5. Kuala Lumpur,
Malaysia
tahun 2012
Ilham Khoiri (bersama wartawan dari
Media Indonesi dan Koran Sindo)
ditahan Polis Diraja Malaysia, karena
menginvestigasi tewasnya 3 TKI asal
NTB di Port Dicson, Negeri Sembilan,
Malaysia, 9 Mei 2012
6. Agama sebagai ajaran mulia
Pada dasarnya semua agama membawa ajaran yang
baik. Ada misi profetik (kenabian): membebaskan
manusia dari kegelapan, dan membawa manusia
menuju terang peradaban.
Karena itu, agama selalu diturunkan di tengah
masyarakat yang mundur (jahiliyah, bodoh) agar
menjadi sarana pencerdasan publik.
Semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan:
cinta, kasih-sayang, perdamaian, toleransi
antarsesama manusia.
8. Islam
Islam dari kata “aslama, yuslimu, islaaman” dari akar kata
“salam” yang berarti: damai
Sapaan “Assalamu ‘alaikum”: keselamatan bagi anda
sekalian
Piagam Madinah: Nabi Muhammad menjamin keamanan
dan kedamaian bukan hanya untuk orang Muslim, tetapi
juga untuk semua kelompok, seperti Yahudi, Nasrani,
suku-suku, Anshor, dan Muhajirin.
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah
(lemah lembut) dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
9. Islam
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita,
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya saling mengenal.
Sesungguhnya orang mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah orang yang paling bertakwa.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha
Mengenal.” (Q.S. Al-Hujuraat [49]:13).
Para ulama menekankan: Islam itu didatangkan
sebagai “rahmatan lil alamin”, rahmat bagi seluruh
alam semesta.
12. Kristen (Protestan) dan Katolik
Matius 5:39: Tetapi Aku berkata kepadamu:
Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat
kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar
pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.
Matius 5: 44: Tetapi Aku berkata kepadamu:
Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang
menganiaya kamu.
Matius 22: 39 Dan hukum yang kedua, yang sama
dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri.
14. Buddha
Dalam Dhammapada, Buddha bersabda:,
“Seseorang yang membuang pikiran untuk menaklukkan
orang lain, akan merasakan kedamaian.”
“Seseorang yang menaklukkan ribuan orang dalam
perang bukanlah penakluk sejati. Tetapi, seseorang yang
hanya menaklukkan seorang saja, yaitu dirinya sendiri,
dialah pemenang tertinggi.”
Empat faktor manusia: Metta (cinta), Karuna (kasih
sayang), Mudita (bahagia) dan Upekkha (keseimbangan
batin). Jika smeua itu diterapkan dalam masyarakat,
akan menciptakan kehidupan damai.
16. Hindu
Kitab Suci Weda mengajarkan prinsip “Tat Twam
Asi:” antara Anda dan saya adalah sama. Kita
memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin
diperlakukan.
Catur Paramitha: ajaran tentang empat perilaku:
- Maitri (memandang semua orang sebagai
sahabat),
- Karuna (mengasihi setiap orang),
- Mudita (gembira dan menyenangkan orang lain),
- Upeksa (menghargai orang lain).
18. Konghucu
Dalam bahasa China, Kong Fu Tze atau Konfusius
berasal dari “Ru Jiao,” yang berarti: agama dari orang-orang
yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur.
Ada ajaran tentang “Wen”, berati damai, atau
kehidupan yang tentram, jauh dari perang.
Murid Kong Fu Tz, Xun Zi (326-233 SM): masyarakat
ditata dengan dasar moral, cinta kasih dan keadilan.
Masyarakat wajib menaati tatanan moral yang
dijadikan hukum formal. Siapa pun yang melanggar,
dijatuhi hukuman.
19. Das Sein vs Das Sollen
Filsafat Jerman mengajarkan pemilahan antara:
- Das Sollen: harapan, cita-cita, apa yang
seharusnya terjadi.
- Das Sein: kenyataan, fakta yang ada dalam
kehidupan sehari-hari
Hampir selalu ada jarak antara cita-cita (Das
Sollen) dan fakta (Das Sein), antara apa yang
seharusnya dan apa senyatanya
20. Agama: antara “Das Sein vs Das Sollen”
Agama sebagai ajaran adalah Das Sollen: cita-cita,
apa yang seharusnya terjadi. Agama mengajarkan
kedamaian, cinta, kasih sayang, toleransi
antarsesama manusia
Agama sebagai fakta sejarah adalah Das Sein: fakta
dalam kehidupan nyata . Berlangsung kebencian,
kekerasan, bahkan perang atas nama agama.
