SlideShare a Scribd company logo
1 of 30
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
MAKALAH PLURALISME
KELOMPOK
ISHAK M : 12181653
RYAN ZULIYANTO : 12181652
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN ILMU KOMPUTER
EL RAHMA
YOGYAKARTA
2018
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pluralisme”. makalah ini disususn dengan tujuan untuk memenuhi salah tugas mata
kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
A. Pak Dedy Ardiansyah, S.Sos.,M.AB selaku dosen mata kuliah Ilmu Sosial Budaya
Dasar
B. kepada semua anggota kelompok yang turut membantu dan
C. Google Scholar yang sangat membantu menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, masih sangat banyak
terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini. Mulai dari pemilihan kata,
susunan kalimat hingga pada pembahasan yang mungkin masih sangat rancu maka dari itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari Bapak Dosen demi kemudahan
di kemudian hari.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi
kita semua. Aamiin..
Yogyakarta, 17 Desember 2018
Tim Penulis
2
DAFTAR ISI
SAMPUL HALAMAN.................................................................................................
KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang.................................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah............................................................................................. 1
3. Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1
4. Manfaat Penulisan............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Pluralisme....................................................................................... 2
2. Macam-Macam Nalar Pluralisme..................................................................... 5
3. Pemikiran Tokoh Pluralisme............................................................................ 8
4. Konsep Pluralisme Dalam Pancasila................................................................ 17
5. Pluralisme Dalam Aspek Kehidupan Masyarakat............................................ 22
BAB III PENUTUP
Kesimpulan dan Saran.................................................................................................. 26
Daftar Pustaka............................................................................................................... 27
3
BAB I
PENDAHULUAN
D. Latar Belakang Masalah
Pluralisme merupakan pengakuan atas perbedaan, dan perbedaan itu
sesungguhnya sunnatullah dan merupakan sesuatu yang nyata serta tidak bisa di
pungkiri. Penolakan terhadap pluralisme yang sunnatullah itu menimbulkan
ketegangan dan bahkan konflik, karena meniadakan sesuatu yang nyata
merupakan pengingkaran terhadap kehendak Allah. Pluralisme pada tujuannya
tidak sebatas menghendaki pengakuan atas perbedaan itu, melainkan juga
penghormatan atas kenyataan perbedaan. Untuk itu, sudah seharusnya diakui
dengan jujur bahwa masyarakat Indonesia memang berbeda-beda dan karenanya
segala perbedaan itu untuk dihormati. Kalau sikap seperti ini bisa dilakukan maka
tidak mungkin ada ketegangan yang berujung pada konflik. Konflik menurut
Syafa’atun Elmirzanah, terjadi karena terdapat ketegangan yang mungkin disebabkan
karena pengalaman-pengalaman diskriminasi, ketidakadilan atau kesalah pahaman
yang berkaitan dengan status yang tidak sah dalam masayarakat, sehingga terjadi
pemaksaan keinginan antara satu bagian dengan bagian lainnya, dan masing-masing
ingin mendapatkan lebih dari yang seharusnnya didapatkan.
E. Rumusan Masalah
6. Apa yang dimaksud dengan pluralisme dan pluralitas?
7. Bagaimana konsep pluralisme ?
8. Bagaimana Pluralisme dalam kehidupan sehari-hari?
F. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu Pluralisme.
2. Untuk mengetahui konsep pluralisme.
3. Untuk mengetahui pluralisme dalam kehidupan sehari-hari.
G. Manfaat Penulisan
1. Agar pembaca dapat lebih mengetahui tentang pluralisme dan hal-hal yang
berkaitan dengan pluralisme.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pluralisme
Pluralisme berasal dari bahasa inggris yaitu pluralism yang terdiri dari dua kata
“plural” dan isme”. Plural berati jamak dan isme berati faham atau ajaran atau
pandangan hidup. Secara umum pluralisme dapat diartikan adalah suatu paham atau
pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya “Kemajemukan” atau
“Keanekaragaman” dalam suatu kelompok masyarakat. Sedangkan dalam Kamus
Ilmiah Popular, pluralisme berarti: “teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari
banyak subtansi”.
Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus bahasa Inggris
mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang
yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua
jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat/kegerejaan maupun non kegerejaan.
Kedua, pengertian filosofis; berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan
pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-
polotis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik
yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-
aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.
Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu
koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap
terpeliharanya pebedaan-pebedaan karakteristik masing-masing.
Dalam perspektif ilmu sosial, pluralisme yang meniscayakan adanya diversitas
dalam masyarakat memiliki dua “wajah”, konsesus dan konflik. Konsensus
mengandaikan bahwa masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda itu
akan survive (bertahan hidup) karena para anggotanya menyepakati hal-hal tertentu
sebagai aturan bersama yang la hal harus ditaati, sedangkan teori konflik justru
memandang sebaliknya bahwa masyarakat yang berbeda-beda itu akan bertahan hidup
karena adanya konflik. Teori ini tidak menafikkan adanya keharmonisan dalam
masyarakat. Keharmonisan terjadi bukan karena adanya kesepakatan bersama, tetapi
karena adanya pemaksaan kelompok kuat terhadap yang lemah
5
Kemajemukan dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat,
dll. Segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok
lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang
satu dengan kelompok yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan
yang lebih besar atau lebih luas. Misalnya masyarakat Indonesia yang majemuk, yang
terdiri dari pelbagai kelompok umat beragama, suku, dan ras, yang memiliki aneka macam
budaya atau adat-istiadat. Begitu pula masyarakat Maluku yang majemuk, ataupun
masyarakat Aru yang majemuk.
Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan. Menerima
perbedaan bukan berarti menyamaratakan, tetapi justeru mengakui bahwa ada hal atau ada
hal-hal yang tidak sama. Menerima kemajemukan (misalnya dalam bidang agama)
bukanlah berarti bahwa membuat “penggabungan gado-gado”, dimana kekhasan masing-
masing terlebur atau hilang. Kemajemukan juga bukan berarti “tercampur baur” dalam
satu “frame” atau “adonan”. Justeru di dalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan
yang membedakan hal (agama) yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap
dipertahankan.
Jadi pluralism berbeda dengan sinkritisme (penggabungan) dan assimilasi atau
akulturasi (penyingkiran). Juga pluralisme tidak persis sama dengan inkulturasi, kendati di
dalam pluralisme atau kemajemukan bisa terjadi inkulturasi dimana keaslian tetap
dipertahankan.
Beberapa para ahli yang mendefinisikan pluralisme
1) Menurut Nurcholis Madjid pluralisme tidak dapat di pahami hanya dengan
mengatakan bahwa masyarakat kita mejemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai
suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan
pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh sekedar kebaikan negative, hanya di tilik dari
kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus di pahami sebagai
pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Maka pluralisme
menurut Nurcholis Madjid adalah sebuah aturan Tuhan (Sunnat Allah
“Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehinga juga tidak mungkin dilawan atau di
ingkari.
2) Menurut Alwi Shihab tentang pluralisme yaitu Pertama, pluralisme tidaklah semata-
mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun keterlibatan
6
secara aktif terhadap realitas majemuk tersebut. Hal ini akan melahirkan interaksi
postif. Kedua, pluralisme bukan kosmopolitanisme Karena kosmopoltanisme
menunjuk pada suatu realitas dimana keanekaragaman agama, ras, bangsa hidup
berdampingan di suatu lokasi, namun interaksi postif yang berkembang sangat
minim dan malah tidak ada sama sekali. Ketiga, pluralisme tidak sama dengan
relativisme karena konsekuensi dari realtivisme agama adalah munculnya doktrin
bahwa semua agama adalah sama, hanya didasari pada kebenaran agama walaupun
berbeda-beda satu sama lain tetapi harus diterima. Seorang relativisme tidak
mengenal adanya kebenaran individual adanya kebenaran universal yang ada pada
agama. Keempat, pluralisme agama bukan sinkritisme yakni menciptakan agama
baru dengan menggabungkan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran
dari beberapa agama menjadi satu integral dalam agama tersebut.
3) Menurut Masykuri Abdillah dengan mengutip The Oxford English Dictionary,
mengelaborasi paham pluralisme sebagai berikut: (i) suatu teori yang menentang
Negara monolitis; dan sebaliknya, mendukung desentralisasi dan otonomi untuk
organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat.
Selain itu, suatu keyakinan bahwa kekuasaaan itu harus dibagi bersama-sama di
antara sejumlah partai politik. (ii) keberadaan toleransi keragaman etnik atau
kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau Negara, serta keragaman
kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Definisi
yang pertama mengandung definisi politik, sedangkan definisi kedua mengandung
penegrtian pluralisme sosial atau primordial
4) Menurut Anton M. Moeliono (1990) pluralisme adalah suatu hal yang memberikan
makna jamak (tidak satu), misalnya segi kebudayaan yang berbeda-beda di suatu
masyarakat.
5) Menurut Gerald O Collins dan Edward G. Farrugia (1996) Pluralisme adalah‟
pandangan filosofis yang tidak mediskrisikan segalanya pada prinsip, melainkan
adanya penerimaan terhadap keragaman. Pluralisme ini menyangkut berbagai
bidang, misalnya segi kultural, religious (agama), dan politik.
6) Menurut Moh. Shofan (2011) Menurutnya, definisi pluralisme ialah upaya untuk
membangun kesadaran yang bersifat teologis tetapi dan sosial. Pengertian ini tentu
saja dapat terimplementasikan pada kesadaran masyarakat, bahwa manusia dalam
7
keanekaragaman. Karena pluralisme sendiri mengandung konsep sosiologis dan
teologis.
7) Menurut Syamsul Ma arif (2005) Menurutnya,‟ arti pluralisme adalah keberadaan
akan toleransi keragaman terhadap kelompok kultural dan etnik dalam masyarakat.
8) Menurut Mohamed Fathi Osman (2006) Makna pluralisme adalah penerimaan
keberagaman sehingga setiap manusia dapat hak dan kewajibannya yang sejajar
dengan manusia lain.
9) Menurut Santrock (2003) Pluralisme adalah penerimaan setiap Individu yang
berpendapat bahwa perbedaan budaya harus senantiasa dipertahankan dan dihargai.
10) Webster (1976) Mengartikan jika pluralisme adalah suatu keadaan sosial dari
keberanekaragaman etnis, agama, ras atau lainnya, yang rela mempertahankan
tradisi dan tetap berpartisipasi kepada sesame masyarakat.
2. Macam-Macam Pluralisme
A. Pluralisme Perspektif / perspectival pluralism
• Menurut Joel M Charon perspektif adalah kerangka konseptual, perangkat asumsi,
perangkat nilai dan perangkat gagasan yang mempengaruhi persepsi seseorang
sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi tindakan seseorang dalam situasi
tertentu.
• Menurut Martono (2010) perspektif adalah suatu cara pandang terhadap suatu
masalah yang terjadi, atau sudut pandang tertentu yang digunakan dalam melihat
suatu fenomena.
• Menurut Ardianto dan Q-Anees Definisi perspektif adalah cara pandang atau
sudut pandang kita terhadap sesuatu.
Pengertian perspektif atau sudut pandang sebenarnya dapat diartikan sebagai cara
seseorang dalam menilai sesuatu yang bisa dipaparkan baik secara lisan maupun
tulisan. Hampir setiap hari orang-orang selalu mengungkapkan perspektif dan sudut
pandang mereka mengenai berbagai macam hal. Sebagai contoh, orang yang selalu
memberikan sudut pandangnya mengenai sesuatu melalui media sosial, dengan cara
memperbaharui statusnya hingga mengomentari status teman atau saudaranya. Itu
merupakan salah satu contoh yang terjadi dalam keseharian dimana sudut pandang
seseorang dituangkan dalam sebuah tulisan. Sehingga dapat dikatakan, Pluralisme
8
Persektif adalah suatu kemajemukan sudut pandang tiap individu atau kelompok yang
tentu akan melahirkan perbedaan.
B. pluralisme hipotesis / pluralism of hyphoteses
Hipotesis berasal dari bahasa Yunani, yaitu hypo yang artinya di bawah dan
thesis berarti pendirian/pendapat/kepastian. Jadi bisa disimpulkan hipotesis
jawaban sementara terhadap suatu masalah yang sifatnya msih praduga harus
dibuktikan terlebih dahulu.
Pengertian Hipotesis Menurut Para Ahli
1. Menurut Prof. Dr. S. Nasution, Hipotesis adalah dugaan tentang apa yang kita
amati dalam upaya untuk memahaminya. (Nasution:2000)
2. Zikmund (1997:112), Menurut Zimund Hipotesis adalah proposisi atau dugaan
belum terbukti bahwa tentatif menjelaskan fakta atau fenomena, serta kemungkinan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian.
3. Menurut Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti (2007:137),
Hipotesis adalah pernyataan atau tuduhan bahwa sementara masalah penelitian
yang kebenarannya masih lemah (belum tentu benar) sehingga harus diuji secara
empiris.
4. Menurut Mundilarso, Hipotesis adalah pernyataan yang masih lemah tingkat
kebenaran yang masih harus diuji dengan menggunakan teknik tertentu.
Hipotesis dirumuskan dalam hal teori, dugaan, pengalaman pribadi / orang lain,
kesan umum, kesimpulannya adalah masih sangat awal. Hipotesis adalah
pernyataan keadaan populasi yang akan diverifikasi menggunakan data / informasi
yang dikumpulkan melalui sampel.
5. Menurut Kerlinger (1973), Hipotesis adalah pernyataan dugaan hubungan antara
dua variabel atau lebih.
Sehingga dapat diartikan pluralisme hipotesis adalah suatu kebersediaan menerima
pendapat atau dugaan sementara yang berbeda pendapat. Karena tak dapat dipungkiri
bahwa setiap individu atau kelompok memliki hipotesa tersendiri dalam melihat suatu
kejadian.
9
C. pluralisme metodologi / methodological pluralism
Metodologi atau methodology dalam bahasa Inggris, diserap dari bahasa
Perancis “méthodologie” yang berasal dari bahasa Latin modern “methodologia”
yang tersusun dari kata Latin “methodos – logia” (merriam-webster). Beberapa
pendapat juga mengemukakan bahwa metodologi berasal dari bahasa Yunani yang
tersusun dari kata “methodos – logos“. Dengan penambahan leksem “logia atau
logos” menunjukkan pengertian “yang bersifat ilmiah” atau menunjuk pada ilmu
itu sendiri. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, memahami pengertian metode
merupakan hal yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum beranjak pada
definisi metodologi. Hal ini bertujuan untuk menyelaraskan kerangka pikir dan
memberi pijakan untuk melangkah ke tahap selanjutnya secara sitematis. KBBI
menerangkan bahwa metodologi terdiri dari lima suku kata “me-to-do-lo-gi” yang
memiliki pengertian “ilmu tentang metode atau uraian tentang metode”.
pendapat-pendapat para ahli dalam mendefinisikan apa sebenarnya
metodologi tersebut, hal ini dijelaskan sebagai berikut:
• Metodologi adalah prosedur ilmiah yang di dalamnya termasuk pembentukan
konsep, preposisi, model, hipotesis, dan teori, termasuk metode itu sendiri.
(Tuchman, 2009)
• Metode merupakan cara-cara untuk mengetahui sesuatu, sedangkan metodologi
adalah analisis untuk memahami aturan, prosedur, dan metode tersebut. (Senn,
1971)
• Metodologi merupakan cara-cara yang mengatur prosedur penelitian ilmiah pada
umumnya, sekaligus pelaksanaannya terhadap masing-masing bidang keilmuan
secara khusus. (Bakker, 1984)
• Metodologi adalah hal-hal yang berkaitan dengan cara pemerolehan data,
penyusunan, dan analisisnya. (Polit & Hungler, 2004)
10
• Metodologi merupakan sebuah desain penelitian yang terdiri dari: setting, tata
cara, sampel, pembatasan, dan kumpulan data yang hendak di analisis dalam
sebuah kajian. (Burns & Grove, 2003)
• Secara sederhana, metodologi adalah tata cara atau metode untuk melakukan
sesuatu. (Mouton, 1996)
• Metodologi pada dasarnya menunjuk pada tiga ciri utama, baik dalam kerangka
konseptual maupun operasional, yaitu: a) metodologi semata-mata ilmu tentang
metode, b) metodologi berkaitan dengan ilmu-ilmu khusus, dan 3) metodologi
sebagai cara-cara pengumpulan data ilmu khusus tersebut. (Gie, 1977)
3. Pemikiran Tokoh Pluralisme
1. Gus Dur
Menurut Abdurrahman Wahid, pluralisme merupakan suatu pandangan
untuk menerima perbedaan sebagai sunnatulah agar saling mengenal, menghindari
perpecahan, mengembangkan kerjasama dengan menanamkan rasa saling
penegertian, saling memiliki dan bersifat inklusif, tidak membatasi pergaulan
dengan siapapun, namun tetap meyakini kebenaran agama sendiri dengan tidak
mempersamakan keyakinan secara total. 2) Pluraritas merupakan sunnatullah.
Pluralisme dalam hukum Islam memiliki dasar yang kuat dari segi normatif dan
historis. Islam sejak awal telah mengakui pluralitas dalam kehidupan masyarakat.
Sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk
dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman (pluralitas). Namun, hal itu hanya
sebatas pada segi muamalah, tidak termasuk dalam hal aqidah/iman. Dalam
perspektif hukum Islam pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme
memiliki keserasian yaitu tentang konsep Tauhid. Gus Dur tidak memcampur
adukkan konsep ke-Tauhidan agama-agama lain dalam Islam serta menjunjung
tinggi nilai-nilai kemunuisaan dengan mengembang rasa toleransi, rasa saling
pengertian dan menghormati hak-hak orang lain dari berbagai kalangan.
2. Dr. Nur Kholis Majid
11
Realitas yang plural sesungguhnya merupakan realitas yang dinamis. Dan
itu sudah menjadi sunnatullah yang tak terbantahkan. Dalam pandangan
masyarakat yang optimis, kemajemukan bukan ancaman – tapi, ia merupakan
kenyataan yang sekaligus tantangan. Dalam konteks ke-Indonesiaan adalahseorang
Nurcholis Madjid yang selalu ingin melihat bahwa kemajemukan dalam perspektif
Islam sudah menjadi keharusan historis yang niscaya. Karenanya, pemikiran Islam
mesti bersikap inklusif dan toleran, tapi sekaligus kritis. Nurcholish tampak
menggunakan pola pemikiran neo-modernisme dalam keseluruhan gagasan-
gagasan pemikiran Islamnya. Pola pemikiran Islam neomodernisme ini, seperti
yang dikatakan Fachry Ali dan Bachtiar Effendi (Fachry Ali dan Bachtiar Efendi,
1992:175).
Dengan demikian, karakteristik pola pemikiran neo-modernisme adalah
pengembangan suatu metodologi sistematis yang mampu melakukan panafsiran
Islam secara menyeluruh dan selaras dengan kebutuhan kontemporer, sikap tidak
mengalah kepada Barat, tetapi juga tidak menafikannya, dan apresiatif disertai
sikap kritis untuk mau mengkaji warissan-warisan sejarah keagamaannya sendiri.
Dengan dua pendekatan ini, Nurcholish bermaksud untuk memberikan interpretasi
doktrin Islam agar sesuai dengan kemajuan jaman, dan dengan demikian,
doktrinnya pun tetap relevan dalam segala perubahan ruang dan waktu. Sifat ini
merupakan karakteristik utama kaum neo-modernisme yang bertujuan membangun
suatu Islam peradaban.
3. Abdul Mukti Ali
Saat Menjadi Menteri Agama RI (1971-1978) Prof. Mukti Ali menggagas
model kerukunan antar-umat beragama untuk menciptakan harmonisasi kehidupan
nasional. Terapi yang digagas Mukti Ali dan di implementasikan melalui
Departemen Agama tersebut, secara mendasar dilandasi oleh prinsip keadilan Islam
yang mempercayai tiga hal penting, yakni ; kebebasan hati nurani secara mutlak,
