorang mau 
menggugat atau tidak, sekalipun ada haknya yang diperkosa oleh orang 
lain, sepenuhnya terserah kepada orang itu sendiri, yang sama sekali tidak 
ada sangkut paunya dengan siapa pun, sebab yang demikian itu adalah 
hak Prive (Pribadi) nya sendiri. I tu berarti, sekalipun seseorang diperkosa 
haknya oleh oranglain, kalau ia diam saja tidak mau menggugat, tidak bisa 
dipaksakan supaya ia menggugat. Sebaliknya, sekalipun tidak ada hak 
perdata nya yang diperkosa oleh seseorang tetapi ia secara mau coba-coba 
menggugat nekad, juga tidak bisa dilarang. 
Surat gugatan/permohonan di muka Pengadilan Agama, sebagaimana 
juga di muka Pengadilan Negeri, tidak memerlukan surat 
pengantar/legalisasi seperti dari Lurah/Kepala Desa/BP4/Kantor urusan 
Agama Kecamatan/Kantor Camat dan lain sebagainya, hal di samping 
mungkin akan memperlambat proses, juga bertentangan dengan asas hak 
perdata sebagai hak prive. 
Adapun penggugat/pemohon umpamanya memerlukan berkonsultasi 
dengan advokat atau badan penasihat perkawinan dan penyelesaian 
perceraian (BP4) dan lain sebagainya, baik sebelum perkaranya terdaftar di 
pengadilan ataupun sesudahnya, itupun hal pribadinya, bukan keharusan, 
pula bukan merupakan syarat untuk suatu gugatan/permohonan. 
B. Pihak-pihak 
1. Penggugat dan Tergugat 
Penggugat ialah orang yang menuntut hak perdatanya ke muka 
Pengadilan perdata. Penggugat ini disebut eiser (Belanda) atau al-mudda’y 
(arab). 
2. Pemohon dan Termohon 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 18
Di samping peradilan dalam arti sesungguhnya (jurisdictio contentiosa), 
ada kemungkinan seseorang memohon kepada pengadilan untuk minta 
ditetapkan atau mohon ditegaskan sesuatu hak bagi dirinya atau tentang 
sesuatu situasi hukum tertentu, baginya sama sekali tidak ada lawan (tidak 
berperkara dengan orang lain). 
Orang yang memohon di situ disebut dengan istilah “pemohon” atau 
introductief request (Belanda), atau al-mudda’y (Arab). 
Termohon sebenarnya dalam arti “asli”, bukanlah sebagai pihak tetapi 
hanya perlu dihadirkan di depan siding untuk didengar keterangannya untuk 
kepentingan pemeriksaan, karena termohon mempunyai hubungan hukum 
langsung dengan pemohon. Jadi dalam arti asli, termohon tidak imperative 
hadir di depan sidang seperti halnya tergugat, artinya sekalipun termohon 
tidak hadir, bilamana permohonan cukup beralasan (terbukti) maka 
permohonannya akan dikabulkan dan kalau tidak terbukti ditolak. 
 UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan 
“permohonan” oleh “pemohon”. 
 Pasal 38 PP No. 9 tahun1975 tentang permohonan pembatalan 
perkawinan. 
 Pasal 40 PP No. 9 1975 tentang permohonan untuk beristeri lebih dari 
seorang. 
 Pasal 65-72 UU No. 7 tahun 1989 tentang pemohonan cerai talak. 
3. Kuasa Khusus dan Penasihat Hukum 
Tentang kuasa khusus dan penasihat hukum dimaksudkan dalam uraian 
di sini karena menyangkut langsung pihak-pihak yang berperkara. Istilah 
kuasa khusus selalu dikaitkan dengan perkara pidana. I tu berarti bahwa 
istilah penasihat hukum tidak akan diketemukan di muka Peradilan Agama 
yang perdata itu dan istilah kuasa khusus tidak akan diketemukan di muka 
pengadilan Pidana. 
Seorang pihak boleh memberikan kuasa kepada beberapa orang 
pemegang kuasa, juga boleh beberapa orang pihak memberikan kuasa 
kepada seorang pemegang kuasa. Pemberian kuasa khusus dapat di 
tempuh tiga cara, yaitu. 
a. Diterakan dalam surat gugat/surat permohonan atau dalam jawaban 
gugatan/jawaban permohonan langsung. Penggugat/pemohon dan 
tergugat/termohon sama-sama membubuhkan tanda tangannya di atas 
surat gugatan/surat permohonan dan surat jawaban gugatan/jawaban 
permohonan. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 19
b. Dengan cara membuat surat kuasa khusus tersendiri, dilakukan di muka 
pejabat yang berwenang, yang paling tepat adalah di muka 
kepaiteraan penadilan atau notaris. 
c. Dengan dikemukakan langsung secara lisan oleh penggugat/pemohon, 
tergugat/termohon pemberi kuasa, di muka sidang. 
C. Bentuk dan Isi Gugatan/Permohonan 
Gugatan/permohonan dalam bahasa hukum islam disebut ad da’w a. 
Kata da’w a ini rupanya dipergunakan pula sebagai tuntutan pidana. Dapat 
diketahui, da’w a perdata atau da’w a pidana tergantung dengan konteks 
kalimat. 
Dalam tata hukum Indonesia, kata gugatan/permohonan hanya dipakai 
dalam kaitan acara perdata, lagi pula dibedakan maksud dan artinya. 
1. Surat gugatan 
Bentuk dan isi surat gugatan secara garis besarnya terdiri dari tiga 
komponen, yaitu sebagai berikut. 
a. Identitas pihak-pihak 
b. Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah 
pihak, biasa disebut bagian “posita” (jamak) atau “positum” (tunggal). 
c. I si tuntutan yang biasa disebut bagian “petita” (jamak) atau “petitum” 
(tunggal). 
2. Surat permohonan 
Prinsip dalam surat permohonan adalah tidak mempunyai lawan, lain 
dengan surat gugatan. Tetapi sebagaimana diketahui bahwa di muka 
pengadilan agama ada perkara yang sepertinya voluntaria tetapi 
kenyataannya adalah contentiosa, sehingga dalam keadaan seperti ini, 
walaupun namanya permohonan, namun bentuknya seperti bentuk 
gugatan. 
Secara nyata perbedaan inti antara surat gugatan dan surat 
permohonan bahwa pada surat permohonan tidak dijumpai kalimat 
“berlawanan dengan”, kalimat “duduk perkaranya”, dan kalimat 
“permintaan membayar biaya perkara kepada pihak law an.” 
3. Gugatan/Permohonan Lisan 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 20
Gugatan atau permohonan pada prinsipnya harus dibuat tertulis oleh 
penggugat atau oleh pemohon atau oleh kuasa sahnya. Tapi kalau 
pemohon/penggugat tidak bisa menulis (maksudnya buta huruf) maka 
gugatan atau permohonan boleh diajukan secara lisan. 
Kalau diajujan secara lisan maka panitera atas nama Ketua 
Pengadilan agama membuat catatan yang diterangkan oleh 
penggugat atau pemohon kepadanya, yang disebut “catatan gugat 
atau catatan permohonan”. 
D. Kelengkapan Gugatan/Permohonan 
Sekalipun surat gugatan atau permohonan sudah dibuat tetapi untuk 
mendaftarkan di pengadilan agama tentunya harus diperlengkapi dengan 
syarat-syarat lainnya. Syarat kelengkapan gugatan atau permohonan, ada 
syarat kelengkapan umum dan ada syarat kelengkapan khusus. 
1. Syarat Kelengkapan Umum 
Syarat kelengkapan umum (minimal) untuk dapat diterima 
didaftarkannya suatu perkara di pengadilan ialah sebagai berikut. 
a. Surat gugatan atau permohonan tertulis, atau dalam hal buta 
huruf, catatan gugat atau catatan permohonan. 
b. Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi 
penggugat atau pemohon. 
c. Vorschot biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat 
membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepada desa yang 
disahkan sekurang-kurangnya oleh camat. 
Menurut prinsip hukum acara perdata, apabila tiga hal di aras sudah 
dipenuhi, pengadilan secara formal tidak boleh menolak untuk menerima 
pendaftaran perkaranya, sebab syarat-syarat kelengkapan selainnya, sudah 
merupakan syarat untuk pemeriksaan bahkan mungkin untuk syarat 
pembuktian perkara. 
2. Syarat Kelengkapan Khusus 
Syarat kelengkapan khusus ini tidaklah sama untuk semua kasus perkara, 
jadi tergantung kepada macam atau sifat dari perkara itu an sich. 
Contohnya sebagai berikut. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 21
a. Bagi anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan 
kepolisan yang mau kawin atau mau bercerai harus melampirkan izin 
komandan. 
b. Mereka yang mau kawin lebih dari seorang (selain ABRI , Kepolisian dan 
pegawai negeri sipil), harus melampirkan; 
1. Surat persetujuan tertulis dari isterinya yang telah ada 
2. Surat keterangan tentang penghasilan suami, seperti daftar gajinya 
atau harta yang dijadikan usahanya dalam mencari nafkah atau 
penghasilan-penghasilan lainnya, untuk bukti bahwa suami tersebut 
mampu beristeri lebih dari seorang, 
3. Surat pernyataan dari suami bahwa ia sanggup berlaku adil terhadap 
isteri atau isteri-isterinya dan anak-anaknya. 
c. Untuk keperluan tersebut di b. di atas, atau jika mau bercerai, kalau 
suami itu pegawai negeri sipil, maka syarat tersebut di b. harus ditambah 
lagi dengan adanya izin dari pejabat yang berwena ng (atasannya). 
d. Perkara-perkara perkawinan harus melampirkan kutipan akta nikah, 
seperti perkara gugatan cerai, permohonan untuk menceraikan isteri 
dengan cerai talak, gutatan nafkah isteri dan sebagainya. 
e. Perkara-perkara yang berkenaan dengan akibat perceraian harus 
melampirkan kutipan akta cerai. Seperti perkara gugatan nafkah iddah, 
gugatan tentang mut’ah (pemberian dari suami kepada bekas isteri 
yang diceraikan berhubung kehendak bercerai datangnya suami) dan 
lain sebagainya. 
f. Mereka yang hendak bercerai harus melampirkan surat keterangan 
untuk bercerai dari kelurahan/kepala desa masing-masing, yang di sebut 
model “Tra.” 
g. Gugatan waris harus disertakan surat keterangan kematian pewaris. Dan 
lain-lain sebagainya. 
Khusus bagi pegawai negeri sipil yang mengajukan permohonan ke 
pengadilan untuk bercerai atau untuk kawin lebih dari seorang, yang 
menurut PP No. 10 tahun 1983, harus melampirkan izin dari pejabat yang 
berwenang (atasannya). Oleh mahkamah agung dengan surat edara No. 5 
tahun 1984 tanggal 17 April 1984, diberikan petunjuk bahwa kepada 
pemohon diberikan kesempatan untuk menyampaikan izin pejabat yang 
berwenang tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan sejak perkara terdaftar di 
pengadilan. 
3. Materai dan Rangkap Surat Gugatan/Permohonan 
a. Materai Surat Gugatan/Permohonan 
Menurut aturan lama sebagaimana disebutkan dalam: (1) Pasal 7 m 
dari ordonantie stbl. 1882-152 jis. Stbl. 1937-116 dan 610, (2) Pasal 19 dari 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 22
ordonantie stbl. 1937-638 dan 639, (3) Pasal 11 ayat (2) dari PP No. 45 
tahun 1957, semua surat-surat perkara yang semata-mata untuk 
pemeriksaan perkara di muka Peradilan Agama tingkat pertama 
maupun tingkat banding, salinan-salinan putusan/penetapan, surat-surat 
untuk menjalankan keputusan, surat permohonan tentang perselisihan 
kekuasaan mengadili serta keputusan-keputusannya, dibebaskan dari 
materai. Tetapi, ordonantie tersebut di (1) yaitu untuk peradilan agama 
di pulau Jawa-Madura, tersebut di (2) yaitu untuk peradilan agama di 
sebagian daerah Kalimantan-Selatan dan Timur, tersebut di (3) untuk 
daerah-daerah Indonesia lain-lainnya, sudah dicabut dan dinyatakan 
tidak berlaku oleh UU No. 7 tahun 1989. 
Sekarang, semua aturan materai seperti yang diatur dalam UU No. 13 
tahun 1985, LN 1985-69, tentang bea materai, yang menggantikan 
Zegelverordening tahun 1921, yang telah berkali-kali diubah, terakhir 
dengan UU No. 2 Prp. 1965, LN 1965-21 yang telah ditetapkan menjadi UU 
dengan UU No. 7 tahun 1969, LN 1969-38, menjadi berlaku untuk 
peradilan agama. 
b. Rangkap Surat Gugatan/Permohonan 
Surat gugatan atau permohonan, pada prinsipnya cukup satu rangkap 
saja. Adapun untuk dilampirkan pada surat panggilan kepada tergugat atau 
termohon, atau untuk keperluan banding (kalau ada banding), atau untuk 
keperluan kasasi (kalau ada kasasi), atau untuk keperluan peninjauan 
kembali (jika terjadi peninjauan kembali), adalah tugas pengadilan yang 
bersangkutan untuk menyalinnya sesuai dengan kebutuhan. Akan tetapi 
dalam praktik, hal serupa itu sering melambatkan proses, karenanya oleh 
pengadilan biasa dimintakan untuk beberapa rangkap, misalnya 5 rangkap 
(kalau tergugatnya 1 orang), 6 rangkap (kalau tergugatnya 2 orang) dan 
seterusnya. Kagunaannya iaalah, satu rangkap untuk dilampirkan pada surat 
panggilan kepada setiap tergugat, tiga rangkap untuk cadangan kalau 
nantinya terjadi banding. 
Untuk menjamin sah bermaterai cukup dan swah legalisasi, maka perlu di 
tempuh sebagai berikut: 
Photocopy sebanyak yang diperlukan, bawa lampiran tersebut ke kantor 
pos untuk minta si “nachtsegelen” kan oleh kantor pos tiap-tiap lembarnya, 
lalu mintakan legalisasi di kepaniteraan pengadilan. Untuk nachtsegelen ini, 
wajib bayar per lembarnya sebesar harga materai per lembar surat aslinya. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 23
E. Gugatan Kembali (Reconventie) 
Gugatan asal tersebut “gugatan dalam conv entie”. Tergugat dalam 
conventie (tergugat asal) adakalanya ia akan menggunakan sekaligus 
dalam kesempatan berperkara itu untuk menggugat kembali kepada 
penggugat asal (penggugat dalam conventie), sehingga tergugat asal 
(dalam conventie) sekaligus beritindak menjadi penggugat dalam conventie 
dan dalam reconventie tersebut akan diperiksa dan diputus sekaligus dalam 
perkara itu juga, mungkin hanya dengan “satu putusan” atau bisa juga 
dalam “dua putusan.” 
Gugatan balik (reconventie) ini hanya ditemui dalam hukum acara 
perdatan peradilan umum yang dimuat dalam Pasal 132 a dan b dari HIR 
(HIR dibuat dengan stbl. 1941-44). Akan tetapi, di lingkungan peradilan umum 
sudah mempergunakannya sejak tahun 1927, berdasarkan analogie (qiyas) 
kepada pasal 244-247 Reglement Rechtsvordering (Rsv), yaitu hukum acara 
perdata yang berlaku bagi golongan eropa di Indonesia tempo dulu. 
Syarat-syarat dibolehkannya gugatan reconventie adalah sebagai 
berikut. 
1. Mengajukan gugatan reconventie selambatnya bersama dengan 
jawaban pertama dari tergugat conventie. Gugatan reconventie 
sama dengan gugatan conventie, boleh lisan bagi buta huruf. 
2. Di muka pengadilan tingkat pertama tidak mengajukan reconventie 
maka di tingkat banding dan kasasi tidak boleh mengajukan gugatan 
reconventie. 
3. Gugatan reconventie harus juga jenis perkara yang menjadi 
kekuasaan dari pengadilan dalam conventie. 
Patut diingatkan bahwa gugat balik hanya berlaku dalam perkara yang 
terdiri dari dua pihak yang berlawanan, jadi dalam perkara permohonan 
(voluntaria) penuh, tidak berlaku reconventie. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 24
ENAM 
Pendaftaran Perkara dan 
Persiapan Sidang 
A. Pendaftaran Perkara di Pengadilan 
Sesudah surat gugatan atau permohonan dibuat dan dilampiri dengan 
syarat-syarat kelengkapan umum atau mungkin sudah sekaligus dilampiri 
dengan syarat-syarat kelengkapan khusus, atau dalam hal buta huruf, bawa 
saja semua syarat-syarat kelengkapan itu ke pengadilan agama, 
daftarkanlah di kepaniteraan. 
Sewaktu kepaniteraan pengadilan agama menerima berkas, surat 
gugatan atau permohonan itu akan diteliti dan penelitian itu menyangkut 
dua hal: (1) Apakah surat gugatan atau permohonan itu sudah jelas, benar 
tidak tukar balik mulai dari identitas pihak-pihak, bagian posita dan tentang 
petitanya, apakah posita sudah terarah sesuai dengan petita sebagainya, 
(2) Apakah perkara tersebut termasuk kekuasaan Pengadilan Agama, baik 
kekuasaan relatif maupun kekuasaan absolut. 
Berikut satu contoh dalam perkara pelanggaran ta’liq-talaq yang 
petitanya tidak benar: 
Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama untuk: 
a) Mengabulkan sepenuhnya gugatan penggugat 
b) Menceraikan penggugat dari tergugat dengan talaq I bi al ‘iwad Rp 
1.000,- (seribu rupiah) karena tergugat melanggar ta’liq talaq 
c) Mewajibkan kepada tergugat untuk membayar ongkos perkara. 
Petita yang benar seharusnya berbunyi sebagai berikut: 
1. Menerima gugatan penggugat 
2. Mengabulkan seluruhnya gugatan penggugat 
3. Menyatakan sah menurut hukum bahw a ta’liq talaq telah terw ujud (telah 
melanggar oleh tergugat) 
4. Memutuskan cerai antara penggugat dan tergugat dengan talaq I bi al 
‘iwad Rp 1.000,- (seribu rupiah) karena pelanggaran ta’liq talaq. 
5. Biaya perkara menurut hokum 
Petita harus diatur urutannya sedemikian rupa karena pengadilan belum 
akan mengabulkan atau menolak gugatan penggugat sebelum dinyatakan 
dulu bahwa perkaranya secara formal diterima oleh pengadilan. 
Selanjutnya, bila syarat kelengkapan umum gugatan atau permohonan 
sudah dipenuhi, penelitian sudah dilakukan dan sudah benar maka 
pengadilan dilarang untuk tidak menerima didaftarkannya perkara tersebut, 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 25
sebagaimana telah di tunjuk dalam pasal 14 UU Nomorn14 Tahun 1970, yang 
berbunyi: 
1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu 
perkara yang diajukan dengan dialih bahwa hukum tidak kurang jelas, 
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 
2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha 
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. 
Adapaun syarat kelengkapan khusus, karena ia sudah merupakan syarat 
kelengkapan material, dapat saja disusulkan kemudian, ketika mulai 
pemeriksaan perkara. 
B. Penunjukan Majelis Hakim dan Penetapan Hari Sidang 
1. Penunjukan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan 
Setelah perkara terdaftar di kepaniteraan Penanitera wajib 
secepatnya menyampaikan berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan 
Agama, disertai “usul tindak” atau “saran tindak”, yang kira-kira berbunyi 
“sudah di teliti dan syarat formal cukup”. Atas dasar itu ketua pengadilan 
Agama dapat menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili 
masalah tersebut, dengan surat penetapan, disebut “penunjukan majelis 
hakim” (model PMH). 
Penetapan PMH memakai nomor kode indeks surat keluar biasa dan 
isinya menunjuk siapa-siapa hakim yang akan menangani perkara yang 
dimaksudkan, siapa hakim ketua dan anggota, mungkin pula sekaligus 
menunjuk panitera sidangnya. 
Panitera sidang, jika dalam PMH belum ditunjuk, dapat ditunjuk oleh 
ketua majelis. Ganti atau tukar Panitera Sidang karena suatu hal, itu boleh 
saja dan tidak mesti dengan surat penetapan, jadi boleh isidental, sebab 
panitera sidang hanyalah pembantu untuk kelancaran sidang. Walaupun 
prinsipnya tidak perlu dengan Surat Penetapan, menurut majelis sebaiknya 
ada semacam surat tertulis yang dapat menjadi pegangan bagi panitera 
sidang tersebut. 
Untuk tidak membingungkan, terutama bagi mereka yang baru 
berkenalan dengan pejabat pengadilan, rasanya baik juga dijelaskan 
sekaligus sebagai berikut. 
a. Ketua pengadilan adalah jabatan structural sebagai Pemimpin 
Pengadilan. Yang mewakilinya di bidang itu disebut Wakil Ketua 
Pengadilan. Biasa disingkat “Ketua” dan “Wakil Ketua” saja. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 26
Ketua dan Wakil ketua Pengadilan selalu (mesti) hakim dan hakim itu 
adalah jabatan fungsionalnya. 
Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan belum tentu selalu ikut sidang atau 
selalu dalam sidang bertindak sebagai Ketua Majelis sidang. 
b. Ketua Majelis sidang adalah hakim yang memimpin sidang, mungkin ia 
ketua atau wakil ketua pengadilan, tetapi bisa dan mungkin hakim biasa. 
c. Panitera pengadilan selalu tunggal, biasa disebut dengan singkat 
“Panitera” saja, ia adalah Panitera kepala di pengadilan tersebut. 
Panitera adalah jabatan fungsionalnya dan panitera kepala adalah 
jabatan strukturalnya. 
d. Menurut UU No. 7 tahun 1989, Panitera merangkap sekretaris pengadilan. 
Sebagai panitera, ia dibantu oleh wakil panitera, panitera muda, dan 
panitera pengganti. Dalam sidang, mereka disebut panitera sidang dan 
bertanggung jawab kepada ketua majelis tetapi di luar sidang 
bertanggung jawab menurut hierarkis struktur. 
e. Wakil ketua pengadilan, hakim dan panitera pengadilan bertanggung 
jawab langsung kepada ketua pengadilan, tetapi di dalam sidang 
mereka bertanggung jawab kepada ketua majelis dan ketua majelis 
bertanggung jawab kepada ketua pengadilan. 
Ketua majelis, setelah ia menerima PMH dari ketua pengadilan 
agama, kepadanya diserahkan berkas-berkas perkara yang 
bersangkutan dan selanjutnya ia harus membuat penetapan hari sidang 
(model PHS), kapan sidang pertama akan dilangsungkan. 
2. Penetapan Hari Sidang oleh Ketua Majelis 
Ketua Majelis membuat surat penetapan Hari Sidang (model PHS) 
untuk menentukan hari sidang pertama akan dimulai. Nomor kode indeks 
penetapan adalah nomor agenda surat ke luar biasa. Kalau panitera 
sidang belum ditunjuk dalam penetapan sidang belum ditunjuk dalam 
penetapan PMH terdahulu, ketua majelis sekaligus menunjuk pula 
panitera sidangnya. 
Berdasarkan PHS, juru Sita akan melakukan pemanggilan kepada 
pihak-pihak yang berperkara untuk menghadiri sidang sesuai dengan 
hari, tanggal, jam dan tempat yang ditunjuk dalam PHS. Penetapan hari 
sidang selain “sidang pertama” dapat ditentukan dan dicatat saja 
dalam Berita Acara Sidang (tidak perlu dengan PHS lagi). 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 27
Penetapan hari Sidang untuk sidang pertama sangat menentukan 
sekali, karenanya ia harus dibuat tersendiri. Kita ketahui bila tergugat 
sudah dipanggil dengan patut pada sidang pertama, ia atau kuasa 
sahnya tidak menghadap , maka ia akan diputus verstek. Jika 
penggugat sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak 
datang menghadap pada sidang pertama maka perkaranya akan 
diputus dengan digugurkan. Nah, landasan yuridis bolehnya “verstek” 
dan “digugurkan” dalam hal ini adalah PHS dari ketua majelis tadi. 
C. Pemanggilan Pihak-pihak 
Pemanggilan pihak-pihak untuk lingkungan Peradilan Agama sekarang 
ini, diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 juncto PP No. 9 tahun 1975 tetapi hanya 
mengenai perkara permohonan cerai talak dan perkara gugatan cerai. 
Selain dari kedua jenis perkara tersebut tidak diatur, sehingga masih dikaji 
tersendiri. 