Semua itu bisa kita buktikan dalam catatan sejarah
peradaban manusia.
22. Perang Salib (1)
Perang antara kelompok kekuasaan Kristen di Eropa dengan
kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa pada abad ke-
11 sampai abad ke-13 Masehi.
Tentara Kristen menggunakan “Salib” sebagai simbol
agama. Tentara Islam dari Turki Utsmani pakai simbol
“Bulan Sabit”.
Muncul perdebatan: apakah ini perang agama?
Tidak murni agama karena bermula dari perebutan
kekuasan di kawasan Jerussalem (Palestina-Israel sekarang)
dan Bizantium (Konstantiopel di Tukri sekarang) untuk
kepentingan dominasi politik dan ekonomi. Tapi, mobilisasi
serangan menggunakan sentimen agama.
24. Perang Salib (2)
Tahun 1099, tentara Kristen merebut Yerusalem (Baitul
Maqdis). Dome of the Rock disulap jadi gereja, sementara
Masjid al-Aqsha dijadikan kantor pusat Knight Templar’s
(Ksatria Biarawan). Tahun 1187, Sholahudin al-Ayubi
merebut kembali Jerussalem. Kaisar Jerman Freidrich II
menguasai Jerussalem, tapi 10 tahun kemudian diambil
alih tentara Muslim.
Perang berkecamuk dengan wilayah meluas dan
berlangsung dalam tujuh gelombang.
Ada keterlibatan Gereja Katolik dan kekhalifahan Islam di
Turki Usmani.
26. Perang Salib (3)
Perang baru benar-benar berakhir pada abad ke-16 M,
ketika Eropa mengalami masa Renaissance
(pencerahan) dan mulai membebaskan diri dari
dominasi gereja, dan bersikap lebih rasional.
Descrates: cogito ergo sum, aku berpikir, maka aku ada.
Efek Perang Salib: menimbulkan kerusakan hebat, baik
di kalangan Muslim maupun Kristen.
Perang ini menjadi latar belakang konflik “laten”
pertarungan antara Palestina versus Israel, sampai
sekarang.
28. Konflik Agama di Indonesia
Konflik dengan latar belakang gesekan kelompok umat
beragama sudah lama terjadi di Indonesia.
Pada masa Orde Lama, bangsa ini teralu sibuk dengan
perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara.
Tapi, benih konflik mulai muncu. Salah satunya,
pemberontakan DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam
Indonesia) pimpinan SM Kartusoewirjo (tahun 1949).
Pada masa Orde Baru, konflik agama sempat meletup,
tapi ditutup rapat oleh rezim otoriter pemerintahan
Presiden Soeharto.
30. Konflik Agama setelah Reformasi 1998
Konflik agama mencuat, terutama setelah Refomasi
1998. Reformasi mendorong keterbukaan demokrasi,
kekebasan berekspresi bagi semua kelompok, termasuk
kelompok keagamaan radikal.
Indonesia rentan perpecahan, meletup gejolak di
daerah-daerah.
Beberapa contoh:
- Konflik Poso, Sulawesi Tengah
- Konflik Ambon, Maluku
- Serangan terhadap kelompok Ahmadiyah
- Serangan terhadap kelompok Syiah
- Kasus-kasus lain
32. Konflik Poso
Meletup sejak Desember 1998, berlanjut sampai tahun
2000.
Dipicu oleh pertikaian pemuda Kristen dan Muslim, juga
perebutan jabatan politik bupati-wakil bupati, yang
kemudian melebar menjadi “perang agama”.
Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, jumlahnya
ribuan. Kondisi makin runyam, saat aparat keamanan
(kepolisian dan tentara) sulit bersikap netral, bahkan ada
oknum-oknum yang ikut bermain.
Konflik mereda dengan Perjanjian Malino I, 20 Desember
2001.
34. Konflik Ambon
Bermula Januari 1999. Dipantik oleh pertikaian
pemuda Muslim dan Kristen, perkelahian menjadi
massal dengan melibatkan perkampungan Islam dan
Kristen. Massa dimobilisasi dengan sentimen “perang
agama.”
