Dokumen tersebut membahas evaluasi sistem Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) untuk meningkatkan akuntabilitas dan kinerja aparatur pemerintah. Secara garis besar dibahas mengenai latar belakang pentingnya akuntabilitas dalam pemerintahan yang baik, peraturan-peraturan terkait LAKIP, tantangan yang dihadapi dalam pelaporan kinerja, dan langkah-langkah untuk mengevaluasi dan meningkatkan sist
1. i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ iv
KATA PENGANTAR............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Alur Berpikir .................................................1
B. Maksud dan Tujuan .......................................................................4
C. Output Kegiatan.............................................................................4
BAB II IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DI BIDANG PENINGKATAN
AKUNTABILITAS KINERJA APARATUR
A. Umum............................................................................................5
B. Kebijakan Penyusunan Indikator Kinerja Utama..........................6
C. Kebijakan Penyusunan Dokumen Penetapan Kinerja ...................6
D. Kebijakan Sistem Pelaporan Akuntabilitas Kinerja ......................8
E. Perkembangan Penyusunan LAKIP ..............................................9
F. Mengklaim Keberhasilan.............................................................10
G. Pemeliharaan Data Statistik.........................................................10
H. Pembangunan Sistem Informasi..................................................11
I. Pengembangan Evaluasi Sistem LAKIP .....................................12
J. Pengembangan Island of Integrity...............................................14
K. Simpulan......................................................................................16
BAB III TANTANGAN KEPEMIMPINAN APARATUR DALAM
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE MELALUI
PENINGKATAN AKUNTABILITAS KEPEMIMPINAN
APARATUR
A. Pendahuluan ................................................................................17
B. Akuntabilitas Kepemimpinan Dalam Era Reformasi..................20
1. Krisis Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemerintah ........22
2. Konflik Kepentingan Pejabat Publik ....................................24
3. Korupsi Administratif Sistemik............................................25
C. Mewujudkan Good Governance Melalui Peningkatan
Akuntabilitas Kepemimpinan Aparatur.......................................27
BAB IV EVALUASI SISTEM AKIP PENDEKATAN STEP BY STEP
ASSESSMENT DAN OVER-ALL ASSESSMENT
A. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah....................28
B. Posisi Penetapan Kinerja Dalam Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah .....................................................................29
C. Evaluasi Kinerja ..........................................................................30
2. ii
D. Evaluasi Atas Komponen Akuntabilitas Kinerja.........................32
E. Penilaian dan Simpulan ...............................................................33
BAB V PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN ACEH
TENGAH DALAM MENDAPATKAN OPINI WTP
A. Pendahuluan ................................................................................36
B. Gambaran Umum Daerah............................................................37
C. Gambaran APBK Aceh Tengah ..................................................38
D. Langkah-Langkah Pengelolaan Keuangan Daerah......................40
E. Harapan dan Upaya Penyempurnaan...........................................43
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................44
B. Saran............................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
3. iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penyampaian LAKIP Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota ......................................................4
Tabel 2.2 Pembobotan Menggunakan Metode “Criterian Referenced Test
(CRT) ..............................................................................................19
Tabel 5.1 Gambaran APBK Aceh Tengah TA. 2007, TA. 2008, TA. 2009 ...21
4. iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Alur Berpikir Evaluasi LAKIP..........................................................6
Gambar 2.1 Penyampaian Dokumen Penetapan Kinerja ....................................43
Gambar 2.2 Proporsi Aspek Yang Dinilai...........................................................22
Gambar 2.3 Penerapan Island of Integrity...........................................................23
Gambar 3.1 Alur Berpikir Akuntabilitas Kepemimpinan Aparatur Dalam
Mewujudkan Good Governance......................................................24
Gambar 3.2 Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Kelembagaan Negara25
Gambar 4.1 Siklus Sistem LAKIP.......................................................................26
Gambar 4.2 Alur Indikator Kinerja .....................................................................27
5. v
KATA PENGANTAR
Buku ini merupakan proceeding dari hasil Workshop yang mengangkat
judul ”Workshop Evaluasi Sistem LAKIP di Daerah”, yang diselenggarakan oleh
PKP2A III LAN Samarinda. Workshop ini didasari dengan melihat perkembangan
pemahaman masyarakat yang semakin kritis akhir-akhir ini, tentu dituntut
percepatan-percepatan aksi bagi aparatur untuk mengimplementasikan konsep
good governance menjadi realita. Kita harus bisa menjawab tantangan untuk lebih
mengefektifkan langkah-langkah pencapaian good governance kedalam
mekanisme koordinasi yang makin sinergis, meningkatkan etos kerja agar
semakin profesional dan mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi. Oleh
karena itu dengan terlaksananya sendi-sendi good governance, maka prasyarat
utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-
cita bangsa dan negara bisa terlaksa.
Seperti pemahaman kita bersama, salah satu sendi good governance yaitu
akuntabilitas. Pada prinsipnya akuntabilitas ini dimaksudkan agar masing-masing
individu pada tiap jajaran aparatur bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang
dilaksanakan. Untuk bisa mempertanggungjawabkan secara baik, maka setiap
kegiatan harus dapat dikendalikan. Ini berarti kegiatan tersebut benar-benar
direncakan, dilaksanakan dan dinilai hasilnya oleh pihak-pihak yang mempunyai
kapasitas menilai atau berkewangan.
Semangat menumbuhkan dan memperkuat akuntabilitas ini secara politis
telah dituangkan kedalam Tap MPR-RI No. XI/MPR/1998 dan Undang-Undang
No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Pada tataran yang lebih operasional (institutional level), kebijakan tersebut telah
ditindaklanjuti dengan keluarnya Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah, yang saat ini telah diperkuat dengan lahirnya PP No.
8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Dalam rangka mendorong percepatan pelaksanaan dan pemantapan
implementasi LAKIP, maka dilakukanlah evaluasi terhadap sistem LAKIP yang
berlaku. Sehingga inilah yang kemudian melatar belakangi kegiatan ini dan pada
akhirnya telah disusun dalam bentuk prooceding. Semoga dengan adanya
proceeding ini bisa memberikan manfaat bagi semua pihak, baik yang terkait
langung maupun tidak langsung dalam kegiatan ini.
Akhir kata, kami menyadari sepenuhnya bahwa karya ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak
sangat kami harapkan. Semoga salah satu karya sederhana ini dapat menambah
khasanah pengetahuan dan sebagai sumbangsih yang berguna bagi bangsa dan
negara pada umumnya dan Kalimantan pada khususnya.
Samarinda, November 2009
Kepala PKP2A III LAN,
Dr. Meiliana, SE., MM.
6. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG DAN ALUR BERPIKIR
Pencerminan keberhasilan suatu pemerintahan daerah secara konkrit dapat
tergambarkan pada pencapaian visi dan misi yang telah dicetuskan. Sehingga
peran dan kinerja serta tanggung jawab setiap unit kerja dibawah komando
pemerintahan turut serta menentukan pencapaian keberhasilan tersebut. Tata
kepemerintahan yang baik (Good Governance) sendiri dewasa ini telah menjadi
kata kunci dalam setiap perumusan tujuan kebijakan reformasi birokrasi
pemerintahan dalam kerangka perubahan dan pendayagunaan sistem administrasi
negara dalam arti yang seluas-luasnya di Indonesia. Sebagai tujuan,
kepemerintahan yang baik adalah suatu kondisi penyelenggaraan pemerintahan
negara maupun pemerintahan daerah yang menurut Gambhir Bhatta (1996)
bercirikan tingginya tingkat akuntabilitas (accountability), transparansi
(transparency), keterbukaan (openness), dan supremasi hukum (rule of law).
Sementara itu, dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, pada Konferensi
Nasional Kepemerintahan Daerah Yang Baik, bulan Oktober 2001, telah
disepakati 10 Prinsip Kepemerintahan Daerah Yang Baik oleh seluruh anggota
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi
Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi DPRD Kabupaten
Seluruh Indonesia (ADKASI), dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia
(ADEKSI) yang mencakup prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Partisipasi: Mendorong setiap warga untuk mempergunakan
hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan
keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara
langsung maupun tidak langsung;
2. Prinsip Penegakan Hukum: Mewujudkan adanya penegakan hukum
yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi
HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;
3. Prinsip Transparansi: Menciptakan kepercayaan timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan
menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat
dan memadai;
4. Prinsip Kesetaraan: Memberi peluang yang sama bagi setiap
anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya;
5. Prinsip Daya Tanggap: Meningkatkan kepekaan para penyelenggara
pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali;
6. Prinsip Wawasan Kedepan: Membangun daerah berdasarkan visi,
misi, dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan (secara aktif dan
proaktif) warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga
warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap
kemajuan daerahnya;
7. 2
7. Prinsip Akuntabilitas: Meningkatkan akuntabilitas para pengambil
keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan
masyarakat luas;
8. Prinsip Pengawasan: Meningkatkan upaya pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan
mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas;
9. Prinsip Efisiensi dan Efektivitas: Menjamin terselenggaranya
pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya
yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab;
10. Prinsip Profesionalisme: Meningkatkan kemampuan dan moral
penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang
mudah, cepat, tepat, dengan biaya yang terjangkau.
Dari paparan singkat diatas jelaslah bahwa ”akuntabilitas” merupakan
salah satu prinsip utama dari bangunan kepemerintahan yang baik. Semangat
menumbuhkan dan memperkuat akuntabilitas ini secara politis (policy-level) telah
dituangkan kedalam TAP MRP-RI No. XI/MPR/1998, dan UU No. 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pada tataran yang
lebih operasional (institutional-level), kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti
dengan keluarnya Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah, yang saat ini telah diperkuat dengan lahirnya PP No. 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Dalam rangka mendorong percepatan pelaksanaan dan pemantapan
implementasi LAKIP (Akuntabilitas Kinerja Intansi Pemerintah) maka
dilakukanlah evaluasi terhadap sistem LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah) yang berlaku. Evaluasi LAKIP adalah aktivitas analisis
kritis, penilaian yang sistematis, pemberian atribut, pengenalan permasalahan
serta pemberian solusi untuk tujuan peningkatan kinerja dan akuntabilitas instansi
pemerintah. Prof. Dr. Toho Cholik Muthohir (2008), memaparkan Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) merupakan kewajiban
sekaligus manifestasi pertanggungjawaban instansi pemerintah atas tugas dan
fungsinya yang dijalankan sesuai dengan visi dan misi. Sehingga menunjukkan
sebetul-betulnya gambaran, capaian dan tujuan kinerja yang dapat diukur, yang
merupakan bagian dari komponen sistem akuntabilitas.
