Permasalahan ini semakin kompleks di lapangan karena arah kebijakan nasional dalam hal pengendalian alih fungsi lahan pertanian sering bertabrakan dengan kebijakan pemerintah daerah yang lebih memprioritaskan kepentingan lokal dan kebijakan daerah. Walaupun penerapan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan masih dipandang cukup efektif dalam membatasi penggunaan lahan sawah bagi kegiatan nonpertanian (seperti mekanisme perijinan lokasi dan penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah), namun ternyata masih banyak prilaku “spekulan tanah” yang tidak terjangkau oleh penerapan kebijakan tersebut.
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
ALIHHANPERTANIAN
1. PERUBAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DARI TANAH PERTANIAN
MENJADI TANAH NON PERTANIAN
DI KOTA YOGYAKARTA
A Latar belakang Masalah
Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut
hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar. Disamping itu tanah
juga memiliki karakteristik yang bersifat multi-dimensi, multi-sektoral,
multidisiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi. Sebagaimana diketahui
masalah tanah memang merupakan masalah yang sarat dengan berbagai
kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk Indonesia, tanah juga
mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis. Sifat konstan
tanah dan terus bertambahnya manusia yang membutuhkan tanah semakin
menambah tinggi nilai tanah.
Dari waktu ke waktu, seiring dengan pertambahan penduduk, kemajuan
teknologi dan industri, serta pergeseran budaya, jumlah kebutuhan akan tanah
terus meningkat. Pergeseran budaya misalnya, telah merubah corak negara
Indonesia yang dulu agraris menjadi negara yang secara perlahan mengarah pada
negara Industri. Tanah yang dulu menjadi sumber mata pencaharian utama
sebagian besar rakyat khususnya di bidang pertanian, kini pemanfaatannya
bergeser sebagai lahan yang diperuntukkan bagi pembangunan, industri dan
perdagangan.
1
2. Pola pemilikan dan penguasaan tanah juga semakin terkonsentrasi pada
sekelompok kecil masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan. Keadaan ini
berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya yang
penghidupannya bergantung pada tanah. Kebijakan pembangunan pemerintah
yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan fokus pembangunan di
bidang industri dan perdagangan, tanpa memperhatikan masalah agraria sebagai
basis pembangunan telah berdampak pada alih fungsi tanah sekaligus
magernalisasi masyarakat pedesaan.
Alih fungsi tanah juga terjadi di daerah perkotaan. Seiring dengan
meningkatnya aktivitas pembangunan khususnya di kota-kota besar, banyak lahan
dan pemukiman penduduk di sekitar pusat pemerintahan dan pusat perdagangan
beralih fungsi menjadi pabrik, pertokoan, atau fasilitas umum lainnya.
Meningkatnya kebutuhan akan tanah yang diperuntukkan bagi kegiatan
pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta
membawa konsekuensi pada pemerintah untuk menyediakan lahan bagi kegiatan
tersebut, sementara lahan yang tersedia bersifat terbatas. Keadaan ini memaksa
pemerintah untuk melakukan pengambilalihan tanah rakyat.
Konflik kepentingan yang cukup dilematis dihadapi pemerintah dalam
kaitannya dengan alih fungsi lahan pertanian. Di satu pihak, pemerintah daerah
berkewajiban untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi melalui
pengembangan sektor-sektor industri, jasa, dan properti, namun di lain pihak,
pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap upaya
2
3. mempertahankan/menjaga keberadaan lahan-lahan pertanian untuk kelestarian
produksi pertanian. Tanpa adanya upaya mengatasi dilema tersebut melalui
perbaikan peraturan/kebijakan pertanahan, sangat kecil kemungkinan bagi sistem
usaha tani untuk berlanjut seperti ditunjukkan oleh konversi lahan sawah pada
tiga dekade terakhir. Belum terlihat adanya terobosan teknologi atau upaya
pemerintah sebagai kompensasi turunnya produksi pertanian yang diakibatkan
oleh kehilangan lahan khususnya lahan-lahan yang beririgasi. Sehubungan dengan
masalah-masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, pemerintah telah
mengusulkan beberapa alternatif kebijakan untuk membatasi atau mencegah
terjadinya alih fungsi lahan-lahan subur menjadi lahan-lahan nonpertanian seperti
kebijakan lahan yang mempertimbangkan aspek alokasi penggunaan lahan.