persamaan kemanusiaan secara sempurna, dan solidaritas dalam pergaulan yang
kokoh. Yang lebih menonjol adalah konsepnyatentang agree in disagreement
(setuju dalam ketidaksetujuan atau setuju dalam perbedaan) yang pertama kali
dikemukakannya pada forum symposium di Goethe Institute, Jakarta, beberapa
12
bulan sebelum ia diangkat menjadi menteri. Konsep inilah yang kemudian
dikembangkannya lebih lanjut menjadi konsep ‘Kerukunan Hidup Antarumat
Beragama’ di Indonesia. Terdapat 2 pendekatan untuk memahami pemikiran A.
Mukti Ali yaitu :
1) Metodologi Ilmu Agama Islam
 Fenomena Dikotomi Ilmu Umum dan Ilmu Agama
Masa modern merupakan suatu tonggak peradaban manusia yang berb eda
dari masa-masa sebelumnya, yaitu klasik dan tengah. Masa modern utamanya
ditandai oleh pandangan hidup sekuler yang berawal dari pertarungan antara kaum
gereja dan kaum ilmuwan di Eropa Barat. Paham sekuler tersebut mendasarkan
pemikirannya pada konsep: agama urusan gereja, politik urusan negara. Secara
umum, modernisme yang ditandai oleh sekularisme dipandang mengancam
eksistensi agama, tak terkecuali agama Islam. Hal ini antara lain dapat dilihat
dalam dunia pendidikan, yang merupakan sarana stratregis untuk masa depan
umat, salah satunya dalam karya Yadullah Kazmi yang berjudul Islamic
Education: Traditional Education or Education of Tradition? Kazmi m emberikan
gambaran adanya dikotomi dalam dunia pendidikan antara ilmu agama dan ilmu
umum yang kemu dian menjadi ciri di hampir seluruh dunia Islam termasuk
Indonesia.
Dalam Islam, secara paradigmatik, integrasi antara ilmu umum dan ilmu
agama itu dilandaskan pada, yaitu menempatkan Allah Swt. sebagai awal dan
akhir dari segalanya. Dalam perspektif ini, integrasi dilakukan antara ilmu agama,
seperti antara ayat yang tertulis dalam al-Qur’an (qawliyah ) dengan ayat yang
tidak tertulis kawniyyah). Pada masa awal Islam, integrasi keduanya selalu
menjadi ciri kegiatan akademik para ilmuwan Islam, begitu juga sejumlah pemikir
Barat. Sayangnya, masa Barat modern membawa kegiatan akademik dan
intelektual pada penekanan pentingnya yang dan seringkali menafikan yang.
Umat Islam lebih banyak terekspos dengan literatur Barat yang dikotomik
dan menekankan pada positivisme dan empirisme dan sedikit sekali yang mengenal
kegiatan akademik dalam tradisi Islam yang bersifat integratif antara dan .
Akibatnya, kegiatan penelitian saat ini kawniyyah qawliyyah lebih dipahami
13
sebagai kegiatan di lapangan dan jarang sekali yang berangkat dari ayat-ayat al-
Qur’an, Akhirnya inilah yang disebut dengan paham sekulerisme.
Perkembangan sekularisme seperti disebut di atas telah melahirkan
sejumlah kekhawatiran dan kemudian muncul sejumlah antisipasi terutama
menyangkut relasi agama dan ilmu yang perlu dibangun kedepan. Berdasarkan
situasi dan kondisi global saat ini, abad ke-21 cenderung dilihat sebagai
pembalikan dari masa turning-point modern dan sebagian orang menyebutnya
sebagai p ost-modern atau anti-tesa terhadap masa modern. Post-modern ditandai
dengan kembalinya agama ke dalam semua aspek kehidupan. Pemisahan agama
dengan aspek kehidupan manusia semakin dikritisi, bahkan dikotomi ilmu dan
agama serta ilmu agama dan ilmu umum dipandang tidak lagi relevan.
Problem dikotomi ilmu, menurut Fazlur Rahman, tidak dapat diselesaikan
hanya dengan mensejajarkan apa yang selama ini disebut dengan ilmu agama dan
ilmu umum. Persoalan dikotomi ini bagaikan lingkaran setan. Untuk keluar dari
lingkaransetan,diperlukan upaya untuk memisahkan secara tegas antara Islam
normatif p ada satu sisi dan Islam historis pada sisi lain. Ketika mencoba
memahami pikiran Rahman ini, Simuh -dalam tulisannya yang berjudul
mengatakan Masalah Dikotomi dalam Pendidikan Agama bahwa kesulitan yang di
alami dalam p endidikan agama sel ama ini adalah kegagalannya dalam membawa
peserta didik dari berpikir Islam normatif menuju Islam historis, yang ia maknai
sebagai pendidikan Islam dengan berpikir ilmiah. Simuh kemudian menyebut
scientific-cum-doctrinaire yang diajukan ol eh A. Mukti Ali sebagai l angkah
kongkret dalam implementasi pemikiran Rahman..
 Metode dalam Memahami Agama Islam
Dalam bukunya yang berjudul Metode Memahami Agama Islam
pertama-tama mengungkapkan betapa pentingnya sebuah metodologi dalam
sejarah pertumbuhan ilmu. Kita mengetahui bahwa pada abad pertengahan Eropa
menghabiskan waktu seribu tahun dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh. Akan
tetapi, keadaan tersebut kemudi an berubah menja di kebangkitan revolusio ner
yang multi –fase dalam bidang sains, seni, sastra, dan semua wilayah h idup serta
kehidupan manusia dan sosial. Ali Syari’ati menyatakan bahwa faktor utama yang
menyebabkan kemandegan dan stagnansi di Eropa adalah metode pemikiran
14
analogi dari Aristoteles. Kita melihat sejarah peradaban Yunani melahirkan banyak
o rang jen ius dalam abad ke-4 dan ke-5 sebelum masehi. Umat manusia sangat
terpengaruh oleh pemikiran pemikiran mereka hingga saat ini. Akan tetapi, seluruh
Athena tidak sanggup untuk menciptakan roda; sedangkan dalam Eropa modern
seorang teknisi biasa yang bahkan tidak dapat memahami tulisan-tulisan Aristoteles
dan murid- muridnya telah menciptakan ratusan kary a-karya orisinal. Hal ini
terjadi karena mereka telah menemukan metode berpikir yang benar. Dengan
menggunakan metode yang benar, orang yang kecerdasannya biasa saja mampu
menemukan kebenaran; sedang pemikir pemikir jenius tidak akan dapat
memanfaatkan kejeniusannya tersebut apabila tidak mengetahui metode yang benar
dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah masalahnya.
Berangkat dari pandangan di atas, maka A. Mukti Ali menyatakan bahwa
kita harus mencari metode yang paling baik dalam mempelajari Islam. Islam
merupakan agama yang multi-dimen si, sehingga satu metode saja tidak dapat
dipilih untuk mempelajari Islam. Islam memiliki dimensi yang berkaitan dengan
hubungan antara manusia dengan Tuhan yang dipelajari dengan men ggunakan
metode filosofis, dimensi yang berkaitan dengan masalah kehidupan manusia di
muka bumi yang dipelajari dengan menggunakan metode ilmu-i lmu alam,
dimensi yang berkaitan dengan pembentukan masyarakat dan peradaban yang dipel
ajari dengan menggunakan metode historis dan sosiologis, serta dimensi -dimensi
lainnya. Oleh kar ena Islam adalah agama, maka metode-metode di atas harus
ditambah dengan metode doktriner. Singkatnya, mempelajari Islam dengan
segala aspeknya tidak cuk up dengan menggunakan metode ilmiah saja, tidak
cukup pula hanya dengan jalan doktriner saja.
Berdasarkan pengamatan A. Mukti Ali, selama ini pendekatan terhadap
agama Islam masih sangat pincang. Ahli -ahli ilmu pen getahuan termasuk dalam
hal ini para orientalis mendekati Islam dengan metode ilmiah saja. Akibatnya,
penelitiannya tersebut menarik tapi sebenarnya mereka tidak mengerti Islam secara
utuh, yang mereka ketahui hanya segi-segi luar dari Islam saja. Sebaliknya, para
ulama kita sudah terbiasa memahami ajaran Islam dengan cara doktriner dan
dogmatis, sering sekali tidak dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang
hidup dalam masyarakat. Akibatnya, penafsirannya tersebut sulit diterapkan di
masyarakat. Inilah yang menyeb abkan orang lain memiliki kesan bahwa Islam
15
sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan masa kini. Untuk itulah maka
menurutnya harus dipergunakan pendekatan menyeluruh terhadap agama yang
disebut , atau yang di sebut juga dengan scientific-cum-doctrinaire pendekatan
integral, holistik, komprehensif, , ilmiah-agamais, serta sintesisreligio-scientific
sesuai pernyataan A. Mukti Ali:
Pendekatan terhadap agama sekarang ini ada dua, dan akan saya tambahkan
lagi sehingga menjadi tiga. Yang pertama adalah, bagaimana mendekati scientific
agama secara ilmiah, yaitu dengan pendekatan antropol ogis, sosiologis, historis,
atau filosofis. Yang didapat adalah tingkah laku orang beragama. Pendekatan
pertama ini saya tolak karena tidak cocok. Pendekatan kedua adalah secara
dogmatis yaitu yang ada pada umumnya digunakan di pesantren -pesantren. Bagi
Mukti Ali yang ideal adalah menggabungkan keduanya, ilmiah plus doktriner.
secara sosiologis tetapi juga Qur’ani, secara antrop ologis tetapi disertai penjelasan
Hadis, secara filosofis dan Qur’ani. Inilah pendekatan sintesis atau integral yang
saya kembangkan. Pendekatan yang ditawarkan oleh Mukti Ali scientific-cum-
doctrinaire mengombinasikan pendekatan normatif dan pendekatan empiris dalam
studi Islam. Dengan menggunakan pendekatan ini, Islam dapat dianalisa dan
diinterpretasikan secara doktriner, historis dan empiris. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, ia tidak menggunakan pendekatan no rmatif semata dalam studi
Islam karena karena pendekatan ini hanya merujuk kepada teks-teks keagamaan
dalam memahami Islam. Pendekatan normatif seharusnya dikombinasikan dan
diintegrasikan dengan pendekatan empiris, engan mempertimbangkan dan
memahami kondisi sejarah, sosial dan budaya dalam mempelajari dan
menganalisis Islam dalam kehidupan masyarakat.
Ketika Islam datang dan mulai berinteraksi dengan kehidupan sebuah
kelompok masyarakat, tentunya mereka telah memiliki tradisi dan budaya karena
mereka telah terlebih dahulu ada di sana. Oleh karena itu, Islam, tradisi lokal dan
budaya asli pribumi berbaur dalam p roses akulturasi. Dengan menggunakan
pendekatan scientific-cumdoctrinaire, Islam dapat dieksplorasi dari sejumlah
pendekatan interdisipliner dan dari sejumlah dimensi yang tidak dapat dipisahkan
atau dipandang sebelah mata. Mukti Ali menyebut pendekatan ini dengan
pendekatan holistik. Pada prinsipnya pendekatan tersebut bukan merupakan
scientific-cum-doctrinaire sesuatu yang baru, karena sudah dilakukan oleh para
16
ulama dalam tradisi ilmu keislaman sebelumnya yang dikenal dengan kajian yaitu
mengkaji sebab-sebab asbabun nuzul turunnya ayat al-Qur’an dikaitkan dengan
kondisi lingkungannya, serta asbabul wurud yaitu sebab-seb ab lahirn ya hadis.
Sebagaimana diakuinya, A. Mukti Ali berupaya mengembangkan pendekatan
tersebut secara lebih lanjut dalam konteks yang lebih luas. Hal yang penting
untuk dicermati adalah, d engan tidak mengabaikan pentingnya Islam n ormatif,
semua pihak hendaknya menyadari bahwa Islam itu sendi ri telah hidup
bersentuhan dengan berbagai bidang, seperti po litik, seni, budaya dan lain -lain.
Oleh karena itu, pemahaman Islam tidak hanya cukup dengan mempelajari
ajaran-ajaran normatif tetapi juga bagaimana Islam dip ahami, diimplementasikan,
sekaligus sentuhannya dengan lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya,
atau peradaban pada umumnya sepanjang perjalanan sejarahnya. Hal ini sekaligus
menuntut bekal ilmu sosial dan juga ilmu budaya bahkan juga ilmu alam dalam
upaya memahami Islam dan umat Islam.
2) Kerukunan Hidup Umat Beragama
 Pluralitas Sebagai Sebuah Keniscayaan
Kemajemukan atau pluralitas umat manusia merupakan suatu kenyataan
yang telah menjadi kehendak Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, jika dalam al-
Qur’an Surat al-Maidah ayat 13 disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa
-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai, maka
pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang
memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan
menerimanya sebagai kenyataan dan berusaha untuk berbuat sebaik mungkin.
Pluralitas sesungguhnya adalah sebuah aturan Tuhan ( ) yang tidak akan berubah
sehingga tidak akan mungkin bisa dilawan sunnatullah atau diingkari.
Berdasarkan ketentuan Tuhan tersebut serta adanya f akta bahwa Negara
Indonesia adalah merupakan negara kepulauan, maka faktor kemajem ukan sosial-
budaya dan agama menjadi sesuatu yang harus diperhitungkan dan diperhatikan
dengan seksama. Kondisi kemajemukan tersebut mengharuskan segenap
komponen bangsa berbuat sesuatu secara realistis untuk mencari dan menemukan
titik pandang yang sama di antara mereka. Hal itu perlu dilakukan karena setiap
kelompok tentu ak an melakukan sesuatu berdasarkan prinsip dan pandangan
masing-masing. Kondisi tersebut akan menimbulkan perbenturan berbagai
17
kepentingan dan tujuan yang dapat memicu konflik dan perselisihan yang
berkepanjangan.
Di samping faktor multikultural, problem krusial lainnya adalah cara
pemahaman agama. Problem ini akan selalu berlanjut karena adanya perbedaan
yang mendasar antara watak agama itu sendiri dengan realitas sosial. Agama
bersifat absolut karena bersumber dari realitas ontologis yang mutlak yaitu Tuhan,
sementara manus ia bersifat relatif dan terbatas. Maka ketika agama dikon struksi
oleh manusia, kemutlakan agama mengalami proses relativisasi, bahkan mungkin
juga distorsi. Ironisnya, pada proses konstruksi yang dihasilkan, sering diwarnai
oleh klaim-klaim pemutlakan sehingga dapat menyulut ketegangan dalam interaksi
intern maupun antaragama. Watak universal agama yang melewati batas geografis,
bahasa, etnis, ideologi, dan sebagainya tereduksi menjadi kepingan- pingan
pemahaman sedemikian rupa sehingga tampak ke legitimate. Kondisi ini
berpotensi menimbulkan ketegangan intern dan antar umat beragama yang dapat
berubah menjadi perselisihan dan konflik yang kontra produktif serta merugikan,
bahkan merusak agama itu sendiri. Dalam rangka mencerahkan pandangan
masyarakat Indonesia serta membentuk sikap kritis, A. Mukti Ali memperkenalkan
pendekatan yang telah scientific-cum –doctrinaire dijelaskan sebelumnya.
Pendekatan seperti ini akan membawa umat beragama pada umumnya dan umat
Islam pada khususnya untuk menerima wacana kemodernan dan bersikap kritis,
terbuka, toleran, simpa tik terhadap kebebasan intelektual, peka terhadap problem
kemasyarakatan dan dialo g antar umat beragama. Pada akhirnya akan tercipta
kerukunan hidup antar umat beragama yang sangat bernilai bagi bangsa Indonesia.
 Mukti Ali dan Kerukunan Hidup Umat Beragama
Ada lima konsepp emikiran yang diajukan dalam rangka menciptakan kerukunan
dalam kehidupan umat beragama, yaitu:
a) Sinkretisme, yaitu suatu anggapan bahwa semua agama itu sama. Sinkretisme
dalam ilmu agama adalah berbagai aliran dan gejala yang hendak
mencampurbaurkan segala agama menjadi satu serta men yatakan bahwa semua
agam a pada hakikatnya sama. Bentuk dan penganjur yang nyata dari
sinkretisme di Indonesia adalah “kejawen” yang memiliki berbagai nama
serta organisasi sebagai bentuk gerakan kebatinan. Pandangan mereka adalah
bahwa segala konsepsi tentang Tuhan adalah aspek–aspek dari Ilahi yang satu,
18
yang tidak berkesudahan, kekal dan segala bentuk supreme agama adalah
aspek dari jalan besar yang menuju kebenaran yang satu.
b) Rekonsepsi, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam
konfrontasinya dengan agama lain. Agama adalah satu keinginan akan suatu
cara hidup yang ben ar yang berasal dari desakan alam semesta,yang sesuai
dengan kebutuhan dan keinginan universal manusia. Oleh karena itu, perlu
disusun agama universal yang memenuhi kebutuhan segala manusia dan bangsa
dengan jalan rekonsepsi. Ke depan, agama-agama besar dunia terlihat
bagaikan sungai-sungai yang mengalir menjadi satu.
c) Sintesis, yaitu suatu usaha untuk menciptakan suatu agama baru yang unsurnya
berasal dari berbagai agama, dengan maksud agar setiap pemeluk agama
merasa bahwa sebagian dari agamanya telah menjadi bagian dari agama sintesis
itu. Dengan cara ini, kehidupan umat beragama akan menjadi rukun.
d) Penggantian, yaitu pengakuan bahwa agamanya sen dirilah yang benar, sedang
agama-agama lain adalah salah, seraya berupaya keras agar para pengikut
agama-agama lain itu memeluk agamanya. Ia tidak rela melihat orang lain
memeluk agama dan kepercayaan lain yang berbeda dengan agama yang
dianutnya. Oleh karena itu, agama-agama lain itu haruslah diganti dengan
agama yang dia peluk. Dengan cara ini diharapkan terjadi kerukunan hidup
beragama.
e) Setuju dalam ketidaksetujuan (agree in disagreement). Gagasan ini
menekankan bahwa agree in disagreement agama yang dia peluk, itulah yang
paling baik. Walaupun demikian, ia mengakui bahwa di antara agama yang
satu dengan agama-agama lainnya selain terdapat perbedaan-perbedaan juga
terdapat persamaan-persamaan. Pengakuan seperti ini akan membawa kepad
a suatu p engertian yang baik yang dapat menimbulkan adanya saling
menghargai dan sikap saling menghormati antara kelompok pemeluk agama-
agama yang satu dengan yang lain.
Menurut A. Mukti Ali, konsep pertama (sinkretisme) tidak dapat diterima
sebab dalam ajaran Islam, Khalik (pencipta) adalah sama sek ali berbeda dengan
makhluk (yang diciptakan). Antara keduanya harus ada garis pemisah, sehingga
dengan demikian menjadi jelas siapa yang disembah dan untuk siapa orang itu
berbakti serta mengabdi. Konsep kedua (rekonsepsi) juga tidak dapat diterima,
19
karena dengan menempuh cara itu agama tak ubahnya hanya merupakan produk
pemikiran manusia semata. Padahal, agama secara fundamental diyakini sebagai
bersumber dari wahyu Tuhan. Bukan akal yang menciptakan atau menghasilkan
agama, tetapi agamalah yang memberi petunjuk dan bimbingan kepada manusia
untuk menggunakan akal dan nalarnya. Konsep ketiga (sintesis) ditolak karena
setiap agama memiliki latar belakang historis masing-masing yang tidak secara
mudah dapat diputuskan begi tu saja. Dengan kata lain, tiap-tiap agama terikat
secara kental dan kuat kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri.
Konsep keempat (pengg antian) juga tidak bisa diterima karena adanya kenyataan
bahwa sosok kehidupan masyarakat itu menurut kodratnya adalah bersifat
pluralistik dalam kehidupan agama, etnis, tradisi, seni budaya, dan cara hidup.
Pluralisme kehidupan masyarakat, termasuk dalam kehidupan beragama, sudah
menj adi watak dan realitas masyarakat itu sendiri. Cara-cara penggantian sudah
pasti tidak akan menimbulkan kerukunan hidup umat beragama, tetapi sebaliknya
justru intoleransi dan ketidakrukunan yang akan terjadi; karena cara-cara tersebut
akan mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk berupaya keras den gan
segala cara (entah cara yang baik atau yang tidak baik) untuk menarik orang lain
menganut agama yang dia peluk. Adapun konsep kelima ( menurut A. Mukti Ali
adalah jalan agree in disagreement) paling baik untuk menciptakan kerukunan
antar umat beragama. Orang yang beragama harus meyakini bahwa agama yang dia
peluk adalah agama yang paling benar dan baik.
Dengan keyakinan itu, seseorang akan terdorong untuk berbuat sesuai
dengan keyakinannya. Setiap agama memang berbeda satu sama lainnya, tetapi
disamping itu juga ada persamaannya. Berdasarkan pengertian itu, timbul sikap
saling menghormati dan akan tercipta kerukunan hidup antar umat beragama.
Prinsip ini merupakan perwujudan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”. Kerukunan
antarumat beragama di Indonesia merupakan suatu kebutuhan mutlak bagi Mukti
Ali. Sebagaimana pernyataannya bahwa andaikata semua penduduk Indonesia
beragama Islam, tentu cara menghadapinya berbeda daripada kenyataan sekarang
ini, dimana ada ada penganut agama lain selain Islam di Indonesia, yakni
Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha.
Makna kerukunan beragama menurut A. Mukti Ali adalah suatu kondisi
sosial di mana semua golongan dapat hidup bersama-sama tanpa mengurangi
20
hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Masing-
masing hidup sebagai pemeluk agama yang baik dalam keadaan rukun dan
damai. Kerukunan hidup beragama tidak akan mungkin lahir dari sikap fanatisme
buta dan sikap tidak peduli atas hak dan perasaan orang lain. Ia menegaskan bahwa
kerukunan dapat tercapai jika masing -masing pemeluk agama bersikap lapang
dada satu sama lainnya.
4. Konsep Pluralisme Dalam Pancasila
Konsep pluralisme sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia dan sudah
diketahui keberadaannya jauh sebelum negara Indonesia ini didirikan. Kita sudah
mengenal semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua” (beragam
dalam kesatuan, tidak ada ”dharma” yang medua), yang merupakan simbol pluralisme