1. Menurut UU No. 7 tahun 1989 dan PP No. 9 tahun 1975 
a. Pemanggilan kepada pemohon (suami) dan termohon (isteri) dalam 
perkara termohonan cerai talak, perkara permohonan suami untuk 
beristeri lebih dari seorang, dan panggila kepada pengugat (isteri) dan 
tergugat (suami) dalam perkara gugat cerai, selambat-lambatnya hari 
ke-27 sejak perkara terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama, sebab 
siding pertama untuk perkara-perkara itu selambat-lambatnya 30 hari 
sejak perkara terdaftar, sedangkan surat panggilan sekurang-kurangnya 3 
hari sebelum sidang, sudah diterima oleh pihak yang dipanggil; 
b. Penggugat atau tergugat dalam perkara gugatan cerai akan dipanggil 
untuk menghadiri sidang. Panggilan disampikan kepada pribadi yang 
bersangkutan dan apabila tidak dijumpai, panggilan disampaikan melalui 
lurah/ kepala Desa. Panggilan tersebut dilakukan dengan patut dan 
sudah diterma oleh penggugat atau tergugat atau kuasanya selambat-lambatnya 
3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat 
dilampiri dengan salinan gugatan; 
c. Apabila tergugat dalam perkara gugat cerai, tidak jelas atau tidak 
diketahui tempat kediamannya atau tidak mempunyai tempat kediaman 
yang tetap, panggilan dilakukan dengan menempelkannya pada Papan 
Pengumuman resmi Pengadilan Agama ditambah dengan 
mengumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media 
lain. 
Pengumuman melalui surat kabar atau mass media tersebut dilakukan 
dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara panggilan pertama 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 28
dan panggilan kedua, dan antara pangilan kedua dan dengan sidang 
ditetapkanya sekurang-kurangnya tiga bulan. 
Jika setelah itu tergugat atau kuasa sahnya tidak juga hadir, Pengadilan 
Agama dapat memutus dengan verstek; 
d. Panggilan kepada tergugat dalam perkara gugatan cerai yang 
tergugatnya berada di Luar Negeri, dilakukan melalui Perwakilan Republik 
Indonesia setempat. Tetapi secepat-cepatnya sidang pertama adalah 
enam bulan sejak perkara terdaftar. 
2. Menurut HIR/RBg (Peradilan Umum) 
Bilamana diperhatikan dengan teliti pasal-pasal di dalam Het Herziene 
InlandscheReglement (HIR) dan pasal-pasal di dalam RBG (Rechts Reglement 
Buitengewesten), tentang pemanggilan pihak-pihak yang belum dicukupi 
oleh PP No. 9 tahun 1975 dan UU No. 7 tahun 1989 seperti telah diuraikan 
terdahulu, adalah tentang: 
a. Perkara digugurkan karena penggugat tidak hadir; 
b. Tergugat tidak hadir tetapo mempergunakan perlawanan (eksepsi), baik 
eksepsi relative maupun eksepsi absolut; 
c. Bolehnya memanggil yang kedua kalinya sebelum diputus dengan 
verstek atau digugurkan; 
d. Kewajiban mengundurkan sidang bila pada panggilan pertama 
sebagian tergugat hadir dan sebagian lagi tidak hadir; 
e. Panggilan kepada pihak yang tidak dikenal tempat tinggalnya (selain 
perkara gugatan cerai); 
f. Panggilan kepada pihak yang meninggal dunia. 
D. Tata Ruang dan Persiapan Sidang 
Sebagaimana diketahui bahwa sidang pengadilan berlainan dengan 
sidang-sidang biasa, ia mempunyai aturan-aturan tertentu sebagai diuraikan 
dibawah ini. 
Meja Sidang segi empat panjang, bertutup kain planel berwarna hijau 
lumut, panjang meja diperkirakan minimal untuk kursi hakim ditambah 
dengan prinsip administrasi perkantoran modern. Meja sidang ini menurut 
surat Keputusan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1986, tentang pembakuan 
perlengkapan kerja dilingkungan departemen Agama, berukuran 150 cm 
lebar, 300 cm Panjang. Menurut Direktorat pembinaan badan peradilan 
agama islam, dalam buku pedoman kerja pengadilan agama islam 
disebutkan lebar 100 cm, dan panjang 175 cm. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 29
Di sebelah kanan meja sidang dipasang bendera merah putih dan di 
sebelah kirinya dipasang lambing pengadilan Agama. Tertempel pada 
dinding belakang meja adalah lambing Negara garuda. Dalam ruang 
sidang tidaklah perlu dipasang gambar presiden karena pada saat 
persigangan hakin hanya tunduk pada Negara saja. 
Susunan kursi hakim di muka sidang pengadilan agama nampaknya 
belum kontan, masih memakai dua macam cara: 
1. Ketua ditengah-tengah, kiri kanannya anggota, paling kiri sendiri adalah 
panitera sidang; 
2. Panitera sidang paling kiri, selanjutnya ke kanan adalah ketua, anggota 
yang lebih tua atau lebih muda di sini maksudnya adalah senioritas 
dalam jabatan hakim, bukan berdasarkan usia. 
Menurut surat edaran mahkamah agung nomor 22 tahun 1969, 
susunan majlis sidang perkara perdatamaupun pidana di muka pengadilan 
umum adalah: panitera sidang paling kiuri, terus berurutan kekanan adalah 
ketua, anggota yang lebih tua dan anggota yang lebih muda, yaitu seperti 
versi kedua yang di pakai oleh lingkungan peradilan agama kini. 
Untuk perkara pidana, surat edaran ini tidak berlaku lagi karena sidang 
perkara pidana, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981, LN 
1981-76, Tentang hukum acara pidana, sudah diatur tersendiri, yaitu: ketua 
ditengah-tengah, di kiri kanannya adalah anggota, sedangkan panitera 
adalah antara ketua dan anggota (di sebelah kiri ketua) agak mundur 
sederet ke belakang, memakai meja sendiri. 
Berdasarkan aturan ini, peradilan umum perdata juga sudah banyak 
yang menerapkan susunan majelis hakim menurut acara pidana tersebut. Di 
lingkungan peradilan agama juga, jika ruang sidangnya sudah 
memungkinkan, dapat menerapkan yang sama. 
Di dalam ruang sidang ada kursi/bangku secukupnya untuk pihak-pihak, 
saksi-saksi, pemegang kuasa, pengunjung dan sebagainya. Deretan 
kursi paling depan adalah untuk pihak yang jaraknya dari meja sidang 
diperkirakan secukupnya. Pihak penggugat ditempatkan di sebelah kiri 
tergugat sedangkan tergugat di sebelah kanannya. (ini kode eti yang baik). 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 30
TUJUH 
Pemeriksaan di Muka sidang 
A. Sidang Pertama dan Pengertiannya 
Sidang pertama bagi pengadilan mempunyai arti yang sangat penting dan 
menentukan dalam beberapa hal, misalnya sebagai berikut. 
1. jika tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) sudah dipanggil 
dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang 
pertama, ia akan diputus verstek. 
2. Jika penggugat atau pemohon sudah dipanggil dengan patut, ia atau 
kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama, ia akan 
diputus dengan digugurkan perkaranya. 
3. Sanggahan (eksepsi) relatif hanya boleh diajukan pada sidang pertama. 
Kalau diajukan sesudah itu, tidak akan diperhatikan lagi. 
4. Gugat balik (reconventie) hanya boleh diajukan pada sidang pertama. 
Oleh karena itu, sidang pertama harus jelas, apa maksud atau artinya, 
supaya tidak salah, misalnya dalam 4 hal disebutkan di atas tadi. 
Sidang pertama ialah sidang yang ditunjuk/ditetapkan menurut yang tertera 
dalam penetapan hari sidang (PHS) yang ditetapkan oleh ketua majelis, atau 
dapat juga diartikan sidang yang akan dimulai pertama kali menurut surat 
panggilan yang disampaikan kepada penggugat/tergugat. 
B. Jalannya Sidang Pertama 
1. Tugas Panitera Sesaat Sebelum Sidang 
Panitera sidang, pada hari, tanggal dan jam sidang yang telah 
ditentukan, mempersiapkan dan men-chek segala sesuatunya untuk sidang. 
Setelah siap, panitera melapor kepada ketua majelis, lalu panitera sidang 
siap menunggu diruang sidang pada tempat duduk yang disediakan 
baginya dan telah siap memakai baju panitera sidang. 
Selanjutnya majelis hakim memasuki ruang sidang melalui pintu yang 
khusus untuknya, dalam keadaan sudah berpakaian toga hakim. Begitu 
majelis hakim memasuki ruang sidang, penitera mempersilahkan hadirin 
berdiri dan setelah hakim duduk, mempersilahkan kembali hadirin untuk 
duduk. Tugas ini bukan hanya untuk sidang pertama tetapi berlaku dalam 
segala persidangan. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 31
2. Ketua Majelis Membuka Sidang 
Ketua majelis membuka sidang dan sekaligus dinyatakan terbuka untuk 
umum dengan ketokan palu 1 atau 3 kali. Khusus untuk peradilan agama 
sebagai peradilan islam, sebaliknya dibuka dengan membaca basmalah, 
misal “sidang pengadilan agama ... dalam perkara ... antara penggugat ... 
berlawanan dengan tergugat ... dibuka dengan sama-sama membaca 
basmalah dan dinyatakan terbuka untuk umum.” 
UU Nomor 14 tahun 1970 pasal 17 (1) mengharuskan semua sidang 
pemeriksaan perkara dipengadilan, terbuka untuk umum, kecuali ditentukan 
lain oleh undang-undang. Tidak dipenuhinya ketentuan itu menyebabkan 
putusan batal demi hukum dan ketentuan ini berlaku untuk semua 
lingkungan peradilan di indonesia. 
Pasal 18 dari UU tersebut mengatakan bahwa semua putusan pengadilan 
sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang 
terbuka untuk umum. Ketentuan ini berlaku untuk semua putusan termasuk 
penetapan, sekalipun umpamanya sidang-sidang sebelumnya dilakukan 
dalam sidang tertutup. 
Menurut UU No 14tahun 1985, LN 1985-73 tentangmahkamah agung, tidak 
dipenuhinya kewajiban sidang terbuka untuk umum ini dapat digunakan 
sebagai salah satu alasan memohon kasasi. 
Sidang terbuka untuk umum artinya siapa saja boleh 
mengikuti/mendengarkanjalannya sidang, boleh masuk ruang sidang, asal 
tidak mengganggu atau membuat keonaran dalam sidang. Juga pihak-pihak, 
bagi keperluan perkaranya, jika dirasa perlu boleh merekam jalannya 
sidang dengan tape-recorder, sehingga mereka sesewaktu dapat menyimak 
sidang bagi kepentingan pembelaan perkaranya. 
Sidang tertutup dimungkinkan kalau ada ketentuan khusus atau ada 
alasan khusus yang diajukan oleh pihak atau pihak-pihak yang menurut 
majelis dikabulkan. Contoh bolehnya sidang tertutup karena ada ketentuan 
khusus, pasal 17 ayat (3) UU Nomor 14 tahun 1970 menyebut, sidang 
permusyawaratan majelis hakim bersifat rahasia, dus selalu dilakukan dalam 
sidang tertutup untuk umum. Pasal 33 PP Nomor 9 tahun 1975 menyebut, 
pemeriksaan perkara gugatan cerai selalu dilakukan dalam sidang tertutup 
untuk umum. Pasal 68 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989 menyebut, 
pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup. 
Contoh sidang tertutup atas permintaan pihak atau pihak-pihak yang 
dikabulkan oleh majelis hakim, seperti karena perkaranyatersebut sangat 
berkaitan langsung dengan nama baik, harkat dan martabat atau kesusilaan 
dan kehormatan pihak atau pihak-pihak. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 32
Pertimbangan hakim majelis mengabulkan sidang tertutup harus dengan 
penetapan sela, tetapi cukup dicantumkan dalam berita acara sidang saja, 
tidak perlu dengan penetapan tersendiri, sebab penetapan sela di situ tidak 
mempengaruhi kepada putusan akhir (eind vonnis) 
Sidang tertutup untuk umum maksudnya ialah bahwa selain daripada 
yang berkepentingan langsung atau nyang diizinkan oleh majelis hakim, 
harus meninggalkan ruang sidang. Tentu saja diluar harus diawasi oleh 
petugas pengadilan agar tidak ada yang menguping, termasuk mik dan 
speaker (pengeras suara) supaya disingkirkan. 
Sesudah sidang dinyatakan terbuka untuk umum oleh ketua majelis, 
ketua majelis mengizinkan pihak-pihak untuk memasuki ruang sidang. Atas 
izin ini, panitera sidang atau petugas lain yang ditunjuk, memanggil pihak-pihak 
untuk masuk dan duduk pada kursi yang disediakan untuknya. 
Sebagaimana sudah disebutkan bahwa menurut etik sidang yang baik, 
penggugat duduk disebelah kiri dari tergugat. Selanjutnya, ketua majelis 
akan mulai menanyakan identitas pihak-pihak. 
3. Ketua Majelis Menanyakan Identitas Pihak-pihak 
Pertanyaan pertama ketua majelis adalah mana penggugat dan mana 
tergugat, untuk mengatur tempat duduknya. Lalu dilanjutkan dengan 
menanyakan identitas pihak-pihak, dimualai dari penggugat, seterusnya 
tergugat, yang meliputi nama, bin/binti, alias/julukan/gelar (kalau ada), umur 
agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir. 
Menanyakan identitas pihak-pihak di sini sangatlah formal, artinya 
sekalipun mungkin saja sudah tahu/kenal dengan membaca surat gugatan 
sebelumnya, namun menanyakan kembali di depan sidang ini adalah perlu 
(mutlak). 
Perlu dikemukakan dua hal disini: 
a. menanyakan identitas pihak-pihak, saksi-saksi atau lain-lain yang 
bersifat kebijaksanaan umum dalam persidangan selalu oleh ketua 
majelis, sebab ketua majelislah yang bertanggung jawab akan 
arahanya pemeriksaan/sidang. 
b. hakim yang baik dan manusiawi, apalagi sebagai hakim agama, 
hendaklah selalu berusaha menggugah hati para pihak sehingga 
mereka tidak merasa gentar yang akhirnya terbukalah tabir persoalan 
yang sebenarnya. 
Setelah selesai masalah identitas, hakim menanyakan kepada para 
pihak, apakah tidak ada hubungan keluarga atau hubungan semenda 
dengan para hakim dan panitera yang sedang menyidangkan perkara. 
Kalau dijawab ada, sidang akan memperbincangkan sejenak, apakah ada 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 33
kewajiban hakim untuk mengundurkan diri sehubungan dengan adanya 
hubungan itu. Selanjutnya hakim akan menganjurkan damai antar pihak 
yang berperkara. 
4. Anjuran Damai 
Menurut HIR, anjuran damai dari hakim sudah dilakukan (dalam sidang 
pertama) sebelum pembacaan surat gugatan. Hal ini seperti kurang rasional, 
sebab bagaimana hakim tahudan bisa menganjurkan damai jika hakim 
sendiribelum tahu duduk perkaranya. Begitu pula, sebelum penggugat 
membacakan gugatannya, apakah tidak mungkin penggugat mengubah 
gugatannya. 
Anjuran damai sebenarnyadapat dilakukan kapan saja sepanjang 
perkara belum diputus, tetapi anjuran damai pada permulaan sidang 
pertama adalah bersifat “mutlak/wajib” dilakukan dan dicantumkan dalam 
berita acara sidang, karena ada keharusan yang menyatakan demikian, 
walaupun mungkin menurut logika, kecil sekali kemungkinannya. Pernah juga 
terjadi perdamaian tetapi kebanyakan bukan terjadi dalam sidang pertama. 
Kalau terjadi perdamaian maka dibuatkanlah akta perdamaian dimuka 
pengadilan dan kekuatannya sama dengan putusan. Terhadap perkara 
yang sudah terjadi perdamaian tidak boleh lagi diajukan perkara, kecuali 
tentang hal-hal baru diluar itu. Akta perdamaian tidak berlaku banding 
sebab akta perdamaian bukan keputusan pengadilan. Bila tidak terjadi 
perdamaian, hal itu harus dicantumkan dalam Berita Acara Sidang, sidang 
akan dilanjutkan. 
5. Pembacaan Surat Gugatan 
Pembacaan surat gugatan ini, sebagaimana sudah dikemukakan, 
sebaiknya dilakukan mendahului dari anjuran damai dan pembacaan surat 
gugatan selalu oleh penggugat atau oleh kuasa sahnya, kecuali kalau 
penggugat buta huruf atau menyerahkannya kepada panitera sidang. Di 
tingkat banding dan di tingkat kasasi lain halnya, yang membacakan segala 
berkas yang perlu itu, adalah panitera langsung, sebab pihak tidak hadir lagi 
dimuka sidang. 
Selesai gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan kalau tidak 
tercapai, ketua majelis melanjutkan dengan menanyakan kepada tergugat, 
apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis dan kalau akan menjawab 
tertulis apakah sudah siap atau memerlukan waktu berapa lama untuk itu. 
Bila keadaannya sepertiterakhir ini, tentu saja sidang kali itu akan ditutup, 
akan dilanjutkan di kali yang lain. 
Jika tergugat akan menjawab lisan atau akan menjawab tertulis tetapi 
sudah siap ditulisnya, sidang dilanjutkandengan mendengarkan jawaban 
tersebut. Jawaban pertama, baik lisan ataupun tertulis dari tergugat ini 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 34
disebut “replik” (cq. Replik 1), sedangkan jaw aban penggugat atas jaw aban 
itu disebut “duplik” (cq. Duplik 1). Begitulah seterusnya, replik-duplik, replik-duplik. 
Kalau replik-duplik tersebut berlangsung lisan, pihak mau, hakim tidak 
keberatan, waktu mengizinkan, mungkin saja sidang pertama itu 
berlangsung sampai pada tahap pembuktian bahkan mungkin saja sampai 
pada tahap musyawarah majelis hakim, tetapi aneh sekali kalau langsung 
sampai tahap pengucapan keputusan. Dikatakan aneh sebab putusan baru 
boleh diucapkan setidak-tidaknya sudah dalam keadaan terkonsep rapi 
(walaupun belum diketik) dan penulis merasa bahwa panitera Pengadilan 
Agama, juga hakim-hakimnya, bukanlah komputer atau robot. 
Perlu diingatkan bahwa hak bicara terakhir di depan sidang selalu pada 
tergugat, jadi replik-duplik belum akan berakhir sepanjang tergugat masih 
ada yang akan dikemukakannya, kecuali kalau menurut majelis, sudah 
ngawur alias tidak relevan. I tu berarti segala pemeriksaan dalam semua 
tahap, selalu dimulai dari pihak penggugat dan diakhiri dari pihak tergugat, 
tidak putar balik, apalagi terbalik. 
C. Hal-hal yang Mungkin Terjadi dalam Sidang, Terutama 
dalam Sidang Pertama 
Sebagaimana sudah diterangkan bahwa hal-hal yang mungkin terjadi 
pada sidang pertama dan justru sangat berpengaruh, cukup banyak, di 
antaranya akan diterangkan di bawah ini satu persatu. 
1. Pihak-pihak Tidak Hadir di Muka Sidang 
Dalam perkara perdata, kedudukan hakim adalah sebagai penengah di 
antara pihak yang berperkara, ia perlu memeriksa (mendengarkan) dengan 
teliti terhadap pihak-pihak yang berselisih itu. I tulah sebabnya pihak-pihak pada 
prinsipnya harus semua hadir di muka sidang. Berdasarkan prinsip ini maka di 
dalam HIR misalnya, diperkenankan memanggil kedua kali (dalam sidang 
pertama), sebelum ua memutus verstek atau digugurkan. 
2. Penggugat Tidak Hadir (Perkaranya Digugurkan) 
Konsekuensinya adalah perkara yang diajukan akan digugurkan. Penggugat 
yang tidak hadir ini disebut dalam kitab Fiqh dengan istilah “almudda’y al gaib” 
sedangkan putusan digugurkan disebut “al qada’u al masqut. 
3. Tergugat Tidak Hadir (akan diputus verstek) 
Jika tergugat tidak hadir dengan sebab-sebab yang tidak dapat diketahui 
maka majelis hakim memutus perkara dan memberikan putusan verstek. Dalam 
kita fiqh islam memutus dengan verstek disebut “al qada’u ‘ala al ga’ib”. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 35
4. Tergugat Sebagian Hadir dan Sebagian Tidak Hadir 
HIR Pasal 127 mengatur bahwa sidang wajib ditunda sampai kali yang lain. 
Terhadap penggugat dan tergugat yang telah hadir diberitahukan langsung 
kapan sidang selanjutnya, sedangkan terhadap tergugat yang belum hadir 
diperintahkan untuk dipanggil lagi dengan surat panggilan. 
Pemeriksaan terhadap perkara yang tergugatnya tidak hadir di sini 
berlangsung tanpa bantuan tergugat, disebut pemeriksaan “contradictoir” atau 
“op tegenspraak”. 
5. Penggugat/Tergugat Hanya Hadir di Sidang Pertama 
Pada sidang pertama tergugat mungkin hadir tetapi pada sidang sidang 
selanjutnya tidak pernah hadir lagi bahkan sampai sidang pengucapan 
keputusan juga tidak hadir. 
Kalau pengguggat sudah pernah hadir di sidang pertama, sekalipin sidang-sidang 
selanjutnya atau bahkan pada waktu pengucapan keputusan tidak 
hadir maka perkaranya tidak bisa lagi digugurkan. Jadi berjalanlah seperti biasa, 
hanya saja tanpa bantuan penggugat. Jika keadaan seperti itu terjadi pada 
tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) maka perkaranya tidak 
bisa lagi diputus verstek, melainkan dengan putusan biasa tetapi tanpa bantuan 
tergugat atau termohon. 
6. Suatu Permasalahan 
Sebagaimana sudah sering dikemukakan bahwa di lingkungan Peradilan 
Agama ada perkara permohonan yang melahirkan adanya pemohon dan 
termohon tetapi perkara terebut dianggap perkara peradilan yang 
sesungguhnya (jurisdiction contentiosa). Produk peradilan agama terhadap 
perkara itu sendiri, kadangkala putusan kadangkala penerapan. 
Dalam kaitannya dengan soal verstek, digugurkan, eksepsi, reconventie, 
maka pemohon di situ harus dianggap penggugat dan termohon harus 
dianggap tergugat, sekalipun produk pengadilan agama mungkin penetapan. 
I tu sebagai konsekuensi bahwa termohon boleh turut ke dalam proses,di mana 
ia berhak banding dan atau seterusnya kasasi. 
7. Exceptie (Eksepsi) 
Eksepsi adalah tangkisan dari tergugat. Jenis eksepsi terkait dengan materi 
perkara disebut sebagai “v erweer ten principale” (dalam bahasa belanda) atau 
bantahan pokok perkara yakni terdiri atas dua macam : 
a. Dilatoir eksepsi yaitu menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat 
dikabulkan, seperti dalam perkara gugatan cerai karena pelanggaran ta’liq 
talaq yang diajukan oleh pihak istri (penggugat) padahal suami (tergugat) 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 36
belum cukup 3 bulan tidak memberikan nafkah,sedangkan dalam lafadz 
ta’liq talaq akan jatuh talaq jika pihak suami tidak memberikan nafkah 
selama 3 bulan. 
b. Peremtoir eksepsi bantahan yang menghalangi dikabulkannya gugatan. 
Kalau dalam contoh a. di atas, si isteri (penggugat) Nusyuz (tidak taat 
kepada suami) menjadi penghalang hak nafkah isteri. 
8. Proses dengan Tiga Pihak (Intervensi dan Vrijwaring) 
a. Intervensi 
Intervensi (tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut 
dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. 
Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya 
disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Permohonan 
intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila 
permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa 
bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi. 
b. Vrijwaring 
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab 
(untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). 
Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan 
perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: tergugat digugat 
oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh penggugat mengandung 
cacat tersembunyi, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak 
ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut 
bertanggung jawab atas cacat itu. 
9. Gugatan Kembali (Reconventie) 
Tentang hal ini lihatlah kembali Bab V E. terdahulu. Reconventie adalah 
salah-satu di antara hal-hal yang mungkin terjadi dalam jawaban pertama 
tergugat. 
10. Pencabutan Gugatan 
Pencabutan gugatan, baik penggugat sendirian atau bersama-sama, boleh 
saja dilakukan, asal dengan cara tertentu. Kalau penggugat terdiri dari 
beberapa orang, ada yang mencabut dan ada yang tidak maka pencabutan 
hanya berlaku bagi yang mencabut saja, sedangkan perkara tetap jalan 
Jika pencabutan terjadi bukan atas perdamaian antara penggugat dan 
tergugat melainkan atas kehendak penggugat sendiri maka perkara itu masih 
boleh diajukan ke pengadilan di kali yang lain (kalau ia mau) dengan prosedur 
perkara baru. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 37
Dengan dicabutnya permohonan banding dan atau kasasi maka perkara 
banding atau kasasi tersebut tidak boleh lagi dimohonkan kembali banding 
atau kasasi sekalipun tenggang waktu banding atau kasasi belum berakhir. 
11. Perubahan Gugatan 
Perubahan gugatan, termasuk penambahan atau pengurangan tidak diatur 
dalam HIR atau RBg. Oleh karena itu, menurut Prof. Subekti, S.H. (mantan ketua 
Mahkamah Agung), cukuplah kita berpendapat bahwa perubahan, termasuk 
penambahan dan pengurangan gugatan diperkenankan, asal perubahan 
tersebut tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak. 
Arti kata lain dari Perubahan gugatan ialah : 
a. Perubahan atau penambahan gugatan, sepanjang bukan 
mengemukakan hal/tuntutan baru yang sama sekali lain daripada yang 
semula, pada prinsipnya diperkenankan, dengan syarat dengan 
persetujuan majelis hakim. Jika tergugat sudah menjawab, juga ditambah 
dengan persetujuan tergugat. 
b. Perubahan atau penambahan gugatan yang sama sekali lain daripada 
yang semula, yang merupakan hal/tuntutan baru sama sekali, tidak 
diperkenankan. 
c. Majelis hakim dalam mempertimbangkan boleh atau tidaknya adalah 
melihat kasus demi kasus. 
12. Pihak Meninggal dunia 
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 5 tahun 1968 tertanggal 
11 November 1968, ada diberikan petunjuk bahwa perkara kasasi yang diajukan 
oleh ahli waris dalam hal pihak meninggal dunia, harus ada surat keterangan 
keahli-warisan dari kepala desa/lurah yang mewilayahi pihak yang meniggal 
dunia tersebut. 
Menurut Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A. SEMA tersebut tidak berlaku bagi 
pihak yang beragama islam. Tidak sah surat keterangan keahli-warisan yang 
dikeluarkan oleh lurah/kepala desa dengan alasan sebagai berikut. 
a. Menetapkan sah atau tidak sahnya ahli waris bagi mereka yang beragama 
islam hanya sah jika diberikan oleh Pengadilan Agama, lebih-lebih setelah 
berlakunya UU No. 7 tahun 1989. 
b. Lurah/kepala desa, tidak semuanya beragama islam, yang tentunya tidak 
tahu siapa ahli waris dan bukan ahli waris menurut islam. 
Dan menurutnya, kalau pihak yang dalam proses berperkara itu beragama 
islam dan meninggal dunia, perkaranya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya 
yang sah melalui penetapan pengadilan agama. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 38
D. Majelis Hakim 
1. Hakim Majelis Sekurang-kurangnya Tiga Orang 
2. Pergantian Hakim Majelis 
3. Larangan Hakim Menyidangkan Perkara dan Hak Ingkar 
4. Sidang Keliling dan Berkamar 
5. Susunan Tempat Duduk Hakim 
6. Toga Hakim dan Baju Panitera 
E. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara 
Pada sidang pertama ini, ada hal-hal penting yang mungkin terjadi dan 
sangat berpengaruh terhadap proses perkara, seperti eksepsi, reconventie, 
intervensi dan sebagainya, bahkan mungkin juga tergugat/termohon tidak hadir 
tanpa alasan. 
1. Tahap Jawab-Berjawab (Replik-Duplik) 
Hal yang perlu diingat disini: 
a. Tergugat/termohon selalu mempunyai hak bicara terakhir; 
b. Pertanyaan hakim kepada pihak hendaklah terarah, hanya menanyakan 
yang relevant dengan hukum. Begitu juga replik-duplik dari pihak; 
c. Semua jawaban atau pertanyaan dari pihak ataupun dari hakim, harus melalui 
dan izin dari ketua majelis; 
d. Pertanyaan dari hakim kepada pihak, yang bersifat umum atau policy 
arahnya sidang, selalu oleh hakim ketua majelis. 
Bilamana pihak-pihak dan hakim tahu dan mengerti jawaban atau 
pertanyaan mana yang terarah dan relevant dengan hukum, tentunya proses 
perkara akan cepat, singkat dan tepat. 
2. Tahap pembuktian 
Hal-hal yang perlu ditekankan disini adalah: 
a. Setiap pihak mengajukan bukti, hakim perlu menanyakan kepada pihak 
lawannya, apakah ia keberatan/ tidak. Jika alat bukti saksi yang dikemukakan, 
hakim juga harus member kesempatan kepada pihak lawannya kalau-kalau 
ada sesuatu yang ingin ditanyakan oleh pihak lawan tersebut kepada saksi; 
b. Semua alat bukti yang disodorkan oleh pihak, harus disampaikan kepada 
ketua majelis lalu ketua majlis memperlihatkannya kepada para hakim dan 
pihak lawan dari yang mengajukan bukti; 
c. Keaktifan mencari dan menghadirkan bukti di muka sidang adalah tugas 
pihak itu sendiri dan hakim hanya membantu kalau diminta tolong oleh pihak, 
seperti memanggil saksi. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 39
3. Tahap penyusunan konklusi 
Setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum musyawarah majelis hakim, 
pihak-pihak boleh mengajukan konklusi ( kesimpulan-kesimpulan dari sidang-sidang 
menurut pihak yang bersangkutan ). Karena konklusi ini sifatnya 
membantu majelis, pada umumnya konklusi tidak diperlukan bagi perkara-perkara 
yang simpel, sehingga hakim boleh meniadakannya. 
Kita ingat bahwa hakim juga manusia yang kemampuan ingatnya 
terbatas, di samping mungkin ada diantara sidang-sidang yang hakim 
anggotanya berganti dan itulah perlunya konklusi. Pihak yang sudah biasa 
berperkara, biasanya selalu membuat catatan-catatan penting setiap suatu 
sidang berakhir, dan itulah nanti yang akan diajukannya sebagai konklusi 
terakhir. 
4. Musyawarah majelis hakim 
Menurut undang-undang, musyawarah majelis hakim dilakukan secara 
rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh 
meninggalkan ruang sidang. Panitera sidang sendiri, kehadirannya dalam 
musyawarah majelis hakim adalah atas izin majelis. 
Dikatakan rahasia artinya, baik dikala musyawarah maupun sesudahnya, 
kapan dan dimana saja, hasil musyawarah majelis tersebut tidak boleh 
dibocorkan sampai ia diucapkan dalam keputusan yang terbuka untuk 
umum. 
5. Pengucapan keputusan 
Pengucapan keputusan hanya boleh dilakukan setelah keputusan selesai 
terkonsep rapi yang sudah ditanda tangani oleh hakim dan panitera sidang. 
Selesai keputusan diucapkan, hakim ketua majelis akan menanyakan 
kepada pihak, baik tergugat ataupun penggugat, apakah mereka 
menerima keputusan ataukah tidak. Bagi pihak yang hadir dan menyatakan 
menerima keputusan maka baginya tertutup upaya hukum banding, bagi 
pihak yang tidak menerima dan pikir-pikir dahulu baginya masih terbuka. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 40
DELAPAN 
PEMBUKTIAN 
Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting 
dalam hukum acara sebab pengadilan dalam menegakkan hukum dan 
keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum Pembuktian termasuk 
dari bagian Hukum Acara sedangkan Peradilan Agama mempergunakan 
Hukum Acara yang berlaku bagi Peradilan umum. 
A. Pengertian, Asas dan Sistem Pembuktian 
1. Pengertian Pembuktian 
Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau 
dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang berdasarkan alat-alat bukti 
yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. 
2. Tujuan Pembuktian 
Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu 
peristiwa/fakta/dalil-dalil yang diajukan itu benar-benar terjadi guna 
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. 
3. Asas Pembuktian 
Berdasarkan pasal 1865 BW, Pasala 163 HIR dan Pasal 283 RBg, barang 
siapa yang mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan adanya 
hak atau peristiwa tersebut. Dengan demikian beban pembuktian 
dibebankan kepada pihak yang berkepentingan, yaitu: 
a. Pihak yang mengaku mempunyai hak; 
b. Pihak yang mengemukakan suatu peristiwa (keadaan) untuk 
menguatkan haknya atau membantah hak orang lain, maka ia harus 
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. 
4. Penilaian Pembuktian 
Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa 
ialah hakim yang memeriksa duduk perkaranya yaitu hakim tingkat pertama 
dan hakim banding. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 41
B. Macam-macam Alat Bukti dan kekuatannya 
Dalam pembuktian dikenal bermacam-macam alat bukti, yaitu: 
1. Alat bukti tertulis atau surat; 
2. Alat bukti saksi; 
3. Alat bukti persangkaan; 
4. Alat bukti pengakuan; 
5. Alat bukti sumpah Kekuatan Alat bukti: 
1. Bukti mengikat, artinya meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup 
bagi hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti tersebut tanpa 
membutuhkan alat bukti yang lain. Hakim terikat dengan bukti tersebut, 
sehingga tidak dapat memutus lain daripada yang telah terbukti dengan 
satu alat bukti tersebut. Alat bukti ini tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti 
lain. (Contoh: sumpah decisoir, pengakuan.) 
2. Bukti sempurna, artinya meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup 
bagi hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti itu dan tidak 
memerlukan adanya alat bukti lain. Hakim terikat dengan alat bukti tersebut 
kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya, sehingga dapat dibuktikan dengan 
bukti lawan. 
3. Bukti bebas, artinya hakim bebas menilai dengan pertimangan yang logis, 
tidak terikat dan terserah keyakinan hakim untuk menilai, dapat 
mengesampingkan dan dapat dilumpuhkan, misalnya:saksi yang 
disumpah,saksi ahli dan pengakuan di luar sidang. 
4. Bukti permulaan, artinya meskipun alat bukti itu sah dan dapat dipercaya 
kebenarannya, tetapi belum memenuhi syarat formil sebagai alat bukti yang 
cukup. Bukti ini harus ditambah alat bukti lain agar menjadi sempurna. 
Terhadap alat bukti ini, hakim bebas dan tidak terikat, misalnya akta di 
bawah tangan yang tanda tanan dan isinya diingkari oleh yang 
bersangkutan. 
5. Bukti bukan bukti, artinya sesuatu yang nampaknya memberikan 
keterangan yang mendukung kebenaran suatu peristiwa, tetapi ia tidak 
memenuhi syarat formal sebagai alat bukti. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 42
SEMBILAN 
Produk Pengadilan Agama 
Setelah Pengadilan Agama memeriksa perkara, maka ia harus 
mengadilinya atau membeikan putusan dan mengeluarkan produknya. 
Produk-produk hukum di lingkungan peradilan agama pada prinsipnya 
dengan produk-produk di lingkungan peradilan umum, yang pada umumnya 
sesuai dengan pembagian menurut ketentuan perundang-undangan yang 
mengaturnya. 
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama 
menjelaskan bahwa pengadilan agama hanya mengenal dua macam 
produk hukum, yaitu: (1) Putusan dan (2) Penetapan. Sebelumnya ada 
produk ke (3) yaitu Surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak (SKT3), yang 
kini tidak ada lagi. 
A. Putusan 
1. Pengertian Putusan 
Putusan disebut vonnis (Belanda) atau Al Qadha’ (Arab). yaitu produk 
Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam 
perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini 
dapat diistilahkan dengan “produk pengadilan yang sesungguhnya” atau 
jurisdictio cententiosa. 
Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah peradilan 
perdata) selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah 
untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu atau untuk 
melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi diktum vonis selalu 
memiliki salah satu di antara dua sifat: (1) Condemnatoir, artinya 
menghukum, (2) Constitutoir, artinya menciptakan. 
Perintah dari Pengadilan ini, jika tidak diturut dengan sukarela, dapat 
diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa disebut eksekusi. 
2. Bentuk dan I si Putusan 
Bila diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, bentuk dan isi 
putusan Pengadilan Agama secara singkat adalah sebagai berikut; 
a. Bagian kepala putusan 
b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara 
c. Identitas pihak-pihak 
d. Duduk perkaranya (bagian posita) 
e. Tentang pertimbangan hukum dan dasar hukum 
f. Dasar hukum 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 43
g. Diktum atau amar putusan 
h. Bagian kaki putusan 
i. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya. 
a. Bagian kepala putusan 
Bagian ini memuat kata “PUTUSAN” atau kalau salinan, adalah “SALI NAN 
PUTUSAN”. Baris di baw ah dari kata itu adalahNomor Putusan, yaitu menurut 
nomor urut pendaftaran perkara, diikuti garis miring dan tahun pendaftaran 
perkara. Baris selanjutnya adalah tulisan huruf besar semua berbunyi 
“BI SMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” untuk memenuhi perintah Pasal 57 ayat (2) UU 
Nomor 7 Tahun1989. 
b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara 
Sesudah yang tersebut di butir a, maka dicantumkan pada baris 
selanjutnya nama Pengadilan Agama yang memutus sekaligus disertai 
menyebutkan jenis perkara, misalnya “Pengadilan Agama Karanganyar, 
yanag telah memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama, perkara 
gugat cerai.” 
c. Identitas pihak-pihak 
Penyebutan identitas pihak, dimulai dari identitas penggugat, kemudian 
identitas tergugat. Penyebutan keduanya dipisahkan dengan tulisan pada 
alenia tersendiri yang berbunyi “berlawanan dengan “. 
Identitas pihak ini meliputi; nama, bin/binti siapa, alias atau julukan, umur, 
agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir, sebagi penggugat atau 
tergugat. 
d. Duduk perkaranya (bagian posita) 
Pada bagian ini dikutip dari gugatan penggugat, jawaban tergugat, 
keterangan saksi dan hasil dari berita acara sidang selengkapnya, namun 
dikutip secara singkat, jelas dan tepat serta kronologis. 
e. Tentang pertimbangan hukum dan dasar hukum 
Di dalamnya dicantumkan alasan memutus (pertimbangan) yang 
biasanya dimulai dengan kata “menimbang”. Di dalam bagian ini 
diutarakan “duduk perkaranya” tedahulu, yaitu keteranganpihak-pihak 
berikut dalil-dalilnya, alat bukti dll. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 44
Dasar memutus biasanya dimulai dengan kata “mengingat”. Di dalam 
bagian ini disebutkan dasar hukum putusan baik yang bersumber dari 
perundang-undangan negara maupun dasar hukum syara’. 
f. Diktum atau amar putusan 
Amar putusan didahului dengan kata “MENGADILI” kemudian diikuti 
petitum berdasarkan pertimbangan hukum. Di dalamnya diuraikan hal-hal 
yang dikabulkan dan hal-hal yang ditolak atau tidak diterima. 
g. Bagian kaki putusan 
Bagian kaki putusan yang dimaksudkan ialah dimulai dari kata-kata 
“demikianlah putusan pengadilan agama ….”. 
h. Tanda tangan hakim dan panitera dan perincian biaya 
Pada asli Putusan, semua hakim dan panitera harus bertanda tangan 
tetapi pada Salinan Putusan, hakim dan panitera hanya “ttd” (tertanda) 
atau “dto” (ditandatangani oleh), lalu dibawahnya dilegalisir. 
Salinan Putusan akan diberikan kepada pihak-pihak atau akan dikirm ke 
tingkat banding (jika terjadi banding dan untuk laporan) atau akan dikrim ke 
Mahkamah Agung (jika terjadi kasasi atau peninjuan kembali). Asli Putusan 
tetap disimpan pada Pengadilan Agama dan disatukan dalam berkas 
perkara yang sudah diminitur. 
Adapun yang dimaksud dengan perincian biaya disini adalah perincian 
biaya yang tercantum dibagian kiri bawah dari keputusan, bukan yang 
tercantum dalam diktum. Yang tercantum dalam diktum adalah biaya total 
sedangkan yang disebut terdahulu itu adalah rinciannya. 
Menurut pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1989, rincian biaya tersebut 
meliputi: 
 Biaya kepaniteraan dan materai 
 Biaya untuk para saksi , saksi ahli, penerjemah, dan pengambil 
sumpah 
 Biaya untuk pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang 
diperlukan 
 Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah 
Pengadilan. 
3. Putusan Sela 
Apa yang telah diuraikan di butir 2. Di muka, adalah tentang putusan 
akbir atau eind-vonnis, tetapi sebelum sampai kepada putusan akhir 
kadang-kadang majelis harus mengambil putusan sela terlebih dahulu, 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 45
karena ada hal-hal yang mengharuskan demikian. Putusan sela ini adayang 
menyebutnya interlocutoir dan ada pula yang menyebutnya tussen vonnis. 
Perlunya putusan sela ini misalnya: 
a. Adanya eksepsi dari tergugat; 
b. Pihak mengajukan hak ingkarnya; 
c. Adanya permintaan dari pihak agar pihak ketiga diikutsertakan ke dalam 
proses yang sedang berjalan (vrijwaring) atau ada pihak ketiga yang mau 
campur ke dalam proses yang sedang berjalan (intervensi); 
d. Adanya permohonan sita (beslag); 
e. Adanya gugatan/permohonan provisional, seperti istri dalam gugatan 
cerai minta ditetapkan nafkah anak atau berpisah rumah dari suaminya 
selama perkara sedang berlangsung; 
f. Dan lain-lain. 
Jika tergugat mengajukan eksepsi relative pada siding pertama maka 
hakim wajib memutusnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan pemeriksaan 
atas pokok perkara dan putusan di sini disebut putusan sela. Akan tetapi, jika 
majelis hakim mengabul-kan eksepsi tergugat, hal mana berarti pemeriksaan 
terhadap pokok perkara akan stop (tidak jadi) berarti putusan sela di situ 
akan menjadi putusan akhir, karenanya penggugat boleh naik banding atas 
putusan tersebut. 
Jika pihak mengajukan keberatan perkaranya diperiksa oleh hakim atau 
panitera yang sedang menyidangkan perkaranya karena hakim atau 
panitera ada di antaranya yang terhalang oleh peraturan perundang-undangan 
untuk menyidangkan perkara itu maka hakim harus mengambil 
putusan sela. 
Jika permohonan sita diajukan setelah siding berjalan maka hakim harus 
mengambil keputusan sela apakah permohonan sita tersebut dikabulkan 
atau ditolak.” 
Jika perkara sedang berlangsung antara dua pihak, salah satu pihak 
meminta kepada hakim agar pihak ketiga diikutsertakan ke dalam proses 
maka hakim harus mengambil keputusan apakah permohonan itu 
dikabulkan atau tidak. Begitu juga kalau ada pihak ketiga yang mengajukan 
permohonan untuk turut ke dalam proses yang sedang berjalan (vrijwaring). 
Jika seorang istri sedang menggugat suaminya untuk cerai misalnya 
tetapi selama sidang sedang berjalan istri memohon ke Pengadilan Agama 
agar diizinkan Suami_istri tidak tinggal serumah dengan pertimbangan 
kemungkinan bahaya yang akan ditimbulkan maka majelis hakim harus 
mengambil keputusan sela apakah permohonan tersebut dikabulkan atau 
ditolak. 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 46
Putusan sela wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum 
sebagaimana mengucapkan keputusan akhir sekalipun tidak mesti putusan 
sela dibuatkan tersendiri melainkan cukup dalam Berita Acara Sidang. 
Terhadap putusan sela tidak dapat dimohonkan banding kecuali 
bersama-sama dengan putusan akhir (pokok perkara). 
4. Kekuatan Putusan 
Putusan pengadilan mempunyai 3 kekuatan, yaitu: (1) kekuatan mengikat 
(bindende kracht), (2) kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan (3) kekuatan 
eksekusi (executoriale kracht). 
Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai kekuatan 
bukti ialah setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hokum yang 
tetap (in kracht). Suatu putusan dikatakan in kracht ialah apabila upaya 
hokum seperti verzet, banding, kasasi tidak dipergunakan dan tenggang 
waktu untuk itu sudah habis, atau telah mempergunakan upaya hukum 
tersebut dan sudah selesai. Upaya hukum terhadap putusan yang telah in 
kracht tidak ada lagi, kecuali permohonan peninjauan kembali ke 
Mahkamah Agung tetapi hanya dengan alasan-alasan sangat tertentu 
sekali. 
Putusan yang sudah in kracht, sekalipun ada dimohonkan peninjauan 
kembali ke Mahkamah Agung, tidak terhalang untuk dieksekusi, itulah yang 
dikatakan mempunyai kekuatan eksekusi. 
Suatu putusan dikatakan mempunyai kekuatan bukti misalnya putusan 
cerai. Ia merupakan bukti otentik terjadinya cerai. 
B. Penetapan 
1. Pengertian Penetapan 
Penetapan disebut al-isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu 
produk pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, 
yang diistilahkan jurisdiction voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang 
sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk 
ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak perkara dengan lawan. 
Karena penetapan itu muncul sebagai produk pengadilan atas 
permohonan pemohon yang tidak berlawanan maka diktum penetapan 
tidak akan pernah berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat 
menyatakan (declaratoire) atau menciptakan (constitutoire). 
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 47
PERADILAN AGAMA
PERADILAN AGAMA
PERADILAN AGAMA
PERADILAN AGAMA
PERADILAN AGAMA
PERADILAN AGAMA
PERADILAN AGAMA