Berkembangnya sektor industri, jasa, dan properti pada era pertumbuhan
ekonomi sepuluh tahun terakhir, pada umumnya telah memberikan tekanan pada
sektor pertanian, terutama tanah sawah. Konflik penggunaan dan pemanfaatan
lahan bersifat dilematis mengingat peluang perluasan areal pertanian sudah sangat
terbatas, sementara tuntutan terhadap kebutuhan lahan untuk perkembangan
sektor industri, jasa, dan properti semakin meningkat. Dengan demikian
perubahan penggunaan lahan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi regional tidak
mungkin dapat dihindarkan. Bila keadaan dilematis ini tidak segera diatasi dengan
pengembangan kebijakan pertanahan maka kelangsungan sistem pertanian sulit
dipertahankan, mengingat selama tiga dekade terakhir belum ada sesuatu
terobosan teknologi dan kelembagaan yang mampu mengkompensasi penurunan
3
4. produksi pertanian akibat berkurangnya tanah-tanah pertanian (khususnya sawah
beririgasi teknis) yang dirubah kepenggunaan lain.
Permasalahan ini semakin kompleks di lapangan karena arah kebijakan
nasional dalam hal pengendalian alih fungsi lahan pertanian sering bertabrakan
dengan kebijakan pemerintah daerah yang lebih memprioritaskan kepentingan
lokal dan kebijakan daerah. Walaupun penerapan kebijakan pengendalian alih
fungsi lahan masih dipandang cukup efektif dalam membatasi penggunaan lahan
sawah bagi kegiatan nonpertanian (seperti mekanisme perijinan lokasi dan
penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah), namun ternyata masih banyak prilaku
“spekulan tanah” yang tidak terjangkau oleh penerapan kebijakan tersebut.
Banyak dijumpai kasus-kasus dimana para pemilik lahan pertanian secara
sengaja mengubah fungsi lahan agar lebih mudah untuk diperjualbelikan tanpa
melalui mekanisme perijinan atau pelanggaran Rencana Tata Ruang Wilayah yang
ada. Misalnya kasus yang masih hangat terjadi di Kabupaten Bekasi dimana
Bupati telah menetapkan ijin lokasi bagi pengalihan fungsi lahan persawahan
teknis seluas 11 ha di desa Karang Sambung, Kedung Waringin menjadi pabrik
penggilingan padi modern. Alih fungsi lahan sawah irigasi teknis ini sempat
ditentang oleh Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi.
Selain tidak dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kebijakan
alih fungsi ini bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989
tentang Larangan Alih Fungsi Lahan Pertanian menjadi Industri atau Perumahan.
4
5. Hal ini juga bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri Negara/Bappenas
Nomor 5417/MK/10/1994.
Tulisan ini mencoba mendiskusikan keberadaan lahan sawah dan konflik
kepentingan penggunaannya serta kedudukan instrumen kebijakan pertanahan
dalam rangka mempertahankan kelangsungan sektor pertanian, terutama
pengendalian terhadap pemanfaatan lahan pertanian bagi kepentingan
pembangunan di sektor nonpertanian.
Pembangunan Nasional saat ini ditandai dengan deregulasi ekonomi,
pemacuan Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri dan
pemacuan pembangunan nonmigas (industri dan properti) telah menimbulkan
pertumbuhan ekonomi yang sangat nyata. Namun disisi lain sebagai konsekuensi
dari proses transformasi struktur ekonomi (dari pertanian ke nonpertanian)
tersebut, selain adanya perubahan aspek demografis (pedesaan ke perkotaan),
perubahan ini telah memberi dampak khusus bagi kelangsungan lahan pertanian
(termasuk sawah beririgasi).1
Dalam konteks pembangunan di Pulau Jawa, jumlah keluarga atau rumah
tangga yang hidup dari sektor nonpertanian mencapai 100%. Beberapa faktor
penting yang berpengaruh pada perubahan pola pemanfaatan lahan pertanian di
Pulau Jawa yaitu faktor privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan
1 Diperkirakan kehilangan tanah sawah beririgasi teknis sebelum krismon mencapai rata-rata luas
sebesar 50.000 hektar pertahun. Jika diperkirakan biaya untuk membuat sawah irigasi teknis dengan
produktivitas tinggi itu mencapai Rp. 10.000.000,- berarti diperlukan dana sebesar Rp.