Hindu-Budha yang telah dibangun bangsa ini. Jalan yang ditempuh bisa berbeda tetapi
sesungguhnya ditujukan untuk Tuhan yang sama. Konsep pluralisme ini kemudian
diperluas tidak hanya dalam konteks agama tetapi menjadi bingkai persatuan
Indonesia yang memiliki kemajemukan budaya, adat, bahasa, dan kemudian terkristal
dalam satu konsensus politik yang bernama Pancasila. Kesepakatan diterimanya dasar
negara sekaligus cita-cita negara ini, sesungguhnya menunjukkan bahwa bangsa ini
telah memiliki kedewasaan dalam memahami keanekaragaman. Alwi Shihab(1998:
335-336) mencatat beberapa komentar positif tentang Indonesia, tentunya sebelum
Indonesia mengalami berbagai krisis seperti saat ini. Fazlur Rahman pernah
meramalkan bahwa Islam yang sejuk dan menarik dan yang menghidupkan kembali
nilai luhur toleransi dan moderasi Nabi Muhammad menyingsing dari Bumi
Indonesia. Demikian pula Lawrence Sullivan, kepada pusat pengkajian agama dunia
pada Universitas Harvard Amerika, secara terbuka mengatakan, bahwa Indonesia
secara kreatif telah mewujudkan pendekatan baru dalam menciptakan kehidupan
keagamaan yang harmonis, yang tidak dijumpai di banyak negara Eropa dan Amerika.
Sullivan menandaskan bahwa “Indonesia is a model religious tolerance that other
countries could do well to emulate” (Indonesia merupakan model toleransi keagamaan
yang patut ditiru oleh negara lain). Konsep pluralisme lahir dari latar belakang
pemikiran dan kondisi sosial, politik, budaya tertentu. Artinya bahwa pluralisme itu
merupakan sebuah konstruksi sosial. Pluralisme dalam konsep dan aplikasinya
barangkali tepat diterapkan di satu wilayah tertentu namun tidak tepat dan bahkan
21
menghasilkan persoalan baru di tempat yang lain. Humanisme sekuler, misalnya dapat
diterima di Barat oleh karena paham eksistensialisme yang telah lama mengakar dan
menempatkan manusia sebagai pusat eksistensi. Hal ini akan berbeda dengan
masyarakat Timur yang memahami keunggulan eksistensi manusia justru ketika
dirinya merasa bagian dari alam dan ’menyatu’ dengan Tuhan. Demikian pula teologi
globalnya John Hick yang diilhami oleh perkembangan globalisasi, akan ditolak oleh
masyarakat yang masih memegang erat tradisi dan kaidah literal agama.
Berbagai karakter pluralisme tersebut dapat pula diposisikan sebagai satu
bentuk pemikiran bukan ajaran agama yaitu, bagian dari pemikiran keagamaan,
sehingga ketidaksetujuan terhadap pemikiran tersebut seharusnya ditanggapi pula
dengan pemikiran dan tidak dengan fatwa. Kekhawatiran yang muncul ketika
pendekatan fatwa digunakan untuk mengkaunter satu pemikiran, maka tragedi abad
pertengahan, yaitu pemandulan rasio akan kembali terjadi. Kondisi demikian justru
kontraproduktif dan lebih jauh dapat menghasilkan sikap resistensi terhadap agama
(institusi agama).
Dalam konteks Indonesia beberapa pandangan Alwi Shihab (1998:41-42) tentang
pluralisme tampaknya perlu dipertimbangkan. Pertama, konsep pluralisme tidak sama
dengan relativisme. Relativisme berasumsi bahwa kebenaran atau nilai ditentukan
oleh pandangan hidup dan kerangka berpikir seseorang atau masyarakat, sehingga
aliran ini tidak mengenal kebenaran universal. Kedua, pluralisme bukanlah
sinkretisme, yakni menggabung-gabungkan berbagai ajaran dengan mengambil sisi
tertentu sehingga muncul menjadi agama baru. Ketiga, pluralisme tidak semata-mata
menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, tetapi mengandung
pengertian keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Mengutip
pandangan Diana L. Eck (2005: 576-577) bahwa pluralitas tidak sama dengan
kemajemukan. Pluralitas mengacu pada adanya saling tergantung antar berbagai hal
yang berbeda, sedangkan kemajemukan (diversity) mengacu pada tidak adanya
hubungan dari hal yang berbeda tersebut. Persoalan yang perlu mendapatkan jawaban
adalah bagaimana konsep pluralisme dalam perspektif Pancasila? Pluralisme
Pancasila secara teoretis memang belum terbangun, namun sudah ada dalam realitas
praksis, paling tidak, realitas itu dapat dilihat pada kondisi Indonesia sebelum krisis,
yaitu adanya pengakuan multi-agama di Indonesia, kebebasan memeluk agama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, dan kehidupan saling
22
menghargai dan kerjasama antar pemeluk agama. Meminjam teori pluralisme yang
sudah ada, maka pluralisme Pancasila dapat didekati dengan menggunakan perspektif
Notonagoro dalam melihat Pancasila. Notonagoro (1987: 9) melihat Pancasila
sebagai kesatuan organis (majemuk tunggal) nilai, yang terdiri atas nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Kelima nilai tersebut merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, bahkan saling
mengkualifikasi satu nilai dengan yang lainnya. Artinya, manakala berbicara tentang
persatuan Indonesia, misalnya, maka konsep ini tidak dapat dilepaskan dari konsep
ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan. Setiap berbicara tentang satu sila,
maka akan selalu terkait dengan keempat sila lainnya. Pluralisme yang hendak
dibangun oleh Pancasila berbeda dengan pluralisme yang dikembangkan oleh
humanisme sekuler yang menempatkan nilai kemanusiaan begitu tinggi, dan
menganggap sekularisme sebagai sarana yang dapat mempertemukan keberadaan
agama yang beragam.
Humanisme sekuler yang berkembang terutama di Eropa telah mencabut
’kedudukan kodrat’ manusia sebagai homo religiousus (makhluk Tuhan). Hossein
Nasr menggunakan istilah yang lain, bahwa masyarakat barat telah terlempar dari
pusat eksistensinya sebagai makhluk yang bertuhan. Di pihak yang lain, Pancasila
justru membangun pluralisme atas dasar kemanusiaan universal yang religius (sila
2 dan 1). Ketuhanan yang Maha Esa merupakan Realitas Absolut yang
mempertemukan keragaman agama di Indonesia. Sloka hinneka Tunggal Ika, Tan
Hana Dharma Mangrua telah memberikan pemahaman bahwa meski pun jalan yang
ditempuh berbeda namun sesungguhnya Tuhan sebagai tujuan yang hendak dituju
adalah satu. Secara eksoterik agama di Indonesia sangat beragam namun secara
esoterik dipertemukan dalam pemahaman yang sama bahwa Tuhan Maha Esa. Dalam
konteks ini barangkali Pancasila paralel dengan pandangan John Hick yang
menganjurkan ”transformasi orientasi dari pemusatan ”agama” menuju pemusatan
Tuhan. Akan tetapi tidak sepaham dengan konsep teologi global yang juga diusung
oleh Hick yang membayangkan adanya teologi baru yang dapat diterima dan dapat
menyatukan semua agama yang ada. Teologi global sebagai agama besar dan agama
yang ada diibaratkan seperti sektenya. Pandangan demikian tentu saja akan dapat
mengaburkan identitas agama, karena agama harus merelativisasi diri dan meleburkan
diri dalam payung teologi baru. Sebuah cita-Cita yang utopis, mengingat kompleksitas
23
persoalan dalam agama. Alih-alih antar agama dapat bersatu, dalam realitas
keberagaman, sekte/aliran dalam satu agama saja tidak dapat bersatu. Pancasila justru
mengembangkan pluralisme dengan mengakui identitas agama yang beragam,
namun saling menghargai (sila 4). Ada konsep ’demokrasi agama’, dalam arti bahwa
agama mempunyai kedudukan dan peran yang sama dalam negara, demikian pula
negara menempatkan diri pada posisi netral untuk melindungi bahkan memfasilitasi
setiap agama. Tidak dibenarkan adanya diskriminasi dalam urusan negara dikarenakan
persoalan perbedaan agama. Setiap pemeluk agama diberikan kebebasan yang luas
untuk menjalankan ajaran agamanya sejauh tidak menabrak batas keyakinan agama
lain maupun peraturan hukum yang berlaku. Pancasila tidak hendak pula menemukan
sisi baik agama dan kemudian meleburkan diri dan menciptakan agama baru
sebagaimana yang dilakukan paham sinkretisme. Dengan demikian wacana yang
pernah muncul bahwa Pancasila akan menjadi agama baru yang akan menyatukan
keragaman agama di Indonesia sangat tidak beralasan. Pancasila hanya bergerak
dalam ranah politis-sosiologis, memayungi keragaman agama dan tidak dalam ranah
yang teologis. Pemahaman adanya keragaman agama dan sikap saling menghargai
(toleransi) kiranya masih belum cukup. Pancasila mengisyaratkan untuk saling
bekerjasama secara aktif guna menciptakan keadilan bersama, keadilan sosial, baik
keadilan dalam bidang hukum, ekonomi, politik dan lain-lain (sila 5), sikap yang
diharapkan oleh Diana L. Eck, bahwa keadilan sosial tidak mungkin dicapai melalui
usaha yang dilakukan satu ormas agama (elemen masyarakat) tertentu saja, namun
harus merupakan upaya konstruktif dan koordinatif antar semua agama. Semua
agama mempunyai kewajiban yang sama baik secara konseptual maupun praksis
dalam mencapai keadilan sosial tersebut. Sikap toleransi dan kerjasama ini
sebenarnya sudah menjadi bagian dari keberagamaan bangsa Indonesia. Pela
Gandong yang menjadi kesepakatan adat di Ambon, sesungguhnya bukti nyata
yang diharapkan oleh Diana L. Eck di atas. Meminjam konsep Hans Kung tentang
global etik, maka Pancasila dapat dipahami juga sebagai etika ’global’ dalam
mempertemukan berbagai keragaman bangsa Indonesia. Sudah saatnya penganut
agama menghentikan pertikaian dan beralih mengatasi persoalan bersama seperti
kerusakan alam, pengangguran, kebodohan, ketidakadilan dan lain-lain. Persoalan
tersebut merupakan common problem, persoalan yang lintas agama. Karena
akibat yang ditimbulkannya akan berdampak pada kemanusiaan secara umum
24
tanpa memandang apa agamanya. Dengan demikian debat dan pertikaian yang
justru memberikan dampak destruktif sudah saatnya ditinggalkan dan beralih
pada persoalan etis untuk mengatasi persoalan bersama secara bersama-sama pula.
Pada akhirnya sikap toleransi dan kerjasama antar pemeluk agama diharapkan dapat
menciptakan kondisi masyarakat yang damai dalam bingkai persatuan Indonesia (sila
3). Tanpa ada persatuan persoalan bangsa ini tidak mungkin dapat diatasi.
Seluruh manusia Indonesia yang berkiprah dalam sektor apapun, baik dalam
dunia pendidikan, agama, sosial, hukum, politik dan lain-lain harus menjadi
bagian dari kesatuan bangsa ini. Dalam sudut pandang ini pluralisme dapat
dibangun dalam perspektif nasionalisme, bahwa perbedaan apa pun di antara bangsa
Indonesia akan dipersatukan oleh kenyataan sejarah Sosial Budaya politik, bahwa
kita adalah sama-sama orang Indonesia. Untuk membangun pluralisme yang
demikian, perlu dua kekuatan pendukung, yaitu pertama, hard power, (pendekatan
struktural) dalam arti bahwa pemerintah sebagai lembaga formal yang memiliki
peraturan dan aparat harus berada pada posisi yang netral dan dapat bertindak tegas
terhadap setiap perbuatan yang melanggar peraturan dan hak asasi manusia.
Tindakan pembunuhan, perusakan rumah ibadah dan lain-lain dari satu kelompok
agama terhadap kelompok agama tertentu harus dilihat secara objektif sebagai
tindakan kriminal yang harus diproses secara hukum. Kedua,soft power, yaitu
pendekatan kultural, melalui jalur pendidikan dan dialog.
5. Pluralisme Dalam Aspek Kehidupan Bermasyarakat
Kita semua mengetahui bahwa Indonesia adalah negara dengan
berbagai keragaman suku bangsa dan budaya serta keyakinan. Keberagaman ini
dilihat dari banyak aspek muali dari segi agama, latar belakang, suku, adat istiadat,
sosial budaya dan bahasa yang beragam bentuknya. Untuk menciptakan negara yang
aman dan terhindar dari bentuk-bentuk konflik sosial, kita sangat membutuhkan
adanya rasa toleransi tersebut. Bila masyarakat Indonesia tak sedikitipun yang
memiliki toleransi, maka sudah dipastikan negara akan menemui banyak masalah dan
hambatan.
25
Sebagai Negara majemuk yang memiliki beragam sosial budaya masyarakat,
kita sebagai warga Negara Indonesia tidak akan pernah bisa menghindari pluralisme
tersebut.
Beberapa contoh pluralisme dalam aspek masyarakat Indonesia.
1. Konflik Etnis di Indonesian
Sejak Indonesia merdeka, berbagai catatatan adanya konflik yang terjadi di
salah satu daaerah memang sudah banyak terdengar. Yang paling terkenal adalah
konflik SARA yang terjadi antara warga Dayak dengan warga Madura di daerah
Kalimantan Tengah. Konflik ini terjadi dengan menewaskan setidaknya 315 orang
dari etnis Madura. Hal ini berdampak pada berlanjutnya konflik yang lebih luas
sampai ke daerah lain sepertu Kuala Kapuas, Pangkalam Bun hingga Palangkaraya.
Konflik ini dilatar belakangi oleh sikap dua orang pejabat yaitu Fedlik dan
Lewis yang menjabat di Dinas Kehutanan dan Kantor Bappeda dimana mereka
berencana membatalkan pelantikan 10 pejabat Eselom I, II, dan III karena berasal
dari kalangan agama Islam. Sungguh miris bukan? Agama yang seharusnya
menjadi sebuah keyakinan individu yang tak seharusnya dipersoalkan apalagi
diperdebatkan hanya demi sebuah jabatan malah berimbas pada adnya konflik.
Yang perlu menjadi perhatian disini adalah kurangnya penanaman pendidikan
pluralisme sebagai sebuah pegangan yang harusnya dimiliki oleh kedua pejabat
tadi. Mereka sudah sangat mencerminkan betapa sangat minimnya rasa toleransi
yang mereka miliki hingga mereka melakukan segala cara walapun harus dengan
mengadu domba antar etnis demi menggaggalkan sebuah pelantikan pejabat eselon.
Perbedaan etnik dan ras berikutnya adalah banyaknya orang Cina, Arab,
Pakistan dan Amerika yang ada di Indonesia. Kita mengetahui bahwa mereka
secara fisik sangat berbeda dengan kita, mereka memiliki warna kulit putih, kuning
dan hitam. Kita juga tak luput melihat bahasa yang digunakan oleh daerah-daerah
yang ada di Indonesia seperti daerah Papua, Jawa, Ambon ataupun Nusa Tenggara
Timur. Mereka semua berbeda tak hanya dari segi bahasa, tetapi juga pakaian,
makanan dan minuman yang biasa mereka konsumsi.
2. Kelompok Etnik Jawa Timur di Era Otonomi Derah
26
Memperbincangkan kelompok etnik Jawa Timur pada era otonomi daerah
menjadi topik yang sangat menarik. Hal ini dipicu dari beberapa faktor. Pertama
kita mengetahui bahwa Propinsi Jawa Timur adalah salah satu Provinsi di
Indonesia yang memiliki keberagaman etnik dan budaya masyarakat yang sangat
banyak nan luas. Kedua, pada kenyataanya, etnik dan budaya yang sangat luas dan
beragam ini menjadi salah satu dasar sebagai bentuk pembangunan yang penting.
Ketiga, hanya beberapa kelompok etnik saja yang mempunyai kesetaraan akses
dalam memproses aspek politik dan ekonomi daerah pada masa orde baru.
Keempat, pandangan ahli yang berhasil dipatahkan mengenai penghapusan
persoalan etnis melalui pembanguan kemajuan ekonomi dan sistem politik. Kelima,
implikasi era otonomi daerah pada pengakuan neegata terhadap contoh pluralisme
dalam masyarakat dalam berbagai kebergaman etnik dan budaya.
3. Pluralisme dalam Media
Dengan memiliki berbagai suku daerah yang terdiri dari banyak budaya
yang beragam. Media juga menjadi salah satu aspek penting yang tak kalah dari
kemajuan dan perkembangan pluralisme itu sendiri. Dalam segi media, pluralisme
adalah sebuah alat penyiaran informasi yang memiliki wewenang secara bebas dan
merdeka dimana keberadaannya sudah diakui oleh Negara dan seluruh masyarakat
Indonesia. Media massa yang ada di Indonesia harus dijadikan sebagai salah satu
wadah kontrol sosial di bawah naungan manajemen profesional sehingga fungsi
media sendiri dapat berjalan sesuai dengan hukum dan sebagaimana mestinya.
Selain itu, dewasa ini media juga harus dijadikan sebagai ajang mengutarakan
pendapat sebebas bebasnya namun, dalam rangka mengontrol jalannya
pemerintahan bukan untuk merugikan salah satu pihak.
4. Pluralisme dari Segi Pendidikan Indonesia
Kita semua sudah mengetahui bahwa Indonesia adalah salah satu negara
yang mempunyai masyarakat multikultural. Pengertian msyarakat
multikukltural adalah setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda
dengan daerah lain. Dampak postitif keberagaman budaya memang ada, namun
melalui pendidikan bisa mengajarkan arti pluralisme sangat mutlak untuk
27
dibutuhkan. Apa itu pendidikan pluralisme? Adalah suatu pendidikan yang
berfungsi sebagai wadah melindungi dan menjaga beragam pluralisme yang ada di
Indonesia mulai dari suku, agama ras dan budaya, ikut memunculkan tata nilai,
keterbukaan dan dialog bagi penerus bangsa khususnya anak muda.
Pendidikan pluralisme dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman kita
tentang betapa kita sangat luas dan mampu untuk menembus berbagai perbedaan
etnis, budaya dan agama dengan tujuan ada rasa kemanusiaan yang muncul di sana.
Pendidikan dasar kemanusiaan untuk membuka solidaritas para warga negara.
Disini, dalam pendidikan pluralisme juga diharapkan para pendidik dapat
mendefinisikan dan menerangkan secara jelas mengenai keberagaman budaya
dalam menghadapi bermacam-macam perubahan yang mungkin saja terjadi di
salah satu daerah atau bahkan di dunia sekalipun. Pendidikan pluralisme
diharuskan dapapt memberikan respon cepat terhadap segala bentuk perkembangan
atau penuntutan persamaan keadilan di lingkungan sekolah misalnya.
5. Budaya dalam Pluralisme
Keberagaman budaya juga menjadi salah satu penyebab terbesar yang
seringkali memicu timbulnya konflik di Indonesia. Ini merupakan salah satu faktor
yang menjadi pengahalang utama dan pemicu maslah dalam suatu kelompok etnik
dimana kelompok tersebut lalai dalam mengahargai berbagai perbedaan yang ada.
Hal ini dapat memicu timbulnya persaingan dan mengganggap etnik sendiri
sebagai yang terbaik sedangkan etnik lain dianggap buruk. Akan tetapi, dengan
memahami budaya dalam pluralisme, kita dapat memperkecil timbulnya konflik.
Masyarakat etnik ini bisa diajak untuk belajar nmemberikan tanggapan terhadap
lingkungan sosial sekitar dan membuka kesempatan seluas-luasnya contoh
pluralisme dalam masyarakat kepada budaya yang barus saja masuk. Budaya yang
baru masuk ini bisa disaring terlebih dahulu, mana yang harus dipertahankan, mana
yang memang perlu adanya perbaikan. Selanjutnya, pluralisme dalam budaya juga
diusahakan dari sikap saling menerima antar etnik yang berdekatan. Hal ini bisa
kita tunjukkan melalui kegiatan penyatuan dua budaya bersama-sama.
28
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a) Pluralisme adalah menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep hidup
berdampingan secara damai, tidak saling mengganggu, dan mengembangkan
kerjasama sosial-keagamaan melalui berbagai kegiatan untuk mendorong proses
pengembangan kehidupan beragama yang rukun. Di Indonesia nilai-nilai
pluralisme sudah tercakup dalam isi Pancasila, dan dilindungi oleh undang-
undang 1945 (UUD 45).
b) pluralisme merupakan konsep yang mengatur bagaimana cara untuk bisa hidup
rukun dan damai dalam kemajemukan masayarakat, baik dalam hal sosial,
agama, adat istiadat dan budaya, dimana tujuanya adalah supaya mereka bisa
saling bekerja sama dalam membangun sebuah negara atau kelompok
masyarakat,
2. Saran
Sebagai penutup, penulis ingin memberikan beberapa saran, agar dapat
dijadikan bahan pertimbangan bagi peningkatan kualitas penelitian selanjutnya.
Saran tersebut adalah sebagai berikut:
a) Makalah ini hanya mencari secara sederhana mengenai pluralisme secara
umum dan dilakukan penulis amatlah sederhana, sehingga masih membutuhkan
koreksi tambahan untuk menambah wawasan penulis tentang pluralisme.
b) Dengan adanya makalah ini, penulis berharap dapat memberikan kontribusi
terhadap pemahaman mengenai pluralisme secara umum. Penulis juga berharap
alangkah baiknya jika makalah yang sederhana dapat membantu teman-teman
yang lain yang sedang menyusun makalah yang sama sehingga mendapatkan
inspirasi.
29
DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.uinsby.ac.id/19527/5/Bab%202.pdf
https://www.academia.edu/26279582/MAKALAH_PLURALISME_AGAMA
https://www.kompasiana.com/baniaziz/550e0643a33311a62dba7e0d/pluralis-dan-pluralisme-
ternyata-jauh-sekali-bedanya
https://stpakambon.wordpress.com/p-l-u-r-a-l-i-s-m-e/
repositori.uin-alauddin.ac.id/6065/1/Zakaria.pdf
https://materiips.com/contoh-pluralisme-dalam-masyarakat
https://www.bagi-in.com/pengertian-hipotesis/
https://www.gurupendidikan.co.id/5-pengertian-hipotesis-menurut-para-ahli-lengkap/
https://www.academia.edu/17077627/Pemikiran-nurcholish-madjid-tentang-pluralisme-di-
indonesia
http://www.asikbelajar.com/
30