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) selama ini
hanya menekankan pada pertanggungjawaban anggaran dan terlaksananya
program/ kegiatan tanpa mengungkapkan secara memadai, hasil atau manfaat
yang dirasakan oleh masyarakat ataupun pihak terkait lainnya. Instansi pemerintah
belum sepenuhnya menjabarkan Propenas dan/atau Propeda ke dalam Rencana
Stratejik (Renstra) instansi dan dokumen operasional lainnya. Selain itu, Renstra
belum dijabarkan ke dalam perencanaan kinerja tahunan, perencanaan operasional
dan penyusunan anggaran. Akibatnya pelaksanaan kebijakan, program, dan
kegiatan tahunan instansi tidak tepat arah sesuai dengan yang direncanakan. Pada
umumnya, Renstra belum sepenuhnya mengakomodasikan seluruh isu stratejik
termasuk pengembangan core area (karakteristik utama) di suatu daerah. Sulit
mengukur keberhasilan ataupun kegagalan instansi pemerintah karena pada
umumnya instansi pemerintah belum memiliki sasaran stratejik yang spesifik,
8. 3
jelas dan terukur, belum memiliki secara formal ukuran keberhasilan organisasi
dalam mencapai sasaran stratejiknya, belum secara terbuka menetapkan target
kinerja sebagai bentuk komitmen organisasi bagi pencapaian kinerja yang
optimal, dan belum dirancangnya sistem pengumpulan data kinerja.
Selain itu, penguasaan terhadap penyusunan LAKIP di daerah sesuai
Keputusan Kepala LAN No. 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan
Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang masih rendah
mengakibatkan seringnya terjadi keterlambatan dalam pembuatan LAKIP hingga
melewati batas waktu yang telah ditentukan serta belum adanya keseragaman
dalam pemahaman penyusunan LAKIP antar masing-masing unit kerja
menyebabkan pelaksanaan suatu kegiatan/ program belum mampu memberikan
manfaat yang jelas. Kelemahan-kelemahan tersebut di atas merupakan kendala
bagi implementasi sistem AKIP dan selanjutnya dapat menimbulkan kesulitan
dalam membantu terwujudnya good governance di daerah.
Alur Berpikir
Gambar 1.1
Alur Berpikir Evaluasi LAKIP
Peraturan Perundangan Yang Terkait Dengan LAKIP:
1. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945
2. Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang
Bebas KKN
3. UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari KKN
4. Inpres RI No. 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah
5. Keputusan Kepala LAN RI No. 589/IX/6/Y/99 Tentang Pedoman
Penyusununan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
6. 239/IX/6/8/2003 Tentang Perbaikan Pedoman Penyusununan Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
7. dll
LAKIP
Tercapainya Tujuan Evaluasi LAKIP
instansi
pemerintah telah menerapakan sistem manajemen kinerja dan
pengendalian
mutunya dengan baik.
evaluasi
Permasalahan LAKIP
Tidak Disusun Asal-asalan dll
Akuntabilitas Kinerja Diragukan
Evaluasi Institusional Evaluasi Substansial
9. 4
B. MAKSUD DAN TUJUAN
Berdasarkan fenomena yang ada serta mengacu pada latar belakang di
atas, maka pelaksanaan Workshop ini dimaksudkan untuk menyusun formulasi
evaluasi sistem LAKIP di daerah dalam bentuk naskah akademik yang berisi
berbagai metode, tahapan-tahapan serta ruang lingkup pelaksanaan evaluasi
sistem LAKIP di daerah.
Adapun tujuan yang ingin dicapai yaitu pencapaian optimalisasi kebijakan
penyusunan LAKIP di daerah serta penguatan kemampuan dan pemahaman
aparatur daerah dalam penyusunan LAKIP.
C. OUTPUT KEGIATAN
Tersusunnya proceeding tentang kebijakan evaluasi sistem LAKIP di
daerah.
10. 5
BAB II
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
DI BIDANG PENINGKATAN AKUNTABILITAS KINERJA APARATUR
Oleh:
Hendro Witjaksono, AK, MAcc1
.
A. UMUM
Penguatan dan peningkatan akuntabilitas aparatur sangat penting bagi
kelangsungan penyelenggaraan pelayanan oleh birokrasi pemerintahan kepada
masyarakat. Jika akuntabilitas aparatur meningkat atau membaik maka akan ada
harapan yang besar untuk terjadinya perbaikan-perbaikan kinerja pelayanan
kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya negara yang ada. Oleh
karenanya, usaha-usaha dalam penguatan akuntabilitas aparatur ini merupakan
tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat dan negara.
Penguatan akuntabilitas aparatur ini dapat ditempuh melalui berbagai
metode dan cara, baik untuk memperbaiki tatanan (governance), sistem dan
mekanisme akuntabilitas dan para pelaku yang terkait. Sistem dan mekanisme
akuntabilitas telah dan sedang serta akan terus menerus diperbaiki sesuai dengan
perkembangan administrasi pemerintahan yang dianggap sesuai dengan jaman.
Dan tatanan akuntabilitas juga dirancang sesuai dengan sistem politik dan sistem
administrasi negara. Sedangkan perbaikan dari sisi pelakunya, seperti institusi
pembuat kebijakan, institusi pelaksana, institusi pengawas dan kekuatan
masyarakat sebagai pengontrol kebijakan pemerintah, bisa dilakukan dengan
memberdayakan atau meningkatkan kapasitas mereka agar dapat berfungsi
dengan baik.
Dari sisi pembuat kebijakan, peran berbagai instansi pemerintah sekarang
sudah terbagi ke dalam beberapa tugas kementerian dan lembaga. Penguatan
sistem akuntabilitas keuangan (finansial) tentulah dibebankan kepada Departemen
Keuangan dan instansi lain yang terkait sebagai penunjang. Sedangkan penguatan
sistem akuntabilitas kinerja terfragmentasi kepada beberapa kementerian dan
lembaga, seperti Kementerian Negara PAN & RB, Bappenas dan Departemen
Dalam Negeri, pada sisi cabang-cabang eksekutif negara. Sedangkan kinerja
lembaga-lembaga yudikatif, legislatif, lembaga tinggi negara, dan komisi-komisi
negara belum banyak disepakati pengaturannya.
Terlepas dari berbagai permasalahan yang masih menjadi tugas kita
bersama, kebijakan-kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Kementerian Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) bebarapa tahun terakhir ini sungguh
memerlukan perhatian kita semua, yang akan kita bahas satu persatu berikut ini.
1
Disampaikan pada Workshop Evaluasi Sistem AKIP di Daerah, Samarinda 24 Nopember 2009,
oleh Hendro Witjaksono, AK, MAcc, Asisten Deputi Pengembangan Akuntabilitas Kinerja
Aparatur pada Kementerian Negara PAN-RB.
11. 6
B. KEBIJAKAN PENYUSUNAN INDIKATOR KINERJA UTAMA
Kebijakan ini dituangkan dalam suatu Perturan Menteri Negara
Pemberdayaan Aparatur Negara (PERMENPAN) nomor 9 pada tahun 2007.
Peraturan Menteri ini sesungguhnya hanya menggerakkan dan mentriger inisiatif-
inisiatif yang sudah ada di beberapa unit instansi yang selama ini telah
menerapkan sistem AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) sesuai
dengan Inpres 7 tahun 1999.
Instrumen Indikator Kinerja Utama (IKU) ini digunakan sebagai sarana
untuk:
1) menyediakan informasi kinerja;
2) menyediakan ukuran keberhasilan suatu unit kerja organisasi instansi.
Pada kenyataannya jika kebijakan ini benar-benar diterapkan secara baik
dan menyeluruh, maka terdapat berbagai kemanfaatan yang akan diperoleh oleh
intansi pemerintah, seperti:
1) memiliki sarana untuk mengikhtisarkan informasi kinerja;
2) memiliki ukuran keberhasilan setiap unit kerja;
3) dapat mengukur kinerja setiap unit kerja dengan lebih mudah dan
lebih cepat;
4) dapat memberikan penghargaan kepada mereka yang berkinerja baik;
5) dapat dijadikan alat untuk pengungkapan akuntabilitas kinerja secara
baik.
Berdasarkan pengumpulan data yang sudah dilakukan Kementerian PAN
terungkap bahwa sampai tahun lalu, baru sebanyak 8 (delapan) Instansi
Pemerintah Pusat yang sudah menyusun seperangkat IKU sampai unit Eselon II,
seperti yang diharapkan oleh PermenPAN No 9/2007 dan PermenPAN
No 20/2008. Dan untuk pemerintah daerah, belum ada yang mampu memenuhi
apa yang diharapkan Surat Edaran MenPAN tersebut. Hal ini disebabkan oleh:
(1) kesulitan inherent dalam mencapai kesepakatan dalam instansi yang
bersangkutan; (2) ada instansi yang baru pada tingkat korporat (departemen/
lembaga/ pemda), namun pada eselon di bawahnya belum selesai; (3) kurangnya
sosialisasi dan diseminasi informasi ataupun bimbingan teknis yang dilakukan.
C. KEBIJAKAN PENYUSUNAN DOKUMEN PENETAPAN KINERJA
Semangat pada permulaan pemerintahan baru pada tahun 2004 dalam
mewujudkan kepemerintahan yang baik direalisasikan dengan Inpres nomor 5
Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Inpres ini antara lain
berisi juga tentang usaha-usaha pencegahan korupsi yaitu pelaporan harta
kekayaan pejabat penyelenggara negara dan penyusunan dokumen penetapan
kinerja (atau perjanjian kinerja), serta instruksi lainnya terkait dengan usaha
pencegahan korupsi dan peningkatan pelayanan publik.