Kedua belah membuat milisi (kombatan), saling
serang, membakar kampung, menjarah, bahkan
membunuh. Korban berjatuhan dari kedua belah
pihak, diperkirakan sekitar 8.000 jiwa.
Konflik didamaikan lewat Perjanjian Malino II, 12
Februari 2002.
36. Serangan terhadap Ahmadiyah di NTB
Warga Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) tinggal
di Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, dan
Kota Mataram. Mereka diserang sejak Oktober 1998, Juni
2001, Septmber 2003, dan Oktober 2005.
Rentetan serangan mengakibatkan 9 orang tewas, 8
orang terluka, 9 orang alami gangguan jiwa, 379 terusir
dari kampung halaman, 9 orang dipaksa bercerai, 3
perempuan keguguran, 61 siswa putus sekolah, 45 orang
sulit dapat KTP.
Mereka mengungsi di Transito, Mataram, NTB. Hingga
kini, 8 tahun, sebanyak 187 pengungsi bertahan di
dengan nasib tak menentu.
38. Serangan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik
Sekitar 1.000 orang menyerang kelompok Ahmadiyah di
Cikeusik, Pandeglang, Banten, 6 Februari 2011. Serangan
sekitar pukul 10.00 WIB, dan baru dapat diredam sekitar
pukul 12.30 WIB.
Serangan menewaskan 3 orang jemaat Ahmadiyah,
merusak rumah, mobil, dan motor. Pembunuhan terjadi
di depan sejumlah polisi.
Komnas HAM: intel kepolisian sudah mendeteksi gejala
serangan dua hari sebelumnya, tetapi tidak serius
mencegahnya. Massa menggunakan tanda pita sehingga
disimpulkan ada kelompok yang mengorganisirnya.
40. Serangan terhadap Syiah di Sampang
Kelompok Syiah hidup di Desa Karanggayam,
Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan
Karangpenang, Sampang, Madura, Jawa Timur. Mereka
beberapa kali diserang. Terakhir, 26 Agustus 2012.
Kekerasan itu menewaskan satu orang, melikai 10
orang, dan 46 rumah terbakar.
Kelompok Syiah di GOR Sampang, kemudian
dipindahkan ke Rusun Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur.
73 keluarga (173 jiwa) bertahan di pengungsian selama
dua tahun lebih, tetapi nasibnya menggantung.
41. Pengungsi Syiah
saat “gowes kemanusiaan”
dari Surabaya ke Jakarta, tahun
2013
Mereka sempat diterima
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, di rumahnya di
Cikeas, Juli 2013, dan dijanjikan
dipulangkan ke kampung
halaman.
“Pak SBY bilang, insya Allah,
bapak-bapak akan kembali ke
kampung lebaran nanti,” kata
pengungsi menirukan pesan
presiden. Nyatanya, sampai kini,
mereka masih menjadi
pengungsi.
42. Ibadah dan unjuk rasa di depan Istana Negara di Jakarta, tiap hari Minggu
43. Kasus-kasus lain
- Penyegelan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin
di Bogor, Jawa Barat (berlangsung lima tahun),
- Hambatan untuk izin pendirian masjid di Baluplat,
Nusa Tenggara Timur (NTT) (tiga tahun).
- Penyegelan Gereja Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) Filadelfia di Bekasi (dua tahun).
44. Catatan pelanggaran kebebasan beragama:
Laporan The Wahid Institute:
Ada 121 peristiwa pada tahun 2009. Jumlah ini
meningkat jadi 184 peristiwa tahun 2010, 267 peristiwa
(2011), dan 278 peristiwa (2012). Tahun 2013, jumlahnya
sedikit menurun jadi 245 peristiwa, tetapi kasusnya kian
menyebar.
Masih marak tindakan intoleransi, baik oleh aparat
negara atau kelompok masyarakat, dan kian menyebar di
sejumlah provinsi.
Bentuknya bermacam-macam: pelarangan rumah ibadah,
kriminalisasi dan diskriminasi atas nama agama,
serangan, dan pelarangan aliran yang diduga sesat.
45. Kenapa masih terjadi konflik agama? (1)
Negara belum sungguh-sungguh menjalankan
konstitusi, yaitu UUD 1945 yang menjamin
kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap
warga.
Alih-alih mencegah kekerasan, negara—yang diwakili
aparat kepolisian di lapangan—justru kerap
membiarkan konflik.
