Dokumen tersebut membahas tentang hirarki gender dalam media massa, dimana laki-laki cenderung mendominasi posisi otoritas dan profesional sementara perempuan dan minoritas seksual sering dijadikan objek berita. Dokumen juga mengkritik praktik komodifikasi tubuh dan peran gender serta stereotip gender yang ada dalam media. Untuk itu, dokumen menganjurkan pentingnya perspektif antar dan intra gender dalam pemberitaan serta bahasa yang adil dan in
1. Hirarki Gender dalam Media:
antara
Agensi dan Komoditas
Dewi Candraningrum, PhD
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
dewicandraningrum@jurnalperempuan.com
Twitter: @dcandraningrum
www.jurnalperempuan.org
S.Pd. (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
M.Ed. (Monash University, Australia)
Dr.Phil. (Universitaet Muenster, Jerman)
3. Sex? Gender?
Sex: Fakta Biologis. Realitas Obyektif. Berkenaan dengan organ seksual dan
fungsi biologis:
a. Minoritas Seksual: fakta biologis berbeda dengan kedua lainnya.
b. Perempuan: fakta biologis dapat mengandung, melahirkan, menyusui
(fakta reproduktif).
c. Laki-laki: fakta biologis sebagai jenis kelamin superior (menurut Filsuf
Jerman, Freud).
Gender: Konstruksi Sosial-Budaya. Realitas subyektif, sesuai lokasi ruang dan
waktu. Perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi dibentuk
sebagai “perempuan” (Filsuf Perancis, Simone de Beauvoir).
a. Minoritas Seksual: Yang dianggap “tidak normal”. Merupakan
pilihan/orientasi.
b. Perempuan: Boneka, baju pink dan berdandan.Yang emosional, pasif,
dan menerima perlakuan “di-”.
c. Laki-laki: Mobil, baju biru dan tidak berdandan. Yang rasional, aktif, dan
melakukan perlakuan “me-”.
5. Membongkar
Stereotipi & Bias Gender
Konstruksi melahirkan pembakuan definisi, sifat dan peran dalam pola-relasi
sosial. Yaitu, stereotipi.
Misal: Anak perempuan dididik dan dibentuk menjadi “perempuan”. Boleh
menangis-merengek, diharuskan sopan dan lemah-lembut, dll. Anak laki-laki
dikonstruksi menjadi “laki-laki”. Tidak boleh menangis, harus tegar dan
kuat. Sementara baik anak perempuan dan laki-laki tidak boleh menjadi
selain laki-laki dan perempuan. Tidak boleh “berubah” menjadi minoritas
seksual, misalnya.
Padahal baik minoritas seksual, perempuan dan laki-laki memiliki potensi
sama. Untuk dapat menangis dan tegar di satu sisi. Lemah dan kuat
bersamaan. Rasional dan emosional. Konstruksi yang melahirkan stereotipi
merupakan fakta sosial yang memenjarakan. Dan, melahirkan bias.
Ketidakadilan.
7. Dialog Feminisme pada Patriarki
Struktur Patriarki melahirkan pembagian tugas dan peran berikut:
a. Ruang Publik adalah hak dan kewajiban laki-laki.
b. Ruang Domestik adalah hak dan kewajiban perempuan.
Ruang domestik “dipahami” sebagai lebih inferior. Konsekuensi, konstruksi sosial-budaya
melahirkan kebijakan/tata politik yang tidak mengapresiasi kerja-kerja
domestik.
Struktur masyarakat telah berubah dengan ditinggalkannya struktur ekonomi
subsistem menuju struktur ekonomi kapitalis, yang melakukan produksi massal.
Tata masyarakat yang berubah melahirkan gerakan-gerakan ideologis-politis
seperti Feminisme.
Feminisme dapat berfungsi dua. Pertama, sebagai ideologi gerakan yang bersifat
politis, untuk menggerakkan dan membongkar tata ciptaan patriarki. Kedua,
sebagai pendekatan-teori-perspektif untuk melihat realitas sosial-budaya-politik.
9. Kuasa Patriarki
dalam Media Massa
1. Otoritas, Kuasa dan Kontrol. Karena laki-laki telah lebih dahulu memasuki
wilayah ini, maka otoritas laki-laki lebih dominan.
2. Wilayah profesional. Perempuan menempati posisi sesuai stereotipinya. Sebagai
sekretaris, pembawa berita, sebagai model produk, dan bahan berita.
3. Obyek Media. Laki-laki lebih dominan sebagai yang memiliki ide berita, dan
perempuan serta minoritas seksual sebagai obyek berita. Lebih jauh obyek
sensasi.
Misal
1. Bulan direnggut kegadisannya oleh Bejo.
2. Imah digagahi majikannya.
3. Janda cantik x pimpin perampokan.
Kedua kalimat pertama telah menjadikan fakta kejahatan dan kekerasan menjadi
fakta sensasi. Bulan dan Imah, telah menjadi korban. Kali pertama sebagai korban
perkosaan. Kali kedua, sebagai korban pemberitaan yang tidak adil jender.
Kalimat terakhir, diksi “janda cantik” bersifat diskriminatif. Seolah perempuan
cantik tidak identik dengan kejahatan. Padahal yang disebut sebagai penjahat,
adalah siapapun yang bersifat jahat, nir jendernya.
11. Hirarki Gender
Relasi kuasa inter-intra jender. Relasi kuasa inter-jender adalah apabila
jenis jender yang berbeda lebih dominan dari yang lainnya. Relasi kuasa
intra-jender adalah apabila ada hirarki kuasa antar jender yang sama.