Kebijakan ini telah ada dan diberlakukan sejak tahun 2005, usaha-usaha
untuk sosialisasi dan bimbingan teknis telah dilakukan secara terus menerus.
Akan tetapi perkembangannya kurang begitu menggembirakan, atau dengan kata
12. 7
lain kurang berhasil dalam implementasi. Hal ini dapat dilihat dari statistik angka-
angka penerimaan dokumen penetapan kinerja yang disampaikan kepada
MenPAN, rata-rata dari tahun 2005 sampai tahun 2009 masih di bawah 40%. Ini
berarti sebagian besar instansi pemerintah belum menerapkan kebijakan ini
dengan baik.
Gambar 2.1
Penyampaian Dokumen Penetapan Kinerja
Fakta tersebut di atas, antara lain disebabkan oleh beberapa hal berikut ini:
1) Instansi pemerintah masih banyak yang belum memiliki budaya
pengelolaan kinerja yang baik. Hal ini misalnya, mereka belum
memiliki berbagai indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur
keberhasilan kegiatan, program dan unit kerja mereka. Budaya untuk
melakukan perencanaan kinerja, menetapkan target kinerja dan
memantau pencapaiannya belum terjangkar (melembaga) dengan baik
di berbagai instansi pemerintah.
2) Belum adanya pengaturan-pengaturan yang kuat, karena masih
terbatas pengaturan dengan Surat Edaran MenPAN. Kedepan, dengan
telah disiapkannya Perpres SAKIP, hal ini akan diatur lebih kuat lagi.
Namun, sayangnya Perpres itu sampai saat ini belum terbit, dan masih
menunggu proses di Sekretariat Kabinet. Kemudian pengaturan yang
menyangkut pemerintahan daerah, akan diperbaiki dengan
berkoordinasi dengan departemen Dalam Negeri.
3) Belum adanya mekanisme pemberian insentif dan penghargaan, bagi
mereka yang mencapai target atau berprestasi baik.
Penyampaian Dokumen Penetapan Kinerja
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2005 2006 2007 2008 2009
Persentase
K/L
Pemprov
Kab/Kota
13. 8
4) Kurangnya sosialisasi, diseminasi informasi, dan bimbingan teknis
yang meluas sampai di seluruh tingkatan dalam birokrasi
pemerintahan baik di pusat maupun daerah.
Faktor-faktor penyebab di atas boleh jadi satu dengan yang lainnya
terdapat keterkaitan yang kuat. Misalnya, penyebab yang pertama, untuk
mengubah budaya organisasi menjadi organisasi yang sadar terhadap kinerja
mereka bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan dalam tempo yang relatif
pendek. Perubahan budaya ini memerlukan leadership/kepemimpinan yang kuat,
gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada hasil tanpa melupakan proses dalam
mencapai hasil itu. Di samping itu, diperlukan berbagai perubahan (reform) dari
sisi regulasi atau peraturan perundang-undangan (penyebab kedua) dan juga
sarana prasaran yang lebih memadai, seperti penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi untuk pengumpulan data kinerja.
Demikian pulan faktor yang ketiga juga berpengaruh besar pada
mekanisme penyusunan dokumen penetapan kinerja (perjanjian kinerja) ini.
Tanpa adanya mekanisme pemberian insentif dan penghargaan akan sulit
mengubah budaya lama menjadi budaya organisasi baru yang lebih sadar akan
kinerja.
D. KEBIJAKAN SISTEM PELAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
Sistem pelaporan kinerja yang merupakan satu instrumen penting dalam
mengungkapkan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah telah sekian lama
menuntun kita pada pemahaman pentingnya informasi kinerja. Informasi kinerja
itu dibutuhkan untuk mengelola kinerja (managing performance). Jika para
pimpinan atau manajer tidak memiliki informasi kinerja, tentulah mereka tidak
bisa mengelola kinerja instansi secara baik. Perlunya memiliki informasi kinerja
ini juga dapat digunakan untuk memberikan penghargaan bagi mereka yang
berkinerja sehingga terdapat suasana kerja yang sehat di dalam organisasi.
Kebertanggung jawaban atau rasa akuntabilitas (sense of accountability)
ini penting sekali untuk mewujudkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, karena
penggunaan sumber daya negara haruslah dipertanggung jawaban secara jelas dan
baik. Hal ini tentulah tidak hanya sekedar pertanggung jawaban membelanjakan
dana anggaran akan tetapi juga hasil-hasil yang telah diperoleh untuk semua
penggunaan sumber daya yang ada. Oleh karena itu pelaporan informasi kinerja
sebagai bagian akuntabilitas kinerja merupakan sarana penting dalam manajemen
kinerja.
Kita telah mengetahui beberapa tahun terakhir pelaporan kinerja sebagai
sarana untuk memberikan informasi kinerja telah banyak dilakukan oleh berbagai
instansi pemerintah. Laporan itu sering disebut sebagai laporan akuntabilitas
kinerja atau LAKIP. Laporan ini telah banyak menuntun kita untuk mengetahui
kinerja sebuah instansi atau institusi pemerintahan negara. Namun demikian,
penyajian dan pengungkapan informasi kinerja kadang-kadang belum seperti yang
diharapkan para stakeholders instansi itu. Bahkan sering kali dijumpai LAKIP
sebuah departemen disajikan tidak memenuhi kebutuhan stakeholdersnya
14. 9
dibanding laporan tahunannya. Ini tentulah hal yang ironis. Dari satu sisi, LAKIP
itu laporan kinerja, akan tetapi kinerja yang disajikan bukanlah kinerja di tingkat
Departemen atau lembaga yang bersangkutan akan tetapi seperti gabungan dari
satuan-satuan kerja di lingkungan departemen itu.
Dari kasus di atas, dapat ditelaah kemungkinan-kemungkinan penyebab
hal itu terjadi. Pertama, mungkin pedoman atau pentunjuk penyusunan laporan itu
sebagai kebijakan yang telah dibuat, kurang dapat dipakai sebagai pedoman yang
baik? atau mungkin tidak mudah dimengerti. Kedua, mungkin penyusun laporan
tersebut memang tidak menguasai data dan informasi yang semestinya dikuasai
dan dimengerti di tingkat departemen. Ketiga, ada kemungkinan para penyusun
laporan itu dikejar deadline kewajiban pemasukan laporan tersebut sehingga dari
segi mutu kurang baik di banding dengan laporan tahunannya sendiri. Keempat,
penyebabnya kemungkinan kombinasi dari dua atau lebih dari penyebab-
penyebab di atas, sehingga membuat laporan itu kurang baik.
E. PERKEMBANGAN PENYUSUNAN LAKIP
Perkembangan penyusunan & penyampaian LAKIP sampai dengan saat
ini sudah agak menggembirakan, hal ini karena instansi-instansi pemerintah sudah
memahami dan sudah mampu menyusun LAKIP. Berita baik dari segi ketaatan ini
tentulah harus pula diimbangi dengan kesungguh dalam menyusun laporan yang
baik dan menggunakannya dalam pengelolaan kinerja instansi. Penyusunan
laporan adalah salah satu instrumen dalam mewujudkan akuntabilitas yang baik
dan amanah. Oleh karena itu, pelaporan yang baik dan benar juga akan dapat
membantu dalam penguatan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
Sekali lagi dari segi kuantitas instansi pemerintah yang telah menyusun
dan menyampaikan LAKIP perkembangannya cukup baik. Penyampaian LAKIP
dari tahun ketahun, dihitung berdasarkan persentase dari populasi instansi
pemerintah yang terdiri dari : Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota , seperti berikut ini:
Tabel 2.1
Penyampaian LAKIP Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008
Kementerian/ Lembaga 97% 100% 97% 99% 97%
Pemprov 84% 94% 94% 86% 82%
Kab/Kota 70% 84% 84% 77% 67%
Rata2 dari populasi 74% 87% 86% 82% 72%
15. 10
F. MENGKLAIM KEBERHASILAN
Pelaporan kinerja ada kalanya secara psikologis sulit dilakukan jika suatu
instansi tidak dapat mengklaim keberhasilan yang dicapai. Hal ini sungguh
merupakan hal yang disayangkan. Untuk dapat mengklaim keberhasilan-
keberhasilan, instansi haruslah dapat menunjukkah hasil. Hasil-hasil yang telah
dicapai haruslah dapat diidentifikasi, dijelaskan, diperbandingkan, dan
dipromosikan mengapa hal itu dapat terwujud. Sebaliknya, jika hasil-hasil itu
tidak dapat ditunjukkan, ini artinya instansi tidak bisa dianggap berhasil. Dan
alternatifnya, tentulah mengungkapkan keberhasilan yang tertunda dengan
memberikan berbagai argumentasi yang menyebabkan keberhasilan itu belum bisa
terwujud. Dengan kata lain, instansi untuk beberapa hal boleh jadi lebih penting
mengungkapkan kegagalan-kegagalan itu dan kemudian mengusulkan langkah-
langkah pemecahan masalah agar di masa yang akan datang berhasil.
Dalam mengklaim keberhasilan, instansi haruslah dapat menunjukkan
ukuran-ukuran keberhasilan, indikator kinerja keberhasilan. Indikator yang
menyatakan tanda-tanda keberhasilan atau indikasi-indikasi adanya keberhasilan
sangatlah penting untuk diungkapkan. Oleh karena itu, penetapan indikator kinerja
pada awal perencanaan haruslah sudah sejak awal ditetapkan, bahkan tingkat
capaiannya (target pencapaiannya) juga harus ditetapkan sehingga pada
pelaksanaan dapat dipantau seberapa jauh tercapainya target tersebut.
Dua hal penting dalam pengelolaan kinerja di atas, yaitu menetapkan
indikator kinerja dan target pencapaiannya merupakan hal biasa dipraktikan pada
korporasi atau perusahaan swasta. Dan inilah yang menyebabkan para manajer
lebih memfokuskan perhatian yang besar pada pencapaian target-target kinerja
tersebut. Dengan demikian kemungkinan tercapainya keberhasilan akan lebih
tinggi dibandingkan jika tidak ada fokus perhatian yang cukup ke arah itu.