Contenu connexe

Tendances

Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana
Surat Dakwaan dalam Hukum Acara PidanaSurat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana
Surat Dakwaan dalam Hukum Acara PidanaIzzatul Ulya
 
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANAPPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANADian Oktavia
 
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...Idik Saeful Bahri
 
Hukum acara perdata
Hukum acara perdataHukum acara perdata
Hukum acara perdatasesukakita
 
Presentasi etika profesi hukum
Presentasi etika profesi hukumPresentasi etika profesi hukum
Presentasi etika profesi hukumAnto Neo Madani
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2villa kuta indah
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnDella Mega Alfionita
 
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Idik Saeful Bahri
 
Ciri dan sifat hukum adat
Ciri dan sifat hukum adatCiri dan sifat hukum adat
Ciri dan sifat hukum adatNuelimmanuel22
 
Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalEvirna Evirna
 
Hukum Perdata Internasional
Hukum Perdata InternasionalHukum Perdata Internasional
Hukum Perdata InternasionalDenaAgustina
 
4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undangan4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undanganHIMA KS FISIP UNPAD
 
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...Idik Saeful Bahri
 
Obyek Hukum Administrasi Negara
Obyek Hukum Administrasi  NegaraObyek Hukum Administrasi  Negara
Obyek Hukum Administrasi NegaraMuslimin B. Putra
 
Bahan Kuliah - hukum-acara
Bahan Kuliah - hukum-acaraBahan Kuliah - hukum-acara
Bahan Kuliah - hukum-acaraFakhrul Rozi
 

Tendances (20)

Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana
Surat Dakwaan dalam Hukum Acara PidanaSurat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana
Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana
 
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANAPPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
 
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
 
Hukum perdata
Hukum perdataHukum perdata
Hukum perdata
 
Hukum acara perdata
Hukum acara perdataHukum acara perdata
Hukum acara perdata
 
Presentasi etika profesi hukum
Presentasi etika profesi hukumPresentasi etika profesi hukum
Presentasi etika profesi hukum
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
 
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
 
Ciri dan sifat hukum adat
Ciri dan sifat hukum adatCiri dan sifat hukum adat
Ciri dan sifat hukum adat
 
Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasional
 
Hukum Perdata Internasional
Hukum Perdata InternasionalHukum Perdata Internasional
Hukum Perdata Internasional
 
4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undangan4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undangan
 
Hukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptxHukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptx
 
Asas hukum adat
Asas hukum adatAsas hukum adat
Asas hukum adat
 
Teori Hukum
Teori HukumTeori Hukum
Teori Hukum
 
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
 
Obyek Hukum Administrasi Negara
Obyek Hukum Administrasi  NegaraObyek Hukum Administrasi  Negara
Obyek Hukum Administrasi Negara
 
Bahan Kuliah - hukum-acara
Bahan Kuliah - hukum-acaraBahan Kuliah - hukum-acara
Bahan Kuliah - hukum-acara
 
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARAHUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
 

En vedette

Hukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan AgamaHukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan AgamaSiddiki Syadzily
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaAlalan Tanala
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaAlalan Tanala
 
perjanjian sewa rumah
perjanjian sewa rumahperjanjian sewa rumah
perjanjian sewa rumahLegal Akses
 
Perjanjian Usaha Bersama
Perjanjian Usaha BersamaPerjanjian Usaha Bersama
Perjanjian Usaha BersamaLegal Akses
 
Draf Peraturan Perusahaan
Draf Peraturan PerusahaanDraf Peraturan Perusahaan
Draf Peraturan PerusahaanLegal Akses
 
Draf Perjanjian Kerja
Draf Perjanjian KerjaDraf Perjanjian Kerja
Draf Perjanjian KerjaLegal Akses
 
Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisan
Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisanKewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisan
Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisanYanels Garsione
 
5 rumusan hasil rakernas pa tahun 2012
5 rumusan hasil rakernas pa tahun 20125 rumusan hasil rakernas pa tahun 2012
5 rumusan hasil rakernas pa tahun 2012pamuaralabuh
 
Hk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaHk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaAlalan Tanala
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaAlalan Tanala
 

En vedette (14)

Hukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan AgamaHukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan Agama
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agama
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agama
 
surat wasiat
surat wasiatsurat wasiat
surat wasiat
 
perjanjian sewa rumah
perjanjian sewa rumahperjanjian sewa rumah
perjanjian sewa rumah
 
Perjanjian Usaha Bersama
Perjanjian Usaha BersamaPerjanjian Usaha Bersama
Perjanjian Usaha Bersama
 
Draf Peraturan Perusahaan
Draf Peraturan PerusahaanDraf Peraturan Perusahaan
Draf Peraturan Perusahaan
 
Draf Perjanjian Kerja
Draf Perjanjian KerjaDraf Perjanjian Kerja
Draf Perjanjian Kerja
 
makalah peradilan
makalah peradilanmakalah peradilan
makalah peradilan
 
Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisan
Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisanKewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisan
Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisan
 
Replik
ReplikReplik
Replik
 
5 rumusan hasil rakernas pa tahun 2012
5 rumusan hasil rakernas pa tahun 20125 rumusan hasil rakernas pa tahun 2012
5 rumusan hasil rakernas pa tahun 2012
 
Hk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaHk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agama
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agama
 

Similaire à PERADILAN AGAMA

Pengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukumPengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukumaziz paloh
 
Praktik Beracara Peradilan Agama
Praktik Beracara Peradilan AgamaPraktik Beracara Peradilan Agama
Praktik Beracara Peradilan AgamaAndrie Irawan
 
Makalah Peradilan Agama di Indonesia Tentang Peradilan Agama Setelah lahirnya...
Makalah Peradilan Agama di Indonesia Tentang Peradilan Agama Setelah lahirnya...Makalah Peradilan Agama di Indonesia Tentang Peradilan Agama Setelah lahirnya...
Makalah Peradilan Agama di Indonesia Tentang Peradilan Agama Setelah lahirnya...AZA Zulfi
 
Perbedaan Sistem peradilan Indonesia dengan sistem peradilan Amerika (@Univer...
Perbedaan Sistem peradilan Indonesia dengan sistem peradilan Amerika (@Univer...Perbedaan Sistem peradilan Indonesia dengan sistem peradilan Amerika (@Univer...
Perbedaan Sistem peradilan Indonesia dengan sistem peradilan Amerika (@Univer...PT PINUS MERAH ABADI
 
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasional
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasionalQanun jinayat dlm sistem hukum nasional
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasionalAgus Muqtafiy
 
tugas ke 1.bustami jasri.pptx
 tugas ke 1.bustami jasri.pptx tugas ke 1.bustami jasri.pptx
tugas ke 1.bustami jasri.pptxBustamijasri
 
Lembaga hukum islam di indonesia
Lembaga hukum islam di indonesiaLembaga hukum islam di indonesia
Lembaga hukum islam di indonesiaMeehawk
 
HUKUM NASIONAL ppt@#$#%^%$^&&*&^^%%^%%$$$$$$$%^
HUKUM NASIONAL ppt@#$#%^%$^&&*&^^%%^%%$$$$$$$%^HUKUM NASIONAL ppt@#$#%^%$^&&*&^^%%^%%$$$$$$$%^
HUKUM NASIONAL ppt@#$#%^%$^&&*&^^%%^%%$$$$$$$%^takdir12
 
2. POWER POINT PHI (1).ppt
2. POWER POINT PHI (1).ppt2. POWER POINT PHI (1).ppt
2. POWER POINT PHI (1).pptRizky113654
 
PPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxPPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxKurniasaleh
 
PPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxPPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxKurniasaleh
 
Hukum perdata islam
Hukum perdata islamHukum perdata islam
Hukum perdata islamAsmanAsman8
 
Hukum perdata islam
Hukum perdata islamHukum perdata islam
Hukum perdata islamAsmanAsman8
 
Hukum perdata islam
Hukum perdata islamHukum perdata islam
Hukum perdata islamAsmanAsman8
 
Pengaturan kewenangan kejaksaan dalam penuntutan perkara pidana
Pengaturan kewenangan kejaksaan dalam penuntutan perkara pidanaPengaturan kewenangan kejaksaan dalam penuntutan perkara pidana
Pengaturan kewenangan kejaksaan dalam penuntutan perkara pidanavirmannsyah
 
Tugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumTugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumAndrew Hutabarat
 

Similaire à PERADILAN AGAMA (20)

Pengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukumPengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukum
 
Praktik Beracara Peradilan Agama
Praktik Beracara Peradilan AgamaPraktik Beracara Peradilan Agama
Praktik Beracara Peradilan Agama
 
SKETSA PERADILAN AGAMA
SKETSA PERADILAN AGAMASKETSA PERADILAN AGAMA
SKETSA PERADILAN AGAMA
 
Makalah Peradilan Agama di Indonesia Tentang Peradilan Agama Setelah lahirnya...
Makalah Peradilan Agama di Indonesia Tentang Peradilan Agama Setelah lahirnya...Makalah Peradilan Agama di Indonesia Tentang Peradilan Agama Setelah lahirnya...
Makalah Peradilan Agama di Indonesia Tentang Peradilan Agama Setelah lahirnya...
 
Perbedaan Sistem peradilan Indonesia dengan sistem peradilan Amerika (@Univer...
Perbedaan Sistem peradilan Indonesia dengan sistem peradilan Amerika (@Univer...Perbedaan Sistem peradilan Indonesia dengan sistem peradilan Amerika (@Univer...
Perbedaan Sistem peradilan Indonesia dengan sistem peradilan Amerika (@Univer...
 
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasional
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasionalQanun jinayat dlm sistem hukum nasional
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasional
 
tugas ke 1.bustami jasri.pptx
 tugas ke 1.bustami jasri.pptx tugas ke 1.bustami jasri.pptx
tugas ke 1.bustami jasri.pptx
 
Lembaga hukum islam di indonesia
Lembaga hukum islam di indonesiaLembaga hukum islam di indonesia
Lembaga hukum islam di indonesia
 
HUKUM NASIONAL ppt@#$#%^%$^&&*&^^%%^%%$$$$$$$%^
HUKUM NASIONAL ppt@#$#%^%$^&&*&^^%%^%%$$$$$$$%^HUKUM NASIONAL ppt@#$#%^%$^&&*&^^%%^%%$$$$$$$%^
HUKUM NASIONAL ppt@#$#%^%$^&&*&^^%%^%%$$$$$$$%^
 
A
AA
A
 
2. POWER POINT PHI (1).ppt
2. POWER POINT PHI (1).ppt2. POWER POINT PHI (1).ppt
2. POWER POINT PHI (1).ppt
 
Jenis Jenis lapangan Hukum
Jenis Jenis lapangan HukumJenis Jenis lapangan Hukum
Jenis Jenis lapangan Hukum
 
Maka lah
Maka lahMaka lah
Maka lah
 
PPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxPPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptx
 
PPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxPPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptx
 
Hukum perdata islam
Hukum perdata islamHukum perdata islam
Hukum perdata islam
 
Hukum perdata islam
Hukum perdata islamHukum perdata islam
Hukum perdata islam
 
Hukum perdata islam
Hukum perdata islamHukum perdata islam
Hukum perdata islam
 
Pengaturan kewenangan kejaksaan dalam penuntutan perkara pidana
Pengaturan kewenangan kejaksaan dalam penuntutan perkara pidanaPengaturan kewenangan kejaksaan dalam penuntutan perkara pidana
Pengaturan kewenangan kejaksaan dalam penuntutan perkara pidana
 
Tugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumTugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukum
 

Dernier

Pemahaman Mahasiswa Gen Z di Tentang Hubungan Timbal Balik Pemerintah dan Rakyat
Pemahaman Mahasiswa Gen Z di Tentang Hubungan Timbal Balik Pemerintah dan RakyatPemahaman Mahasiswa Gen Z di Tentang Hubungan Timbal Balik Pemerintah dan Rakyat
Pemahaman Mahasiswa Gen Z di Tentang Hubungan Timbal Balik Pemerintah dan Rakyatzidantalfayaed
 
Materi negara dan konstitusi materi.pptx
Materi negara dan konstitusi materi.pptxMateri negara dan konstitusi materi.pptx
Materi negara dan konstitusi materi.pptxAchmadHidayaht
 
hukum Anti korupsi & Pencucian uang studi kasus AKIL MOCHTAR_Kelompok 3.pptx
hukum Anti korupsi & Pencucian uang studi kasus AKIL MOCHTAR_Kelompok 3.pptxhukum Anti korupsi & Pencucian uang studi kasus AKIL MOCHTAR_Kelompok 3.pptx
hukum Anti korupsi & Pencucian uang studi kasus AKIL MOCHTAR_Kelompok 3.pptxmaxandrew9
 
SNI 5015 2019 estimasi sumerdaya dan cadangan batubara
SNI 5015 2019 estimasi sumerdaya dan cadangan batubaraSNI 5015 2019 estimasi sumerdaya dan cadangan batubara
SNI 5015 2019 estimasi sumerdaya dan cadangan batubarazannialzur
 
PENGUMUMAN SAYEMBARA MASKOT DAN JINGLE PILKADA DKI JAKARTA.pdf
PENGUMUMAN SAYEMBARA MASKOT DAN JINGLE PILKADA DKI JAKARTA.pdfPENGUMUMAN SAYEMBARA MASKOT DAN JINGLE PILKADA DKI JAKARTA.pdf
PENGUMUMAN SAYEMBARA MASKOT DAN JINGLE PILKADA DKI JAKARTA.pdfCI kumparan
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptxahmadrievzqy
 

Dernier (6)

Pemahaman Mahasiswa Gen Z di Tentang Hubungan Timbal Balik Pemerintah dan Rakyat
Pemahaman Mahasiswa Gen Z di Tentang Hubungan Timbal Balik Pemerintah dan RakyatPemahaman Mahasiswa Gen Z di Tentang Hubungan Timbal Balik Pemerintah dan Rakyat
Pemahaman Mahasiswa Gen Z di Tentang Hubungan Timbal Balik Pemerintah dan Rakyat
 
Materi negara dan konstitusi materi.pptx
Materi negara dan konstitusi materi.pptxMateri negara dan konstitusi materi.pptx
Materi negara dan konstitusi materi.pptx
 
hukum Anti korupsi & Pencucian uang studi kasus AKIL MOCHTAR_Kelompok 3.pptx
hukum Anti korupsi & Pencucian uang studi kasus AKIL MOCHTAR_Kelompok 3.pptxhukum Anti korupsi & Pencucian uang studi kasus AKIL MOCHTAR_Kelompok 3.pptx
hukum Anti korupsi & Pencucian uang studi kasus AKIL MOCHTAR_Kelompok 3.pptx
 
SNI 5015 2019 estimasi sumerdaya dan cadangan batubara
SNI 5015 2019 estimasi sumerdaya dan cadangan batubaraSNI 5015 2019 estimasi sumerdaya dan cadangan batubara
SNI 5015 2019 estimasi sumerdaya dan cadangan batubara
 
PENGUMUMAN SAYEMBARA MASKOT DAN JINGLE PILKADA DKI JAKARTA.pdf
PENGUMUMAN SAYEMBARA MASKOT DAN JINGLE PILKADA DKI JAKARTA.pdfPENGUMUMAN SAYEMBARA MASKOT DAN JINGLE PILKADA DKI JAKARTA.pdf
PENGUMUMAN SAYEMBARA MASKOT DAN JINGLE PILKADA DKI JAKARTA.pdf
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
 