1. Relasi kuasa inter-jender. Laki-laki lebih dominan daripada perempuan.
Misal, dalam pemberitaan kejahatan perkosaan. Hal yang menyangkut
minoritas seksual tidak dianggap penting dalam berbagai tema
pemberitaan, baik oleh laki-laki dan perempuan. “Ibu rumah tangga”
diberitakan dengan nada berita “inferior”. Diksi ibu rumah tangga masuk
dalam wilayah struktur patriarki. Dan, tidak masuk dalam berita utama.
2. Relasi kuasa intra-jender (dipengaruhi kelas sosial-budaya-ekonomi-politik).
Perempuan baik-baik dan perempuan tidak baik. Misal: PSK tidak
berhak melaporkan bahwa dirinya diperkosa, karena dia bukan perempuan
baik-baik. Sementara perempuan baik-baik, laik untuk diberitakan apabila
dia diperkosa. Dus, perempuan baik-baik mendapatkan prioritas
pemberitaan daripada perempuan tidak baik.
12. Kompleksitas dan Dinamika
Hirarki Jender
(Hirarki Etnis & Kelas Sosial-Budaya, Ekonomi, Politik)
1. Ilustrasi 1: Perempuan baik-baik wajib diberitakan apabila dia diperkosa, sedangkan perempuan tidak baik, tidak wajib.
2. Ilustrasi 2: Sebagai model, perempuan Eurasia lebih superior dibanding perempuan Melayu dan Polynesia (tergantung
lokasi budaya-sosial).
Laki-laki
Perempuan baik-baik
Perempuan tidak baik: PSK
Laki-laki etnis Melayu & Polynesia
Perempuan etnis Eurasia
(putih-mancung, tinggi-langsing )
Perempuan etnis Melayu
(coklat-pesek, sedang-sedang)
Perempuan etnis Polynesia
(hitam-bulat, sedang-sedang)
14. Membongkar Komodifikasi: Agensi
dan Kritik Diri
1. Komodifikasi dan kapitalisasi tubuh serta peran jender. Misal: Wajah cantik putih
sebagai komoditas produk kecantikan. Tubuh kekar laki-laki sebagai komoditas
produk obat kuat. Peran jender perempuan sebagai ibu rumah tangga sebagai
komoditas produk susu bayi atau alat-alat rumah tangga. Tubuh dan konstruksi
jender dijadikan sebagai komoditas, dicipta dalam supra-realitas, hiper-realitas,
untuk menerkam konsumen. Konsumen etnis Melayu (berkulit coklat, hidung
pesek, tinggi sedang) dininabobokan dengan mimpi menjadi yang berkulit putih,
hidung mancung, dan tinggi. Ada konstruksi hirarki etnis. Bahwa etnis Eurasia
lebih superior daripada Asia.
2. Agensi, adalah kesadaran akan “perwakilan dan hak atas diri”, bahwa diri dalam
titik tertentu tidak lagi didikte oleh dirinya sendiri, tetapi oleh agen-agen yang lain.
Misal, fantasi menjadi cantik telah didikte oleh produk kecantikan, dan bukan oleh
dirinya sendiri.
3. Kritik Diri. Kritik adalah reaksi. Ketika diri mampu mempertanyakan konstruksi diri
yang dilakukan oleh Liyan. Mampu mendifinisikan diri.
Media massa dapat sebagai bagian dari komoditas—yang didikte dan menjadi
obyek per se. Atau agen aktif dan kritis dari jaring komodifikasi tersebut.
16. Media Massa yang
Adil Gender dan Nir Diskriminasi
1. Inter-Intra Perspektif. Menyadari bahwa bahasa media tidak hanya dibaca oleh
jenis jender tertentu, tetapi dihikmati oleh berbagai jenis jender. Perempuan yang
membaca berita perkosaan seperti sensasi akan merasa dilecehkan. Kejahatan
adalah kejahatan. Takaran kejahatan perkosaan setara dengan kejahatan lainnya.
2. Bahasa Adil Gender. Bahasa adil jender diraih dengan “tidak menyematkan” jenis
jender pada pola pemberitaan—dengan cukup inisial nama. Atau “menyematkan”
gelar jender secara setara, seperti “bapak-ibu”, bukan “bapak-mbak”, bukan “ibu-ibu
dan perjaka”, bukan “om-om dan abg”. Pemyematan gelar jender secara tidak
setara akan melahirkan sensasi. Padahal sensasi bagi media, belum tentu sensasi
bagi subyek yang diberitakan. Dus, pelecehan. Pelecehan tidak dominan
dirasakan oleh perempuan, tapi bisa juga mencapai jenis jender lain, seperti laki-laki
dan minoritas seksual.
3. Tindakan Afirmatif. Langkah afirmatif diambil, ketika start, langkah awal, jenis
jender tertentu lebih dahulu dari yang lain. Memberikan kesempatan kepada
perempuan dan minoritas seksual untuk ikut terlibat dalam proses ekspresi ide
dan bahasa. Perspektif perempuan dan minoritas seksual perlu didengar dan
diperlihatkan. Karena keduanya telah “tidak terlihat” dalam media. Keduanya telah
mengalami diskriminasi sepanjang peradaban. Perlu menjadi subyek dalam
media, baik wilayah otoritas, kuasa, kontrol dan profesionalitas.