More Related Content

What's hot

2. hak dan kewajiban warga negara
2. hak dan kewajiban warga negara2. hak dan kewajiban warga negara
2. hak dan kewajiban warga negaraMardiah Ahmad
 
PKM M (PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT) INDONESIAN DIFABLEPRENEUR
PKM M (PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT) INDONESIAN DIFABLEPRENEURPKM M (PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT) INDONESIAN DIFABLEPRENEUR
PKM M (PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT) INDONESIAN DIFABLEPRENEURSansanikhs
 
Bab vi bagaimana pancasila menjadi sistem etika
Bab vi bagaimana pancasila menjadi sistem etikaBab vi bagaimana pancasila menjadi sistem etika
Bab vi bagaimana pancasila menjadi sistem etikaSyaiful Ahdan
 
Pertanyaan dan jawaban presentasi p kn
Pertanyaan dan jawaban presentasi p knPertanyaan dan jawaban presentasi p kn
Pertanyaan dan jawaban presentasi p knnatal kristiono
 
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...Syaiful Ahdan
 
Makalah hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Makalah hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegaraMakalah hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Makalah hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegaraWarnet Raha
 
Penggalian nilai nilai pancasila di masa kerajaan
Penggalian nilai nilai pancasila di masa kerajaanPenggalian nilai nilai pancasila di masa kerajaan
Penggalian nilai nilai pancasila di masa kerajaanYABES HULU
 
Demokrasi dalam islam
Demokrasi dalam islamDemokrasi dalam islam
Demokrasi dalam islamkanoalghifari
 
Bab ii esensi dan urgensi identitas nasional sebagai salah satu determinan pe...
Bab ii esensi dan urgensi identitas nasional sebagai salah satu determinan pe...Bab ii esensi dan urgensi identitas nasional sebagai salah satu determinan pe...
Bab ii esensi dan urgensi identitas nasional sebagai salah satu determinan pe...Syaiful Ahdan
 
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaKemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaLestari Moerdijat
 
Perbandingan pancasila dengan ideologi ideologi lainnya
Perbandingan pancasila dengan ideologi ideologi lainnyaPerbandingan pancasila dengan ideologi ideologi lainnya
Perbandingan pancasila dengan ideologi ideologi lainnyaAdrian Ekstrada
 
kebersamaan dalam pluralisme beragama
kebersamaan dalam pluralisme beragamakebersamaan dalam pluralisme beragama
kebersamaan dalam pluralisme beragamaKhomsha Sholikhah
 
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islamBagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islamchusnaqumillaila
 

What's hot (20)

Ragam Lisan Dan Tulisan
Ragam Lisan Dan TulisanRagam Lisan Dan Tulisan
Ragam Lisan Dan Tulisan
 
Tugas makalah wawasan nusantara
Tugas makalah wawasan nusantaraTugas makalah wawasan nusantara
Tugas makalah wawasan nusantara
 
Resume kuliah tamu
Resume kuliah tamuResume kuliah tamu
Resume kuliah tamu
 
2. hak dan kewajiban warga negara
2. hak dan kewajiban warga negara2. hak dan kewajiban warga negara
2. hak dan kewajiban warga negara
 
PKM M (PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT) INDONESIAN DIFABLEPRENEUR
PKM M (PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT) INDONESIAN DIFABLEPRENEURPKM M (PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT) INDONESIAN DIFABLEPRENEUR
PKM M (PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT) INDONESIAN DIFABLEPRENEUR
 
Review Materi Kuliah Perkim
Review Materi Kuliah PerkimReview Materi Kuliah Perkim
Review Materi Kuliah Perkim
 
Bab vi bagaimana pancasila menjadi sistem etika
Bab vi bagaimana pancasila menjadi sistem etikaBab vi bagaimana pancasila menjadi sistem etika
Bab vi bagaimana pancasila menjadi sistem etika
 
Pertanyaan dan jawaban presentasi p kn
Pertanyaan dan jawaban presentasi p knPertanyaan dan jawaban presentasi p kn
Pertanyaan dan jawaban presentasi p kn
 
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...
Bab vi hakikat,instrumentasi dan praksis demokrasi indonesia berlandaskan pac...
 
Contoh Proposal PKMK
Contoh Proposal PKMKContoh Proposal PKMK
Contoh Proposal PKMK
 
Makalah hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Makalah hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegaraMakalah hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Makalah hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
 
Penggalian nilai nilai pancasila di masa kerajaan
Penggalian nilai nilai pancasila di masa kerajaanPenggalian nilai nilai pancasila di masa kerajaan
Penggalian nilai nilai pancasila di masa kerajaan
 
Demokrasi dalam islam
Demokrasi dalam islamDemokrasi dalam islam
Demokrasi dalam islam
 
Makalah "Kesetaraan Gender"
Makalah "Kesetaraan Gender"Makalah "Kesetaraan Gender"
Makalah "Kesetaraan Gender"
 
Bab ii esensi dan urgensi identitas nasional sebagai salah satu determinan pe...
Bab ii esensi dan urgensi identitas nasional sebagai salah satu determinan pe...Bab ii esensi dan urgensi identitas nasional sebagai salah satu determinan pe...
Bab ii esensi dan urgensi identitas nasional sebagai salah satu determinan pe...
 