G. PEMELIHARAAN DATA STATISTIK
Informasi kinerja dapat diproduksi dengan memahami berbagai tahapan
pelaksanaan progarm dan kegiatan beserta hasil-hasilnya disetiap tahapan. Oleh
karena itu, pengumpulan data-data statistik berkaitan dengan semua hasil setiap
tahapan haruslah direncanakan dengan baik. Sekali suatu program dan kegiatan
sudah ditetapkan indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur keberhasilan
program/ kegiatan itu, maka data-data yang terkait dengan penghitungan
indikator-indikator itu haruslah dikumpulkan dan dipelihara waktu demi waktu.
Pelaporan kinerja berkala sangat bermanfaat untuk mengingatkan para
pelaksanaan program/kegiatan agar pada akhir setiap tahun anggaran dapat segera
melaporan berbagai capaiannya dengan jelas.
Pemeliharaan data statistik yang baik dan reguler akan membawa dampak
positif bagi perencanaan pada tahun-tahun berikutnya. Pengelolaan kinerja yang
didukung dengan data kinerja yang reliabel (dapat diandalkan) akan dapat
mengatasi keraguan dan mengurangi ketidak pastian dalam menetapkan
perencanaan. Pemeliharaan data statistik ini juga akan sangat berguna bagi
penentuan target-target kinerja setiap periode berikutnya dengan lebih baik. Tanpa
16. 11
data-data tahun-tahun sebelumnya, mungkin saja penetapan target ditetapkan,
akan tetapi tentulah yang kira-kira belaka. Perkiraan yang realistis mungkin akan
lebih baik di tetapkan jika kita punya sejumlah data dari masa ke masa (time
series) dengan segala kondisi yang selalu berbeda-beda, sehingga perkiraan itu
lebih tepat adanya.
H. PEMBANGUNAN SISTEM INFORMASI
Untuk menangani pemeliharaan data dan informasi di suatu instansi
diperlukan sistem informasi yang handal yang dapat menfasilitas pengumpulan
data, pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran dan penyajian laporan yang
baik. Pembangunan sistem informasi yang terkomputerisasi agaknya sudah tidak
terhindarkan lagi mengingat ketergantungan kita pada teknologi yang satu ini.
Dengan menggunakan teknologi informasi boleh jadi kita lebih nyaman dalam
melakukan perbagai perangkuman, analisis, dan penyajian laporan secara lebih
cepat, akurat, dan menyenangkan.
Sistem informasi ini juga sangat diperlukan bagi instansi-instansi yang
mengelola dan melaksanakan program/kegiatan begitu besar dan luas sebaran
target group programnya. Dengan demikian pengumpulan informasi dapat
dilakukan dengan lebih cepat, lebih sering, lebih akurat dan menghilangkan
kemungkinan kesalahan aritmatik atau penghitungan-penghitungan. Penggunaan
teknologi informasi juga dapat digunakan untuk koordinasi dan ”information
sharing” antara pelaksana dan pelaku sehingga dapat diperoleh hasil pengumpulan
data yang lebih baik dibandingkan jika dilakukan secara manual.
Pembangunan sistem informasi yang handal sangat membantu
peningkatan kinerja instansi pemerintah. Hal ini karena, sistem informasi yang
handal akan dapat membantuk memproduksi informasi, menyimpan informasi,
mengolah informasi dan menyebarkan informasi untuk berbagai keperluan,
seperti:
1) untuk pengambilan keputusan;
2) untuk memicu tindakan yang perlu diambil;
3) mengkonfirmasi tindakan-tindakan yang telah dilakukan.
Oleh karena pelaksanaan program dan kegiatan di lingkungan instansi
pemerintah memerlukan media penyimpanan data, pengolahan data dan distribusi
data yang luas, maka sudah saatnya semua instansi pemerintah menggunakan
sistem informasi yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Sehingga
dengan demikian dapat diperoleh solusi-solusi dari permasalahan-permasalahan
seperti; kompleksitas, besarnya dan banyaknya data, keharusan pendistribusian
yang luas, kecepatan pemerolehan data, akurasi perhitungan, dan sebagainya.
Pengembangan sistem informasi yang digunakan untuk membantu proses
manajemen akan sangat bermanfaat pula bagi peningkatan kinerja instansi
pemerintah. Karena, semua tahapan dalam proses manajemen mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegaitan, pemantauan, dan
pengendalian, semua dapat didukung dengan perangkat sistem informasi.
Demikian pula dalam mengelola berbagai kepentingan instansi, seperti
17. 12
memelihara hubungan dengan para supplier/pemasok/rekanan, pelanggan, dan
instansi yang terkait, akan dapat dikelola secara lebih baik karena memanfaatkan
sistem informasi yang handal.
Pengembangan sistem informasi yang handal juga akan dapat
menghilangkan permasalahan yang selama ini ada yaitu keluhan sulitnya
memenuhi kewajiban pelaporan yang tepat waktu. Dan bahkan beberapa instansi
atau daerah kesulitan untuk memenuhi kewajiban berbagai pelaporan yang
diminta oleh para stakeholders-nya. Hal ini karena ”mereka” belum memiliki
sistem informasi yang handal, sehingga dalam menyusun suatu laporan harus
mulai kembali mengumpulan data-data yang memakan waktu cukup lama dan
biaya yang cukup besar. Kemudian jika ada permintaan pelaporan dari instansi
yang lebih tinggi atau instansi yang memerlukan data untuk kepentingan nasional,
juga akan kesulitan memenuhinya. Mungkin saja informasi itu sudah ”dikuasai”
instansi tersebut, akan tetapi untuk me-retrieve dan menyajikan dalam bentuk
yang diminta oleh penggunanya mereka menemui kesulitan.
I. PENGEMBANGAN EVALUASI SISTEM AKIP
Sejak diterapkannya sistem AKIP di berbagai instansi pemerintah
berdasarkan Inpres No. 7/1999, telah sedikit demi sedikit dilakukan evaluasi
sistem AKIP oleh Kementerian PAN dan BPKP, maupun APIP lainnya di daerah.
Paling tidak selama lima tahun terakhir sudah dilakukan evaluasi sistem AKIP
terhadap Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah (Pemprov, Pemkab, dan
Pemkot). Evaluasi ini dirasakan telah banyak mengubah peta implementasi Sistem
AKIP, dari keadaan instansi-instansi tidak memiliki akuntabilitas kinerja ke
keadaan dimana instansi-instansi pemerintah sudah memiliki akuntabilitas kinerja.
Evaluasi sistem AKIP atau evaluai AKIP yang selama ini dilakukan,
sebenarnya telah melakukan pengumpulan data, analisis, dan penilaian terhadap
aspek-aspek berikut ini:
a) Aspek perencanaan. Evaluasi terhadap aspek perencanaan meliputi
penilaian terhadap perencanaan strategis dan perencanaan kinerja
organisasi;
b) Aspek pengukuran kinerja. Evaluasi terhadap aspek pengukuran kinerja ini
meliputi riviu terhadap indikator kinerja, pengumpulan data kinerja,
pengukuran dan evaluasi kinerja;
c) Aspek pelaporan kinerja. Evaluasi terhadap aspek pelaporan kinerja
didominasi oleh penilaian terhadap sistem pelaporan dan laporan-nya
sendiri yaitu LAKIP;
d) Aspek evaluasi kinerja. Evaluasi terhadap evaluasi kinerja dilakukan
dengan meneliti berjalannya kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan
oleh penanggung jawab kegiatan, riviu terhadap kegiatan evaluasi oleh
lembaga pengawas (inspektorat), dan reviu atas evaluasi terhadap
program-program besar yang mempengaruhi keberhasilan suatu instansi;
e) Aspek Capaian Kinerja. Evaluasi terhadap aspek pencapaian kinerja ini
dilakukan untuk mengimbangi evaluasi terhadap sistem (butir a, b, c, d)
18. 13
agar mempertimbangkan prestasi kerja dari organisasi instansi yang
dievaluasi.
Kelima aspek tersebut di atas dievaluasi dengan menggunakan metode
”Creterian Referrenced Test” (CRT), dimana semakin banyak instansi memenuhi
kriteria yang disediakan maka semakin mendapatkan nilai yang bagus. Adapun
agregasi dari nilai-nilai yang diperoleh dilakukan dengan proporsi (bobot) sebagai
berikut:
Tabel 2.2
Pembobotan Menggunakan Metode ”Creterian Referrenced Test” (CRT)
No Aspek yang dievaluasi Bobot
1 Perencanaan 35%
2 Pengukuran Kinerja 20%
3 Pelaporan Kinerja 15%
4 Evaluasi Kinerja 10%
5 Capaian Kinerja 20%
Total 100%
Gambar 2.2
Proporsi Aspek Yang Dinilai
Sungguh, kegiatan evaluasi Sistem AKIP atau evaluasi AKIP ini telah
dikembangkan dan diterapkan secara hati-hati oleh tenaga-tenaga evaluator yang
sudah di latih. Akan tetapi ternyata, hasilnya, belum secara signifikan
memperbaiki aspek-aspek yang dinilai tersebut. Walaupun hasil evaluasi itu
sudah dapat digunakan untuk me-navigasi dilakukannya perbaikan-perbaikan,
akan tetapi perbaikan-perbaikan itu sendiri memang dapat terjadi karena banyak
hal yang mempengaruhi.
Sekali lagi untuk tujuan perbaikan ”sistem”, dalam hal ini tentulah sistem
manajemen kinerja, hasil evaluasi sudah dapat menunjukkan aspek apa yang harus
35%
20%
15%
10%
20%
Perencanaan
Pengukuran kinerja
Pelaporan kinerja
Evaluasi kinerja
Capaian kinerja
Proporsi Aspek yang Dinilai
19. 14
diperbaiki, terutama untuk aspek pertama sampai aspek keempat diatas. Akan
tetapi untuk aspek capaian kinerja (atau prestasi kerja), karena kinerja memang
kinerja itu dipengaruhi ”banyak hal” maka hasil evaluasi atau rekomendasi-
rekomendasinya mungkin saja tidak cukup untuk peningkatan capaian kinerja.
