Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
Dokumen tersebut membahas tentang kota tua Jeddah di Arab Saudi dan peranannya sebagai lokasi konsulat Belanda pada abad ke-19 untuk mengurusi jamaah haji dari Hindia Belanda.
3. IHRAM.CO.ID, Jika sekali waktu main ke Jeddah,
tengok-tengoklah kota tua daerah tersebut. Oleh warga
tempatan, ia disebut juga Al Balad, tak jauh dari kantor-
kantor pemerintahan di Jeddah. Mengunjungi lokasi itu,
bukan hanya perjalanan melintasi ruang tapi juga mundur
dalam waktu, jauh kembali pada masa saat Khalifah
Utsman bin Affan mendirikan wilayah tersebut pada abad
ke-7.
Bangunan-bangunannya dibiarkan belum terpugar
sudah ratusan tahun usianya. Pintu-pintunya masih
menyimpan keindahan ukiran-ukiran Arabesque masa
lampau. Masing-masing merupakan stempel dari
berbagai kerajaan yang pernah menguasainya.
4. Dahulu ia dikelilingi tembok perlindungan yang
mulai diruntuhkan pada 1940-an. Kini tinggal gerbang-
gerbang raksasa yang tersisa.
Berjalan-jalan di dalam kompleks tersebut, mudah
membayangkan tiba-tiba muncul tokoh-tokoh yang
diceritakan Ratu Syahrazad dalam Kisah 1001 Malam.
Para lanun dan pangeran, jin dan burung-burung mistis.
Suasana Kota Tua Jeddah di kawasan Al Balad.
Tapi ia juga tempat yang tak kalah penting dalam sejarah
perjalanan haji masyarakat Tanah Air. Setidaknya itu
dugaan saya saat mengunjungi lokasi tersebut pada Sabtu
(4/8) siang lalu.
5.
6. Seperti dihimpun Catia Antunes dan Jos Gommans
dalam Exploring the Dutch Empire, 1600-2000 (2014),
Kerajaan Belanda sedianya ingin mendirikan konsulat di
Makkah untuk mengawasi jamaah haji dari Hindia Belanda
pada pertengahan abad ke-19. Kendati demikian, karena
wilayah itu terlarang untuk non-Muslim, mereka akhirnya
mendirikan konsulat di Jeddah pada 1872.
Menurut catatan Konsul W Hanegraaf dalam
laporannya pada 1873 yang dimuat di buku tersebut, konsul
itu harus didatangi jamaah haji dari Tanah Air begitu tiba di
Jeddah. Di konsulat itu, jamaah kemudian menyerahkan surat
izin perjalanan yang dikeluarkan otoritas Belanda di masing-
masing daerah di Tanah Air untuk kemudian diregistrasi.
7. Begitu juga nanti, saat mereka pulang berhaji dan hendak
kembali ke kampung halaman. Mereka harus mengambil surat
izin perjalanan yang disita pada kedatangan. “Jadi, jika ada
yang meragukan keaslian perjalanan haji seseorang mereka
tinggal menyurati konsul di Jeddah yang bisa langsung
mengetahui daftar jamaah dari Pattie atau Soerabaja,
misalnya,” tulis Hanegraaf dalam laporan tersebut.
Pada masa-masa itu, seturut dibukanya Terusan Suez,
memang terjadi peningkatan jamaah haj Indonesia yang ke
Tanah Suci menggunakan kapal uap. Menurut catatan-catatan
Belanda, jamaah yang mulanya berkisar 2.000 orang pada
1860-an melonjak hingga mencapai 7.000 orang pada 1880-
an. Bahkan sempat nyaris menyentuh angka 12 ribu
menjelang pergantian abad.
8.
9. Pada saat itu, otoritas kolonial Belanda juga kerap
menginterogasi para jamaah soal perkembangan isu-isu perlawanan
terhadap kolonialisme di Makkah. Hal tersebut secara tak langsung
menunjukkan di mana kira-kira lokasi konsulat Belanda di Jeddah pada
masa itu. “Buat kami, yang hidup seperti tahanan di dalam dinding
Kota Jeddah, Makkah sebagai pusat Dunia Islam sama sekali tertutup,”
tulis Konsul J A de Vicq yang menjabat dari 1885 hingga 1889 dalam
laporannya.
Artinya, lokasi konsul Belanda saat itu tak mungkin di luar
batas wilayah Kota Historis Jeddah. Hal ini dikuatkan dengan penelitian
Ferry de Goey, profesor dari Universitas Erasmus, Rotterdam, yang
kemudian dibukukan menjadi Consuls and the Institutions of Global
Capitalism, 1783-1914 (2015). Dalam buku itu, De Goey menuliskan
bahwa kekuatan ekstrateritorial konsulat Belanda dan konsulat negara-
negara barat lainnya dibatasi oleh tembok-tembok dan gerbang-
gerbang Kota Tua Jeddah.