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaKemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
 
Perbandingan pancasila dengan ideologi ideologi lainnya
Perbandingan pancasila dengan ideologi ideologi lainnyaPerbandingan pancasila dengan ideologi ideologi lainnya
Perbandingan pancasila dengan ideologi ideologi lainnya
 
Integrasi nasional ppt
Integrasi nasional pptIntegrasi nasional ppt
Integrasi nasional ppt
 
kebersamaan dalam pluralisme beragama
kebersamaan dalam pluralisme beragamakebersamaan dalam pluralisme beragama
kebersamaan dalam pluralisme beragama
 
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islamBagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
 

Similar to Makalah pluralisme

Pluralisme menuju masyarakat majmuk
Pluralisme menuju masyarakat majmukPluralisme menuju masyarakat majmuk
Pluralisme menuju masyarakat majmukIndraGunawan335
 
Pluralisme dan gender
Pluralisme dan genderPluralisme dan gender
Pluralisme dan genderIrwan Fauzi
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanImmawan Awaluddin
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanImmawan Awaluddin
 
Multikulturalisme dalam Perspektif Islam
Multikulturalisme dalam Perspektif IslamMultikulturalisme dalam Perspektif Islam
Multikulturalisme dalam Perspektif IslamAli Murfi
 
Konseling lintas sosial
Konseling lintas sosialKonseling lintas sosial
Konseling lintas sosialSarahBela25
 
Definisi kelompok sosial
Definisi kelompok sosialDefinisi kelompok sosial
Definisi kelompok sosialcops777
 
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARAKONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARAAkifah5
 
Sosiologi (masyarakat multikultural)
Sosiologi (masyarakat multikultural)Sosiologi (masyarakat multikultural)
Sosiologi (masyarakat multikultural)MY WORLD
 
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptMANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptAskaria Jonison
 
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptMANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptAskaria Jonison
 
Individu, keluarga dan masyarakat
Individu, keluarga dan masyarakatIndividu, keluarga dan masyarakat
Individu, keluarga dan masyarakatMuchammad Susanto
 
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budaya
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budayaPengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budaya
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budayaNur Arifaizal Basri
 
Komunikasi keperawatan
Komunikasi keperawatanKomunikasi keperawatan
Komunikasi keperawatanOkta-Shi Sama
 
Makalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniMakalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniWahyuni Jrs
 
6B Tugas agama TOLERANSI asli.pptx
6B Tugas agama TOLERANSI asli.pptx6B Tugas agama TOLERANSI asli.pptx
6B Tugas agama TOLERANSI asli.pptxanita ningrum
 

Similar to Makalah pluralisme (20)

Pluralisme menuju masyarakat majmuk
Pluralisme menuju masyarakat majmukPluralisme menuju masyarakat majmuk
Pluralisme menuju masyarakat majmuk
 
Pluralisme dan gender
Pluralisme dan genderPluralisme dan gender
Pluralisme dan gender
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatan
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatan
 
Makalah pendidikan agama plural
Makalah pendidikan agama pluralMakalah pendidikan agama plural
Makalah pendidikan agama plural
 
Multikulturalisme dalam Perspektif Islam
Multikulturalisme dalam Perspektif IslamMultikulturalisme dalam Perspektif Islam
Multikulturalisme dalam Perspektif Islam
 
TENTANG Moderasi Beragama
TENTANG Moderasi BeragamaTENTANG Moderasi Beragama
TENTANG Moderasi Beragama
 
Konseling lintas sosial
Konseling lintas sosialKonseling lintas sosial
Konseling lintas sosial
 
Definisi kelompok sosial
Definisi kelompok sosialDefinisi kelompok sosial
Definisi kelompok sosial
 
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARAKONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA
 
PRASANGKA SOSIAL
PRASANGKA SOSIALPRASANGKA SOSIAL
PRASANGKA SOSIAL
 
PLURALISME AGAMA.pptx
 PLURALISME AGAMA.pptx PLURALISME AGAMA.pptx
PLURALISME AGAMA.pptx
 
Sosiologi (masyarakat multikultural)
Sosiologi (masyarakat multikultural)Sosiologi (masyarakat multikultural)
Sosiologi (masyarakat multikultural)
 
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptMANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
 
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptMANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
 
Individu, keluarga dan masyarakat
Individu, keluarga dan masyarakatIndividu, keluarga dan masyarakat
Individu, keluarga dan masyarakat
 
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budaya
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budayaPengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budaya
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budaya
 
Komunikasi keperawatan
Komunikasi keperawatanKomunikasi keperawatan
Komunikasi keperawatan
 
Makalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniMakalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat Madani
 
6B Tugas agama TOLERANSI asli.pptx
6B Tugas agama TOLERANSI asli.pptx6B Tugas agama TOLERANSI asli.pptx
6B Tugas agama TOLERANSI asli.pptx
 

More from asky M

Makalah pranata politik
Makalah pranata politikMakalah pranata politik
Makalah pranata politikasky M
 
sistem pendukung keputusan dengan metode AHP
sistem pendukung keputusan dengan metode AHPsistem pendukung keputusan dengan metode AHP
sistem pendukung keputusan dengan metode AHPasky M
 
Resensi buku falsafah akhlak
Resensi buku falsafah akhlakResensi buku falsafah akhlak
Resensi buku falsafah akhlakasky M
 
Makalah akhlak
Makalah akhlakMakalah akhlak
Makalah akhlakasky M
 
slide maraknya HOAX di era digital
slide maraknya HOAX di era digitalslide maraknya HOAX di era digital
slide maraknya HOAX di era digitalasky M
 
slide maraknya HOAX di era digital
slide maraknya HOAX di era digitalslide maraknya HOAX di era digital
slide maraknya HOAX di era digitalasky M
 

More from asky M (6)

Makalah pranata politik
Makalah pranata politikMakalah pranata politik
Makalah pranata politik
 
sistem pendukung keputusan dengan metode AHP
sistem pendukung keputusan dengan metode AHPsistem pendukung keputusan dengan metode AHP
sistem pendukung keputusan dengan metode AHP
 
Resensi buku falsafah akhlak
Resensi buku falsafah akhlakResensi buku falsafah akhlak
Resensi buku falsafah akhlak
 
Makalah akhlak
Makalah akhlakMakalah akhlak
Makalah akhlak
 
slide maraknya HOAX di era digital
slide maraknya HOAX di era digitalslide maraknya HOAX di era digital
slide maraknya HOAX di era digital
 
slide maraknya HOAX di era digital
slide maraknya HOAX di era digitalslide maraknya HOAX di era digital
slide maraknya HOAX di era digital
 

Recently uploaded

PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKARenoMardhatillahS
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxModul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxherisriwahyuni
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.aechacha366
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 8 Fase D
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 8 Fase DModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 8 Fase D
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 8 Fase DAbdiera
 
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukan
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukanPLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukan
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukanssuserc81826
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...jumadsmanesi
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuHANHAN164733
 
LA PI 2 PE NDIDIKAN GURU PENGGERAK A9 OK
LA PI 2 PE NDIDIKAN GURU PENGGERAK A9 OKLA PI 2 PE NDIDIKAN GURU PENGGERAK A9 OK
LA PI 2 PE NDIDIKAN GURU PENGGERAK A9 OKDeviIndriaMustikorin
 
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasih
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian KasihTeks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasih
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasihssuserfcb9e3
 
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptPertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptNabilahKhairunnisa6
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiIntanHanifah4
 
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...NiswatuzZahroh
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdfvebronialite32
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptx
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptxKeberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptx
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptxLeniMawarti1
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaEzraCalva
 
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...Riyan Hidayatullah
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfTaqdirAlfiandi1
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 

Recently uploaded (20)

PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxModul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 8 Fase D
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 8 Fase DModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 8 Fase D
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 8 Fase D
 
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukan
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukanPLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukan
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukan
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
 
LA PI 2 PE NDIDIKAN GURU PENGGERAK A9 OK
LA PI 2 PE NDIDIKAN GURU PENGGERAK A9 OKLA PI 2 PE NDIDIKAN GURU PENGGERAK A9 OK
LA PI 2 PE NDIDIKAN GURU PENGGERAK A9 OK
 
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasih
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian KasihTeks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasih
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasih
 
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptPertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
 
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptx
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptxKeberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptx
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptx
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
 