Dalam beberapa kasus, sikap pasif aparat bahkan
turut menjadikan konflik lebih parah.
46. Kenapa masih terjadi konflik agama? (2)
Di ranah hukum di pengadilan, para hakim masih
enggan menjatuhkan hukuman berat terhadap pelaku
kekerasan terhadap minoritas. Para jaksa dan hakim
masih tertekan oleh intimidasi kelompok mayoritas.
Sebagian korban justru dikorbankan lagi dengan dijerat
pasat penodaan agama dan dijatuhi hukuman penjara.
Pengadilan jadi sarana untuk mengintimidasi dan
menebarkan kebencian.
47. Kenapa masih terjadi konflik agama? (3)
Pejabat negara yang berwenang menangani konflik
justru sering memihak mayoritas dan menyudutkan
minoritas.
Sebagian kepala daerah lebih mengutamakan
kepentingan dukungan politik dari mayoritas ketimbang
melindungi semua masyarakat.
Situasi ini kian memberikan angin segar bagi
kelompok-kelompok intoleran untuk bersuara lebih
vokal, dan tak segan melancarkan serangan terhadap
kelompok minoritas yang berbeda pandangan.
48. Bagaimana media meliput konflik agama?
Apa saja tantangannya?
Bagaimana menjawab tantangan itu?
Perspektif apa yang perlu dikembangkan?
Modal apa saja yang harus dimiliki jurnalis?
49. Media massa
Media adalah sarana untuk memberitakan suatu
informasi kepada publik (massa).
Media berbentuk suratkabar, majalah, radio, televisi, film,
dan sekarang media sosial (lewat internet).
UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menyebutkan:
media berfungsi untuk menginformasikan (to inform),
mendidik (to educate), menghibur (to entertain),
mengawasi (social control) terhadap perilaku publik dan
penguasa.
Dalam kehidupan modern, media menjadi pilar
demokrasi keempat setelah eksekutif, yudikatif, dan
legislatif
50. Media dalam konflik agama
Dalam peristiwa konflik agama, media dituntut untuk
memberitakan fakta sebenarnya secara berimbang,
mencerdaskan masyarakat, dan mendorong resolusi konflik agar
tercapai solusi dan perdamaian.
Media hendaknya mendorong resolusi konflik dengan
menampilkan fakta-fakta sekaligus membuka peluang untuk
dialog, menemukan kepentingan bersama, dan membangun solusi.
Itu dimungkinkan karena media pada dasarnya mampu
membangun opini atau meng-konstruksi realitas lewat “framing”
(pembingkaian) peristiwa dengan sudut pandang tertentu.
Berita di media berpengaruh besar terhadap keberlanjutan konflik:
media bisa mendorong solusi atau malah menjadi provokasi.
51. Tantangan peliputan (1)
Di lokasi konflik, pihak-pihak yang bertikai kerap sulit
menerima atau mencurigai orang luar, termasuk
wartawan yang sedang menginvestigasi kasus.
Dalam beberapa kasus, wartawan bahkan menjadi
korban kekerasan, baik disengaja atau tidak.
Di kantor, kebijakan redaksi di media massa tidak selalu
memuat semua hasil liputan tentang konflik beragama.
Sering kali redaksi menemukan berbagai alasan untuk
tidak menerbitkan hasil liputan.
52. Tantangan peliputan (2)
Misal, berita atau feature dianggap terlalu sensitif,
bahkan dikhawatirkan memicu konflik, kekhawatiran
berlebihan terhadap kemungkinan intimidasi dari
kelompok mayoritas, atau tekanan dari pejabat.
Reaksi publik atas pemberitaan kerap sulit diukur,
khususnya dari kelompok-kelompok intoleran. Mereka
tak segan mendatangi dan mengintimidasi kantor
media akibat pemberitaan yang dianggap
menguntungkan kelompok minoritas.
Ini menciptakan kecemasan kepada redaksi dan
jurnalis.
53. Sikap dalam peliputan
Jurnalis dituntut untuk selalu berhati-hati, independen,
profesional, agar tidak terjebak kepada salah satu kelompok
yang berkonflik dan tetap mengutamakan keamanan. Jika
salah menempatkan diri, wartawan bisa menjadi korban
kekerasan juga.
Wartawan peliput/penulis kasus konflik perlu meyakinkan
kepada sidang redaksi, bahwa liputannya penting untuk
diterbitkan demi mendorong resolusi konflik.