PERADILAN AGAMA

  • 1. SATU Pendahuluan A. Pokok-pokok Pikiran dan Latar Belakang Masalah Peradilan I slam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan “Peradilan Agama” telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah Peradilan, Peradilan Agama sudah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul Seabad Peradilan Agama di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 didteteapkan sebagai hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl. 1882- 152, tentang Peradilan Agama di pulau Jawa-Madura. Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara, Melainkan terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, lagi tidak pula seragam. Setelah lama Indonesia merdeka, bangsa Indonesia berangsur sadar untuk membuang jauh politik colonial itu. Hal itu diperlihatkan oleh tonggak-tonggak sejarah sendiri, yaitu sebagai berikut : 1. Pada tahun 1951, dengan UU Darurat No. 1 tahun 1951, LN 1951-9, yang kemudian dikuatkan menjadi UU dengan UU No. 1 tahun 1961, LN 1961-3, Peradilan Agama diakui eksistensi dan perannya; 2. Pada tahun 1957, dengan PP No. 45 tahun 1957, LN 1957-99, yang merupakan pelaksanaan dari UU No. 1 tahun 1951, didirikan/dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jaw a-Madura; 3. Pada tahun 1964, dengan UU No. 19 tahun 1964, LN 1964-107, yang kemudian digantikan dengan UU No. 14 tahun 1970, LN 1970-74, Peradilan Agama diakui sebagai salah satu dari empat lingkungan Peradilan Negara yang sah. 4. Pada tahun 1974 terbit UU No. 1 tahun 1974, LN 1974-1, yang dilaksanakan dengan PP No. 9 tahun 1975, LN 1975-12, di mana segala jenis perkara di Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 1
  • 2. bidang perkawinan bagi mereka yang beragama islam dopercayakan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikannya. 5. Pada tahun 1977 terbit PP No. 28 tahun 1977, LN 1977-38 yang memberikan kekuasaan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan perkara di bidang Perwakafan Tanah Milik. Peradilan Agama kini telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 Tahun 1989. Peradilan Agama akan lebih mantap dalam menjalankan fungsinya, para pencari keadilan pun demikian, akan lebih mudah dan konkret berurusan. Para ilmuan, cerdik cendikia, mahasiswa dan pelajar mulai mengambil perhatian. Dalam kondisi inilah penulis ingin menyumbangkan sebuah buku yang berjudul Hukum Acara Peradilan Agama hingga proses mengenal dan berkembangnya Peradilan Agama akan lebih melaju. B. Metode Penelitian dan Analisis 1. Metode Penelitian Penelitian dan pengumpulan data yang penulis lakukan dalam menyusun buku ini adalah : a. Library research (kepustakaan), yaitu dengan cara melalui buku-buku, umum maupun agama, berbagai peraturan perundang-undangan, surat-surat edaran dan petunjuk dari Mahkamah Agung maupun Departemen Agama, yurisprudensi peradilan, prasaran, makalah dan tulisan-tulisan lainnya yang relevan. b. Experienced research atau empiris (pengalaman) yang mencakup observasi, field dan lain-lain. Pengalaman itu penulis dapatkan karena penulis sejak tahun 1963-1987 terus-menerus mengabdi pada instansi Peradilan Agama. Sejak tahun1972-1985 penulis sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sumatra-Selatan, Lampung dan Bengkulu di Palembang. Sejak tahun 1985-1987 sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sumatra Barat, Riau dan Jambi di Padang. Sejak tahun hingga saat ini mengajar dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama pada Fakultas Syariah Institut Agama I slam Negeri. Melalui mengajar, penulis membimbing praktik Peradilan Agama bagi mahasiswa ke Pengadilan-pengadilan Agama, membimbing dan menguji tesis yang berkaitan dengan Peradilan Agama. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 2
  • 3. 2. Metode Analisis Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan, dipergunakan beberapa metode, yaitu sebagai berikut: a. Deskriptif, pada umumnya dipergunakan dalam menguraikan sejarah, mengutip atau menjelaskan bunyi peraturan perundang-undangan dan dalam uraian umum; b. Komperatif, pada umumnya dipergunakan dalam membanding antara Peradilan Agma, Peradilan I slam dan Peradilan Umum, terutama terhadap materi yang mungkin dapat menimbulkan kerancuan; c. Deduktif dan induktif. Deduktif, tolak ukurnya adalah peraturan perundang-undangan, syariat I slam dan filsafat hukum, sedangkan Induktif adalah dalam menyusun logika untuk mengambil kesimpulan umum; d. Problem solv ing atau pemecahan masalah. Bila diketemukan suatu masalah, penulis identifikasikan, analisis, kemudian penulis sajikan alternative pemecahannya; e. Historis kritis, yaitu dalam menguraikan sering pula penulis ketengahkan sejarahnya, dikaji sebab-sebabnya, saling keterkaitannya. C. Peradilan Agama dan Peradilan Islam Pengertian Peradilan Agama dan Peradilan I slam 1. Peradilan Agama Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu di antara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. UU No. 14 tahun 1970, LN 1970-74 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat (1). Kata-kata “Peradilan Negara” dan “kekuasaan Kehakiman” adalah semakna. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Agama adalah salah satu di antara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 3
  • 4. tertentu. Dalam pasal 10 ayat (1) menjelaskan dalam hal ini, Peradilan agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak hanya untuk orang-orang I slam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata I slam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata I slam. 2. Peradilan I slam Kata “Peradilan I slam” yang tanpa dirangkaikan dengan kata-kata “di I ndonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan I slam menurut konsepsi I slam secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut ajaran islam secara universal. Oleh karena itu, di mana-mana asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum I slam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja. D. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum dan Peradilan Agama Sebagaimana sudah disebutkan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan perdata sedangkan Peradilan Umum adalah juga peradilan perdata di samping peradilan pidana. Dilihat dari segi asas-asas Hukum Acara, tentulah ada prinsip-prinsip kesamaannya secara umum di samping secara khusus tentu ada pula perbedaan antara Hukum Acara Perdata Peradilan umum dan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. 1. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. merumuskan Hukum Acara Perdata ialah: Rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Prof. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosoedibio merumuskan Hukum Acara Perdata ialah: Keseluruhan daripada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum perdata dapat ditegakkan dalam hal penegakan dikehendak, berhubung terjadinya suatu pelanggaran dan bagaimana ia dapat di pelihara dalam hal suatu tindakan pemeliharaan dikehendaki, berhubung terjadinya suatu peristiwa perdata. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 4
  • 5. 2. Hukum Acara Peradilan Agama Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan I slam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan syariat I slam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama diusulkan sebagai berikut: Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan Negara maupun dari syariat I slam yang mengatur bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama dan juga mengatur bagaimana cara Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama. E. Susunan Badan Peradilan di Indonesia UUD 1945 menyebut “Badan Peradilan” dengan “Kekuasaan Kehakiman” atau “Badan Kehakiman”, ketiganya sama maksudnya dan searti. Pasal 24 berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain -lain badan kehakiman menurut undang-undang. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Pasal 24 UUD 1945 dilaksanakan oleh UU No. 14 tahun 1970 dan UU No. 14 tahun 1970 menyebut “Kekuasaan Kehakiman” atau “Badan Kehakiman” dengan “Badan Peradilan”. Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 10 ayat (2) dan 11 ayat (2) dari UU tersebut, Mahkamah Agung adalah Peradilan Negara Tertinggi dan ia mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan tersendiri. Oleh karena masing-masing lingkungan peradilan tersebut terdiri dari pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung (di bidang teknis fungsional yudikatif), artinya di bidang memeriksa dan mengadili perkara, maka susunan badan-badan peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut; Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 5
  • 6. 1. Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), dan Mahkamah Agung (MA). (UU No. 2 tahun 1986, LN 1986-20, tt. Peradilan Umum); 2. Lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama (PA), Pengadilan TInggi Agama (PTA), dan Mahkamah Agung. (UU No. 7 tahun 1989, LN 1989-49, tt. Peradilan Agama); 3. Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer (Mahmil), Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), dan Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung) yakni pada Mahkamah Agung; 4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan Mahkamah Agung. (UU No. 5 tahun 1986, LN 1986-77, tt. Peradilan Tata Usaha Negara) PN, PA, Mahmil dan PTUN disebut Pengadilan tingkat pertama karena ia adalah pengadilan sehari-hari yang pertama kali menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara pada lingkungannya masing-masing. PT, PTA, Mahmilti dan PTTUN disebut Pengadilan tingkat banding karena ia menerima perkara banding yang berasal dari pengadilan tingkat pertama pada lingkungannya masing-masing. Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding disebut judex facti, artinya perkara di tingkat banding (dalam hal banding) akan diperiksa secara keseluruhan, baik tentang fakta-fakta maupun tentang bukti-bukti dan lain sebagainya seperti pemeriksaan selengkapnya di muka pengadilan tingkat pertama dulunya. Mahkamah Agung tidak lagi melakukan judex facti itu dan karenanya MA tidak bisa disebut sebagai pengadilan tingkat ketiga. Secara mudah dikatakan bahwa MA itu memeriksa mana yang benar antara pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding yang sudah memeriksa terdahulu terhadap suatu perkara yang dimintakan kasasi ke MA. Oleh karena itu, MA tidaklah memeriksa perkara secara keseluruhan lagi melainkan hanya terbatas dalam hal-hal tertentu saja. (UU No. 15 tahun 1985, LN 1985-73, tt MA, Pasal 30). Diadakannya MA yang tunggal dan bukan lagi bersifat judex facti adalah untuk uniformitas hukum karena menjunjung prinsip Negara Kesatuan dalam satu Wawasan Nusantara dan satu Wawasan Hukum serta demi keadilan hukum. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 6
  • 7. F. Titelatuer Badan Peradilan Agama Titelatuer atau sebutan resmi Badan-badan Peradilan Agama sejak berlakunya UU No. 7 tahun 1989 telah menjadi seragam, Hukum Acara Peradilan Agama SKEMA SISTEM PERADILAN DI INDONESIA Mahkamah PANGAB Depertemen Agama Departemen Kehakiman Departemen Hankam Agung PT PTTUN Mahmilti PN PTA PA PTUN Mahmil Keterangan: PTA : Pengadilan Tinggi Agama; PT : Pengadilan Tinggi; PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; Mahmilti : Mahkamah Militer Tinggi; PA : Pengadilan Agama; PN : Pengadilan Negara; PTUN : Pengadilan Tasa Usaha Negara; Mahmil : Makhamah Militer; Hankam : Pertahanan dan keamanan; PANGAB : Panglima Angkatan Bersenjata. Hubungan ke Mahkamah Agung adalah di bidang teknis fungsional Yudikatif Hubungan ke Departemen adalah di bidang organisatoris, administrative dan finansial. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 7
  • 8. DUA Sumber Hukum Acara Peradilan Agama A. Keharusan Adanya UU Tersendiri Tentang Acara UUD 1945 Pasal 24 berbunyi: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan undang-undang. Sekarang ini, pasal 24 UUD 1945 tersebut dilaksanakan oleh UU No. 14 tahun 1970, Pasal 12 yang berbunyi: Susunan, Kekuasaan serta Acara dari Badan-badan Peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang tersendiri. Pasal 10 ayat (1) berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara. Apabila Pasal 12 UU No. 14 tahun 1970 memerintahkan demikian, sedangkan UU tersebut merupakan pelaksanaan dari UUD 1945 Pasal 24, maka mewujudkan UU tentang Susunan, Kekuasaan serta Acara dan bagi tiap-tiap lingkungan peradilan tersebut di atas adalah merupakan sebagian dari bukti melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, di samping sebagai satu cirri dari cinta kepada Negara Hukum sebagai subsistem dari system Pemerintahan Negara Ri. Dalam masa 19 tahun kemudian setelah tahun 1970, terbitlah UU No. 7 tahun 1989, tentang Peradilan Agama dan UU ini membuat antara lain tentang Sususan, Kekuasaan dan Acara Peradilan Agama. B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan khusus, yakni Peradilan I slam di Indonesia, yang diberi wewenang Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 8
  • 9. oleh peraturan perundang-undangan, untuk mewujudkan hukum material I slam dalam batas-batas kekuasaannya. Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka Peradilan Agama dahulunya, mempergunakan Acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal I slam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan Negara Indonesia). Namun Kini, sejak terbitnya UU No. 7 tahun1989, yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan (29 Desember 1989), maka Hukum Acara Peradilan Agama menjadi konkret. Pasal 54 dari UU tersebut berbunyi: Hukum Acarq yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besar) kepada dua aturan, yaitu: (1) Yang terdaopat dalam UU No. 7 tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum. Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, antara lain. 1. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang di Baharui). 2. RBg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk Daerah Seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura. 3. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie. 4. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Perdata Eropa. 5. UU No. 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum. Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, adalah sebagai berikut. 1. UU No. 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 2. UU No. 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung. 3. UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975, tentang Perkawinan dan Pelaksanaannya. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 9
  • 10. C. Kesulitan Beracara di Muka Peradilan Agama Dari uraian tentang sumber hukum acara peradilan agama terdahulu, tampaklah kini bahwa ber-acara di muka peradilan agama tidaklah semudah seperti diperkirakan oleh sementara orang bahkan mungkin lebih sulit dari ber-acara di muka peradilan umum. Untuk ber-acara di muka peradilan agama orang harus memahami secara benar dan baik hukum acara yang termuat dalam UU No. 7 tahun 1989 sebagai ketentuan khusus. Selanjutnya orang harus memahami dan mengerti pula terhadap aturan-aturan hukum acara perdata yang digunakan di muka peradilan umum sebagai ketentuan umumnya, padahal mempelajari hukum acara peradilan umum saja sudah merupakan suatu hal yang tidak mudah. Selain dari itu orang juga harus memahami bagaimana cara mewujudklan hukum material islam melalui hukum proses islam. Alat bukti saksi misalnya, ia tidak diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 dan itu berarti harus berpedoman kepada alat bukti saksi yang diatur dalam hukum acara perdata peradilan umum, cq. HIR/RBg Alat bukti saksi bagi peradilan umum, umumnya sudah dipandang memadai kalau saksi itu : (1) tidak dipaksa, (2) tidak deauditu, (3) dewasa, (4) tidak ada hubungan keluarga atau semenda yang dekat atau hubungan atasan dan bawahan dalam kerja, (5) dua orang atau lebih satu orang tetapi ada alat bukti lain di sampingnya, (6) kesaksian diberikan di bawah sumpah. Dalam hukum proses islam banyak lagi persoalannya, misalnya : (1) apakah saksi mesti beragama islam atau tidak atau dalam keadaan bagaimana yang diperkenankan non islam, (2) kapan saksi itu boleh diterima kalau lelaki semua dan empat orang puola bahkan harus beragama islam, (3) kapan saksi itu boleh digantikan dengan bersumpah lima kali, (4) kapan boleh kesaksian satu sakti ditambah sumpah penggugat, dan lain sebagainya. Patut ditambahkan bahw a kata “ber-Acara” di sini maksudnya adalah menyangkut: (1) pihak-pihak yang berperkara, termasuk pemegang kuasa, pengacara, advokat, Lembaga Bantuan Hukum dan sebagainya, (2) petugas pengadilan itu sendiri seperti hakim dan panitera, mereka-mereka ini tentunya harus benar-benar memiliki keterampilan khusus. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 10
  • 11. TIGA Kekuasaan Peradilan Agama Kata “kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari bahasa Belanda Competentie, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna. Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan hukum acara perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “kekuasaan relativ e” dan “kuasaan absolute”, sekaligus dibicarakan pula di dalamnya tentang tempat mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan. A. Kekuasaan Relatif Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Negeri Magelang dengan Pengadilan Negeri Purworejo, antara Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja. Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan Negeri Purworejo satu jenis, sama-sama lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturaja satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama. Pasal 4 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 berbunyi: Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi: Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukummnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian. Tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau dikatakan mempunyai “yurisdiksi relatif” tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, contoh, di kabupaten Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 11
  • 12. Riau Kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi sulit. B. Kekuasaan Absolut Kekuasaan absolute artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya: Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama I slam sedangkan bagi yang selain I slam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agama lah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Agung. Banding dari Peradilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi. Terhadap kekuasaan absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Jika jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya, Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Jika pengadilan agama menerimanya juga maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut “eksepsi absolut’ dan jenis eksepsi ini boleh diajukan kapan saja, malahan sampai di tingkat banding atau di tingkat kasasi. C. Jenis Perkara yang Menjadi Kekuasaan Peradilan Agama Kata “kekuasaan” di sini maksudnya kekuasaan absolut. Dala berbagai peraturan perundang-undangan, kukuasaan absolut tersebut sering disingkat dengan kata “kekuasaan” saja, misalnya: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan undang-undang. (UUD 1945 Pasal 24) Susunan kekuasaan serta Acara dari badan-badan peradilan tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang. (UU No. 14 tahun 1970, Pasal 12) Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 12
  • 13. Kekuasaan absolut Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 49 dan 50 UU No. 7 tahun 1989, yang berbunyi: Pasal 49 (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama I slam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam; c. Wakaf dan shadaqah. (2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a. ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. (3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b. ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Pasal 50 Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum. Penjelasan Pasal 50 Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi sengketa itu. a. Perkara Perkawinan diatur dalam UU No. 1 tahun 1974; b. Perkara Kewarisan, Wasiat dan Hibah diatur pada Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989, Penentuan Mengenai Harta Peninggalan disebut dalam Pasal 49 ayat (3) UU No. 7 tahun 1989; c. Perkara Wakaf dan Shadaqah diatur dengan PP No. 28 tahun 1977, LN 1977-38. D. Ganjalan Terhadap Kekuasaan Peradilan Agama Ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yang kemungkinan akan menjadi ganjalan dalam pelaksanaan kekuasaan Peradilan Agama. Tiga hal tersebut sebagai berikut. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 13
  • 14. 1. Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 berbunyi: Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Penjelasan pasal tersebut berbunyi: Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti menghentikan proses peradilan di pengadilan agama atas objek yang tidak menjadi sengketa. 2. Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989, angka 2 Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989, angka 2, mengatakan; Bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum islam. Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan. 3. Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989 Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989, berbunyi: Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap tentang hal itu. 4. Pasal 12 PP No. 28 tahun 1977 Pasal 12 PP No. 28 tahun 1977 adalah tentang Perwakafan tanah milik. Pasal 12 berbunyi: Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perawakafan tanah, disalurkan melalui pengadilan agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 14