Namun demikian, jika kita kembali pada aksioma lama, bahwa jika sistem dan
proses-nya baik dapat diharapkan menghasilkan produk yang baik. Sebaliknya
jika sistem dan proses nya buruk, belum tentu dapat dihasilkan produk yang baik,
kecuali nasib baik!
Dari hasil evaluasi Sistem AKIP, instansi-instansi pemerintah dapat
dikategorikan ke dalam beberapa kelompok, sebagai berikut:
1) Kelompok pertama, instansi-instansi yang ”tidak berdaya” dan oleh
karenanya tidak melakukan tindak lanjut hasil evaluasi;
2) Kelompok kedua, instansi-instansi yang berusaha untuk melakukan
perbaikan-perbaikan yang hanya sedikit dan cenderung perbaikan-
perbaikan yang bersifat formal;
3) Kelompok ketiga, instansi-instansi yang melakukan banyak perbaikan
yang bersifat formal dan sedikit melakukan perbaikan substansial;
4) Kelompok keempat, instansi-instansi yang mampu menjalankan
kepemimpinan dengan baik dan melakukan perubahan-perubahan yang
signifikan sebagai tindak lanjut hasil evaluasi.
Kebanyakan instansi pemerintah dan pemerintah daerah berada pada
kategori kedua dan ketiga. Dan hanya sedikit yang bisa dikategorikan pada
kelompok keempat, yaitu mereka yang : (a) memberikan perhatian atas berbagai
masalah ditemukan pada evaluasi; (b) berani melakukan perubahan yang cukup
berarti; dan (c) memantau dan mengendalikan usaha-usaha perbaikan itu secara
konsisten dan terus menerus sampai berhasil.
J. PENGEMBANGAN ISLAND OF INTEGRITY
Pembangunan dan pengembangan ”island of integrity” atau ”wilayah yang
beritegritas” adalah salah satu pengembangan ”pilot project” untuk membangun
kepemerintahan yang baik dan bebas KKN. Metode pengembangan wilayah yang
berintegritas ini didasari oleh usulan dan saran KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) yang melakukan usaha-usaha pencegahan korupsi dengan bekerja sama
dengan instansi terkait. Metode ini telah dilaksanakan mulai tahun 2004, dan
hingga kini sudah terdapat 97 Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota yang telah
menandatangani MOU (Memoradum Of Understanding) dengan pihak
Kementerian Negara PAN. Penandatanganan MOU itu dimaksudkan agar daerah-
daerah yang didekati, dibina, dan dipantau dapat menyelenggarakan pemerintahan
dengan efektif dan akuntabel.
Sampai pertengahan tahun 2009 ini, perkembangan usaha-usaha untuk
menyebarluaskan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk pada
praktik penyelenggaraan pemerintahan agaknya berkembang sangat lambat.
Keberhasilan pilot project tersebut memang sangat tergantung pada komitmen
para pimpinan daerah masing-masing serta kesiapan aparatur yang bersangkutan.
20. 15
Beberapa daerah berikut ini telah mengalami kemajuan-kemajuan yang signifikan,
misalnya:
1) Pemerintahan kota Dumai;
2) Pemerintahan Kota Pakanbaru;
3) Pemerintah Kota Banjarbaru;
4) Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan;
5) Pemerintah Kota Palangkaraya;
6) Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta;
7) Pemerintah Kota Yogyakarta;
8) Pemerintah Kabupaten Kebumen;
9) Pemerintah Kota Denpasar;
10) Pemerintah Kota Makasar.
Adapun perkembangan daerah yang dijadikan pilot project ”island of
integrity” adalah sebagai berikut:
Penerapan Island of Integrity
11%
89%
1
2
Gambar 2.3
Penerapan Island of Integrity
Kelambanan atau kekurang berhasilan ini menunjukkan betapa beratnya
mengubah atau mentransform jajaran pemerintahan dari yang kurang akuntabel
menjadi lebih baik dan lebih akuntabel. Dan pencapaian keberhasilan yang rendah
ini (11%) paling tidak menurut penilaian dari Kedeputian Akuntabilitas Aparatur
MenPAN. Walaupun demikian, diantara penandatangan MOU tersebut juga
banyak yang telah mencapai tahapan klasifikasi 2 dan 3 yaitu masing-masing
pemerintah daerah yang telah menyusun action plan namun belum melaksanakan
sebagian besar dari rencana tersebut, dan ada pemerintah daerah yang belum
menyusun action plan secara rinci namun sudah melakukan perbaikan-perbaikan.
Keduanya, diklasifikasikan sebagai wilayah atau daerah yang belum berhasil
dalam penerapkan ”island of integrity”. Dan, kategori 1, yaitu pemerintah daerah
Berhasil baik
Belum berhasil
21. 16
yang sudah ikut menandatangani MOU, akan tetapi belum ada kabar berita dalam
menindaklanjuti MOU tersebut.
K. SIMPULAN
Selama lima tahun terakhir sebenarnya telah banyak kemajuan yang
dicapai dalam rangka penguatan akuntabilitas kinerja sebagai instrumen kebijakan
untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Penguatan akuntabilitas
kinerja di semua tingkatan unit organisasi birokrasi juga telah banyak mengalami
kemajuan dalam ”mengerem” atau meminimalkan tingkat korupsi dan
meningkatkan kebertanggung jawaban atas keberhasilan pelaksanaan tugas dan
fungsi instansi-instansi pemerintah.
Evaluasi Sistem AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah)
digunakan sebagai mekanisme untuk perbaikan dalam pengelolaan kinerja instansi
pemerintah dan khususnya untuk peningkatan akuntabilitas kinerja di sektor
publik. Evaluasi ini dapat dilakukan oleh berbagai pihak, baik pihak internal
maupun eksternal. Dan evaluasi sendiri sebenarnya adalah merupakan bentuk
kepedulian dan bentuk akuntabilitas yang diekspresikan dalam langkah dan
tindakan oleh para manajer publik. Tanpa evaluasi, sesungguhnya para manajer
publik itu telah lalai atau tidak mempedulikan pelaksanaan kegiatan/program
maupun tugas dan fungsi mereka.
Agenda kedepan dalam melakukan penguatan akuntabilitas kinerja akan
difokuskan pada tiga hal tersebut di atas, yaitu penjangkaran praktik penyusunan
seperangkat indikator kinerja utama, perjanjian kinerja dan pelaporan
akuntabilitas kinerja, agar benar-benar dapat digunakan untuk mengelola kinerja
pemerintahan (birokrasi) secara optimal.
22. 17
BAB III
TANTANGAN KEPEMIMPINAN APARATUR DALAM MEWUJUDKAN
GOOD GOVERNANCE MELALUI PENINGKATAN AKUNTABILITAS
KEPEMIMPINAN APARATUR
Oleh: Desi Fernanda2
A. PENDAHULUAN
Abad 21 menghadapkan lingkungan strategis nasional dan internasional
yang berbeda dengan tantangan strategis yang dihadapi pada Abad 20. Di akhir
Abad 20 dan dalam dekade-dekade awal Abad 21, Indonesia menghadapi
tantangan-tantangan berat di segala bidang; krisis multi dimensi, ancaman
desintegrasi, dan keterpurukan ekonomi. Indikator-indikator pembangunan
menunjukan bahwa posisi Indonesia berada dalam kelompok terendah dalam peta
kemajuan pembangunan bangsa-bangsa, baik dilihat dari indeks pembangunan
manusia, ketahanan ekonomi, struktur industri, perkembangan pertanian, sistem
hukum dan peradilan, penyelenggaraan clean government, dan penyelenggaraan
good governance baik pada sektor publik maupun bisnis. Selain itu, Indonesia
masih dipandang sebagai negara dengan resiko tinggi, dengan tingkat korupsi
termasuk tertinggi, demikian pula dari besarnya hutang luar negeri. Dan
perkembangan politik di Indonesia yang ditandai dengan kekasaran politik dan
jumlah partai politik terbesar di dunia, menunjukan kultur politik dan kehidupan
demokrasi yang belum mantap, merupakan fenomena yang memerlukan perhatian
sungguh-sungguh dari setiap pemimpin bangsa.
Dalam era reformasi dewasa ini, terwujudnya tata kepemerintahan yang
baik (Good Governance) telah menjadi komitmen nasional seluruh jajaran
aparatur negara maupun seluruh komponen masyarakat bangsa Indonesia, untuk
mampu keluar (recovery) dari berbagai dampak krisis multidimensional pada
tahun 1997/1998 yang lalu. Good Governance dalam hal ini adalah: “...hubungan
yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta, dan masyarakat (civil
society).” Good Goevernance sesungguhnya merupakan varian positif dari konsep
Governance, yang didefinisikan oleh UNDP (United Nations Developement
Programs) yaitu tata kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan di bidang
ekonomi, politik, dan administrasi untuk mengelola berbagai urusan negara dalam
setiap tingkatannya, sekaligus merupakan instrumen kebijakan negara untuk
mendorong terciptanya kohesivitas sosial.
Berdasarkan definisi tersebut, Good Governance menurut UNDP memiliki
karakteristik dan sekaligus prinsip-prinsip yang harus dipenuhi untuk
mewujudkannya, yaitu prinsip-prinsip: partisipasi, supremasi hukum, tansparansi,
daya tanggap, berorientasi konsensus, kesetaraan dan keadilan, efektivitas dan
efisiensi, akuntabilitas, serta bervisi strategis. Keseluruhan prinsip dan
2
Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc adalah Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan Administrasi
Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara (Deputi III, Lembaga Administrasi Negara)
23. 18
karakteristik tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh (integral) dan
menyeluruh (komprehensif dan holistik).