5.000.000.000,- per tahun untuk mencetak sawah. Hal ini juga tidak mudah mengingat diperlukan
waktu yang cukup lama, kurang lebih 5 tahun untuk membentuk ekosistem sawah itu sendiri.
5
6. pemukiman skala besar dan kota baru, serta deregulasi investasi dan kemudahan
perizinan.
Tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi
lahan pertanian ke nonpertanian ialah:
1< Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan
Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada
pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan
industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak
kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak
tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan
dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.
2< Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan
fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar
dan kota baru. Akibat ikutan dari penerapan kebijakan ini ialah munculnya
spekulan yang mendorong minat para petani menjual lahannya.
3< Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan deregulasi dalam hal penanaman
modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun
1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan
perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata
dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman
skala besar, maupun kawasan pariwisata.
6
7. Lahan sawah tersebar di seluruh wilayah Indonesia, namun penyebarannya
tidak merata. Luas sawah di Pulau Jawa lebih dominan, sedangkan di bagian lain
tidak begitu luas (Tabel). Tabel menunjukkan bahwa sawah terluas terdapat di
Pulau Jawa, yang sebagian besar merupakan sawah irigasi teknis (58%).
Selanjutnya di luar Pulau Jawa, sebagian besar merupakan sawah nonirigasi
dimana yang terluas terdapat di pulau Sumatera yaitu 37%, diikuti Pulau Jawa dan
Bali (27%) serta Kalimantan (21%). Sedangkan pulau-pulau lainnya terutama di
Irian Jaya, luas lahan sawah baik irigasi, maupun nonirigasi sangat sempit.
Perbedaan yang sangat menyolok dari luas sawah di berbagai daerah
kemungkinan disebabkan karena perbedaan kesuburan tanah, jumlah penduduk,
atau makanan pokok yang dikonsumsi.
Tabel Luas lahan sawah di Indonesia
No Wilayah
Sawah
irigasi
Presen
tase
Sawah
nonirigasi
Presen
tase
Total
Presen
tase
ha % ha % ha %
1 Sumatera 997.060 23,74 1.332.040 36,84 2.329.224 29,80
2 Jawa dan
Bali
2.442.100 58,74 968.440 27,34 3.430.698 43,89
3 NTT dan
Maluku
154.920 5,69 155.120 4,29 310.144 3,97
4 Kalimantan 228.850 5,45 772.890 21,38 1.001.845 12,82
5 Sulawesi 373.500 8,89 346.630 9,59 720.239 9,21
6 Irian Jaya 4.240 0,10 20.640 0,57 24.980 0,32
Indonesia 4.200.670 100,0 3.595.760 100,0 7.817.130 100,0
Sumber : Bambang S. Widjanarko, Moshedayan Pakpahan, Bambang Rahardjono,
dan Putu Suweken (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN, Jakarta,
7
8. 2009).
Alih fungsi lahan makin mengkhawatirkan, tiap tahun lahan pertanian
susut 250 Ha”, merupakan berita yang cukup memberikan gambaran tentang
kondisi penataan ruang dan wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tidak
mengejutkan memang, tetapi besaran alih fungsi lahan yang mencapai angka
2,3% per tahun untuk Kabupaten Sleman dan 7% per tahun untuk Kota
Yogyakarta merupakan angka yang cukup besar dan perlu disikapi secara kritis.
Hal ini perlu dilakukan mengingat perkembangan wilayah yang un control akan
memacu terjadinya alih fungsi tanah dari pertanian ke non pertanian yang bertolak
belakang dengan upaya mempertahankan swa sembada pangan dan sustainable
development.2
Permasalahan di atas seakan menjadi sebuah dualisme ketika
pengendalian alih fungsi tanah mutlak diperlukan dan di sisi lain perkembangan
wilayah adalah sebuah keharusan.
Secara umum perkembangan wilayah terbagi menjadi perkembangan
wilayah perkotaan dan perkembangan wilayah pedesaan. Meskipun di antara
keduanya terdapat satu wilayah yang sering dikaji secara terpisah yakni wilayah
urban fringe. Wilayah ini adalah daerah pinggiran kota yang merupakan peralihan
kota – desa. Secara definitif wilayah ini sangat sulit dilacak batasbatasnya,
mengingat kenampakan fisik dan non fisik daerah ini tidak berhimpit satu sama
lain. Apalagi pada wilayah yang sarana transportasi dan komunikasi sudah
2 Harian Kedaulatan Rakyat, 11 April 2006
8
9. tersedia dengan baik, ciri-ciri non fisik akan jauh meninggalkan ciri fisik yang
dicerminkan oleh pergeseran kenampakan keruangannya. Contoh wilayah urban
fringe ini adalah sebagian wilayah Kecamatan Gamping, Godean, Mlati, Depok,
Berbah di Kabupaten Sleman, sebagian Kecamatan Banguntapan dan Kasihan di
Kabupaten Bantul. Perkembangan wilayah di daerah ini perlu mendapatkan
perhatian khusus, agar perkembangan di kemudian hari tidak menjadi unmanaged
growth.