  • 15. EMPAT Tempat Mengajukan Gugatan/ Permohonan Peradilan Agama sebagaimana sudah dijelaskan terdahulu, adalah Peradilan I slam di Indonesia. Hukum Acara yang dipergunakan adalah yang termuat dalam UU No. 7 tahun 1989 sebagi aturan khusus (lex specialis) ditambah dengan Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum sebagi aturan umum (lex generalis) bagi hal-hal yang tidak ditemukan dalam UU No. 7 tahun 1989. A. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan di Zaman Rasulullah dan Khalifah Empat Dari berbagai hadis dan sejarah Rasulullah Saw. Ataupun dari sejarah Peradilan I slam di masa Khalifah Empat/masa Sahabat, ternyata semua gugatan/permohonan perkara diajukan ke tempat Rasulullah Saw., diam atau ke tempat Qadi yang ditunjuk oleh beliau yang terdekat letaknya dengan kediaman penggugat/pemohon. Atau kepada khalifah, walaupun pada ketika itu belum ada gedung pengadilan tersendiri. Jadi, asal mula tempat mengajukan gugatan/permohonan adalah ke pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal pihak penggugat/pemohon. Mungkin atas dasar menurut kode etik siding, tempat duduk tergugat di muka siding selalu di sebelah kanan dari penggugat sedangkan penggugat di sebelah kirinya. B. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan di Muka Pengadilan Agama Bagi Perkara Perkawinan UU No. 7 tahun 1989 Pasal 54 mengatakan bahwa hukum acara peradilan agama selain daripada yang dimuat dalam UU tersebut, mempergunakan hukum acara perdata peradilan umum. Pengaturan tempat mengajukan gugatan/pemohonan yang dimuat dalam UU No. 7 tahun 1989 hanya terbatas bagi perkara perkawinan cerai talak dan cerai karena gugatan. Berpegang kepada aturan tempat mengajukan gugatan/permohonan yang dimuat dalam UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 15
  • 16. Tegasnya: (1) Untuk perkara perkawinan tentang cerai talak dan cerai karena gugatan berpedoman kepada UU No. 7 tahun 1989, (2) untuk perkara perkawinan selain (1) berpedoman kepada UU No. 1 tahun1974 dan PP No. 9 tahun 1975, (3) untuk perkara selain (1) dan (2) berpedoman kepada Acara Perdata Peradilan Negeri. Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara perkawinan sebagai berikut. 1. Permohonan suami untuk menceraikan isterinya dengan cerai talak, diajukan oleh suami (pemohon) ke Peradilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman isteri (termohon). Pasal 66 ayat (5) menyebutkan bahwa permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. 2. Gugatan perceraian diajukan oleh si isteri (penggugat) atau kuasanya ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman isteri (penggugat). Bila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpat izin tergugat (suami), dan atau bila penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan oleh penggugat ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempay kediaman tergugat. 3. Permohonan untuk beristeri lebih dari seorang diajukan oleh pemohon (suami yang bersangkutan) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman suami (pemohon). 4. Izin kawin sebagai pengganti izin orang tua/wali/keluarga bagi calon memperlai (lelaki atau perempuan) yang belum berusia 21 tahun dan tidak telah pernah kawin sebelumnya, diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman tersebut. 5. Bagi calon mempelai wanita yang mau kawin mendahului dari umu 16 tahun atau bagi calon mempelai pria yang mau kawin mendahului dari umur 19 tahun, maka untuk mendapatkan dispensasi kawin, ia mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh orang tua masing-masing. 6. Pencegahan perkawinan terhadap rencana perkawinan karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan atau karena alas an hukum lainnya, diajukan permohonannya ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan akan di langsungkan. 7. Calon mempelai yang ditolak untuk melangsungkan perkawinannya oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah) karena menurut PPN tidak boleh, sedangkan menurut calon boleh diajukan oleh si calon ke Pengadilan Agama yang mewilayahi PPN tersebut. 8. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi di mana perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atauke Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 16
  • 17. Pegadilan Agama yang mewilayahi suami-isteri yang bersangkutan, atau ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman salah seorang dari suami isteri tersebut. 9. Gugatan gabungan (kumulasi objektif), misalnya gugatan cerai yang disertai dengan gugatan mengenai akibat dari perceraian tersebut, maka dilihatlah kepada pokok perkaranya. Dalam hal ini, pokok perkaranya adalah gugatan cerai, untuk mana berlakulah ketentuan seperti telah disebutkan di butir 2. di muka. Sebagian ditemui aturan tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara perkawinan, di dalam UU No. 7 tahun 1989 dan sebagian lagi ditemui dalam UU No. 1 tahun 1974 jo. PP No. 9 tahun 1975. C. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan Dalam Perkara Selain Perkara Perkawinan Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara selain perkara selain perkara perkawinan sama dengan tempat mengajukan gugatan/permohonan menurut Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, yaitu sebagai berikut. 1. Asas umumnya diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal tergugat. 2. Kalau tempat tinggal tergugat tidak diketahui, diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat nyatanya tergugat berdiam (berada). 3. Jika tergugat lebih dari seorang, tidak tinggal dalam suatu wilayah Pengadilan Agama, diajukann ke Pengadilan Agama yang mewilayahi salah satu dari tempat tinggal tergugat menurut yag=ng dipilih oleh penggugat. 4. Jika tergugat-tergugat satu sama lain sebagai perutang pertama dan penanggung, diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggal si perutang pertama. 5. Jika tergugat tidak dikenal atau tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat tinggalnya tidak dikenal, diajukan ke Pengadilan Agama temoat tinggal penggugat atau salah satu dari penggugat. 6. Jika gugatan mengenai benda tetap (onroerende goederen), di ajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat benda tetap itu. 7. Kalau penggugat dan tergugat telah memilih tempat berperkara dengan akta secara tertulis, diajukan ke Pengadilan Agama yang telah dipilih itu. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 17
  • 18. LIMA Gugatan dan Permohonan A. Gugatan/Permohonan Sebagai Hak Prive Hukum Perdata sebagaimana dimaklumi adalah mengatur tentang hak dan kewajiban antara seseorang dengan pihak lain, sedangkan Hukum Acara Perdata adalah mengatur tentang cara mewujudkan/mempertahankan Hukum Perdata itu. Apakah seorang mau menggugat atau tidak, sekalipun ada haknya yang diperkosa oleh orang lain, sepenuhnya terserah kepada orang itu sendiri, yang sama sekali tidak ada sangkut paunya dengan siapa pun, sebab yang demikian itu adalah hak Prive (Pribadi) nya sendiri. I tu berarti, sekalipun seseorang diperkosa haknya oleh oranglain, kalau ia diam saja tidak mau menggugat, tidak bisa dipaksakan supaya ia menggugat. Sebaliknya, sekalipun tidak ada hak perdata nya yang diperkosa oleh seseorang tetapi ia secara mau coba-coba menggugat nekad, juga tidak bisa dilarang. Surat gugatan/permohonan di muka Pengadilan Agama, sebagaimana juga di muka Pengadilan Negeri, tidak memerlukan surat pengantar/legalisasi seperti dari Lurah/Kepala Desa/BP4/Kantor urusan Agama Kecamatan/Kantor Camat dan lain sebagainya, hal di samping mungkin akan memperlambat proses, juga bertentangan dengan asas hak perdata sebagai hak prive. Adapun penggugat/pemohon umpamanya memerlukan berkonsultasi dengan advokat atau badan penasihat perkawinan dan penyelesaian perceraian (BP4) dan lain sebagainya, baik sebelum perkaranya terdaftar di pengadilan ataupun sesudahnya, itupun hal pribadinya, bukan keharusan, pula bukan merupakan syarat untuk suatu gugatan/permohonan. B. Pihak-pihak 1. Penggugat dan Tergugat Penggugat ialah orang yang menuntut hak perdatanya ke muka Pengadilan perdata. Penggugat ini disebut eiser (Belanda) atau al-mudda’y (arab). 2. Pemohon dan Termohon Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 18
  • 19. Di samping peradilan dalam arti sesungguhnya (jurisdictio contentiosa), ada kemungkinan seseorang memohon kepada pengadilan untuk minta ditetapkan atau mohon ditegaskan sesuatu hak bagi dirinya atau tentang sesuatu situasi hukum tertentu, baginya sama sekali tidak ada lawan (tidak berperkara dengan orang lain). Orang yang memohon di situ disebut dengan istilah “pemohon” atau introductief request (Belanda), atau al-mudda’y (Arab). Termohon sebenarnya dalam arti “asli”, bukanlah sebagai pihak tetapi hanya perlu dihadirkan di depan siding untuk didengar keterangannya untuk kepentingan pemeriksaan, karena termohon mempunyai hubungan hukum langsung dengan pemohon. Jadi dalam arti asli, termohon tidak imperative hadir di depan sidang seperti halnya tergugat, artinya sekalipun termohon tidak hadir, bilamana permohonan cukup beralasan (terbukti) maka permohonannya akan dikabulkan dan kalau tidak terbukti ditolak.  UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan “permohonan” oleh “pemohon”.  Pasal 38 PP No. 9 tahun1975 tentang permohonan pembatalan perkawinan.  Pasal 40 PP No. 9 1975 tentang permohonan untuk beristeri lebih dari seorang.  Pasal 65-72 UU No. 7 tahun 1989 tentang pemohonan cerai talak. 3. Kuasa Khusus dan Penasihat Hukum Tentang kuasa khusus dan penasihat hukum dimaksudkan dalam uraian di sini karena menyangkut langsung pihak-pihak yang berperkara. Istilah kuasa khusus selalu dikaitkan dengan perkara pidana. I tu berarti bahwa istilah penasihat hukum tidak akan diketemukan di muka Peradilan Agama yang perdata itu dan istilah kuasa khusus tidak akan diketemukan di muka pengadilan Pidana. Seorang pihak boleh memberikan kuasa kepada beberapa orang pemegang kuasa, juga boleh beberapa orang pihak memberikan kuasa kepada seorang pemegang kuasa. Pemberian kuasa khusus dapat di tempuh tiga cara, yaitu. a. Diterakan dalam surat gugat/surat permohonan atau dalam jawaban gugatan/jawaban permohonan langsung. Penggugat/pemohon dan tergugat/termohon sama-sama membubuhkan tanda tangannya di atas surat gugatan/surat permohonan dan surat jawaban gugatan/jawaban permohonan. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 19
  • 20. b. Dengan cara membuat surat kuasa khusus tersendiri, dilakukan di muka pejabat yang berwenang, yang paling tepat adalah di muka kepaiteraan penadilan atau notaris. c. Dengan dikemukakan langsung secara lisan oleh penggugat/pemohon, tergugat/termohon pemberi kuasa, di muka sidang. C. Bentuk dan Isi Gugatan/Permohonan Gugatan/permohonan dalam bahasa hukum islam disebut ad da’w a. Kata da’w a ini rupanya dipergunakan pula sebagai tuntutan pidana. Dapat diketahui, da’w a perdata atau da’w a pidana tergantung dengan konteks kalimat. Dalam tata hukum Indonesia, kata gugatan/permohonan hanya dipakai dalam kaitan acara perdata, lagi pula dibedakan maksud dan artinya. 1. Surat gugatan Bentuk dan isi surat gugatan secara garis besarnya terdiri dari tiga komponen, yaitu sebagai berikut. a. Identitas pihak-pihak b. Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak, biasa disebut bagian “posita” (jamak) atau “positum” (tunggal). c. I si tuntutan yang biasa disebut bagian “petita” (jamak) atau “petitum” (tunggal). 2. Surat permohonan Prinsip dalam surat permohonan adalah tidak mempunyai lawan, lain dengan surat gugatan. Tetapi sebagaimana diketahui bahwa di muka pengadilan agama ada perkara yang sepertinya voluntaria tetapi kenyataannya adalah contentiosa, sehingga dalam keadaan seperti ini, walaupun namanya permohonan, namun bentuknya seperti bentuk gugatan. Secara nyata perbedaan inti antara surat gugatan dan surat permohonan bahwa pada surat permohonan tidak dijumpai kalimat “berlawanan dengan”, kalimat “duduk perkaranya”, dan kalimat “permintaan membayar biaya perkara kepada pihak law an.” 3. Gugatan/Permohonan Lisan Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 20
  • 21. Gugatan atau permohonan pada prinsipnya harus dibuat tertulis oleh penggugat atau oleh pemohon atau oleh kuasa sahnya. Tapi kalau pemohon/penggugat tidak bisa menulis (maksudnya buta huruf) maka gugatan atau permohonan boleh diajukan secara lisan. Kalau diajujan secara lisan maka panitera atas nama Ketua Pengadilan agama membuat catatan yang diterangkan oleh penggugat atau pemohon kepadanya, yang disebut “catatan gugat atau catatan permohonan”. D. Kelengkapan Gugatan/Permohonan Sekalipun surat gugatan atau permohonan sudah dibuat tetapi untuk mendaftarkan di pengadilan agama tentunya harus diperlengkapi dengan syarat-syarat lainnya. Syarat kelengkapan gugatan atau permohonan, ada syarat kelengkapan umum dan ada syarat kelengkapan khusus. 1. Syarat Kelengkapan Umum Syarat kelengkapan umum (minimal) untuk dapat diterima didaftarkannya suatu perkara di pengadilan ialah sebagai berikut. a. Surat gugatan atau permohonan tertulis, atau dalam hal buta huruf, catatan gugat atau catatan permohonan. b. Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi penggugat atau pemohon. c. Vorschot biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepada desa yang disahkan sekurang-kurangnya oleh camat. Menurut prinsip hukum acara perdata, apabila tiga hal di aras sudah dipenuhi, pengadilan secara formal tidak boleh menolak untuk menerima pendaftaran perkaranya, sebab syarat-syarat kelengkapan selainnya, sudah merupakan syarat untuk pemeriksaan bahkan mungkin untuk syarat pembuktian perkara. 2. Syarat Kelengkapan Khusus Syarat kelengkapan khusus ini tidaklah sama untuk semua kasus perkara, jadi tergantung kepada macam atau sifat dari perkara itu an sich. Contohnya sebagai berikut. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 21
  • 22. a. Bagi anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan kepolisan yang mau kawin atau mau bercerai harus melampirkan izin komandan. b. Mereka yang mau kawin lebih dari seorang (selain ABRI , Kepolisian dan pegawai negeri sipil), harus melampirkan; 1. Surat persetujuan tertulis dari isterinya yang telah ada 2. Surat keterangan tentang penghasilan suami, seperti daftar gajinya atau harta yang dijadikan usahanya dalam mencari nafkah atau penghasilan-penghasilan lainnya, untuk bukti bahwa suami tersebut mampu beristeri lebih dari seorang, 3. Surat pernyataan dari suami bahwa ia sanggup berlaku adil terhadap isteri atau isteri-isterinya dan anak-anaknya. c. Untuk keperluan tersebut di b. di atas, atau jika mau bercerai, kalau suami itu pegawai negeri sipil, maka syarat tersebut di b. harus ditambah lagi dengan adanya izin dari pejabat yang berwena ng (atasannya). d. Perkara-perkara perkawinan harus melampirkan kutipan akta nikah, seperti perkara gugatan cerai, permohonan untuk menceraikan isteri dengan cerai talak, gutatan nafkah isteri dan sebagainya. e. Perkara-perkara yang berkenaan dengan akibat perceraian harus melampirkan kutipan akta cerai. Seperti perkara gugatan nafkah iddah, gugatan tentang mut’ah (pemberian dari suami kepada bekas isteri yang diceraikan berhubung kehendak bercerai datangnya suami) dan lain sebagainya. f. Mereka yang hendak bercerai harus melampirkan surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan/kepala desa masing-masing, yang di sebut model “Tra.” g. Gugatan waris harus disertakan surat keterangan kematian pewaris. Dan lain-lain sebagainya. Khusus bagi pegawai negeri sipil yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk bercerai atau untuk kawin lebih dari seorang, yang menurut PP No. 10 tahun 1983, harus melampirkan izin dari pejabat yang berwenang (atasannya). Oleh mahkamah agung dengan surat edara No. 5 tahun 1984 tanggal 17 April 1984, diberikan petunjuk bahwa kepada pemohon diberikan kesempatan untuk menyampaikan izin pejabat yang berwenang tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan sejak perkara terdaftar di pengadilan. 3. Materai dan Rangkap Surat Gugatan/Permohonan a. Materai Surat Gugatan/Permohonan Menurut aturan lama sebagaimana disebutkan dalam: (1) Pasal 7 m dari ordonantie stbl. 1882-152 jis. Stbl. 1937-116 dan 610, (2) Pasal 19 dari Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 22
  • 23. ordonantie stbl. 1937-638 dan 639, (3) Pasal 11 ayat (2) dari PP No. 45 tahun 1957, semua surat-surat perkara yang semata-mata untuk pemeriksaan perkara di muka Peradilan Agama tingkat pertama maupun tingkat banding, salinan-salinan putusan/penetapan, surat-surat untuk menjalankan keputusan, surat permohonan tentang perselisihan kekuasaan mengadili serta keputusan-keputusannya, dibebaskan dari materai. Tetapi, ordonantie tersebut di (1) yaitu untuk peradilan agama di pulau Jawa-Madura, tersebut di (2) yaitu untuk peradilan agama di sebagian daerah Kalimantan-Selatan dan Timur, tersebut di (3) untuk daerah-daerah Indonesia lain-lainnya, sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 7 tahun 1989. Sekarang, semua aturan materai seperti yang diatur dalam UU No. 13 tahun 1985, LN 1985-69, tentang bea materai, yang menggantikan Zegelverordening tahun 1921, yang telah berkali-kali diubah, terakhir dengan UU No. 2 Prp. 1965, LN 1965-21 yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU No. 7 tahun 1969, LN 1969-38, menjadi berlaku untuk peradilan agama. b. Rangkap Surat Gugatan/Permohonan Surat gugatan atau permohonan, pada prinsipnya cukup satu rangkap saja. Adapun untuk dilampirkan pada surat panggilan kepada tergugat atau termohon, atau untuk keperluan banding (kalau ada banding), atau untuk keperluan kasasi (kalau ada kasasi), atau untuk keperluan peninjauan kembali (jika terjadi peninjauan kembali), adalah tugas pengadilan yang bersangkutan untuk menyalinnya sesuai dengan kebutuhan. Akan tetapi dalam praktik, hal serupa itu sering melambatkan proses, karenanya oleh pengadilan biasa dimintakan untuk beberapa rangkap, misalnya 5 rangkap (kalau tergugatnya 1 orang), 6 rangkap (kalau tergugatnya 2 orang) dan seterusnya. Kagunaannya iaalah, satu rangkap untuk dilampirkan pada surat panggilan kepada setiap tergugat, tiga rangkap untuk cadangan kalau nantinya terjadi banding. Untuk menjamin sah bermaterai cukup dan swah legalisasi, maka perlu di tempuh sebagai berikut: Photocopy sebanyak yang diperlukan, bawa lampiran tersebut ke kantor pos untuk minta si “nachtsegelen” kan oleh kantor pos tiap-tiap lembarnya, lalu mintakan legalisasi di kepaniteraan pengadilan. Untuk nachtsegelen ini, wajib bayar per lembarnya sebesar harga materai per lembar surat aslinya. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 23
  • 24. E. Gugatan Kembali (Reconventie) Gugatan asal tersebut “gugatan dalam conv entie”. Tergugat dalam conventie (tergugat asal) adakalanya ia akan menggunakan sekaligus dalam kesempatan berperkara itu untuk menggugat kembali kepada penggugat asal (penggugat dalam conventie), sehingga tergugat asal (dalam conventie) sekaligus beritindak menjadi penggugat dalam conventie dan dalam reconventie tersebut akan diperiksa dan diputus sekaligus dalam perkara itu juga, mungkin hanya dengan “satu putusan” atau bisa juga dalam “dua putusan.” Gugatan balik (reconventie) ini hanya ditemui dalam hukum acara perdatan peradilan umum yang dimuat dalam Pasal 132 a dan b dari HIR (HIR dibuat dengan stbl. 1941-44). Akan tetapi, di lingkungan peradilan umum sudah mempergunakannya sejak tahun 1927, berdasarkan analogie (qiyas) kepada pasal 244-247 Reglement Rechtsvordering (Rsv), yaitu hukum acara perdata yang berlaku bagi golongan eropa di Indonesia tempo dulu. Syarat-syarat dibolehkannya gugatan reconventie adalah sebagai berikut. 1. Mengajukan gugatan reconventie selambatnya bersama dengan jawaban pertama dari tergugat conventie. Gugatan reconventie sama dengan gugatan conventie, boleh lisan bagi buta huruf. 2. Di muka pengadilan tingkat pertama tidak mengajukan reconventie maka di tingkat banding dan kasasi tidak boleh mengajukan gugatan reconventie. 3. Gugatan reconventie harus juga jenis perkara yang menjadi kekuasaan dari pengadilan dalam conventie. Patut diingatkan bahwa gugat balik hanya berlaku dalam perkara yang terdiri dari dua pihak yang berlawanan, jadi dalam perkara permohonan (voluntaria) penuh, tidak berlaku reconventie. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 24
  • 25. ENAM Pendaftaran Perkara dan Persiapan Sidang A. Pendaftaran Perkara di Pengadilan Sesudah surat gugatan atau permohonan dibuat dan dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan umum atau mungkin sudah sekaligus dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan khusus, atau dalam hal buta huruf, bawa saja semua syarat-syarat kelengkapan itu ke pengadilan agama, daftarkanlah di kepaniteraan. Sewaktu kepaniteraan pengadilan agama menerima berkas, surat gugatan atau permohonan itu akan diteliti dan penelitian itu menyangkut dua hal: (1) Apakah surat gugatan atau permohonan itu sudah jelas, benar tidak tukar balik mulai dari identitas pihak-pihak, bagian posita dan tentang petitanya, apakah posita sudah terarah sesuai dengan petita sebagainya, (2) Apakah perkara tersebut termasuk kekuasaan Pengadilan Agama, baik kekuasaan relatif maupun kekuasaan absolut. Berikut satu contoh dalam perkara pelanggaran ta’liq-talaq yang petitanya tidak benar: Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama untuk: a) Mengabulkan sepenuhnya gugatan penggugat b) Menceraikan penggugat dari tergugat dengan talaq I bi al ‘iwad Rp 1.000,- (seribu rupiah) karena tergugat melanggar ta’liq talaq c) Mewajibkan kepada tergugat untuk membayar ongkos perkara. Petita yang benar seharusnya berbunyi sebagai berikut: 1. Menerima gugatan penggugat 2. Mengabulkan seluruhnya gugatan penggugat 3. Menyatakan sah menurut hukum bahw a ta’liq talaq telah terw ujud (telah melanggar oleh tergugat) 4. Memutuskan cerai antara penggugat dan tergugat dengan talaq I bi al ‘iwad Rp 1.000,- (seribu rupiah) karena pelanggaran ta’liq talaq. 5. Biaya perkara menurut hokum Petita harus diatur urutannya sedemikian rupa karena pengadilan belum akan mengabulkan atau menolak gugatan penggugat sebelum dinyatakan dulu bahwa perkaranya secara formal diterima oleh pengadilan. Selanjutnya, bila syarat kelengkapan umum gugatan atau permohonan sudah dipenuhi, penelitian sudah dilakukan dan sudah benar maka pengadilan dilarang untuk tidak menerima didaftarkannya perkara tersebut, Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 25