Sejak dimulainya era reformasi paska krisis multidimensional tahun
1997/1998 yang lalu, tuntutan untuk membangun dan mewujudkan tata
kepemerintahan yang baik telah menjadi komitmen seluruh jajaran pemerintahan
Republik Indonesia. Konsepsi Good Governance sebagai instrumen untuk
melakukan reformasi pasca Orde Baru, terbukti memperoleh dukungan yang
sangat luas. Tap MPR Nomor VIII/MPR/1998 Bab III, secara implisit memuat
prinsip-prinsip Good Governance dalam rumusan tujuan reformasi nasional.
Bahkan Abdurahman Wahid (Mantan Presiden RI) dalam Pidato Tertulisnya di
PBB pada tanggal 8 September 2000, menyatakan: ”Kami mendukung pemikiran
mengenai Good Governance untuk memajukan keadilan, meningkatkan
kesejahteraan,... memperkuat lembaga-lembaga demokrasi”
Keberhasilan mewujudkan komitmen tersebut kiranya akan bergantung
kepada kemampuan para pemimpin dan seluruh jajaran lembaga-lembaga
kenegaraan, maupun para pemimpin dan jajaran aparatur birokrasi pemerintahan
pada khususnya. Dalam lingkungan budaya masyarakat Indonesia kedudukan dan
peranan para pemimpin dalam memberikan ketauladan sikap dan perilaku
merupakan faktor yang menentukan bagi keberhasilan berbagai upaya pencapaian
tujuan yang telah menjadi kesepakatan bersama. Oleh karena itu, maka kepada
para pemimpinlah biasanya pertanggungjawaban atas keberhasilan atau kegagalan
pencapaian tujuan bersama itu akan dipertanyakan.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian umum mengenai kepemimpinan,
yaitu: ilmu dan seni dalam mempengaruhi orang dan organisasi untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki. Namun dalam ruang lingkup penyelenggaraan
pemerintahan negara, kepemimpinan aparatur bukanlah sekedar ilmu atau seni
mempengaruhi, melainkan juga kompetensi (competency) dan kapasitas (capacity)
untuk secara efektif, efisien, produktif, dan profesional mengelola sumber daya
dan dana publik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengatasi
permasalahan sosial ekonomi masyarakat, mememelihara dan meningkatkan
ketertiban umum (law and order), keamanan (security), menjamin kemudahan
berbagai akses bagi masyarakat, serta meningkatkan kesetaraan dan keadilan
sosial
Secara filosofis dan mendasar, peranan kepemimpinan di lingkungan
pemerintahan negara Republik Indonesia adalah menjamin tercapainya Tujuan
Nasional atau Embanan Nasional sebagaimana diamanatkan oleh para Pendiri
Negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, Alinea Keempat, yaitu:
:”...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial..”
Sejalan dengan latar belakang tersebut, Lemhannas RI telah merumuskan
pengertian kepemimpinan nasional sebagai “kelompok pemimpin bangsa pada
segenap strata kehidupan nasional di dalam setiap gatra (Asta Gatra) pada
bidang/sektor profesi baik di supra struktur, infra struktur dan sub struktur, formal
dan informal yang memilki kemampuan dan kewenangan untuk mengarahkan/
24. 19
mengerahkan kehidupan nasional (bangsa dan negara) dalam rangka pencapaian
tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta memperhatikan dan
memahami perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi berbagai
kendala dalam memanfaatkan peluang.”
Bagaimanapun, kepada para pemimpin bangsa maupun pemimpin aparatur
pemerintahan inilah akan diletakkan tanggung jawab atau akuntabilitas
pencapaian tujuan nasional. Termasuk dalam hal ini, tuntutan akuntabilitas yang
diletakkan pada kepemimpinan aparatur pemerintahan adalah kemampuannya
untuk membangun dan mewujudkan Good Governance, sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya. Pengertian akuntabilitas dalam hal ini adalah suatu
perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-
sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media yang pertanggungjawaban yang
dilaksanakan secara periodik. Sedangkan McKinney dan Howard mendefinisikan
bahwa:
“akuntabilitas adalah sesuatu keadaan dimana seseorang yang memiliki
dan menggunakan sesuatu kewenangan tertentu diharapkan dapat dikendalikan,
dan pada kenyataannya memang terbatasi ruang lingkup penggunaan kekuasaan
dan kewenangannya itu oleh instrumen pengendalian eksternal, termasuk oleh
sistem nilai internal yang berlaku dalam institusi yang bersangkutan.”
Beranjak dari latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk
mencoba membahas bagaimana akuntabilitas kepemimpinan aparatur dalam
mewujudkan Good Governance. Kepemimpinan aparatur yang dimaksud disini
adalah kelompok pemimpin di lingkungan aparatur pemerintah (birokrasi) yang
juga biasa disebut sebagai pejabat publik dalam berbagai strata yang ada sesuai
dengan hierarkhi birokrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Beberapa
permasalahan pokok yang akan dibahas dalam esai ini antara lain adalah: kondisi
umum kepemimpinan dan akuntabilitas publik di Era Reformasi; permasalahan
krisis kepercayaan masyarakat dan konflik kepentingan dalam kepemimpinan
aparatur. Selain itu, permasalahan penting lainnya yang menjadi kendala utama
akuntabilitas kepemimpinan aparatur adalah kecenderungan korupsi administratif
yang bersifat sistemik.
Keempat pokok permasalahan tersebut akan dibahas dengan pendekatan
deskriptif kualitatif, berdasarkan data dan literatur yang tersedia, serta berdasarkan
pengamatan dan pengalaman penulis sebagai tenaga pengajar dalam berbagai
program pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (Diklatpim) baik Diklatpim III,
II, dan I yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara RI.
Untuk memberikan kejelasan visual mengenai materi ini, penulis mencoba
memvisualisasikannya ke dalam format alur pikir sebagai berikut:
25. 20
Gambar 3.1
Alur Berpikir Akuntabilitas Kepemimpinan Aparatur Dalam Mewujudkan Good
Governance
B. AKUNTABILITAS KEPEMIMPINAN DALAM ERA REFORMASI
Era reformasi yang sudah berjalan satu dasawarsa telah melahirkan
kebebasan bagi masyarakat untuk mengekspresikan segala kehendak dan
kepentingan mereka, sesuai hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD
1945 dengan berlandaskan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang
terkandung dalam Pancasila. Kebebasan ini pada akhirnya mendorong proses
demokratisasi yang berjalan sangat pesatnya dalam satu dasa warsa terakhir.
Proses demokratisasi yang berjalan sangat cepat tersebut menuntut adanya
keterbukaan, transparansi, dan akses partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam
berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan. Situasi ini telah mendorong
pemerintah untuk melakukan berbagai kebijakan reformasi sistem administrasi
negara, mulai dari perubahan konstitusi, perubahan peraturan perundang-
undangan, pola penyelenggaraan pelayanan publik, perubahan struktur dan model
kelembagaan pemerintahan, perubahan sistem dan prosedur ketatalaksanaan,
perubahan sistem pengelolaan sumber dana, sumber daya manusia, kekayaan
negara, hingga ke pengelolaan sistem informasi manajemen serta pola komunikasi
dan hubungan kemasyarakatan. Keseluruhan proses perubahan tersebut berjalan
secara cepat dan inkremental dalam sepuluh tahun terakhir, dan tampaknya masih
akan terus berlanjut hingga beberapa periode ke depan.
Kecenderungan demokratisasi yang diwarnai oleh pluralitas kepentingan
masyarakat yang sedemikian rupa, menuntut aparatur pemerintah untuk
menyesuaikan diri dengan mulai beragamnya kepentingan masyarakat. Hal ini
menuntut kemampuan para pejabat publik untuk menggerakkan organisasi dan
para birokrat di bawah kepemimpinannya lebih meningkatkan daya tanggap,
26. 21
kualitas pelayanan, serta keterbukaan dan transparansi, bahkan komunikasi dan
hubungan kemasyarakatan yang semakin intensif dan kritis. Pada kenyataannya
tidak semua institusi pemerintahan dan para pemimpin aparatur pemerintahan
yang dengan cepat mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan strategis
yang berlangsung. Berbagai lembaga pemerintahan yang segera dapat
menyesuaikan diri, dengan segera pula memperoleh manfaat dari dukungan dan
kolaborasi partisipatif dari masyarakat. Namun kebanyakannya masih dirasakan
lambat dalam merespons perubahan aspirasi masyarakat yang pluralistik.
Struktur birokrasi pemerintahan yang mengadopsi model birokrasi
Weberian, yang bersifat hierarkhikal, kaku, dengan prosedur yang panjang, serta
mengutamakan aspek penaatan hukum dan legalitas; telah cenderung menjadi
faktor penghambat kecepatan proses perubahan birokrasi pemerintahan.
Demikian juga pola atau karakter kepemimpinan aparatur pemerintahan,
ternyata relatif masih sulit atau dinilai lamban dalam mendorong percepatan
reformasi di lingkungan birokrasi pemerintahan. Pola kemimpinan aparatur masih
sulit berubah dari model patrimonial ke pola partisipatif dan demokratis. Bahkan
terdapat kecenderungan kepemimpinan aparatur yang dimunculkan adalah pola
konservatif yang cenderung mempertahankan status-quo, karena
ketidaksanggupan menghadapi resiko yang mungkin akan dihadapi. Tidak sedikit
para pejabat publik yang cenderung menghindari kontak langsung dalam
berinteraksi dengan masyarakat ataupun lembaga swadaya masyarakat. Kalaupun
ada, maka seringkali proses interaksi tersebut dilakukan dalam cara bersifat
proforma atau artifisial, dimana para pejabat publik tersebut memilih-milih
dengan siapa mereka melakukan interaksi dan komunikasi publik. Tidak jarang
para pejabat publik tersebut juga menciptakan sendiri lembaga swadaya
masyarakat (biasanya disebut LSM Plat Merah) yang dapat dikendalikan dengan
pendekatan “Patron and Client.”