Redaksi dan wartawan perlu mengantisipasi reaksi publik,
terutama kelompok radikal. Meski sulit, kita perlu mengukur
dampak pemberitaan, khususnya reaksi dari berbagai pihak
yang bertikai.
54. Beberapa kesulitan (1)
Saat memberitakan isu agama, wartawan sulit bersikap
obyektif karena terpengaruh atau bias agama yang
diyakini.
Terkadang, sulit memenuhi tuntutan untuk
menerapkan prinsip “covers both sides”, terutama saat
konflik bekecamuk keras.
Media mainstream cenderung tidak mau ambil risiko
untuk memberitakan konflik karena khawatir
memperluas konflik atau diserang kelompok yang
berkepentingan. Ada juga pertimbangan untung-rugi
secara komersial/iklan.
55. Beberapa kesulitan (2)
Wartawan kurang memiliki pengetahuan memadai soal
agama, konflik, latar belakang, pihak-pihak terlibat, dan
menentukan narasumber yang kredibel.
Wartawan terjebak dalam deskripsi kekerasan yang
justru rentan menjadi provokasi alias memanas-manasi
keadaan. Dampak psikologis dari pemberitaan kadang
kurang diperhatikan.
Wartawan kurang kritis dalam menerima informasi,
atau kurang gigih dalam meverifikasi data. Akibatnya,
data yang diperoleh kabur, sepihak, bersifat desas-desus,
sepotong-potong, bahkan bisa menyesatkan.
56. Beberapa kesulitan (3)
Media memiliki keterbatasan ruang penerbitan/penayangan
berita. Wartawan terpaksa memilih informasi yang
dianggap paling penting untuk ditampilkan. Berita menjadi
kurang utuh, tidak lengkap, menyapu permukaan saja, atau
kehilangan konteks dengan latar belakang luas.
Di tengah persaingan ketat media, muncul godaan untuk
mengangkat (mem-”blow up”) unsur sensasi atau drama
yang berlebihan atas peristiwa konflik.
Garis kebijakan redaksi kadang disetir oleh pemilik
media/pemodal, dengan tendensi politik tertentu.
57. Beberapa kesulitan (4)
Media dan wartawan terjebak dalam labelisasi terhadap
kelompok atau aliran tertentu yang belum tentu benar,
seperti “aliran sesat”, “kelompok sempalan”, “murtad,”
“radikal”, atau “teroris” .
Media kadang kurang berkomitmen untuk memberikan
ruang kepada kelompok-kelompok minoritas, dengan
berbagai alasan.
Kesadaran wartawan akan pluralisme, toleransi, dialog, dan
pentingnya resolusi konflik masih kurang.
58. Perspektif media sebagai resolusi konflik (1)
Perlu disadari, bangunan kebangsaan Indonesia berdasar
Pancasila dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika masih dalam
proses menjadi. Selalu ada geliat, tarik-menarik, konflik,
bahkan mungkin pertarungan sengit di antara berbagai
kelompok berkepentingan.
Jurnalis harus selalu menyiagakan radar untuk
menangkap adanya gangguan terhadap kehidupan
keberagamaa, dan siap untuk turun tangan meliputnya.
59. Perspektif media sebagai resolusi konflik (2)
Meliput sebagai panggilan hati akan membuat
wartawan bekerja sepenuh hati dan bersemangat.
Bagaimanapun, wartawan adalah bagian dari
warga negara yang bertanggung jawab untuk
berjuang membela dasar pendirian negara yang
telah disepakati para pendiri bangsa, yaitu
kebebasan beragama dan keyakinan dan jaminan
negara atas kebebasan itu.
60. Perspektif media sebagai resolusi konflik (3)
Saat meliput (baik di lapangan, pada tingkat wacana,
atau pengambilan kebijakan), jurnalis harus bersikap
profesional, obyektif, dan independen. Wartawan mesti
menangkap fakta secara utuh dari berbagai sudut
pandang dan pihak-pihak yang terlibat.
Penting untuk memberikan ruang yang seimbang kepada
korban, pelaku serangan, aparat keamanan, dan
pemerintah. Lebih jauh, perlu juga sikap lebih berempati
kepada para korban, yaitu kelompok-kelompok minoritas
yang menjadi sasaran serangan. Dorong rehabilitasi
korban.