10. Dari era awal berdirinya konsulat tersebut, salah satu potret
yang paling kerap beredar adalah yang diambil orientalis Belanda,
Snouck Hurgronje. Gambar itu menunjukkan sekelompok jamaah haji
dari Mandailing, Sumatra, berjongkok di sebuah bangunan yang tak
jelas bentuk keseluruhannya. Sejauh ini pihak Kerajaan Belanda
maupun Kerajaan Arab Saudi tak melansir lokasi-lokasi persis konsulat
bersejarah itu.
Sementara gambar-gambar lama konsulat tersebut dari 1921
hingga 1945 kerap tak konsisten bentuk bangunannya. Di antaranya
yang dilansir Museum Maritim Rotterdam yang menggambarkan
konsulat Belanda di Jeddah pada 1924 dan tangkapan rekaman dari
film dokumenter Kruger Filmbedrijf pada 1928. Satu-satunya petunjuk
dari gambar-gambar pada masa itu adalah ia terletak di sebelah
selatan Gerbang Madinah.
11. Saat ini, gerbang tersebut masih berdiri di
seberang jalan Masjid Qishas di wilayah Al Balad, Jeddah.
Saat saya ke sana, gerbang itu dijaga oleh dua Abdullah
yang sama-sama warga Saudi keturunan Afrika.
Muhammad, seorang pekerja konstruksi asal
Somalia di Kota Tua Jeddah menguatkan dugaan ini. Ia
ditemui hanya sekitar 100 meter dari Gerbang Madinah
menuju pusat kota historis. “Di sini bukan tempat Muslim.
Di sini dulunya tempat orang-orang kafir,” kata dia
sembari membuat gerakan melingkar di atas kepala
dengan telunjuknya. Ia mengatakan, mendengar hal itu
sudah lama sekali dari orang-orang tua yang sempat
tinggal di wilayah historis tersebut.
12.
13. Syarif, seorang lanjut usia yang juga berasal dari
Mogadishu, mengiyakan hal tersebut. Menjelang siang
tersebut, ia nampak tengah bersantai-santai dengan para
pekerja dari Somalia. Ia sudah mulai berkeliaran di Kota
Tua Jeddah sejak lebih 30 tahun lalu.
Jauh sebelum wilayah itu mulai ditinggalkan
penduduknya pada 2007 seturut rencana ajuan
penetapan sebagai cagar budaya oleh UNESCO yang
akhirnya dikukuhkan 2014 lalu. “Jamaah haji dari zaman
dulu sekali katanya di sini tempatnya,” kata pria berusia
75 tahun tersebut.
14.
15. Setidaknya untuk hari itu, saya pulang tanpa bisa
mengetahui secara persis di mana gedung-gedung tempat
jamaah haji lawas dari Tanah Air mengantre dan mengurus
beleid menuju Tanah Suci. Tapi bisa dipastikan, mereka pernah di
kota tua ini.
Turun di pelabuhan lama di Kota Tua Jeddah sebelum
nantinya digeser jauh ke selatan. Mereka barangkali menelusuri
juga labirin-labirin kompleks di sana dan seperti jamaah saat ini,
tersesat sekali waktu. Mereka juga menginjak jalan-jalan kuno
berkonblok yang saya langkahi hari itu.
Di antara mereka, sepanjang 1906 hingga 1911, ada
seorang pemuda yang nantinya punya peran penting dalam
pembentukan sebuah negara bernama Indonesia. Tapi seperti
kata Syahrazad untuk menunda eksekusinya, “Itu kisah untuk lain
waktu, Tuanku”.
16. Hanatour
Biro Umroh Jakarta Selatan |
Biro Umroh Bogor |
Biro Umroh Jakarta |
Biro Umroh Jakarta Barat |
Biro Umroh Jakarta Timur |
Biro Umroh Jakarta Pusat |
Biro Umroh Cibubur |
Biro Umroh Depok |
Biro Umroh Bekasi |
Biro Umroh Cianjur |
Biro Umroh Gorontalo |
Biro Umroh Bengkulu |
Biro Umroh Madura |
Biro Umroh Pontianak |
Tur Wisata Muslim |
18. Hiratour
Biro Umroh Jakarta Selatan |
Biro Umroh Makassar |
Biro Umroh Jakarta |
Biro Umroh Jakarta Barat |
Biro Umroh Jakarta Timur |
Biro Umroh Jakarta Pusat |
Biro Umroh Bone |
Biro Umroh Sinjai |
Biro Umroh Mataram |
Biro Umroh Denpasar |
Biro Umroh Bali |
Biro Umroh Sulawesi Selatan |
Biro Umroh Kalimantan Selatan |
Biro Umroh Nunukan |
Biro Umroh Lampung |
Biro Haji Plus |
Biro Umroh Bekasi