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 

Makalah pluralisme

  • 1. ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR MAKALAH PLURALISME KELOMPOK ISHAK M : 12181653 RYAN ZULIYANTO : 12181652 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN ILMU KOMPUTER EL RAHMA YOGYAKARTA 2018 1
  • 2. KATA PENGANTAR Puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pluralisme”. makalah ini disususn dengan tujuan untuk memenuhi salah tugas mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : A. Pak Dedy Ardiansyah, S.Sos.,M.AB selaku dosen mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar B. kepada semua anggota kelompok yang turut membantu dan C. Google Scholar yang sangat membantu menyelesaikan pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, masih sangat banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini. Mulai dari pemilihan kata, susunan kalimat hingga pada pembahasan yang mungkin masih sangat rancu maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari Bapak Dosen demi kemudahan di kemudian hari. Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua. Aamiin.. Yogyakarta, 17 Desember 2018 Tim Penulis 2
  • 3. DAFTAR ISI SAMPUL HALAMAN................................................................................................. KATA PENGANTAR.................................................................................................. i DAFTAR ISI................................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang.................................................................................................. 1 2. Rumusan Masalah............................................................................................. 1 3. Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1 4. Manfaat Penulisan............................................................................................ 1 BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Pluralisme....................................................................................... 2 2. Macam-Macam Nalar Pluralisme..................................................................... 5 3. Pemikiran Tokoh Pluralisme............................................................................ 8 4. Konsep Pluralisme Dalam Pancasila................................................................ 17 5. Pluralisme Dalam Aspek Kehidupan Masyarakat............................................ 22 BAB III PENUTUP Kesimpulan dan Saran.................................................................................................. 26 Daftar Pustaka............................................................................................................... 27 3
  • 4. BAB I PENDAHULUAN D. Latar Belakang Masalah Pluralisme merupakan pengakuan atas perbedaan, dan perbedaan itu sesungguhnya sunnatullah dan merupakan sesuatu yang nyata serta tidak bisa di pungkiri. Penolakan terhadap pluralisme yang sunnatullah itu menimbulkan ketegangan dan bahkan konflik, karena meniadakan sesuatu yang nyata merupakan pengingkaran terhadap kehendak Allah. Pluralisme pada tujuannya tidak sebatas menghendaki pengakuan atas perbedaan itu, melainkan juga penghormatan atas kenyataan perbedaan. Untuk itu, sudah seharusnya diakui dengan jujur bahwa masyarakat Indonesia memang berbeda-beda dan karenanya segala perbedaan itu untuk dihormati. Kalau sikap seperti ini bisa dilakukan maka tidak mungkin ada ketegangan yang berujung pada konflik. Konflik menurut Syafa’atun Elmirzanah, terjadi karena terdapat ketegangan yang mungkin disebabkan karena pengalaman-pengalaman diskriminasi, ketidakadilan atau kesalah pahaman yang berkaitan dengan status yang tidak sah dalam masayarakat, sehingga terjadi pemaksaan keinginan antara satu bagian dengan bagian lainnya, dan masing-masing ingin mendapatkan lebih dari yang seharusnnya didapatkan. E. Rumusan Masalah 6. Apa yang dimaksud dengan pluralisme dan pluralitas? 7. Bagaimana konsep pluralisme ? 8. Bagaimana Pluralisme dalam kehidupan sehari-hari? F. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui apa itu Pluralisme. 2. Untuk mengetahui konsep pluralisme. 3. Untuk mengetahui pluralisme dalam kehidupan sehari-hari. G. Manfaat Penulisan 1. Agar pembaca dapat lebih mengetahui tentang pluralisme dan hal-hal yang berkaitan dengan pluralisme. 4
  • 5. BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Pluralisme Pluralisme berasal dari bahasa inggris yaitu pluralism yang terdiri dari dua kata “plural” dan isme”. Plural berati jamak dan isme berati faham atau ajaran atau pandangan hidup. Secara umum pluralisme dapat diartikan adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya “Kemajemukan” atau “Keanekaragaman” dalam suatu kelompok masyarakat. Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Popular, pluralisme berarti: “teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak subtansi”. Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat/kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio- polotis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek- aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya pebedaan-pebedaan karakteristik masing-masing. Dalam perspektif ilmu sosial, pluralisme yang meniscayakan adanya diversitas dalam masyarakat memiliki dua “wajah”, konsesus dan konflik. Konsensus mengandaikan bahwa masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda itu akan survive (bertahan hidup) karena para anggotanya menyepakati hal-hal tertentu sebagai aturan bersama yang la hal harus ditaati, sedangkan teori konflik justru memandang sebaliknya bahwa masyarakat yang berbeda-beda itu akan bertahan hidup karena adanya konflik. Teori ini tidak menafikkan adanya keharmonisan dalam masyarakat. Keharmonisan terjadi bukan karena adanya kesepakatan bersama, tetapi karena adanya pemaksaan kelompok kuat terhadap yang lemah 5
  • 6. Kemajemukan dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dll. Segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih besar atau lebih luas. Misalnya masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari pelbagai kelompok umat beragama, suku, dan ras, yang memiliki aneka macam budaya atau adat-istiadat. Begitu pula masyarakat Maluku yang majemuk, ataupun masyarakat Aru yang majemuk. Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan, tetapi justeru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang tidak sama. Menerima kemajemukan (misalnya dalam bidang agama) bukanlah berarti bahwa membuat “penggabungan gado-gado”, dimana kekhasan masing- masing terlebur atau hilang. Kemajemukan juga bukan berarti “tercampur baur” dalam satu “frame” atau “adonan”. Justeru di dalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang membedakan hal (agama) yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap dipertahankan. Jadi pluralism berbeda dengan sinkritisme (penggabungan) dan assimilasi atau akulturasi (penyingkiran). Juga pluralisme tidak persis sama dengan inkulturasi, kendati di dalam pluralisme atau kemajemukan bisa terjadi inkulturasi dimana keaslian tetap dipertahankan. Beberapa para ahli yang mendefinisikan pluralisme 1) Menurut Nurcholis Madjid pluralisme tidak dapat di pahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita mejemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh sekedar kebaikan negative, hanya di tilik dari kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus di pahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Maka pluralisme menurut Nurcholis Madjid adalah sebuah aturan Tuhan (Sunnat Allah “Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehinga juga tidak mungkin dilawan atau di ingkari. 2) Menurut Alwi Shihab tentang pluralisme yaitu Pertama, pluralisme tidaklah semata- mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun keterlibatan 6
  • 7. secara aktif terhadap realitas majemuk tersebut. Hal ini akan melahirkan interaksi postif. Kedua, pluralisme bukan kosmopolitanisme Karena kosmopoltanisme menunjuk pada suatu realitas dimana keanekaragaman agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi, namun interaksi postif yang berkembang sangat minim dan malah tidak ada sama sekali. Ketiga, pluralisme tidak sama dengan relativisme karena konsekuensi dari realtivisme agama adalah munculnya doktrin bahwa semua agama adalah sama, hanya didasari pada kebenaran agama walaupun berbeda-beda satu sama lain tetapi harus diterima. Seorang relativisme tidak mengenal adanya kebenaran individual adanya kebenaran universal yang ada pada agama. Keempat, pluralisme agama bukan sinkritisme yakni menciptakan agama baru dengan menggabungkan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama menjadi satu integral dalam agama tersebut. 3) Menurut Masykuri Abdillah dengan mengutip The Oxford English Dictionary, mengelaborasi paham pluralisme sebagai berikut: (i) suatu teori yang menentang Negara monolitis; dan sebaliknya, mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Selain itu, suatu keyakinan bahwa kekuasaaan itu harus dibagi bersama-sama di antara sejumlah partai politik. (ii) keberadaan toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau Negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung definisi politik, sedangkan definisi kedua mengandung penegrtian pluralisme sosial atau primordial 4) Menurut Anton M. Moeliono (1990) pluralisme adalah suatu hal yang memberikan makna jamak (tidak satu), misalnya segi kebudayaan yang berbeda-beda di suatu masyarakat. 5) Menurut Gerald O Collins dan Edward G. Farrugia (1996) Pluralisme adalah‟ pandangan filosofis yang tidak mediskrisikan segalanya pada prinsip, melainkan adanya penerimaan terhadap keragaman. Pluralisme ini menyangkut berbagai bidang, misalnya segi kultural, religious (agama), dan politik. 6) Menurut Moh. Shofan (2011) Menurutnya, definisi pluralisme ialah upaya untuk membangun kesadaran yang bersifat teologis tetapi dan sosial. Pengertian ini tentu saja dapat terimplementasikan pada kesadaran masyarakat, bahwa manusia dalam 7
  • 8. keanekaragaman. Karena pluralisme sendiri mengandung konsep sosiologis dan teologis. 7) Menurut Syamsul Ma arif (2005) Menurutnya,‟ arti pluralisme adalah keberadaan akan toleransi keragaman terhadap kelompok kultural dan etnik dalam masyarakat. 8) Menurut Mohamed Fathi Osman (2006) Makna pluralisme adalah penerimaan keberagaman sehingga setiap manusia dapat hak dan kewajibannya yang sejajar dengan manusia lain. 9) Menurut Santrock (2003) Pluralisme adalah penerimaan setiap Individu yang berpendapat bahwa perbedaan budaya harus senantiasa dipertahankan dan dihargai. 10) Webster (1976) Mengartikan jika pluralisme adalah suatu keadaan sosial dari keberanekaragaman etnis, agama, ras atau lainnya, yang rela mempertahankan tradisi dan tetap berpartisipasi kepada sesame masyarakat. 2. Macam-Macam Pluralisme A. Pluralisme Perspektif / perspectival pluralism • Menurut Joel M Charon perspektif adalah kerangka konseptual, perangkat asumsi, perangkat nilai dan perangkat gagasan yang mempengaruhi persepsi seseorang sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi tindakan seseorang dalam situasi tertentu. • Menurut Martono (2010) perspektif adalah suatu cara pandang terhadap suatu masalah yang terjadi, atau sudut pandang tertentu yang digunakan dalam melihat suatu fenomena. • Menurut Ardianto dan Q-Anees Definisi perspektif adalah cara pandang atau sudut pandang kita terhadap sesuatu. Pengertian perspektif atau sudut pandang sebenarnya dapat diartikan sebagai cara seseorang dalam menilai sesuatu yang bisa dipaparkan baik secara lisan maupun tulisan. Hampir setiap hari orang-orang selalu mengungkapkan perspektif dan sudut pandang mereka mengenai berbagai macam hal. Sebagai contoh, orang yang selalu memberikan sudut pandangnya mengenai sesuatu melalui media sosial, dengan cara memperbaharui statusnya hingga mengomentari status teman atau saudaranya. Itu merupakan salah satu contoh yang terjadi dalam keseharian dimana sudut pandang seseorang dituangkan dalam sebuah tulisan. Sehingga dapat dikatakan, Pluralisme 8
  • 9. Persektif adalah suatu kemajemukan sudut pandang tiap individu atau kelompok yang tentu akan melahirkan perbedaan. B. pluralisme hipotesis / pluralism of hyphoteses Hipotesis berasal dari bahasa Yunani, yaitu hypo yang artinya di bawah dan thesis berarti pendirian/pendapat/kepastian. Jadi bisa disimpulkan hipotesis jawaban sementara terhadap suatu masalah yang sifatnya msih praduga harus dibuktikan terlebih dahulu. Pengertian Hipotesis Menurut Para Ahli 1. Menurut Prof. Dr. S. Nasution, Hipotesis adalah dugaan tentang apa yang kita amati dalam upaya untuk memahaminya. (Nasution:2000) 2. Zikmund (1997:112), Menurut Zimund Hipotesis adalah proposisi atau dugaan belum terbukti bahwa tentatif menjelaskan fakta atau fenomena, serta kemungkinan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian. 3. Menurut Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti (2007:137), Hipotesis adalah pernyataan atau tuduhan bahwa sementara masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah (belum tentu benar) sehingga harus diuji secara empiris. 4. Menurut Mundilarso, Hipotesis adalah pernyataan yang masih lemah tingkat kebenaran yang masih harus diuji dengan menggunakan teknik tertentu. Hipotesis dirumuskan dalam hal teori, dugaan, pengalaman pribadi / orang lain, kesan umum, kesimpulannya adalah masih sangat awal. Hipotesis adalah pernyataan keadaan populasi yang akan diverifikasi menggunakan data / informasi yang dikumpulkan melalui sampel. 5. Menurut Kerlinger (1973), Hipotesis adalah pernyataan dugaan hubungan antara dua variabel atau lebih. Sehingga dapat diartikan pluralisme hipotesis adalah suatu kebersediaan menerima pendapat atau dugaan sementara yang berbeda pendapat. Karena tak dapat dipungkiri bahwa setiap individu atau kelompok memliki hipotesa tersendiri dalam melihat suatu kejadian. 9
  • 10. C. pluralisme metodologi / methodological pluralism Metodologi atau methodology dalam bahasa Inggris, diserap dari bahasa Perancis “méthodologie” yang berasal dari bahasa Latin modern “methodologia” yang tersusun dari kata Latin “methodos – logia” (merriam-webster). Beberapa pendapat juga mengemukakan bahwa metodologi berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari kata “methodos – logos“. Dengan penambahan leksem “logia atau logos” menunjukkan pengertian “yang bersifat ilmiah” atau menunjuk pada ilmu itu sendiri. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, memahami pengertian metode merupakan hal yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum beranjak pada definisi metodologi. Hal ini bertujuan untuk menyelaraskan kerangka pikir dan memberi pijakan untuk melangkah ke tahap selanjutnya secara sitematis. KBBI menerangkan bahwa metodologi terdiri dari lima suku kata “me-to-do-lo-gi” yang memiliki pengertian “ilmu tentang metode atau uraian tentang metode”. pendapat-pendapat para ahli dalam mendefinisikan apa sebenarnya metodologi tersebut, hal ini dijelaskan sebagai berikut: • Metodologi adalah prosedur ilmiah yang di dalamnya termasuk pembentukan konsep, preposisi, model, hipotesis, dan teori, termasuk metode itu sendiri. (Tuchman, 2009) • Metode merupakan cara-cara untuk mengetahui sesuatu, sedangkan metodologi adalah analisis untuk memahami aturan, prosedur, dan metode tersebut. (Senn, 1971) • Metodologi merupakan cara-cara yang mengatur prosedur penelitian ilmiah pada umumnya, sekaligus pelaksanaannya terhadap masing-masing bidang keilmuan secara khusus. (Bakker, 1984) • Metodologi adalah hal-hal yang berkaitan dengan cara pemerolehan data, penyusunan, dan analisisnya. (Polit & Hungler, 2004) 10
  • 11. • Metodologi merupakan sebuah desain penelitian yang terdiri dari: setting, tata cara, sampel, pembatasan, dan kumpulan data yang hendak di analisis dalam sebuah kajian. (Burns & Grove, 2003) • Secara sederhana, metodologi adalah tata cara atau metode untuk melakukan sesuatu. (Mouton, 1996) • Metodologi pada dasarnya menunjuk pada tiga ciri utama, baik dalam kerangka konseptual maupun operasional, yaitu: a) metodologi semata-mata ilmu tentang metode, b) metodologi berkaitan dengan ilmu-ilmu khusus, dan 3) metodologi sebagai cara-cara pengumpulan data ilmu khusus tersebut. (Gie, 1977) 3. Pemikiran Tokoh Pluralisme 1. Gus Dur Menurut Abdurrahman Wahid, pluralisme merupakan suatu pandangan untuk menerima perbedaan sebagai sunnatulah agar saling mengenal, menghindari perpecahan, mengembangkan kerjasama dengan menanamkan rasa saling penegertian, saling memiliki dan bersifat inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan siapapun, namun tetap meyakini kebenaran agama sendiri dengan tidak mempersamakan keyakinan secara total. 2) Pluraritas merupakan sunnatullah. Pluralisme dalam hukum Islam memiliki dasar yang kuat dari segi normatif dan historis. Islam sejak awal telah mengakui pluralitas dalam kehidupan masyarakat. Sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman (pluralitas). Namun, hal itu hanya sebatas pada segi muamalah, tidak termasuk dalam hal aqidah/iman. Dalam perspektif hukum Islam pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme memiliki keserasian yaitu tentang konsep Tauhid. Gus Dur tidak memcampur adukkan konsep ke-Tauhidan agama-agama lain dalam Islam serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemunuisaan dengan mengembang rasa toleransi, rasa saling pengertian dan menghormati hak-hak orang lain dari berbagai kalangan. 2. Dr. Nur Kholis Majid 11
  • 12. Realitas yang plural sesungguhnya merupakan realitas yang dinamis. Dan itu sudah menjadi sunnatullah yang tak terbantahkan. Dalam pandangan masyarakat yang optimis, kemajemukan bukan ancaman – tapi, ia merupakan kenyataan yang sekaligus tantangan. Dalam konteks ke-Indonesiaan adalahseorang Nurcholis Madjid yang selalu ingin melihat bahwa kemajemukan dalam perspektif Islam sudah menjadi keharusan historis yang niscaya. Karenanya, pemikiran Islam mesti bersikap inklusif dan toleran, tapi sekaligus kritis. Nurcholish tampak menggunakan pola pemikiran neo-modernisme dalam keseluruhan gagasan- gagasan pemikiran Islamnya. Pola pemikiran Islam neomodernisme ini, seperti yang dikatakan Fachry Ali dan Bachtiar Effendi (Fachry Ali dan Bachtiar Efendi, 1992:175). Dengan demikian, karakteristik pola pemikiran neo-modernisme adalah pengembangan suatu metodologi sistematis yang mampu melakukan panafsiran Islam secara menyeluruh dan selaras dengan kebutuhan kontemporer, sikap tidak mengalah kepada Barat, tetapi juga tidak menafikannya, dan apresiatif disertai sikap kritis untuk mau mengkaji warissan-warisan sejarah keagamaannya sendiri. Dengan dua pendekatan ini, Nurcholish bermaksud untuk memberikan interpretasi doktrin Islam agar sesuai dengan kemajuan jaman, dan dengan demikian, doktrinnya pun tetap relevan dalam segala perubahan ruang dan waktu. Sifat ini merupakan karakteristik utama kaum neo-modernisme yang bertujuan membangun suatu Islam peradaban. 3. Abdul Mukti Ali Saat Menjadi Menteri Agama RI (1971-1978) Prof. Mukti Ali menggagas model kerukunan antar-umat beragama untuk menciptakan harmonisasi kehidupan nasional. Terapi yang digagas Mukti Ali dan di implementasikan melalui Departemen Agama tersebut, secara mendasar dilandasi oleh prinsip keadilan Islam yang mempercayai tiga hal penting, yakni ; kebebasan hati nurani secara mutlak, persamaan kemanusiaan secara sempurna, dan solidaritas dalam pergaulan yang kokoh. Yang lebih menonjol adalah konsepnyatentang agree in disagreement (setuju dalam ketidaksetujuan atau setuju dalam perbedaan) yang pertama kali dikemukakannya pada forum symposium di Goethe Institute, Jakarta, beberapa 12