61. Perspektif media sebagai resolusi konflik (4)
Jurnalis dituntut untuk memposisikan diri sebagai bagian
dari usaha mencapai resolusi konflik. Tanpa harus
mengurangi fakta-fakta di lapangan, laporan jurnalis
sepatutnya mendorong jalan keluar, dialog, perdamaian,
perlindungan kepada korban, dan jaminan keamanan
dari aparat serta pemerintah.
Tanamkan optimisme, bahwa masih mungkin untuk
mewujudkan kehidupan masyarakat yang damai dalam
perbedaan.
62. Kenapa kita harus optimistis?
Ada beberapa modal untuk membangun
kehidupan toleran di tengah kemajemukan di
Indonesia.
- Kearifan lokal
- Tokoh pluralis
- Lembaga pemantau
- Konstitusi
- Pemimpin politik
63. Kearifan lokal
Di tengah berbagai masalah, masih ada komunitas masyarakat
di beberapa sudut di Nusantara yang memiliki tradisi toleransi.
Mereka mempertahankan praktik kehidupan yang damai di
tengah perbedaan agama, suku, kelompok, dan golongan.
Beberapa contoh:
- Pegayaman, Singaraja, Bali,
- Pesantren Pabelan di Magelang, Jawa Tengah,
- Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur,
- Masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung.
68. Jakarta:
Istiqlal dan
Katedral yang
berdiri
berdampingan
Arsitek masjid:
F Silaban,
seorang Kristen
69. Tokoh dan lembaga pendorong toleransi
Kita memiliki tokoh-tokoh pluralis, baik yang sudah
meninggal atau yang masih hidup dan aktif
mengkampanyekan toleransi.
Lembaga pemantau dan pegiat pluralisme di Jakarta yang
memiliki jaringan hingga ke provinsi/kabupaten/kota,
atau lembaga lokal di daerah-daerah.
Mereka memantau, membuat laporan tahunan, dan
menggelar program-program pelatihan, kampanye
toleransi, atau terjun langsung mengadvokasi masyarakat
yang sedang konflik.
74. Ahok
“China eluhur saya,
Indonesia tTanah Air
saya”
Lurah Susan Jasmine
“Yang penting, saya
bekerja melayani
masyarakat”
75. Tokoh-tokoh lokal
Sejumlah tokoh masyarakat dan kepala daerah berjuang
mengembangkan kesadaran pluralisme.
Misal: Bupati Bojonegoro Suyoto, Bupati Wonosobo
Abdul Kholiq Arif.
Aktivis lingkungan dan pemuka Islam di Nusa Tenggara
Barat (NTB) Tuan Guru Hasanain Juaini.
Pastor Khatholik dan pejuang lingkungan di Lereng
Merapi, Magelang, Jawa Tengah, Romo Vincentius
Kirdjito.
76. Pancasila dan UUD 1945
Indonesia sebenarnya memiliki dasar negara, Pancasila, dan
konsititusi UUD 1945, yang jelas-jelas berisi prinsip jaminan
kebebasan beragama.
Jika saja negara mengacu dan melaksanakan konstitusi itu
dengan sungguh-sungguh, niscaya kehidupan keberagaman kita
bakal kian menjadi lebih baik. Kesadaran ini harus terus
didorong kepada peminpin nasional dan para kepala daerah.
Indonesia dibangun oleh beragam kelompok dan untuk
beragam kelompok pula. Semua warga negara, apapun suku,
agama, golongan, atau kelompoknya, memiliki hak yang sama
untuk beragama dan berkeyakinan dan negara wajib
melindunginya.
77.
78. Joko Widodo mengusung Nawa Cita selama kampanye Pemilu
Presiden 2014 .
Butir ke-9 Nawa Cita menyebutkan, pemerintah akan
memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan
kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
PDIP sebagai pemimpin koalisi partai pendukung pemerintah
juga memiliki ideologi kebangsaan yang menghargai
kemajemukan.
Namun, seluruh masyarakat Indonesia, termasuk media, tetap
perlu mengawal dan memastikan, bahwa komitmen
memperkuat kebhinnekaan itu benar-benar diwujudkan dalam
kehidupan nyata.
79. Gaye Tuchman, dalam “Making News: A
Study In the Construction of Reality”
(1978), bilang: “Berita adalah jendela
dunia.”
Jendela macam apa yang hendak kita
bukakan untuk melongok konflik agama,
itu tergantung “peliputan” wartawan dan
“pemberitaan” redaksi media.