Kondisi seperti tersebut di atas jelas tidak mencerminkan tumbuhnya
akuntabilitas di kalangan aparatur pemerintahan dan para pemimpinnya. Yang
terjadi adalah akuntabilitas yang semu, karena semuanya serba dikendalikan
sendiri oleh pihak aparatur pemerintahan. Demikian pula yang terjadi dalam
hubungan antara aparatur pemerintah dengan lembaga legislatif Pusat maupun
Daerah. Kecenderungan mempertahankan status-quo di kalangan birokrasi telah
mendorong terbentuknya pola hubungan kolutif dengan sebagian atau seluruh
jajaran kelembagaan legislatif, dalam pola hubungan yang bersifat transaksional.
Pola hubungan yang demikian itu jelas mengancam kelangsungan demokrasi dan
proses reformasi yang telah menjadi komitmen nasional.
Sebagai akibat lemahnya kepemimpinan birokrasi dalam mendorong dan
melakukan berbagai perubahan sejalan dengan tuntutan reformasi; tidak salah jika
kemudian masyarakat menyatakan bahwa reformasi masih berjalan di tempat.
Atau kritik dari masyarakat bahwa birokrasi menjadi faktor penghambat
reformasi.
Mengingat hal itu, dalam menghadapi tuntutan perubahan dewasa ini,
Prof. DR. Muladi SH., Gubernur Lemhannas RI merekomendasikan perlunya
kualitas kepemimpinan perubahan (Change Leadership) yang dapat melakukan
sinergi positif antara “Enthusiasm, Energy, and Hope”, yang selalu menjaga
27. 22
optimisme, pantang menyerah dalam mencapai tujuan, disertai rasa percaya diri di
satu pihak; dengan “Moral Purpose, Understanding Change, Coherence Making,
Relationship Building, and Knowledge Creation and Sharing” di lain pihak.
Seorang pemimpin akan selalu mengalami atau menikmati ketegangan yang
merupakan kesatuan dalam beratnya memecahkan masalah. Disitulah sebenarnya
keberhasilan terbesar terletak. “Effective leaders make people feel that even the
most diffilcult problems can be tackled productively.” (“Pemimpin yang efektif
akan membuat orang atau bawahannya merasakan bahkan persoalan yang
sangat sulit pun ternyata dapat diatasi secara produktif”).
Kualitas pemimpin perubahan seperti inilah yang selain akan mampu
menjalankan peranan kepemimpinannya secara efektif, juga akan mampu
memikul tanggung jawab atau menunjukkan akuntabilitas kinerja kepada
organisasi dan para anggotanya, kepada otoritas yang lebih tinggi, kepada
masyarakat, bahkan kepada dirinya sendiri dan tuhannya, bahwa tugas yang
dibebankan kepada dapat diselesaikan dengan baik. Di samping itu, kualitas
pemimpin seperti ini dapat membangun hubungan kerjasama yang baik dan erat,
serta saling menguntungkan dengan berbagai pihak yang berkepentingan,
khususnya masyarakat yang dilayaninya.
1. Krisis Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemerintah
Pengalaman di masa pemerintahan Orde Baru yang dinilai oleh
sebagian elit masyarakat yang berpengaruh sebagai pemerintahan yang
otoriter, sentralistik, dan korup secara pasti telah menurunkan wibawa
pemerintahan negara. Puncaknya adalah ketika dalam krisis tahun 1997/98
pemerintahan Orde Baru ternyata gagal mengatasi krisis yang membuat rakyat
sangat menderita; rakyat tidak dapat lagi menahan sikapnya dan bertindak
anarkhis, hingga “lengser”nya Suharto dari kursi kepresidenan pada bulan Mei
1998. Presiden Suharto mundur dengan segala kenegarawanannya sebagai
pemimpin sebagai pemimpin yang mengambil tanggung jawab (akuntabilitas)
atas segala kegagalan dalam mengatasi krisis multidimensional tersebut.
Namun demikian, ketidakpercayaan masyarakat (people’s distrust)
terhadap pemerintahan ternyata tidak berhenti sampai disitu, melainkan
berlanjut hingga dewasa ini, meskipun telah mulai membaik. Tidak adanya
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah seperti itu, tentu akan sangat
menghambat upaya untuk mewujudkan kepemerintahan baik (Good
Governance), karena apapun yang akan diupayakan oleh pemerintah melalui
kepemimpinan aparaturnya di berbagai tingkatan dan sektor pada akhirnya
akan selalu gagal. Pemerintah hanya akan berhadapan dengan apatisme,
sinisme, bahkan anarkhisme dari masyarakat yang cenderung meragukan
kapasitas dan integritas institusi dan aparatur pemerintahan. Hasil survey
Lembaga Survey Indonesia (LSI) seperti dalam Gambar 1, menunjukkan
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara
mencerminkan adanya keraguan terhadap kelembagaan negara.
28. 23
Very Confident
Slightly confident
Confident Enough
Very In-confident
Source : LSI, http://www.lsi.co.id/media/grafik-lembaga1.gif
Very Confident
Slightly confident
Confident Enough
Very In-confident
Source : LSI, http://www.lsi.co.id/media/grafik-lembaga1.gif
Gambar 3.2: Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Kelembagaan Negara
Dalam situasi tidak adanya kepercayaan dari masyarakat terhadap
pemerintah, maka apapun yang dilakukan pemerintah akan selalu ditanggapi
secara dingin, atau sebaliknya akan selalu berhadapan dengan penentangan,
atau pembangkangan publik. Apabila kondisi ini dibiarkan terus berlanjut
maka suasana chaos yang akan terjadi, sebagaimana pernah dialami dalam
awal tahun 1998 yang lalu. Gelombang demonstrasi terus mengalir tiada henti,
bukan hanya di ibukota, tetapi di seluruh daerah. Penjarahan harta benda,
lahan milik negara, dan pertokoan terjadi dimana. Aparat keamanan tidak
mampu lagi berbuat apa-apa, bahkan mereka sendiri menjadi bulan-bulanan
kekerasan massa yang anarkhis. Dalam situasi seperti itu, tidak ada lagi
akuntabilitas kepemimpinan pemerintahan yang dapat diterima oleh rakyat
selain mundurnya pejabat pemerintahan dari kedudukan kekuasannya. Selain
di Indonesia, gelombang protes ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah
juga terjadi dewasa ini di Thailand, sejak terjadinya kudeta militer terhadap
Perdana Menteri Thaksin Shinawatra beberapa waktu yang lalu. Gelombang
protes tersebut tidak pernah berhenti sebelum pemerintahan yang mereka
percayai dapat dikembalikan ke kedudukannya semula.
Menghadapi kondisi seperti itu, kualitas kepemimpinan yang
diharapkan muncul adalah kepemimpinan yang kharismatik. Pemimpin yang
muncul di kala krisis dan mendapatkan pengakuan serta kepercayaan
masyarakat biasanya adalah seorang pemimpin besar. Terlepas dari segala
kesalahan mereka di kemudian hari, Ir. Sukarno dan May.Jend. Suharto pada
awalnya adalah pemimpin yang muncul dalam suasana perjuangan serta krisis
nasional, dan secara kharismatik mendapatkan dukungan dari seluruh rakyat,
dan akhirnya berhasil membawa rakyat keluar dari krisis dan menyelesaikan
permasalahan besar yang dihadapi pada waktu itu.
Namun demikian, ketika kondisi sudah kembali normal, keberhasilan
kepemimpinan seseorang pada akhirnya akan ditentukan oleh derajat
akuntabilitas yang dapat ditampilkannya kepada organisasi dan anggotanya,
ataupun kepada negara dan rakyatnya.
29. 24
2. Konflik Kepentingan Pejabat Publik
Konflik kepentingan atau conflict of interest adalah persoalan yang
sering dihadapi oleh seorang pemimpin ketika dihadapkan kepada pilihan
antara kepentingan umum dengan kepentingan dirinya pribadi, kelompoknya,
keluarganya dan sebagainya. Konflik kepentingan akan menempatkan seorang
pemimpin kepada suatu dilema dalam proses pengambilan keputusan.
Kapasitas seorang pemimpin yang mampu menentukan nilai manfaat dan
prioritas dari sebuah permasalahan bagi kemaslahatan masyarakat biasanya
akan keluar dengan solusi yang tepat. Akan tetapi hal itu biasanya juga akan
ditentukan oleh kualitas moral dan akuntabilita publik yang dimiliki oleh
pemimpin atau pejabat publik yang bersangkutan. Apabila derajat
akuntabilitanya tinggi dan moralitasnya tinggi juga, maka pemimpin yang
bersangkutan, sesuai dengan sumpah jabatannya atau mandat yang diberikan
kepadanya, akan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi atau golongannya.
Salah satu yang menjadi buah bibir rakyat dan memberikan citra yang
buruk pada kualitas kepemimpinan Presiden Suharto dimasa kekuasaannya
yang hampir selama 32 tahun itu, adalah kuatnya konflik kepentingan dalam
berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Beberapa kasus kebijakan seperti itu
antara lain, adalah: kebijakan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
(TMII), yang pada waktu itu diprakarsai oleh Ibu Tien Suharto. Kasus tersebut
pada awalnya mendapatkan tentangan dari para mahasiswa, namun berkat
kekuasaan dan pendekatan keamanan yang diterapkannya, pada akhirnya
Proyek TMII tersebut dilaksanakan juga hingga tuntas, terlepas dari
kontroversi yang mengawalinya. Dalam banyak hal, konflik kepentingan
dalam pemerintahan Suharto di era Orde Baru selalu berkaitan dengan
kepentingan usaha putra dan putri Presiden, para anggota keluarga dekat,
maupun para “sahabat” yang menjadi kroni Presiden. Dalam kondisi seperti
itu, biasanya seorang pemimpin akan mendapatkan kesulitan ketika harus
mempertanggungjawabkan hasil dari kebijakannya. Kalaupun terjadi sesuatu
yang berakibat kerugian negara dari akibat kebijakan yang diambil, dan
melibatkan kroninya, biasanya konflik kepentingan akan terus berlanjut
dengan upaya untuk membebaskan kroni yang bersangkutan dari tuntutan
pertanggungjawaban. Contoh kongkrit yang hingga kini masih belum jelas
penyelesaiannya adalah kasus korupsi dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia) kepada bank-bank swasta yang dimiliki oleh kroni penguasa, dan
ternyata bermasalah atau dikorupsi dengan cara dilarikan ke luar negeri.