  • 13. bulan sebelum ia diangkat menjadi menteri. Konsep inilah yang kemudian dikembangkannya lebih lanjut menjadi konsep ‘Kerukunan Hidup Antarumat Beragama’ di Indonesia. Terdapat 2 pendekatan untuk memahami pemikiran A. Mukti Ali yaitu : 1) Metodologi Ilmu Agama Islam  Fenomena Dikotomi Ilmu Umum dan Ilmu Agama Masa modern merupakan suatu tonggak peradaban manusia yang berb eda dari masa-masa sebelumnya, yaitu klasik dan tengah. Masa modern utamanya ditandai oleh pandangan hidup sekuler yang berawal dari pertarungan antara kaum gereja dan kaum ilmuwan di Eropa Barat. Paham sekuler tersebut mendasarkan pemikirannya pada konsep: agama urusan gereja, politik urusan negara. Secara umum, modernisme yang ditandai oleh sekularisme dipandang mengancam eksistensi agama, tak terkecuali agama Islam. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam dunia pendidikan, yang merupakan sarana stratregis untuk masa depan umat, salah satunya dalam karya Yadullah Kazmi yang berjudul Islamic Education: Traditional Education or Education of Tradition? Kazmi m emberikan gambaran adanya dikotomi dalam dunia pendidikan antara ilmu agama dan ilmu umum yang kemu dian menjadi ciri di hampir seluruh dunia Islam termasuk Indonesia. Dalam Islam, secara paradigmatik, integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama itu dilandaskan pada, yaitu menempatkan Allah Swt. sebagai awal dan akhir dari segalanya. Dalam perspektif ini, integrasi dilakukan antara ilmu agama, seperti antara ayat yang tertulis dalam al-Qur’an (qawliyah ) dengan ayat yang tidak tertulis kawniyyah). Pada masa awal Islam, integrasi keduanya selalu menjadi ciri kegiatan akademik para ilmuwan Islam, begitu juga sejumlah pemikir Barat. Sayangnya, masa Barat modern membawa kegiatan akademik dan intelektual pada penekanan pentingnya yang dan seringkali menafikan yang. Umat Islam lebih banyak terekspos dengan literatur Barat yang dikotomik dan menekankan pada positivisme dan empirisme dan sedikit sekali yang mengenal kegiatan akademik dalam tradisi Islam yang bersifat integratif antara dan . Akibatnya, kegiatan penelitian saat ini kawniyyah qawliyyah lebih dipahami 13
  • 14. sebagai kegiatan di lapangan dan jarang sekali yang berangkat dari ayat-ayat al- Qur’an, Akhirnya inilah yang disebut dengan paham sekulerisme. Perkembangan sekularisme seperti disebut di atas telah melahirkan sejumlah kekhawatiran dan kemudian muncul sejumlah antisipasi terutama menyangkut relasi agama dan ilmu yang perlu dibangun kedepan. Berdasarkan situasi dan kondisi global saat ini, abad ke-21 cenderung dilihat sebagai pembalikan dari masa turning-point modern dan sebagian orang menyebutnya sebagai p ost-modern atau anti-tesa terhadap masa modern. Post-modern ditandai dengan kembalinya agama ke dalam semua aspek kehidupan. Pemisahan agama dengan aspek kehidupan manusia semakin dikritisi, bahkan dikotomi ilmu dan agama serta ilmu agama dan ilmu umum dipandang tidak lagi relevan. Problem dikotomi ilmu, menurut Fazlur Rahman, tidak dapat diselesaikan hanya dengan mensejajarkan apa yang selama ini disebut dengan ilmu agama dan ilmu umum. Persoalan dikotomi ini bagaikan lingkaran setan. Untuk keluar dari lingkaransetan,diperlukan upaya untuk memisahkan secara tegas antara Islam normatif p ada satu sisi dan Islam historis pada sisi lain. Ketika mencoba memahami pikiran Rahman ini, Simuh -dalam tulisannya yang berjudul mengatakan Masalah Dikotomi dalam Pendidikan Agama bahwa kesulitan yang di alami dalam p endidikan agama sel ama ini adalah kegagalannya dalam membawa peserta didik dari berpikir Islam normatif menuju Islam historis, yang ia maknai sebagai pendidikan Islam dengan berpikir ilmiah. Simuh kemudian menyebut scientific-cum-doctrinaire yang diajukan ol eh A. Mukti Ali sebagai l angkah kongkret dalam implementasi pemikiran Rahman..  Metode dalam Memahami Agama Islam Dalam bukunya yang berjudul Metode Memahami Agama Islam pertama-tama mengungkapkan betapa pentingnya sebuah metodologi dalam sejarah pertumbuhan ilmu. Kita mengetahui bahwa pada abad pertengahan Eropa menghabiskan waktu seribu tahun dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh. Akan tetapi, keadaan tersebut kemudi an berubah menja di kebangkitan revolusio ner yang multi –fase dalam bidang sains, seni, sastra, dan semua wilayah h idup serta kehidupan manusia dan sosial. Ali Syari’ati menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandegan dan stagnansi di Eropa adalah metode pemikiran 14
  • 15. analogi dari Aristoteles. Kita melihat sejarah peradaban Yunani melahirkan banyak o rang jen ius dalam abad ke-4 dan ke-5 sebelum masehi. Umat manusia sangat terpengaruh oleh pemikiran pemikiran mereka hingga saat ini. Akan tetapi, seluruh Athena tidak sanggup untuk menciptakan roda; sedangkan dalam Eropa modern seorang teknisi biasa yang bahkan tidak dapat memahami tulisan-tulisan Aristoteles dan murid- muridnya telah menciptakan ratusan kary a-karya orisinal. Hal ini terjadi karena mereka telah menemukan metode berpikir yang benar. Dengan menggunakan metode yang benar, orang yang kecerdasannya biasa saja mampu menemukan kebenaran; sedang pemikir pemikir jenius tidak akan dapat memanfaatkan kejeniusannya tersebut apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah masalahnya. Berangkat dari pandangan di atas, maka A. Mukti Ali menyatakan bahwa kita harus mencari metode yang paling baik dalam mempelajari Islam. Islam merupakan agama yang multi-dimen si, sehingga satu metode saja tidak dapat dipilih untuk mempelajari Islam. Islam memiliki dimensi yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan yang dipelajari dengan men ggunakan metode filosofis, dimensi yang berkaitan dengan masalah kehidupan manusia di muka bumi yang dipelajari dengan menggunakan metode ilmu-i lmu alam, dimensi yang berkaitan dengan pembentukan masyarakat dan peradaban yang dipel ajari dengan menggunakan metode historis dan sosiologis, serta dimensi -dimensi lainnya. Oleh kar ena Islam adalah agama, maka metode-metode di atas harus ditambah dengan metode doktriner. Singkatnya, mempelajari Islam dengan segala aspeknya tidak cuk up dengan menggunakan metode ilmiah saja, tidak cukup pula hanya dengan jalan doktriner saja. Berdasarkan pengamatan A. Mukti Ali, selama ini pendekatan terhadap agama Islam masih sangat pincang. Ahli -ahli ilmu pen getahuan termasuk dalam hal ini para orientalis mendekati Islam dengan metode ilmiah saja. Akibatnya, penelitiannya tersebut menarik tapi sebenarnya mereka tidak mengerti Islam secara utuh, yang mereka ketahui hanya segi-segi luar dari Islam saja. Sebaliknya, para ulama kita sudah terbiasa memahami ajaran Islam dengan cara doktriner dan dogmatis, sering sekali tidak dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Akibatnya, penafsirannya tersebut sulit diterapkan di masyarakat. Inilah yang menyeb abkan orang lain memiliki kesan bahwa Islam 15
  • 16. sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan masa kini. Untuk itulah maka menurutnya harus dipergunakan pendekatan menyeluruh terhadap agama yang disebut , atau yang di sebut juga dengan scientific-cum-doctrinaire pendekatan integral, holistik, komprehensif, , ilmiah-agamais, serta sintesisreligio-scientific sesuai pernyataan A. Mukti Ali: Pendekatan terhadap agama sekarang ini ada dua, dan akan saya tambahkan lagi sehingga menjadi tiga. Yang pertama adalah, bagaimana mendekati scientific agama secara ilmiah, yaitu dengan pendekatan antropol ogis, sosiologis, historis, atau filosofis. Yang didapat adalah tingkah laku orang beragama. Pendekatan pertama ini saya tolak karena tidak cocok. Pendekatan kedua adalah secara dogmatis yaitu yang ada pada umumnya digunakan di pesantren -pesantren. Bagi Mukti Ali yang ideal adalah menggabungkan keduanya, ilmiah plus doktriner. secara sosiologis tetapi juga Qur’ani, secara antrop ologis tetapi disertai penjelasan Hadis, secara filosofis dan Qur’ani. Inilah pendekatan sintesis atau integral yang saya kembangkan. Pendekatan yang ditawarkan oleh Mukti Ali scientific-cum- doctrinaire mengombinasikan pendekatan normatif dan pendekatan empiris dalam studi Islam. Dengan menggunakan pendekatan ini, Islam dapat dianalisa dan diinterpretasikan secara doktriner, historis dan empiris. Seperti yang telah dijelaskan di atas, ia tidak menggunakan pendekatan no rmatif semata dalam studi Islam karena karena pendekatan ini hanya merujuk kepada teks-teks keagamaan dalam memahami Islam. Pendekatan normatif seharusnya dikombinasikan dan diintegrasikan dengan pendekatan empiris, engan mempertimbangkan dan memahami kondisi sejarah, sosial dan budaya dalam mempelajari dan menganalisis Islam dalam kehidupan masyarakat. Ketika Islam datang dan mulai berinteraksi dengan kehidupan sebuah kelompok masyarakat, tentunya mereka telah memiliki tradisi dan budaya karena mereka telah terlebih dahulu ada di sana. Oleh karena itu, Islam, tradisi lokal dan budaya asli pribumi berbaur dalam p roses akulturasi. Dengan menggunakan pendekatan scientific-cumdoctrinaire, Islam dapat dieksplorasi dari sejumlah pendekatan interdisipliner dan dari sejumlah dimensi yang tidak dapat dipisahkan atau dipandang sebelah mata. Mukti Ali menyebut pendekatan ini dengan pendekatan holistik. Pada prinsipnya pendekatan tersebut bukan merupakan scientific-cum-doctrinaire sesuatu yang baru, karena sudah dilakukan oleh para 16
  • 17. ulama dalam tradisi ilmu keislaman sebelumnya yang dikenal dengan kajian yaitu mengkaji sebab-sebab asbabun nuzul turunnya ayat al-Qur’an dikaitkan dengan kondisi lingkungannya, serta asbabul wurud yaitu sebab-seb ab lahirn ya hadis. Sebagaimana diakuinya, A. Mukti Ali berupaya mengembangkan pendekatan tersebut secara lebih lanjut dalam konteks yang lebih luas. Hal yang penting untuk dicermati adalah, d engan tidak mengabaikan pentingnya Islam n ormatif, semua pihak hendaknya menyadari bahwa Islam itu sendi ri telah hidup bersentuhan dengan berbagai bidang, seperti po litik, seni, budaya dan lain -lain. Oleh karena itu, pemahaman Islam tidak hanya cukup dengan mempelajari ajaran-ajaran normatif tetapi juga bagaimana Islam dip ahami, diimplementasikan, sekaligus sentuhannya dengan lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, atau peradaban pada umumnya sepanjang perjalanan sejarahnya. Hal ini sekaligus menuntut bekal ilmu sosial dan juga ilmu budaya bahkan juga ilmu alam dalam upaya memahami Islam dan umat Islam. 2) Kerukunan Hidup Umat Beragama  Pluralitas Sebagai Sebuah Keniscayaan Kemajemukan atau pluralitas umat manusia merupakan suatu kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, jika dalam al- Qur’an Surat al-Maidah ayat 13 disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa -bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai, maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berusaha untuk berbuat sebaik mungkin. Pluralitas sesungguhnya adalah sebuah aturan Tuhan ( ) yang tidak akan berubah sehingga tidak akan mungkin bisa dilawan sunnatullah atau diingkari. Berdasarkan ketentuan Tuhan tersebut serta adanya f akta bahwa Negara Indonesia adalah merupakan negara kepulauan, maka faktor kemajem ukan sosial- budaya dan agama menjadi sesuatu yang harus diperhitungkan dan diperhatikan dengan seksama. Kondisi kemajemukan tersebut mengharuskan segenap komponen bangsa berbuat sesuatu secara realistis untuk mencari dan menemukan titik pandang yang sama di antara mereka. Hal itu perlu dilakukan karena setiap kelompok tentu ak an melakukan sesuatu berdasarkan prinsip dan pandangan masing-masing. Kondisi tersebut akan menimbulkan perbenturan berbagai 17
  • 18. kepentingan dan tujuan yang dapat memicu konflik dan perselisihan yang berkepanjangan. Di samping faktor multikultural, problem krusial lainnya adalah cara pemahaman agama. Problem ini akan selalu berlanjut karena adanya perbedaan yang mendasar antara watak agama itu sendiri dengan realitas sosial. Agama bersifat absolut karena bersumber dari realitas ontologis yang mutlak yaitu Tuhan, sementara manus ia bersifat relatif dan terbatas. Maka ketika agama dikon struksi oleh manusia, kemutlakan agama mengalami proses relativisasi, bahkan mungkin juga distorsi. Ironisnya, pada proses konstruksi yang dihasilkan, sering diwarnai oleh klaim-klaim pemutlakan sehingga dapat menyulut ketegangan dalam interaksi intern maupun antaragama. Watak universal agama yang melewati batas geografis, bahasa, etnis, ideologi, dan sebagainya tereduksi menjadi kepingan- pingan pemahaman sedemikian rupa sehingga tampak ke legitimate. Kondisi ini berpotensi menimbulkan ketegangan intern dan antar umat beragama yang dapat berubah menjadi perselisihan dan konflik yang kontra produktif serta merugikan, bahkan merusak agama itu sendiri. Dalam rangka mencerahkan pandangan masyarakat Indonesia serta membentuk sikap kritis, A. Mukti Ali memperkenalkan pendekatan yang telah scientific-cum –doctrinaire dijelaskan sebelumnya. Pendekatan seperti ini akan membawa umat beragama pada umumnya dan umat Islam pada khususnya untuk menerima wacana kemodernan dan bersikap kritis, terbuka, toleran, simpa tik terhadap kebebasan intelektual, peka terhadap problem kemasyarakatan dan dialo g antar umat beragama. Pada akhirnya akan tercipta kerukunan hidup antar umat beragama yang sangat bernilai bagi bangsa Indonesia.  Mukti Ali dan Kerukunan Hidup Umat Beragama Ada lima konsepp emikiran yang diajukan dalam rangka menciptakan kerukunan dalam kehidupan umat beragama, yaitu: a) Sinkretisme, yaitu suatu anggapan bahwa semua agama itu sama. Sinkretisme dalam ilmu agama adalah berbagai aliran dan gejala yang hendak mencampurbaurkan segala agama menjadi satu serta men yatakan bahwa semua agam a pada hakikatnya sama. Bentuk dan penganjur yang nyata dari sinkretisme di Indonesia adalah “kejawen” yang memiliki berbagai nama serta organisasi sebagai bentuk gerakan kebatinan. Pandangan mereka adalah bahwa segala konsepsi tentang Tuhan adalah aspek–aspek dari Ilahi yang satu, 18
  • 19. yang tidak berkesudahan, kekal dan segala bentuk supreme agama adalah aspek dari jalan besar yang menuju kebenaran yang satu. b) Rekonsepsi, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasinya dengan agama lain. Agama adalah satu keinginan akan suatu cara hidup yang ben ar yang berasal dari desakan alam semesta,yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan universal manusia. Oleh karena itu, perlu disusun agama universal yang memenuhi kebutuhan segala manusia dan bangsa dengan jalan rekonsepsi. Ke depan, agama-agama besar dunia terlihat bagaikan sungai-sungai yang mengalir menjadi satu. c) Sintesis, yaitu suatu usaha untuk menciptakan suatu agama baru yang unsurnya berasal dari berbagai agama, dengan maksud agar setiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari agamanya telah menjadi bagian dari agama sintesis itu. Dengan cara ini, kehidupan umat beragama akan menjadi rukun. d) Penggantian, yaitu pengakuan bahwa agamanya sen dirilah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah, seraya berupaya keras agar para pengikut agama-agama lain itu memeluk agamanya. Ia tidak rela melihat orang lain memeluk agama dan kepercayaan lain yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Oleh karena itu, agama-agama lain itu haruslah diganti dengan agama yang dia peluk. Dengan cara ini diharapkan terjadi kerukunan hidup beragama. e) Setuju dalam ketidaksetujuan (agree in disagreement). Gagasan ini menekankan bahwa agree in disagreement agama yang dia peluk, itulah yang paling baik. Walaupun demikian, ia mengakui bahwa di antara agama yang satu dengan agama-agama lainnya selain terdapat perbedaan-perbedaan juga terdapat persamaan-persamaan. Pengakuan seperti ini akan membawa kepad a suatu p engertian yang baik yang dapat menimbulkan adanya saling menghargai dan sikap saling menghormati antara kelompok pemeluk agama- agama yang satu dengan yang lain. Menurut A. Mukti Ali, konsep pertama (sinkretisme) tidak dapat diterima sebab dalam ajaran Islam, Khalik (pencipta) adalah sama sek ali berbeda dengan makhluk (yang diciptakan). Antara keduanya harus ada garis pemisah, sehingga dengan demikian menjadi jelas siapa yang disembah dan untuk siapa orang itu berbakti serta mengabdi. Konsep kedua (rekonsepsi) juga tidak dapat diterima, 19
  • 20. karena dengan menempuh cara itu agama tak ubahnya hanya merupakan produk pemikiran manusia semata. Padahal, agama secara fundamental diyakini sebagai bersumber dari wahyu Tuhan. Bukan akal yang menciptakan atau menghasilkan agama, tetapi agamalah yang memberi petunjuk dan bimbingan kepada manusia untuk menggunakan akal dan nalarnya. Konsep ketiga (sintesis) ditolak karena setiap agama memiliki latar belakang historis masing-masing yang tidak secara mudah dapat diputuskan begi tu saja. Dengan kata lain, tiap-tiap agama terikat secara kental dan kuat kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri. Konsep keempat (pengg antian) juga tidak bisa diterima karena adanya kenyataan bahwa sosok kehidupan masyarakat itu menurut kodratnya adalah bersifat pluralistik dalam kehidupan agama, etnis, tradisi, seni budaya, dan cara hidup. Pluralisme kehidupan masyarakat, termasuk dalam kehidupan beragama, sudah menj adi watak dan realitas masyarakat itu sendiri. Cara-cara penggantian sudah pasti tidak akan menimbulkan kerukunan hidup umat beragama, tetapi sebaliknya justru intoleransi dan ketidakrukunan yang akan terjadi; karena cara-cara tersebut akan mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk berupaya keras den gan segala cara (entah cara yang baik atau yang tidak baik) untuk menarik orang lain menganut agama yang dia peluk. Adapun konsep kelima ( menurut A. Mukti Ali adalah jalan agree in disagreement) paling baik untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Orang yang beragama harus meyakini bahwa agama yang dia peluk adalah agama yang paling benar dan baik. Dengan keyakinan itu, seseorang akan terdorong untuk berbuat sesuai dengan keyakinannya. Setiap agama memang berbeda satu sama lainnya, tetapi disamping itu juga ada persamaannya. Berdasarkan pengertian itu, timbul sikap saling menghormati dan akan tercipta kerukunan hidup antar umat beragama. Prinsip ini merupakan perwujudan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”. Kerukunan antarumat beragama di Indonesia merupakan suatu kebutuhan mutlak bagi Mukti Ali. Sebagaimana pernyataannya bahwa andaikata semua penduduk Indonesia beragama Islam, tentu cara menghadapinya berbeda daripada kenyataan sekarang ini, dimana ada ada penganut agama lain selain Islam di Indonesia, yakni Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Makna kerukunan beragama menurut A. Mukti Ali adalah suatu kondisi sosial di mana semua golongan dapat hidup bersama-sama tanpa mengurangi 20