  • 26. sebagaimana telah di tunjuk dalam pasal 14 UU Nomorn14 Tahun 1970, yang berbunyi: 1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dialih bahwa hukum tidak kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. Adapaun syarat kelengkapan khusus, karena ia sudah merupakan syarat kelengkapan material, dapat saja disusulkan kemudian, ketika mulai pemeriksaan perkara. B. Penunjukan Majelis Hakim dan Penetapan Hari Sidang 1. Penunjukan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan Setelah perkara terdaftar di kepaniteraan Penanitera wajib secepatnya menyampaikan berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan Agama, disertai “usul tindak” atau “saran tindak”, yang kira-kira berbunyi “sudah di teliti dan syarat formal cukup”. Atas dasar itu ketua pengadilan Agama dapat menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili masalah tersebut, dengan surat penetapan, disebut “penunjukan majelis hakim” (model PMH). Penetapan PMH memakai nomor kode indeks surat keluar biasa dan isinya menunjuk siapa-siapa hakim yang akan menangani perkara yang dimaksudkan, siapa hakim ketua dan anggota, mungkin pula sekaligus menunjuk panitera sidangnya. Panitera sidang, jika dalam PMH belum ditunjuk, dapat ditunjuk oleh ketua majelis. Ganti atau tukar Panitera Sidang karena suatu hal, itu boleh saja dan tidak mesti dengan surat penetapan, jadi boleh isidental, sebab panitera sidang hanyalah pembantu untuk kelancaran sidang. Walaupun prinsipnya tidak perlu dengan Surat Penetapan, menurut majelis sebaiknya ada semacam surat tertulis yang dapat menjadi pegangan bagi panitera sidang tersebut. Untuk tidak membingungkan, terutama bagi mereka yang baru berkenalan dengan pejabat pengadilan, rasanya baik juga dijelaskan sekaligus sebagai berikut. a. Ketua pengadilan adalah jabatan structural sebagai Pemimpin Pengadilan. Yang mewakilinya di bidang itu disebut Wakil Ketua Pengadilan. Biasa disingkat “Ketua” dan “Wakil Ketua” saja. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 26
  • 27. Ketua dan Wakil ketua Pengadilan selalu (mesti) hakim dan hakim itu adalah jabatan fungsionalnya. Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan belum tentu selalu ikut sidang atau selalu dalam sidang bertindak sebagai Ketua Majelis sidang. b. Ketua Majelis sidang adalah hakim yang memimpin sidang, mungkin ia ketua atau wakil ketua pengadilan, tetapi bisa dan mungkin hakim biasa. c. Panitera pengadilan selalu tunggal, biasa disebut dengan singkat “Panitera” saja, ia adalah Panitera kepala di pengadilan tersebut. Panitera adalah jabatan fungsionalnya dan panitera kepala adalah jabatan strukturalnya. d. Menurut UU No. 7 tahun 1989, Panitera merangkap sekretaris pengadilan. Sebagai panitera, ia dibantu oleh wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti. Dalam sidang, mereka disebut panitera sidang dan bertanggung jawab kepada ketua majelis tetapi di luar sidang bertanggung jawab menurut hierarkis struktur. e. Wakil ketua pengadilan, hakim dan panitera pengadilan bertanggung jawab langsung kepada ketua pengadilan, tetapi di dalam sidang mereka bertanggung jawab kepada ketua majelis dan ketua majelis bertanggung jawab kepada ketua pengadilan. Ketua majelis, setelah ia menerima PMH dari ketua pengadilan agama, kepadanya diserahkan berkas-berkas perkara yang bersangkutan dan selanjutnya ia harus membuat penetapan hari sidang (model PHS), kapan sidang pertama akan dilangsungkan. 2. Penetapan Hari Sidang oleh Ketua Majelis Ketua Majelis membuat surat penetapan Hari Sidang (model PHS) untuk menentukan hari sidang pertama akan dimulai. Nomor kode indeks penetapan adalah nomor agenda surat ke luar biasa. Kalau panitera sidang belum ditunjuk dalam penetapan sidang belum ditunjuk dalam penetapan PMH terdahulu, ketua majelis sekaligus menunjuk pula panitera sidangnya. Berdasarkan PHS, juru Sita akan melakukan pemanggilan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk menghadiri sidang sesuai dengan hari, tanggal, jam dan tempat yang ditunjuk dalam PHS. Penetapan hari sidang selain “sidang pertama” dapat ditentukan dan dicatat saja dalam Berita Acara Sidang (tidak perlu dengan PHS lagi). Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 27
  • 28. Penetapan hari Sidang untuk sidang pertama sangat menentukan sekali, karenanya ia harus dibuat tersendiri. Kita ketahui bila tergugat sudah dipanggil dengan patut pada sidang pertama, ia atau kuasa sahnya tidak menghadap , maka ia akan diputus verstek. Jika penggugat sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama maka perkaranya akan diputus dengan digugurkan. Nah, landasan yuridis bolehnya “verstek” dan “digugurkan” dalam hal ini adalah PHS dari ketua majelis tadi. C. Pemanggilan Pihak-pihak Pemanggilan pihak-pihak untuk lingkungan Peradilan Agama sekarang ini, diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 juncto PP No. 9 tahun 1975 tetapi hanya mengenai perkara permohonan cerai talak dan perkara gugatan cerai. Selain dari kedua jenis perkara tersebut tidak diatur, sehingga masih dikaji tersendiri. 1. Menurut UU No. 7 tahun 1989 dan PP No. 9 tahun 1975 a. Pemanggilan kepada pemohon (suami) dan termohon (isteri) dalam perkara termohonan cerai talak, perkara permohonan suami untuk beristeri lebih dari seorang, dan panggila kepada pengugat (isteri) dan tergugat (suami) dalam perkara gugat cerai, selambat-lambatnya hari ke-27 sejak perkara terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama, sebab siding pertama untuk perkara-perkara itu selambat-lambatnya 30 hari sejak perkara terdaftar, sedangkan surat panggilan sekurang-kurangnya 3 hari sebelum sidang, sudah diterima oleh pihak yang dipanggil; b. Penggugat atau tergugat dalam perkara gugatan cerai akan dipanggil untuk menghadiri sidang. Panggilan disampikan kepada pribadi yang bersangkutan dan apabila tidak dijumpai, panggilan disampaikan melalui lurah/ kepala Desa. Panggilan tersebut dilakukan dengan patut dan sudah diterma oleh penggugat atau tergugat atau kuasanya selambat-lambatnya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan gugatan; c. Apabila tergugat dalam perkara gugat cerai, tidak jelas atau tidak diketahui tempat kediamannya atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan menempelkannya pada Papan Pengumuman resmi Pengadilan Agama ditambah dengan mengumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain. Pengumuman melalui surat kabar atau mass media tersebut dilakukan dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara panggilan pertama Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 28
  • 29. dan panggilan kedua, dan antara pangilan kedua dan dengan sidang ditetapkanya sekurang-kurangnya tiga bulan. Jika setelah itu tergugat atau kuasa sahnya tidak juga hadir, Pengadilan Agama dapat memutus dengan verstek; d. Panggilan kepada tergugat dalam perkara gugatan cerai yang tergugatnya berada di Luar Negeri, dilakukan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Tetapi secepat-cepatnya sidang pertama adalah enam bulan sejak perkara terdaftar. 2. Menurut HIR/RBg (Peradilan Umum) Bilamana diperhatikan dengan teliti pasal-pasal di dalam Het Herziene InlandscheReglement (HIR) dan pasal-pasal di dalam RBG (Rechts Reglement Buitengewesten), tentang pemanggilan pihak-pihak yang belum dicukupi oleh PP No. 9 tahun 1975 dan UU No. 7 tahun 1989 seperti telah diuraikan terdahulu, adalah tentang: a. Perkara digugurkan karena penggugat tidak hadir; b. Tergugat tidak hadir tetapo mempergunakan perlawanan (eksepsi), baik eksepsi relative maupun eksepsi absolut; c. Bolehnya memanggil yang kedua kalinya sebelum diputus dengan verstek atau digugurkan; d. Kewajiban mengundurkan sidang bila pada panggilan pertama sebagian tergugat hadir dan sebagian lagi tidak hadir; e. Panggilan kepada pihak yang tidak dikenal tempat tinggalnya (selain perkara gugatan cerai); f. Panggilan kepada pihak yang meninggal dunia. D. Tata Ruang dan Persiapan Sidang Sebagaimana diketahui bahwa sidang pengadilan berlainan dengan sidang-sidang biasa, ia mempunyai aturan-aturan tertentu sebagai diuraikan dibawah ini. Meja Sidang segi empat panjang, bertutup kain planel berwarna hijau lumut, panjang meja diperkirakan minimal untuk kursi hakim ditambah dengan prinsip administrasi perkantoran modern. Meja sidang ini menurut surat Keputusan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1986, tentang pembakuan perlengkapan kerja dilingkungan departemen Agama, berukuran 150 cm lebar, 300 cm Panjang. Menurut Direktorat pembinaan badan peradilan agama islam, dalam buku pedoman kerja pengadilan agama islam disebutkan lebar 100 cm, dan panjang 175 cm. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 29
  • 30. Di sebelah kanan meja sidang dipasang bendera merah putih dan di sebelah kirinya dipasang lambing pengadilan Agama. Tertempel pada dinding belakang meja adalah lambing Negara garuda. Dalam ruang sidang tidaklah perlu dipasang gambar presiden karena pada saat persigangan hakin hanya tunduk pada Negara saja. Susunan kursi hakim di muka sidang pengadilan agama nampaknya belum kontan, masih memakai dua macam cara: 1. Ketua ditengah-tengah, kiri kanannya anggota, paling kiri sendiri adalah panitera sidang; 2. Panitera sidang paling kiri, selanjutnya ke kanan adalah ketua, anggota yang lebih tua atau lebih muda di sini maksudnya adalah senioritas dalam jabatan hakim, bukan berdasarkan usia. Menurut surat edaran mahkamah agung nomor 22 tahun 1969, susunan majlis sidang perkara perdatamaupun pidana di muka pengadilan umum adalah: panitera sidang paling kiuri, terus berurutan kekanan adalah ketua, anggota yang lebih tua dan anggota yang lebih muda, yaitu seperti versi kedua yang di pakai oleh lingkungan peradilan agama kini. Untuk perkara pidana, surat edaran ini tidak berlaku lagi karena sidang perkara pidana, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981-76, Tentang hukum acara pidana, sudah diatur tersendiri, yaitu: ketua ditengah-tengah, di kiri kanannya adalah anggota, sedangkan panitera adalah antara ketua dan anggota (di sebelah kiri ketua) agak mundur sederet ke belakang, memakai meja sendiri. Berdasarkan aturan ini, peradilan umum perdata juga sudah banyak yang menerapkan susunan majelis hakim menurut acara pidana tersebut. Di lingkungan peradilan agama juga, jika ruang sidangnya sudah memungkinkan, dapat menerapkan yang sama. Di dalam ruang sidang ada kursi/bangku secukupnya untuk pihak-pihak, saksi-saksi, pemegang kuasa, pengunjung dan sebagainya. Deretan kursi paling depan adalah untuk pihak yang jaraknya dari meja sidang diperkirakan secukupnya. Pihak penggugat ditempatkan di sebelah kiri tergugat sedangkan tergugat di sebelah kanannya. (ini kode eti yang baik). Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 30
  • 31. TUJUH Pemeriksaan di Muka sidang A. Sidang Pertama dan Pengertiannya Sidang pertama bagi pengadilan mempunyai arti yang sangat penting dan menentukan dalam beberapa hal, misalnya sebagai berikut. 1. jika tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama, ia akan diputus verstek. 2. Jika penggugat atau pemohon sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama, ia akan diputus dengan digugurkan perkaranya. 3. Sanggahan (eksepsi) relatif hanya boleh diajukan pada sidang pertama. Kalau diajukan sesudah itu, tidak akan diperhatikan lagi. 4. Gugat balik (reconventie) hanya boleh diajukan pada sidang pertama. Oleh karena itu, sidang pertama harus jelas, apa maksud atau artinya, supaya tidak salah, misalnya dalam 4 hal disebutkan di atas tadi. Sidang pertama ialah sidang yang ditunjuk/ditetapkan menurut yang tertera dalam penetapan hari sidang (PHS) yang ditetapkan oleh ketua majelis, atau dapat juga diartikan sidang yang akan dimulai pertama kali menurut surat panggilan yang disampaikan kepada penggugat/tergugat. B. Jalannya Sidang Pertama 1. Tugas Panitera Sesaat Sebelum Sidang Panitera sidang, pada hari, tanggal dan jam sidang yang telah ditentukan, mempersiapkan dan men-chek segala sesuatunya untuk sidang. Setelah siap, panitera melapor kepada ketua majelis, lalu panitera sidang siap menunggu diruang sidang pada tempat duduk yang disediakan baginya dan telah siap memakai baju panitera sidang. Selanjutnya majelis hakim memasuki ruang sidang melalui pintu yang khusus untuknya, dalam keadaan sudah berpakaian toga hakim. Begitu majelis hakim memasuki ruang sidang, penitera mempersilahkan hadirin berdiri dan setelah hakim duduk, mempersilahkan kembali hadirin untuk duduk. Tugas ini bukan hanya untuk sidang pertama tetapi berlaku dalam segala persidangan. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 31
  • 32. 2. Ketua Majelis Membuka Sidang Ketua majelis membuka sidang dan sekaligus dinyatakan terbuka untuk umum dengan ketokan palu 1 atau 3 kali. Khusus untuk peradilan agama sebagai peradilan islam, sebaliknya dibuka dengan membaca basmalah, misal “sidang pengadilan agama ... dalam perkara ... antara penggugat ... berlawanan dengan tergugat ... dibuka dengan sama-sama membaca basmalah dan dinyatakan terbuka untuk umum.” UU Nomor 14 tahun 1970 pasal 17 (1) mengharuskan semua sidang pemeriksaan perkara dipengadilan, terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Tidak dipenuhinya ketentuan itu menyebabkan putusan batal demi hukum dan ketentuan ini berlaku untuk semua lingkungan peradilan di indonesia. Pasal 18 dari UU tersebut mengatakan bahwa semua putusan pengadilan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Ketentuan ini berlaku untuk semua putusan termasuk penetapan, sekalipun umpamanya sidang-sidang sebelumnya dilakukan dalam sidang tertutup. Menurut UU No 14tahun 1985, LN 1985-73 tentangmahkamah agung, tidak dipenuhinya kewajiban sidang terbuka untuk umum ini dapat digunakan sebagai salah satu alasan memohon kasasi. Sidang terbuka untuk umum artinya siapa saja boleh mengikuti/mendengarkanjalannya sidang, boleh masuk ruang sidang, asal tidak mengganggu atau membuat keonaran dalam sidang. Juga pihak-pihak, bagi keperluan perkaranya, jika dirasa perlu boleh merekam jalannya sidang dengan tape-recorder, sehingga mereka sesewaktu dapat menyimak sidang bagi kepentingan pembelaan perkaranya. Sidang tertutup dimungkinkan kalau ada ketentuan khusus atau ada alasan khusus yang diajukan oleh pihak atau pihak-pihak yang menurut majelis dikabulkan. Contoh bolehnya sidang tertutup karena ada ketentuan khusus, pasal 17 ayat (3) UU Nomor 14 tahun 1970 menyebut, sidang permusyawaratan majelis hakim bersifat rahasia, dus selalu dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum. Pasal 33 PP Nomor 9 tahun 1975 menyebut, pemeriksaan perkara gugatan cerai selalu dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum. Pasal 68 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989 menyebut, pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup. Contoh sidang tertutup atas permintaan pihak atau pihak-pihak yang dikabulkan oleh majelis hakim, seperti karena perkaranyatersebut sangat berkaitan langsung dengan nama baik, harkat dan martabat atau kesusilaan dan kehormatan pihak atau pihak-pihak. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 32
  • 33. Pertimbangan hakim majelis mengabulkan sidang tertutup harus dengan penetapan sela, tetapi cukup dicantumkan dalam berita acara sidang saja, tidak perlu dengan penetapan tersendiri, sebab penetapan sela di situ tidak mempengaruhi kepada putusan akhir (eind vonnis) Sidang tertutup untuk umum maksudnya ialah bahwa selain daripada yang berkepentingan langsung atau nyang diizinkan oleh majelis hakim, harus meninggalkan ruang sidang. Tentu saja diluar harus diawasi oleh petugas pengadilan agar tidak ada yang menguping, termasuk mik dan speaker (pengeras suara) supaya disingkirkan. Sesudah sidang dinyatakan terbuka untuk umum oleh ketua majelis, ketua majelis mengizinkan pihak-pihak untuk memasuki ruang sidang. Atas izin ini, panitera sidang atau petugas lain yang ditunjuk, memanggil pihak-pihak untuk masuk dan duduk pada kursi yang disediakan untuknya. Sebagaimana sudah disebutkan bahwa menurut etik sidang yang baik, penggugat duduk disebelah kiri dari tergugat. Selanjutnya, ketua majelis akan mulai menanyakan identitas pihak-pihak. 3. Ketua Majelis Menanyakan Identitas Pihak-pihak Pertanyaan pertama ketua majelis adalah mana penggugat dan mana tergugat, untuk mengatur tempat duduknya. Lalu dilanjutkan dengan menanyakan identitas pihak-pihak, dimualai dari penggugat, seterusnya tergugat, yang meliputi nama, bin/binti, alias/julukan/gelar (kalau ada), umur agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir. Menanyakan identitas pihak-pihak di sini sangatlah formal, artinya sekalipun mungkin saja sudah tahu/kenal dengan membaca surat gugatan sebelumnya, namun menanyakan kembali di depan sidang ini adalah perlu (mutlak). Perlu dikemukakan dua hal disini: a. menanyakan identitas pihak-pihak, saksi-saksi atau lain-lain yang bersifat kebijaksanaan umum dalam persidangan selalu oleh ketua majelis, sebab ketua majelislah yang bertanggung jawab akan arahanya pemeriksaan/sidang. b. hakim yang baik dan manusiawi, apalagi sebagai hakim agama, hendaklah selalu berusaha menggugah hati para pihak sehingga mereka tidak merasa gentar yang akhirnya terbukalah tabir persoalan yang sebenarnya. Setelah selesai masalah identitas, hakim menanyakan kepada para pihak, apakah tidak ada hubungan keluarga atau hubungan semenda dengan para hakim dan panitera yang sedang menyidangkan perkara. Kalau dijawab ada, sidang akan memperbincangkan sejenak, apakah ada Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 33
  • 34. kewajiban hakim untuk mengundurkan diri sehubungan dengan adanya hubungan itu. Selanjutnya hakim akan menganjurkan damai antar pihak yang berperkara. 4. Anjuran Damai Menurut HIR, anjuran damai dari hakim sudah dilakukan (dalam sidang pertama) sebelum pembacaan surat gugatan. Hal ini seperti kurang rasional, sebab bagaimana hakim tahudan bisa menganjurkan damai jika hakim sendiribelum tahu duduk perkaranya. Begitu pula, sebelum penggugat membacakan gugatannya, apakah tidak mungkin penggugat mengubah gugatannya. Anjuran damai sebenarnyadapat dilakukan kapan saja sepanjang perkara belum diputus, tetapi anjuran damai pada permulaan sidang pertama adalah bersifat “mutlak/wajib” dilakukan dan dicantumkan dalam berita acara sidang, karena ada keharusan yang menyatakan demikian, walaupun mungkin menurut logika, kecil sekali kemungkinannya. Pernah juga terjadi perdamaian tetapi kebanyakan bukan terjadi dalam sidang pertama. Kalau terjadi perdamaian maka dibuatkanlah akta perdamaian dimuka pengadilan dan kekuatannya sama dengan putusan. Terhadap perkara yang sudah terjadi perdamaian tidak boleh lagi diajukan perkara, kecuali tentang hal-hal baru diluar itu. Akta perdamaian tidak berlaku banding sebab akta perdamaian bukan keputusan pengadilan. Bila tidak terjadi perdamaian, hal itu harus dicantumkan dalam Berita Acara Sidang, sidang akan dilanjutkan. 5. Pembacaan Surat Gugatan Pembacaan surat gugatan ini, sebagaimana sudah dikemukakan, sebaiknya dilakukan mendahului dari anjuran damai dan pembacaan surat gugatan selalu oleh penggugat atau oleh kuasa sahnya, kecuali kalau penggugat buta huruf atau menyerahkannya kepada panitera sidang. Di tingkat banding dan di tingkat kasasi lain halnya, yang membacakan segala berkas yang perlu itu, adalah panitera langsung, sebab pihak tidak hadir lagi dimuka sidang. Selesai gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan kalau tidak tercapai, ketua majelis melanjutkan dengan menanyakan kepada tergugat, apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis dan kalau akan menjawab tertulis apakah sudah siap atau memerlukan waktu berapa lama untuk itu. Bila keadaannya sepertiterakhir ini, tentu saja sidang kali itu akan ditutup, akan dilanjutkan di kali yang lain. Jika tergugat akan menjawab lisan atau akan menjawab tertulis tetapi sudah siap ditulisnya, sidang dilanjutkandengan mendengarkan jawaban tersebut. Jawaban pertama, baik lisan ataupun tertulis dari tergugat ini Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 34
  • 35. disebut “replik” (cq. Replik 1), sedangkan jaw aban penggugat atas jaw aban itu disebut “duplik” (cq. Duplik 1). Begitulah seterusnya, replik-duplik, replik-duplik. Kalau replik-duplik tersebut berlangsung lisan, pihak mau, hakim tidak keberatan, waktu mengizinkan, mungkin saja sidang pertama itu berlangsung sampai pada tahap pembuktian bahkan mungkin saja sampai pada tahap musyawarah majelis hakim, tetapi aneh sekali kalau langsung sampai tahap pengucapan keputusan. Dikatakan aneh sebab putusan baru boleh diucapkan setidak-tidaknya sudah dalam keadaan terkonsep rapi (walaupun belum diketik) dan penulis merasa bahwa panitera Pengadilan Agama, juga hakim-hakimnya, bukanlah komputer atau robot. Perlu diingatkan bahwa hak bicara terakhir di depan sidang selalu pada tergugat, jadi replik-duplik belum akan berakhir sepanjang tergugat masih ada yang akan dikemukakannya, kecuali kalau menurut majelis, sudah ngawur alias tidak relevan. I tu berarti segala pemeriksaan dalam semua tahap, selalu dimulai dari pihak penggugat dan diakhiri dari pihak tergugat, tidak putar balik, apalagi terbalik. C. Hal-hal yang Mungkin Terjadi dalam Sidang, Terutama dalam Sidang Pertama Sebagaimana sudah diterangkan bahwa hal-hal yang mungkin terjadi pada sidang pertama dan justru sangat berpengaruh, cukup banyak, di antaranya akan diterangkan di bawah ini satu persatu. 1. Pihak-pihak Tidak Hadir di Muka Sidang Dalam perkara perdata, kedudukan hakim adalah sebagai penengah di antara pihak yang berperkara, ia perlu memeriksa (mendengarkan) dengan teliti terhadap pihak-pihak yang berselisih itu. I tulah sebabnya pihak-pihak pada prinsipnya harus semua hadir di muka sidang. Berdasarkan prinsip ini maka di dalam HIR misalnya, diperkenankan memanggil kedua kali (dalam sidang pertama), sebelum ua memutus verstek atau digugurkan. 2. Penggugat Tidak Hadir (Perkaranya Digugurkan) Konsekuensinya adalah perkara yang diajukan akan digugurkan. Penggugat yang tidak hadir ini disebut dalam kitab Fiqh dengan istilah “almudda’y al gaib” sedangkan putusan digugurkan disebut “al qada’u al masqut. 3. Tergugat Tidak Hadir (akan diputus verstek) Jika tergugat tidak hadir dengan sebab-sebab yang tidak dapat diketahui maka majelis hakim memutus perkara dan memberikan putusan verstek. Dalam kita fiqh islam memutus dengan verstek disebut “al qada’u ‘ala al ga’ib”. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 35