Perkembangan wilayah di daerah perkotaan menempati posisi yang
dominan dalam kajian keruangan, mengingat wilayah ini cenderung lebih dinamis
dan mempunyai kompleksitas yang sangat tinggi dibandingkan daerah pedesaan.
Perkembangan kota dalam konteks keruangan (fisik), secara umum dibedakan
menjadi tiga model pertumbuhan yang meliputi: (1) Ribbon development, yakni
pertumbuhan fisik kota yang mengikuti jalur-jalur transportasi; (2) Concentric
development, yakni pertumbuhan fisik kota yang menyebar secara merata pada
semua sisi kota; (3) Leap-frog development, yakni pertumbuhan kota yang
meyebar secara sporadis di semua daerah pinggiran kota. Model ini sering juga
disebut sebagai pembangunan ‘lompat katak’.
Berdasarkan teori-teori di atas tampak bahwa perkembangan wilayah
perkotaan seakan secara sistematis mendesak keberadaan wilayah pedesaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat mempunyai pemahaman
bahwa perkembangan kenampakan fisik kota merupakan simbol bagi sebuah
9
10. kemajuan. Hal inilah yang kemudian semakin mempertinggi intensitas alih fungsi
tanah, di samping ekspansi wilayah kota terhadap wilayah desa.
Perkembangan suatu wilayah tidak terlepas dari pertumbuhan penduduk
dan segala aktivitasnya untuk menopang hidup dan kehidupannya yang secara
langsung maupun tidak langsung mempertinggi permintaan tanah. Faktor yang
paling dominan berpengaruh terhadap struktur penggunaan tanah adalah
kebutuhan permukiman bagi penduduk. Namun demikian realitas menunjukkan
bahwa di banyak wilayah perkembangan permukiman menjadi tidak terkendali
(unmanaged growth). Realitas ini adalah sebuah konsekuensi logis bagi
daerahdaerah yang perkembangan wilayahnya relatif cepat.
Beberapa upaya regulasi yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam
rangka pengendalian alih fungsi tanah dari pertanian ke non pertanian antara lain
diterbitkannya (berdasarkan tahun terbit) :
(1% Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan
Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan,
Transmigrasi dan Pekerjaan Umum;
(2% Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan
Perusahaan;
(3% Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri;
(4% Peraturan Kepala BPN Nomor 18 Tahun 1989 Kawasan Penyediaan dan
Pemberian Hak Atas Tanah untuk Perusahaan Kawasan Industri;
10
11. (5% Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi
Pembangunan Kawasan Industri;
(6% Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman;
(7% Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
(8% Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum;
(9% Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional; (10) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2
Tahun 1999 tentang Izin Lokasi dan sebagainya yang kesemuanya baik
tersurat maupun tersirat dimaksudkan untuk mengendalikan perubahan
peruntukan penggunaan tanahtanah pertanian untuk penggunaan lain.3
B%Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1% Apa dasar hukum pelaksanaan perubahan alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian di Kota Yogyakarta ?
2% Bagaimana Pelaksanaan perubahan Alih Fungsi lahan pertanian ke non
3 Sutaryono, Dualisme Pengendalian Alih Fungsi Tanah Dan Perkembangan Wilayah, pernah dimuat
di Harian Kedaulatan Rakyat, 7 Maret 2007
11
12. pertanian di Kota Yogyakarta ?
3% Bagaimana pelaksanaan montoring dan controling perubahan Alih Fungsi
lahan pertanian ke non pertanian di Kota Yogyakarta ?
C%Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1% Untuk mengetahui dan menganalisis dasar hukum pelaksanaan perubahan alih
fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Yogyakarta ?
2% Untuk mengetahui pelaksanaan perubahan alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian di Kota Yogyakarta ?
3% Untuk mengetahui pelaksanaan montoring dan controling perubahan Alih
Fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Yogyakarta
12