  • 21. hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Masing- masing hidup sebagai pemeluk agama yang baik dalam keadaan rukun dan damai. Kerukunan hidup beragama tidak akan mungkin lahir dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak dan perasaan orang lain. Ia menegaskan bahwa kerukunan dapat tercapai jika masing -masing pemeluk agama bersikap lapang dada satu sama lainnya. 4. Konsep Pluralisme Dalam Pancasila Konsep pluralisme sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia dan sudah diketahui keberadaannya jauh sebelum negara Indonesia ini didirikan. Kita sudah mengenal semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua” (beragam dalam kesatuan, tidak ada ”dharma” yang medua), yang merupakan simbol pluralisme Hindu-Budha yang telah dibangun bangsa ini. Jalan yang ditempuh bisa berbeda tetapi sesungguhnya ditujukan untuk Tuhan yang sama. Konsep pluralisme ini kemudian diperluas tidak hanya dalam konteks agama tetapi menjadi bingkai persatuan Indonesia yang memiliki kemajemukan budaya, adat, bahasa, dan kemudian terkristal dalam satu konsensus politik yang bernama Pancasila. Kesepakatan diterimanya dasar negara sekaligus cita-cita negara ini, sesungguhnya menunjukkan bahwa bangsa ini telah memiliki kedewasaan dalam memahami keanekaragaman. Alwi Shihab(1998: 335-336) mencatat beberapa komentar positif tentang Indonesia, tentunya sebelum Indonesia mengalami berbagai krisis seperti saat ini. Fazlur Rahman pernah meramalkan bahwa Islam yang sejuk dan menarik dan yang menghidupkan kembali nilai luhur toleransi dan moderasi Nabi Muhammad menyingsing dari Bumi Indonesia. Demikian pula Lawrence Sullivan, kepada pusat pengkajian agama dunia pada Universitas Harvard Amerika, secara terbuka mengatakan, bahwa Indonesia secara kreatif telah mewujudkan pendekatan baru dalam menciptakan kehidupan keagamaan yang harmonis, yang tidak dijumpai di banyak negara Eropa dan Amerika. Sullivan menandaskan bahwa “Indonesia is a model religious tolerance that other countries could do well to emulate” (Indonesia merupakan model toleransi keagamaan yang patut ditiru oleh negara lain). Konsep pluralisme lahir dari latar belakang pemikiran dan kondisi sosial, politik, budaya tertentu. Artinya bahwa pluralisme itu merupakan sebuah konstruksi sosial. Pluralisme dalam konsep dan aplikasinya barangkali tepat diterapkan di satu wilayah tertentu namun tidak tepat dan bahkan 21
  • 22. menghasilkan persoalan baru di tempat yang lain. Humanisme sekuler, misalnya dapat diterima di Barat oleh karena paham eksistensialisme yang telah lama mengakar dan menempatkan manusia sebagai pusat eksistensi. Hal ini akan berbeda dengan masyarakat Timur yang memahami keunggulan eksistensi manusia justru ketika dirinya merasa bagian dari alam dan ’menyatu’ dengan Tuhan. Demikian pula teologi globalnya John Hick yang diilhami oleh perkembangan globalisasi, akan ditolak oleh masyarakat yang masih memegang erat tradisi dan kaidah literal agama. Berbagai karakter pluralisme tersebut dapat pula diposisikan sebagai satu bentuk pemikiran bukan ajaran agama yaitu, bagian dari pemikiran keagamaan, sehingga ketidaksetujuan terhadap pemikiran tersebut seharusnya ditanggapi pula dengan pemikiran dan tidak dengan fatwa. Kekhawatiran yang muncul ketika pendekatan fatwa digunakan untuk mengkaunter satu pemikiran, maka tragedi abad pertengahan, yaitu pemandulan rasio akan kembali terjadi. Kondisi demikian justru kontraproduktif dan lebih jauh dapat menghasilkan sikap resistensi terhadap agama (institusi agama). Dalam konteks Indonesia beberapa pandangan Alwi Shihab (1998:41-42) tentang pluralisme tampaknya perlu dipertimbangkan. Pertama, konsep pluralisme tidak sama dengan relativisme. Relativisme berasumsi bahwa kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup dan kerangka berpikir seseorang atau masyarakat, sehingga aliran ini tidak mengenal kebenaran universal. Kedua, pluralisme bukanlah sinkretisme, yakni menggabung-gabungkan berbagai ajaran dengan mengambil sisi tertentu sehingga muncul menjadi agama baru. Ketiga, pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, tetapi mengandung pengertian keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Mengutip pandangan Diana L. Eck (2005: 576-577) bahwa pluralitas tidak sama dengan kemajemukan. Pluralitas mengacu pada adanya saling tergantung antar berbagai hal yang berbeda, sedangkan kemajemukan (diversity) mengacu pada tidak adanya hubungan dari hal yang berbeda tersebut. Persoalan yang perlu mendapatkan jawaban adalah bagaimana konsep pluralisme dalam perspektif Pancasila? Pluralisme Pancasila secara teoretis memang belum terbangun, namun sudah ada dalam realitas praksis, paling tidak, realitas itu dapat dilihat pada kondisi Indonesia sebelum krisis, yaitu adanya pengakuan multi-agama di Indonesia, kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, dan kehidupan saling 22
  • 23. menghargai dan kerjasama antar pemeluk agama. Meminjam teori pluralisme yang sudah ada, maka pluralisme Pancasila dapat didekati dengan menggunakan perspektif Notonagoro dalam melihat Pancasila. Notonagoro (1987: 9) melihat Pancasila sebagai kesatuan organis (majemuk tunggal) nilai, yang terdiri atas nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Kelima nilai tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, bahkan saling mengkualifikasi satu nilai dengan yang lainnya. Artinya, manakala berbicara tentang persatuan Indonesia, misalnya, maka konsep ini tidak dapat dilepaskan dari konsep ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan. Setiap berbicara tentang satu sila, maka akan selalu terkait dengan keempat sila lainnya. Pluralisme yang hendak dibangun oleh Pancasila berbeda dengan pluralisme yang dikembangkan oleh humanisme sekuler yang menempatkan nilai kemanusiaan begitu tinggi, dan menganggap sekularisme sebagai sarana yang dapat mempertemukan keberadaan agama yang beragam. Humanisme sekuler yang berkembang terutama di Eropa telah mencabut ’kedudukan kodrat’ manusia sebagai homo religiousus (makhluk Tuhan). Hossein Nasr menggunakan istilah yang lain, bahwa masyarakat barat telah terlempar dari pusat eksistensinya sebagai makhluk yang bertuhan. Di pihak yang lain, Pancasila justru membangun pluralisme atas dasar kemanusiaan universal yang religius (sila 2 dan 1). Ketuhanan yang Maha Esa merupakan Realitas Absolut yang mempertemukan keragaman agama di Indonesia. Sloka hinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrua telah memberikan pemahaman bahwa meski pun jalan yang ditempuh berbeda namun sesungguhnya Tuhan sebagai tujuan yang hendak dituju adalah satu. Secara eksoterik agama di Indonesia sangat beragam namun secara esoterik dipertemukan dalam pemahaman yang sama bahwa Tuhan Maha Esa. Dalam konteks ini barangkali Pancasila paralel dengan pandangan John Hick yang menganjurkan ”transformasi orientasi dari pemusatan ”agama” menuju pemusatan Tuhan. Akan tetapi tidak sepaham dengan konsep teologi global yang juga diusung oleh Hick yang membayangkan adanya teologi baru yang dapat diterima dan dapat menyatukan semua agama yang ada. Teologi global sebagai agama besar dan agama yang ada diibaratkan seperti sektenya. Pandangan demikian tentu saja akan dapat mengaburkan identitas agama, karena agama harus merelativisasi diri dan meleburkan diri dalam payung teologi baru. Sebuah cita-Cita yang utopis, mengingat kompleksitas 23
  • 24. persoalan dalam agama. Alih-alih antar agama dapat bersatu, dalam realitas keberagaman, sekte/aliran dalam satu agama saja tidak dapat bersatu. Pancasila justru mengembangkan pluralisme dengan mengakui identitas agama yang beragam, namun saling menghargai (sila 4). Ada konsep ’demokrasi agama’, dalam arti bahwa agama mempunyai kedudukan dan peran yang sama dalam negara, demikian pula negara menempatkan diri pada posisi netral untuk melindungi bahkan memfasilitasi setiap agama. Tidak dibenarkan adanya diskriminasi dalam urusan negara dikarenakan persoalan perbedaan agama. Setiap pemeluk agama diberikan kebebasan yang luas untuk menjalankan ajaran agamanya sejauh tidak menabrak batas keyakinan agama lain maupun peraturan hukum yang berlaku. Pancasila tidak hendak pula menemukan sisi baik agama dan kemudian meleburkan diri dan menciptakan agama baru sebagaimana yang dilakukan paham sinkretisme. Dengan demikian wacana yang pernah muncul bahwa Pancasila akan menjadi agama baru yang akan menyatukan keragaman agama di Indonesia sangat tidak beralasan. Pancasila hanya bergerak dalam ranah politis-sosiologis, memayungi keragaman agama dan tidak dalam ranah yang teologis. Pemahaman adanya keragaman agama dan sikap saling menghargai (toleransi) kiranya masih belum cukup. Pancasila mengisyaratkan untuk saling bekerjasama secara aktif guna menciptakan keadilan bersama, keadilan sosial, baik keadilan dalam bidang hukum, ekonomi, politik dan lain-lain (sila 5), sikap yang diharapkan oleh Diana L. Eck, bahwa keadilan sosial tidak mungkin dicapai melalui usaha yang dilakukan satu ormas agama (elemen masyarakat) tertentu saja, namun harus merupakan upaya konstruktif dan koordinatif antar semua agama. Semua agama mempunyai kewajiban yang sama baik secara konseptual maupun praksis dalam mencapai keadilan sosial tersebut. Sikap toleransi dan kerjasama ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari keberagamaan bangsa Indonesia. Pela Gandong yang menjadi kesepakatan adat di Ambon, sesungguhnya bukti nyata yang diharapkan oleh Diana L. Eck di atas. Meminjam konsep Hans Kung tentang global etik, maka Pancasila dapat dipahami juga sebagai etika ’global’ dalam mempertemukan berbagai keragaman bangsa Indonesia. Sudah saatnya penganut agama menghentikan pertikaian dan beralih mengatasi persoalan bersama seperti kerusakan alam, pengangguran, kebodohan, ketidakadilan dan lain-lain. Persoalan tersebut merupakan common problem, persoalan yang lintas agama. Karena akibat yang ditimbulkannya akan berdampak pada kemanusiaan secara umum 24
  • 25. tanpa memandang apa agamanya. Dengan demikian debat dan pertikaian yang justru memberikan dampak destruktif sudah saatnya ditinggalkan dan beralih pada persoalan etis untuk mengatasi persoalan bersama secara bersama-sama pula. Pada akhirnya sikap toleransi dan kerjasama antar pemeluk agama diharapkan dapat menciptakan kondisi masyarakat yang damai dalam bingkai persatuan Indonesia (sila 3). Tanpa ada persatuan persoalan bangsa ini tidak mungkin dapat diatasi. Seluruh manusia Indonesia yang berkiprah dalam sektor apapun, baik dalam dunia pendidikan, agama, sosial, hukum, politik dan lain-lain harus menjadi bagian dari kesatuan bangsa ini. Dalam sudut pandang ini pluralisme dapat dibangun dalam perspektif nasionalisme, bahwa perbedaan apa pun di antara bangsa Indonesia akan dipersatukan oleh kenyataan sejarah Sosial Budaya politik, bahwa kita adalah sama-sama orang Indonesia. Untuk membangun pluralisme yang demikian, perlu dua kekuatan pendukung, yaitu pertama, hard power, (pendekatan struktural) dalam arti bahwa pemerintah sebagai lembaga formal yang memiliki peraturan dan aparat harus berada pada posisi yang netral dan dapat bertindak tegas terhadap setiap perbuatan yang melanggar peraturan dan hak asasi manusia. Tindakan pembunuhan, perusakan rumah ibadah dan lain-lain dari satu kelompok agama terhadap kelompok agama tertentu harus dilihat secara objektif sebagai tindakan kriminal yang harus diproses secara hukum. Kedua,soft power, yaitu pendekatan kultural, melalui jalur pendidikan dan dialog. 5. Pluralisme Dalam Aspek Kehidupan Bermasyarakat Kita semua mengetahui bahwa Indonesia adalah negara dengan berbagai keragaman suku bangsa dan budaya serta keyakinan. Keberagaman ini dilihat dari banyak aspek muali dari segi agama, latar belakang, suku, adat istiadat, sosial budaya dan bahasa yang beragam bentuknya. Untuk menciptakan negara yang aman dan terhindar dari bentuk-bentuk konflik sosial, kita sangat membutuhkan adanya rasa toleransi tersebut. Bila masyarakat Indonesia tak sedikitipun yang memiliki toleransi, maka sudah dipastikan negara akan menemui banyak masalah dan hambatan. 25
  • 26. Sebagai Negara majemuk yang memiliki beragam sosial budaya masyarakat, kita sebagai warga Negara Indonesia tidak akan pernah bisa menghindari pluralisme tersebut. Beberapa contoh pluralisme dalam aspek masyarakat Indonesia. 1. Konflik Etnis di Indonesian Sejak Indonesia merdeka, berbagai catatatan adanya konflik yang terjadi di salah satu daaerah memang sudah banyak terdengar. Yang paling terkenal adalah konflik SARA yang terjadi antara warga Dayak dengan warga Madura di daerah Kalimantan Tengah. Konflik ini terjadi dengan menewaskan setidaknya 315 orang dari etnis Madura. Hal ini berdampak pada berlanjutnya konflik yang lebih luas sampai ke daerah lain sepertu Kuala Kapuas, Pangkalam Bun hingga Palangkaraya. Konflik ini dilatar belakangi oleh sikap dua orang pejabat yaitu Fedlik dan Lewis yang menjabat di Dinas Kehutanan dan Kantor Bappeda dimana mereka berencana membatalkan pelantikan 10 pejabat Eselom I, II, dan III karena berasal dari kalangan agama Islam. Sungguh miris bukan? Agama yang seharusnya menjadi sebuah keyakinan individu yang tak seharusnya dipersoalkan apalagi diperdebatkan hanya demi sebuah jabatan malah berimbas pada adnya konflik. Yang perlu menjadi perhatian disini adalah kurangnya penanaman pendidikan pluralisme sebagai sebuah pegangan yang harusnya dimiliki oleh kedua pejabat tadi. Mereka sudah sangat mencerminkan betapa sangat minimnya rasa toleransi yang mereka miliki hingga mereka melakukan segala cara walapun harus dengan mengadu domba antar etnis demi menggaggalkan sebuah pelantikan pejabat eselon. Perbedaan etnik dan ras berikutnya adalah banyaknya orang Cina, Arab, Pakistan dan Amerika yang ada di Indonesia. Kita mengetahui bahwa mereka secara fisik sangat berbeda dengan kita, mereka memiliki warna kulit putih, kuning dan hitam. Kita juga tak luput melihat bahasa yang digunakan oleh daerah-daerah yang ada di Indonesia seperti daerah Papua, Jawa, Ambon ataupun Nusa Tenggara Timur. Mereka semua berbeda tak hanya dari segi bahasa, tetapi juga pakaian, makanan dan minuman yang biasa mereka konsumsi. 2. Kelompok Etnik Jawa Timur di Era Otonomi Derah 26
  • 27. Memperbincangkan kelompok etnik Jawa Timur pada era otonomi daerah menjadi topik yang sangat menarik. Hal ini dipicu dari beberapa faktor. Pertama kita mengetahui bahwa Propinsi Jawa Timur adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki keberagaman etnik dan budaya masyarakat yang sangat banyak nan luas. Kedua, pada kenyataanya, etnik dan budaya yang sangat luas dan beragam ini menjadi salah satu dasar sebagai bentuk pembangunan yang penting. Ketiga, hanya beberapa kelompok etnik saja yang mempunyai kesetaraan akses dalam memproses aspek politik dan ekonomi daerah pada masa orde baru. Keempat, pandangan ahli yang berhasil dipatahkan mengenai penghapusan persoalan etnis melalui pembanguan kemajuan ekonomi dan sistem politik. Kelima, implikasi era otonomi daerah pada pengakuan neegata terhadap contoh pluralisme dalam masyarakat dalam berbagai kebergaman etnik dan budaya. 3. Pluralisme dalam Media Dengan memiliki berbagai suku daerah yang terdiri dari banyak budaya yang beragam. Media juga menjadi salah satu aspek penting yang tak kalah dari kemajuan dan perkembangan pluralisme itu sendiri. Dalam segi media, pluralisme adalah sebuah alat penyiaran informasi yang memiliki wewenang secara bebas dan merdeka dimana keberadaannya sudah diakui oleh Negara dan seluruh masyarakat Indonesia. Media massa yang ada di Indonesia harus dijadikan sebagai salah satu wadah kontrol sosial di bawah naungan manajemen profesional sehingga fungsi media sendiri dapat berjalan sesuai dengan hukum dan sebagaimana mestinya. Selain itu, dewasa ini media juga harus dijadikan sebagai ajang mengutarakan pendapat sebebas bebasnya namun, dalam rangka mengontrol jalannya pemerintahan bukan untuk merugikan salah satu pihak. 4. Pluralisme dari Segi Pendidikan Indonesia Kita semua sudah mengetahui bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai masyarakat multikultural. Pengertian msyarakat multikukltural adalah setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan daerah lain. Dampak postitif keberagaman budaya memang ada, namun melalui pendidikan bisa mengajarkan arti pluralisme sangat mutlak untuk 27
  • 28. dibutuhkan. Apa itu pendidikan pluralisme? Adalah suatu pendidikan yang berfungsi sebagai wadah melindungi dan menjaga beragam pluralisme yang ada di Indonesia mulai dari suku, agama ras dan budaya, ikut memunculkan tata nilai, keterbukaan dan dialog bagi penerus bangsa khususnya anak muda. Pendidikan pluralisme dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang betapa kita sangat luas dan mampu untuk menembus berbagai perbedaan etnis, budaya dan agama dengan tujuan ada rasa kemanusiaan yang muncul di sana. Pendidikan dasar kemanusiaan untuk membuka solidaritas para warga negara. Disini, dalam pendidikan pluralisme juga diharapkan para pendidik dapat mendefinisikan dan menerangkan secara jelas mengenai keberagaman budaya dalam menghadapi bermacam-macam perubahan yang mungkin saja terjadi di salah satu daerah atau bahkan di dunia sekalipun. Pendidikan pluralisme diharuskan dapapt memberikan respon cepat terhadap segala bentuk perkembangan atau penuntutan persamaan keadilan di lingkungan sekolah misalnya. 5. Budaya dalam Pluralisme Keberagaman budaya juga menjadi salah satu penyebab terbesar yang seringkali memicu timbulnya konflik di Indonesia. Ini merupakan salah satu faktor yang menjadi pengahalang utama dan pemicu maslah dalam suatu kelompok etnik dimana kelompok tersebut lalai dalam mengahargai berbagai perbedaan yang ada. Hal ini dapat memicu timbulnya persaingan dan mengganggap etnik sendiri sebagai yang terbaik sedangkan etnik lain dianggap buruk. Akan tetapi, dengan memahami budaya dalam pluralisme, kita dapat memperkecil timbulnya konflik. Masyarakat etnik ini bisa diajak untuk belajar nmemberikan tanggapan terhadap lingkungan sosial sekitar dan membuka kesempatan seluas-luasnya contoh pluralisme dalam masyarakat kepada budaya yang barus saja masuk. Budaya yang baru masuk ini bisa disaring terlebih dahulu, mana yang harus dipertahankan, mana yang memang perlu adanya perbaikan. Selanjutnya, pluralisme dalam budaya juga diusahakan dari sikap saling menerima antar etnik yang berdekatan. Hal ini bisa kita tunjukkan melalui kegiatan penyatuan dua budaya bersama-sama. 28
  • 29. BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a) Pluralisme adalah menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep hidup berdampingan secara damai, tidak saling mengganggu, dan mengembangkan kerjasama sosial-keagamaan melalui berbagai kegiatan untuk mendorong proses pengembangan kehidupan beragama yang rukun. Di Indonesia nilai-nilai pluralisme sudah tercakup dalam isi Pancasila, dan dilindungi oleh undang- undang 1945 (UUD 45). b) pluralisme merupakan konsep yang mengatur bagaimana cara untuk bisa hidup rukun dan damai dalam kemajemukan masayarakat, baik dalam hal sosial, agama, adat istiadat dan budaya, dimana tujuanya adalah supaya mereka bisa saling bekerja sama dalam membangun sebuah negara atau kelompok masyarakat, 2. Saran Sebagai penutup, penulis ingin memberikan beberapa saran, agar dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi peningkatan kualitas penelitian selanjutnya. Saran tersebut adalah sebagai berikut: a) Makalah ini hanya mencari secara sederhana mengenai pluralisme secara umum dan dilakukan penulis amatlah sederhana, sehingga masih membutuhkan koreksi tambahan untuk menambah wawasan penulis tentang pluralisme. b) Dengan adanya makalah ini, penulis berharap dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman mengenai pluralisme secara umum. Penulis juga berharap alangkah baiknya jika makalah yang sederhana dapat membantu teman-teman yang lain yang sedang menyusun makalah yang sama sehingga mendapatkan inspirasi. 29