  • 36. 4. Tergugat Sebagian Hadir dan Sebagian Tidak Hadir HIR Pasal 127 mengatur bahwa sidang wajib ditunda sampai kali yang lain. Terhadap penggugat dan tergugat yang telah hadir diberitahukan langsung kapan sidang selanjutnya, sedangkan terhadap tergugat yang belum hadir diperintahkan untuk dipanggil lagi dengan surat panggilan. Pemeriksaan terhadap perkara yang tergugatnya tidak hadir di sini berlangsung tanpa bantuan tergugat, disebut pemeriksaan “contradictoir” atau “op tegenspraak”. 5. Penggugat/Tergugat Hanya Hadir di Sidang Pertama Pada sidang pertama tergugat mungkin hadir tetapi pada sidang sidang selanjutnya tidak pernah hadir lagi bahkan sampai sidang pengucapan keputusan juga tidak hadir. Kalau pengguggat sudah pernah hadir di sidang pertama, sekalipin sidang-sidang selanjutnya atau bahkan pada waktu pengucapan keputusan tidak hadir maka perkaranya tidak bisa lagi digugurkan. Jadi berjalanlah seperti biasa, hanya saja tanpa bantuan penggugat. Jika keadaan seperti itu terjadi pada tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) maka perkaranya tidak bisa lagi diputus verstek, melainkan dengan putusan biasa tetapi tanpa bantuan tergugat atau termohon. 6. Suatu Permasalahan Sebagaimana sudah sering dikemukakan bahwa di lingkungan Peradilan Agama ada perkara permohonan yang melahirkan adanya pemohon dan termohon tetapi perkara terebut dianggap perkara peradilan yang sesungguhnya (jurisdiction contentiosa). Produk peradilan agama terhadap perkara itu sendiri, kadangkala putusan kadangkala penerapan. Dalam kaitannya dengan soal verstek, digugurkan, eksepsi, reconventie, maka pemohon di situ harus dianggap penggugat dan termohon harus dianggap tergugat, sekalipun produk pengadilan agama mungkin penetapan. I tu sebagai konsekuensi bahwa termohon boleh turut ke dalam proses,di mana ia berhak banding dan atau seterusnya kasasi. 7. Exceptie (Eksepsi) Eksepsi adalah tangkisan dari tergugat. Jenis eksepsi terkait dengan materi perkara disebut sebagai “v erweer ten principale” (dalam bahasa belanda) atau bantahan pokok perkara yakni terdiri atas dua macam : a. Dilatoir eksepsi yaitu menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan, seperti dalam perkara gugatan cerai karena pelanggaran ta’liq talaq yang diajukan oleh pihak istri (penggugat) padahal suami (tergugat) Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 36
  • 37. belum cukup 3 bulan tidak memberikan nafkah,sedangkan dalam lafadz ta’liq talaq akan jatuh talaq jika pihak suami tidak memberikan nafkah selama 3 bulan. b. Peremtoir eksepsi bantahan yang menghalangi dikabulkannya gugatan. Kalau dalam contoh a. di atas, si isteri (penggugat) Nusyuz (tidak taat kepada suami) menjadi penghalang hak nafkah isteri. 8. Proses dengan Tiga Pihak (Intervensi dan Vrijwaring) a. Intervensi Intervensi (tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi. b. Vrijwaring Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: tergugat digugat oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh penggugat mengandung cacat tersembunyi, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut bertanggung jawab atas cacat itu. 9. Gugatan Kembali (Reconventie) Tentang hal ini lihatlah kembali Bab V E. terdahulu. Reconventie adalah salah-satu di antara hal-hal yang mungkin terjadi dalam jawaban pertama tergugat. 10. Pencabutan Gugatan Pencabutan gugatan, baik penggugat sendirian atau bersama-sama, boleh saja dilakukan, asal dengan cara tertentu. Kalau penggugat terdiri dari beberapa orang, ada yang mencabut dan ada yang tidak maka pencabutan hanya berlaku bagi yang mencabut saja, sedangkan perkara tetap jalan Jika pencabutan terjadi bukan atas perdamaian antara penggugat dan tergugat melainkan atas kehendak penggugat sendiri maka perkara itu masih boleh diajukan ke pengadilan di kali yang lain (kalau ia mau) dengan prosedur perkara baru. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 37
  • 38. Dengan dicabutnya permohonan banding dan atau kasasi maka perkara banding atau kasasi tersebut tidak boleh lagi dimohonkan kembali banding atau kasasi sekalipun tenggang waktu banding atau kasasi belum berakhir. 11. Perubahan Gugatan Perubahan gugatan, termasuk penambahan atau pengurangan tidak diatur dalam HIR atau RBg. Oleh karena itu, menurut Prof. Subekti, S.H. (mantan ketua Mahkamah Agung), cukuplah kita berpendapat bahwa perubahan, termasuk penambahan dan pengurangan gugatan diperkenankan, asal perubahan tersebut tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak. Arti kata lain dari Perubahan gugatan ialah : a. Perubahan atau penambahan gugatan, sepanjang bukan mengemukakan hal/tuntutan baru yang sama sekali lain daripada yang semula, pada prinsipnya diperkenankan, dengan syarat dengan persetujuan majelis hakim. Jika tergugat sudah menjawab, juga ditambah dengan persetujuan tergugat. b. Perubahan atau penambahan gugatan yang sama sekali lain daripada yang semula, yang merupakan hal/tuntutan baru sama sekali, tidak diperkenankan. c. Majelis hakim dalam mempertimbangkan boleh atau tidaknya adalah melihat kasus demi kasus. 12. Pihak Meninggal dunia Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 5 tahun 1968 tertanggal 11 November 1968, ada diberikan petunjuk bahwa perkara kasasi yang diajukan oleh ahli waris dalam hal pihak meninggal dunia, harus ada surat keterangan keahli-warisan dari kepala desa/lurah yang mewilayahi pihak yang meniggal dunia tersebut. Menurut Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A. SEMA tersebut tidak berlaku bagi pihak yang beragama islam. Tidak sah surat keterangan keahli-warisan yang dikeluarkan oleh lurah/kepala desa dengan alasan sebagai berikut. a. Menetapkan sah atau tidak sahnya ahli waris bagi mereka yang beragama islam hanya sah jika diberikan oleh Pengadilan Agama, lebih-lebih setelah berlakunya UU No. 7 tahun 1989. b. Lurah/kepala desa, tidak semuanya beragama islam, yang tentunya tidak tahu siapa ahli waris dan bukan ahli waris menurut islam. Dan menurutnya, kalau pihak yang dalam proses berperkara itu beragama islam dan meninggal dunia, perkaranya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya yang sah melalui penetapan pengadilan agama. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 38
  • 39. D. Majelis Hakim 1. Hakim Majelis Sekurang-kurangnya Tiga Orang 2. Pergantian Hakim Majelis 3. Larangan Hakim Menyidangkan Perkara dan Hak Ingkar 4. Sidang Keliling dan Berkamar 5. Susunan Tempat Duduk Hakim 6. Toga Hakim dan Baju Panitera E. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara Pada sidang pertama ini, ada hal-hal penting yang mungkin terjadi dan sangat berpengaruh terhadap proses perkara, seperti eksepsi, reconventie, intervensi dan sebagainya, bahkan mungkin juga tergugat/termohon tidak hadir tanpa alasan. 1. Tahap Jawab-Berjawab (Replik-Duplik) Hal yang perlu diingat disini: a. Tergugat/termohon selalu mempunyai hak bicara terakhir; b. Pertanyaan hakim kepada pihak hendaklah terarah, hanya menanyakan yang relevant dengan hukum. Begitu juga replik-duplik dari pihak; c. Semua jawaban atau pertanyaan dari pihak ataupun dari hakim, harus melalui dan izin dari ketua majelis; d. Pertanyaan dari hakim kepada pihak, yang bersifat umum atau policy arahnya sidang, selalu oleh hakim ketua majelis. Bilamana pihak-pihak dan hakim tahu dan mengerti jawaban atau pertanyaan mana yang terarah dan relevant dengan hukum, tentunya proses perkara akan cepat, singkat dan tepat. 2. Tahap pembuktian Hal-hal yang perlu ditekankan disini adalah: a. Setiap pihak mengajukan bukti, hakim perlu menanyakan kepada pihak lawannya, apakah ia keberatan/ tidak. Jika alat bukti saksi yang dikemukakan, hakim juga harus member kesempatan kepada pihak lawannya kalau-kalau ada sesuatu yang ingin ditanyakan oleh pihak lawan tersebut kepada saksi; b. Semua alat bukti yang disodorkan oleh pihak, harus disampaikan kepada ketua majelis lalu ketua majlis memperlihatkannya kepada para hakim dan pihak lawan dari yang mengajukan bukti; c. Keaktifan mencari dan menghadirkan bukti di muka sidang adalah tugas pihak itu sendiri dan hakim hanya membantu kalau diminta tolong oleh pihak, seperti memanggil saksi. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 39
  • 40. 3. Tahap penyusunan konklusi Setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum musyawarah majelis hakim, pihak-pihak boleh mengajukan konklusi ( kesimpulan-kesimpulan dari sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan ). Karena konklusi ini sifatnya membantu majelis, pada umumnya konklusi tidak diperlukan bagi perkara-perkara yang simpel, sehingga hakim boleh meniadakannya. Kita ingat bahwa hakim juga manusia yang kemampuan ingatnya terbatas, di samping mungkin ada diantara sidang-sidang yang hakim anggotanya berganti dan itulah perlunya konklusi. Pihak yang sudah biasa berperkara, biasanya selalu membuat catatan-catatan penting setiap suatu sidang berakhir, dan itulah nanti yang akan diajukannya sebagai konklusi terakhir. 4. Musyawarah majelis hakim Menurut undang-undang, musyawarah majelis hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh meninggalkan ruang sidang. Panitera sidang sendiri, kehadirannya dalam musyawarah majelis hakim adalah atas izin majelis. Dikatakan rahasia artinya, baik dikala musyawarah maupun sesudahnya, kapan dan dimana saja, hasil musyawarah majelis tersebut tidak boleh dibocorkan sampai ia diucapkan dalam keputusan yang terbuka untuk umum. 5. Pengucapan keputusan Pengucapan keputusan hanya boleh dilakukan setelah keputusan selesai terkonsep rapi yang sudah ditanda tangani oleh hakim dan panitera sidang. Selesai keputusan diucapkan, hakim ketua majelis akan menanyakan kepada pihak, baik tergugat ataupun penggugat, apakah mereka menerima keputusan ataukah tidak. Bagi pihak yang hadir dan menyatakan menerima keputusan maka baginya tertutup upaya hukum banding, bagi pihak yang tidak menerima dan pikir-pikir dahulu baginya masih terbuka. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 40
  • 41. DELAPAN PEMBUKTIAN Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting dalam hukum acara sebab pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum Pembuktian termasuk dari bagian Hukum Acara sedangkan Peradilan Agama mempergunakan Hukum Acara yang berlaku bagi Peradilan umum. A. Pengertian, Asas dan Sistem Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. 2. Tujuan Pembuktian Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta/dalil-dalil yang diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. 3. Asas Pembuktian Berdasarkan pasal 1865 BW, Pasala 163 HIR dan Pasal 283 RBg, barang siapa yang mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Dengan demikian beban pembuktian dibebankan kepada pihak yang berkepentingan, yaitu: a. Pihak yang mengaku mempunyai hak; b. Pihak yang mengemukakan suatu peristiwa (keadaan) untuk menguatkan haknya atau membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. 4. Penilaian Pembuktian Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa ialah hakim yang memeriksa duduk perkaranya yaitu hakim tingkat pertama dan hakim banding. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 41
  • 42. B. Macam-macam Alat Bukti dan kekuatannya Dalam pembuktian dikenal bermacam-macam alat bukti, yaitu: 1. Alat bukti tertulis atau surat; 2. Alat bukti saksi; 3. Alat bukti persangkaan; 4. Alat bukti pengakuan; 5. Alat bukti sumpah Kekuatan Alat bukti: 1. Bukti mengikat, artinya meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti tersebut tanpa membutuhkan alat bukti yang lain. Hakim terikat dengan bukti tersebut, sehingga tidak dapat memutus lain daripada yang telah terbukti dengan satu alat bukti tersebut. Alat bukti ini tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti lain. (Contoh: sumpah decisoir, pengakuan.) 2. Bukti sempurna, artinya meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti itu dan tidak memerlukan adanya alat bukti lain. Hakim terikat dengan alat bukti tersebut kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya, sehingga dapat dibuktikan dengan bukti lawan. 3. Bukti bebas, artinya hakim bebas menilai dengan pertimangan yang logis, tidak terikat dan terserah keyakinan hakim untuk menilai, dapat mengesampingkan dan dapat dilumpuhkan, misalnya:saksi yang disumpah,saksi ahli dan pengakuan di luar sidang. 4. Bukti permulaan, artinya meskipun alat bukti itu sah dan dapat dipercaya kebenarannya, tetapi belum memenuhi syarat formil sebagai alat bukti yang cukup. Bukti ini harus ditambah alat bukti lain agar menjadi sempurna. Terhadap alat bukti ini, hakim bebas dan tidak terikat, misalnya akta di bawah tangan yang tanda tanan dan isinya diingkari oleh yang bersangkutan. 5. Bukti bukan bukti, artinya sesuatu yang nampaknya memberikan keterangan yang mendukung kebenaran suatu peristiwa, tetapi ia tidak memenuhi syarat formal sebagai alat bukti. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 42
  • 43. SEMBILAN Produk Pengadilan Agama Setelah Pengadilan Agama memeriksa perkara, maka ia harus mengadilinya atau membeikan putusan dan mengeluarkan produknya. Produk-produk hukum di lingkungan peradilan agama pada prinsipnya dengan produk-produk di lingkungan peradilan umum, yang pada umumnya sesuai dengan pembagian menurut ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama menjelaskan bahwa pengadilan agama hanya mengenal dua macam produk hukum, yaitu: (1) Putusan dan (2) Penetapan. Sebelumnya ada produk ke (3) yaitu Surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak (SKT3), yang kini tidak ada lagi. A. Putusan 1. Pengertian Putusan Putusan disebut vonnis (Belanda) atau Al Qadha’ (Arab). yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini dapat diistilahkan dengan “produk pengadilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa. Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah peradilan perdata) selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu atau untuk melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi diktum vonis selalu memiliki salah satu di antara dua sifat: (1) Condemnatoir, artinya menghukum, (2) Constitutoir, artinya menciptakan. Perintah dari Pengadilan ini, jika tidak diturut dengan sukarela, dapat diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa disebut eksekusi. 2. Bentuk dan I si Putusan Bila diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, bentuk dan isi putusan Pengadilan Agama secara singkat adalah sebagai berikut; a. Bagian kepala putusan b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara c. Identitas pihak-pihak d. Duduk perkaranya (bagian posita) e. Tentang pertimbangan hukum dan dasar hukum f. Dasar hukum Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 43
  • 44. g. Diktum atau amar putusan h. Bagian kaki putusan i. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya. a. Bagian kepala putusan Bagian ini memuat kata “PUTUSAN” atau kalau salinan, adalah “SALI NAN PUTUSAN”. Baris di baw ah dari kata itu adalahNomor Putusan, yaitu menurut nomor urut pendaftaran perkara, diikuti garis miring dan tahun pendaftaran perkara. Baris selanjutnya adalah tulisan huruf besar semua berbunyi “BI SMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” untuk memenuhi perintah Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun1989. b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara Sesudah yang tersebut di butir a, maka dicantumkan pada baris selanjutnya nama Pengadilan Agama yang memutus sekaligus disertai menyebutkan jenis perkara, misalnya “Pengadilan Agama Karanganyar, yanag telah memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama, perkara gugat cerai.” c. Identitas pihak-pihak Penyebutan identitas pihak, dimulai dari identitas penggugat, kemudian identitas tergugat. Penyebutan keduanya dipisahkan dengan tulisan pada alenia tersendiri yang berbunyi “berlawanan dengan “. Identitas pihak ini meliputi; nama, bin/binti siapa, alias atau julukan, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir, sebagi penggugat atau tergugat. d. Duduk perkaranya (bagian posita) Pada bagian ini dikutip dari gugatan penggugat, jawaban tergugat, keterangan saksi dan hasil dari berita acara sidang selengkapnya, namun dikutip secara singkat, jelas dan tepat serta kronologis. e. Tentang pertimbangan hukum dan dasar hukum Di dalamnya dicantumkan alasan memutus (pertimbangan) yang biasanya dimulai dengan kata “menimbang”. Di dalam bagian ini diutarakan “duduk perkaranya” tedahulu, yaitu keteranganpihak-pihak berikut dalil-dalilnya, alat bukti dll. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 44
  • 45. Dasar memutus biasanya dimulai dengan kata “mengingat”. Di dalam bagian ini disebutkan dasar hukum putusan baik yang bersumber dari perundang-undangan negara maupun dasar hukum syara’. f. Diktum atau amar putusan Amar putusan didahului dengan kata “MENGADILI” kemudian diikuti petitum berdasarkan pertimbangan hukum. Di dalamnya diuraikan hal-hal yang dikabulkan dan hal-hal yang ditolak atau tidak diterima. g. Bagian kaki putusan Bagian kaki putusan yang dimaksudkan ialah dimulai dari kata-kata “demikianlah putusan pengadilan agama ….”. h. Tanda tangan hakim dan panitera dan perincian biaya Pada asli Putusan, semua hakim dan panitera harus bertanda tangan tetapi pada Salinan Putusan, hakim dan panitera hanya “ttd” (tertanda) atau “dto” (ditandatangani oleh), lalu dibawahnya dilegalisir. Salinan Putusan akan diberikan kepada pihak-pihak atau akan dikirm ke tingkat banding (jika terjadi banding dan untuk laporan) atau akan dikrim ke Mahkamah Agung (jika terjadi kasasi atau peninjuan kembali). Asli Putusan tetap disimpan pada Pengadilan Agama dan disatukan dalam berkas perkara yang sudah diminitur. Adapun yang dimaksud dengan perincian biaya disini adalah perincian biaya yang tercantum dibagian kiri bawah dari keputusan, bukan yang tercantum dalam diktum. Yang tercantum dalam diktum adalah biaya total sedangkan yang disebut terdahulu itu adalah rinciannya. Menurut pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1989, rincian biaya tersebut meliputi:  Biaya kepaniteraan dan materai  Biaya untuk para saksi , saksi ahli, penerjemah, dan pengambil sumpah  Biaya untuk pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan  Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah Pengadilan. 3. Putusan Sela Apa yang telah diuraikan di butir 2. Di muka, adalah tentang putusan akbir atau eind-vonnis, tetapi sebelum sampai kepada putusan akhir kadang-kadang majelis harus mengambil putusan sela terlebih dahulu, Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 45
  • 46. karena ada hal-hal yang mengharuskan demikian. Putusan sela ini adayang menyebutnya interlocutoir dan ada pula yang menyebutnya tussen vonnis. Perlunya putusan sela ini misalnya: a. Adanya eksepsi dari tergugat; b. Pihak mengajukan hak ingkarnya; c. Adanya permintaan dari pihak agar pihak ketiga diikutsertakan ke dalam proses yang sedang berjalan (vrijwaring) atau ada pihak ketiga yang mau campur ke dalam proses yang sedang berjalan (intervensi); d. Adanya permohonan sita (beslag); e. Adanya gugatan/permohonan provisional, seperti istri dalam gugatan cerai minta ditetapkan nafkah anak atau berpisah rumah dari suaminya selama perkara sedang berlangsung; f. Dan lain-lain. Jika tergugat mengajukan eksepsi relative pada siding pertama maka hakim wajib memutusnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan pemeriksaan atas pokok perkara dan putusan di sini disebut putusan sela. Akan tetapi, jika majelis hakim mengabul-kan eksepsi tergugat, hal mana berarti pemeriksaan terhadap pokok perkara akan stop (tidak jadi) berarti putusan sela di situ akan menjadi putusan akhir, karenanya penggugat boleh naik banding atas putusan tersebut. Jika pihak mengajukan keberatan perkaranya diperiksa oleh hakim atau panitera yang sedang menyidangkan perkaranya karena hakim atau panitera ada di antaranya yang terhalang oleh peraturan perundang-undangan untuk menyidangkan perkara itu maka hakim harus mengambil putusan sela. Jika permohonan sita diajukan setelah siding berjalan maka hakim harus mengambil keputusan sela apakah permohonan sita tersebut dikabulkan atau ditolak.” Jika perkara sedang berlangsung antara dua pihak, salah satu pihak meminta kepada hakim agar pihak ketiga diikutsertakan ke dalam proses maka hakim harus mengambil keputusan apakah permohonan itu dikabulkan atau tidak. Begitu juga kalau ada pihak ketiga yang mengajukan permohonan untuk turut ke dalam proses yang sedang berjalan (vrijwaring). Jika seorang istri sedang menggugat suaminya untuk cerai misalnya tetapi selama sidang sedang berjalan istri memohon ke Pengadilan Agama agar diizinkan Suami_istri tidak tinggal serumah dengan pertimbangan kemungkinan bahaya yang akan ditimbulkan maka majelis hakim harus mengambil keputusan sela apakah permohonan tersebut dikabulkan atau ditolak. Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 46
  • 47. Putusan sela wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum sebagaimana mengucapkan keputusan akhir sekalipun tidak mesti putusan sela dibuatkan tersendiri melainkan cukup dalam Berita Acara Sidang. Terhadap putusan sela tidak dapat dimohonkan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir (pokok perkara). 4. Kekuatan Putusan Putusan pengadilan mempunyai 3 kekuatan, yaitu: (1) kekuatan mengikat (bindende kracht), (2) kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan (3) kekuatan eksekusi (executoriale kracht). Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai kekuatan bukti ialah setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hokum yang tetap (in kracht). Suatu putusan dikatakan in kracht ialah apabila upaya hokum seperti verzet, banding, kasasi tidak dipergunakan dan tenggang waktu untuk itu sudah habis, atau telah mempergunakan upaya hukum tersebut dan sudah selesai. Upaya hukum terhadap putusan yang telah in kracht tidak ada lagi, kecuali permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tetapi hanya dengan alasan-alasan sangat tertentu sekali. Putusan yang sudah in kracht, sekalipun ada dimohonkan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, tidak terhalang untuk dieksekusi, itulah yang dikatakan mempunyai kekuatan eksekusi. Suatu putusan dikatakan mempunyai kekuatan bukti misalnya putusan cerai. Ia merupakan bukti otentik terjadinya cerai. B. Penetapan 1. Pengertian Penetapan Penetapan disebut al-isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdiction voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak perkara dengan lawan. Karena penetapan itu muncul sebagai produk pengadilan atas permohonan pemohon yang tidak berlawanan maka diktum penetapan tidak akan pernah berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan (declaratoire) atau menciptakan (constitutoire). Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 47