Dalam skala yang kecil, berbagai konflik kepentingan juga selalu
mewarnai dan mencederai derajat akuntabilitas kepemimpinan aparatur pada
berbagai tingkatan pemerintahan. Berbagai kasus konflik kepentingan yang
umumnya tidak dirasakan sebagai masalah, melainkan dianggap sebagai
sebuah kelayakan umum, antara lain:
a. Penggunaan telepon kantor secara berlebihan untuk kepentingan pribadi
atau kepentingan lainnya di luar kepentingan kantor atau jabatannya;
30. 25
b. Penggunaan kendaraan dinas dan sopirnya untuk berbagai keperluan
pribadi non dinas, termasuk untuk mengantarkan istri dan anak-anaknya ke
sekolah, ke pasar, ke arisan dan sebagainya yang sama sekali tidak terkait
dengan kedinasan;
c. Memiliki kegiatan usaha atau perusahaan yang bergerak dalam bidang
usaha yang terkait dengan jabatannya, dan perusahaan tersebut mengikat
kontrak kerja dengan instansi tempatnya bekerja, atau dengan instansi lain
yang terkait pengaruh jabatannya;
d. Karena jabatannya diangkat sebagai Pelindung atau Penyantun atau
Pembina salah satu atau beberapa organisasi sosial atau kemasyarakatan
tertentu, dengan maksud agar memberi pengaruh dan kemudahan bagi
kepentingan kegiatan organisasi yang dimaksud;
e. Mengambil keputusan yang terkait dan menguntungkan keberadaan
anggota keluarga atau relasi.
Berbagai modus tersebut berdasarkan kode etik jabatan, seharusnya
tidak dilakukan, karena akan melemahkan wibawa jabatan dan mengurangi
akuntabilitas kepemimpinan aparatur pemerintahan yang bersangkutan. Oleh
karena itu dalam era reformasi beberapa modus sumber konflik kepentingan
seperti tersebut di atas, sudah mulai dilarang atau dibatasi dengan ketentuan
disiplin formal. Dengan ketentuan disiplin dan kode etik tersebut,
kemungkinan kecenderungan lebih jauh berupa tindak pidana korupsi akan
dapat dicegah.
3. Korupsi Administratif Sistemik
Korupsi, yaitu sikap dan perilaku atau tindakan mengunakan berbagai
sumber daya atau dana milik negara untuk kepentingan dirinya sendiri, atau
untuk memperkaya atau memberikan manfaat bagi orang/pihak lain secara
sengaja; dewasa ini menjadi momok yang sangat mengotori wajah
pemerintahan Pusat maupun Daerah, termasuk Lembaga-lembaga Tinggi
Negara. Tindak korupsi pada umumnya mengakibatkan terjadinya kerugiqan
negara, baik secara finasial maupun material. Misalnya, tindakan seorang
pejabat publik melakukan mark-up harga pengadaan barang atau jasa bagi
pemerintah dan berkolusi dengan kontraktor untuk memperoleh dana yang
diperoleh dari mark-up tersebut, merupakan praktek yang sering ditemukan di
lingkungan aparatur pemerintahan. Penerimaan suap untuk memenangkan
tender bagi perusahaan tertentu, juga termasuk dalam kategori korupsi.
Bahkan tindakan menerima honorarium dari instansi pemerintah tertentu oleh
anggota DPR dalam rangka pembahasan rancangan UU, dapat dikategorikan
suap atau gratifikasi yang termasuk sebagai tindak korupsi.
Namun demikian apa yang dicontohkan di atas mungkin saja bersifat
individual dan tidak berulang ataupun tidak melibatkan sistem secara
keseluruhan. Dalam bagian tulisan ini akan dikemukakan beberapa
karakteristik apa yang disebut Systemic Administrative Corruption (Korupsi
Administratif Sistemik) yang mungkin saja tidak melibatkan atau tidak
mengakibatkan adanya kerugian material maupun finansial, tetapi bersifat
31. 26
subyektif terkait dengan norma-norma administratif. Beberapa karakteristik
Syatemic Administrative Corruption tersebut adalah sebagai berikut:
a. Organisasi pemerintahan menerapkan kode etik eksternal yang kontradiktif
dengan praktek internal;
b. Praktek internal cenderung melindungi atau menutupi pelanggaran atas
kode etik eksternal;
c. Aparatur yang bersih cenderung disingkirkan;
d. Para pelaku KKN cenderung dilindungi dan memperoleh perlakuan hukum
yang khusus, sedangkan mereka yang menuntut atau melaporkan
kecurangan akan ditekan dan diintimidasi;
e. Aparatur yang bersih sulit bergerak dan bertindak dalam lingkungan yang
korup, serta terkena imbas ketidakpercayaan masyarakat.
Menurut McKinney dan Howard, perilaku korupsi yang dilakukan oleh
para pejabat publik tersebut dapat di kenali dari hierakhi jabatan administratif
sebagai berikut:
a. Pada tingkat hirarkhi jabatan yang lebih tinggi, penyalahgunaan kekuasaan
terjadi bersifat sistemik karena perilaku korup para pejabatnya sendiri, dan
/atau tindakan mereka yang menghambat negara, atau berupa sikap
pemerintah yang tidak mengambil tindakan tertentu yang seharusnya
dilakukan;
b. Pada tingkat menengah dan rendah, masalah penyalahgunaan kekuasaan
administratif lebih banyak ditandai oleh korupsi individual, bahkan
berkembangnya sikap penerimaan atas perilaku menyimpang sebagai
norma dan standar perilaku administratif yang berlaku umum, sebagai cara
untuk mencapai tujuan (misalnya perilaku suap dalam proses tender
ataupun pelayanan umum lainnya, dengan dalih untuk kesejahteraan
pegawai dsb.).
Buruknya perilaku korupsi di Indonesia, ternyata semakin menjadi-jadi
justru di era reformasi dewasa ini, ketika negara sedang gencarnya
menyatakan perang melawan perilaku korupsi. Dan ternyata dari berberapa
kasus yang sudah terungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
maupun Kejaksaan dan Kepolisian, kejahatan korupsi bisa terjadi dengan
melibatkan seluruh komponen organisasi pemerintahan, dari hirarkhi tertinggi
hingga ke bawah, atau dalam kasus DPRD, mulai dari Ketua hingga seluruh
anggota.
Penyakit birokrasi (bureau pathology) berupa praktek-praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia memang parah sekali. Barometer
Korupsi Indonesia Tahun 2004, sebagaimana terlihat dalam Tabel 1
(Lampiran), menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga pemerintahan,
pelayanan publik, partai politik/DPR, bisnis/swasta, Lembaga Swadaya
Masyarakat, bahkan Lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia dipersepsi
korup oleh masyarakat. Buruknya akuntabilitas birokrasi dan kepemimpinan
aparatur terlihat dari hasil survey Transparency International tahun 2005,
yang menempatkan Indonesia pada urutan Keenam sebagai negara paling
32. 27
korup dari 159 negara-negara di dunia, bersama-sama Uzbekistan, Liberia,
Irak, Ethiopia, Kamerun, dan Azerbaijan.
Semua perilaku korup pada dasarnya akan mencederai perwujudan
Good Governance, dan malah merubahnya menjadi Bad Governance. Oleh
karena itu korupsi harus diberantas, dan berbagai instrumen sistem
akuntabilitas publik perlu dikembangkan.
C. MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE MELALUI PENINGKATAN
AKUNTABILITAS KEPEMIMPINAN APARATUR
Good Governance telah menjadi komitmen nasional untuk diwujudkan
dalam era reformasi dalam upaya penacapaian Tujuan Nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Keberhasilan upaya mewujudkan
Good Governance akan ditentukan oleh kompetensi dan kapasitas, serta
karakter kepemimpinan aparatur pemerintahan dalam melaksanakan tugas-
tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik baik di tingkat Pusat
maupun di Daerah sesuai prinsip-prinsip Wawasan Nusantara untuk
terciptanya Ketahanan Nasional berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila dan
UUD 1945.
Dalam masyarakat demokratis dimana kedaulatan berada di tangan
rakyat, maka rakyat berhak mengetahui segala sesuatu yang dilakukan oleh
pemerintah. Kepemimpinan aparatur pemerintahan ternyata masih belum
optimal dalam memenuhi. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa
derajat akuntabilitas kepemimpinan aparatur pemerintah ternyata masih
rendah atau masih jauh dari kualitas yang diharapkan. Kemimpinan aparatur
pemerintah masih sulit beradaptasi dengan iklim demokrasi yang serba bebas,
terbuka, transparan dan kritis. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah masih berlangsung, sehingga apatisme masyarakat justru tidak
memberikan insentif bagi peningkatan akuntabilitas kepemimpinan aparatur.
Sementara itu konflik kepentingan masih mewarnai sikap dan perilaku
kepemimpinan aparatur dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, hal ini
melemahkan akuntabilitas kepemimpinan aparatur. Akhirnya perilaku korupsi
semakin berkembang dan meluas, justru di era reformasi, yang diperparah
oleh gejala Systemic Administrative Corruption.
Untuk meningkatkan akuntabilitas kepemimpinan aparatur dalam
upaya mewujudkan Good Governance, perlu dikembangkan sistem penilaian
dan pelaporan kinerja. Selain itu perlu dikembangkan sistem pengembangan
kapasitas kepemimpinan aparatur yang lebih efektif, diantaranya
mengembangkan kompetensi Change Leadership.
33. 28
BAB IV
EVALUASI SISTEM AKIP
PENDEKATAN STEP BY STEP ASSESSMENT DAN OVER-ALL
ASSESSMENT
Oleh: DRS. H. Bambang Setiawan, MM3
A. LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI
PEMERINTAH
Perkembangan SAKIP memang perlu ada pengawalan yang jelas. Salah
satu komponen pendukung sistem ini adalah pada bentuk laporannya, atau yang
dikenal dengan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) merupakan
pelaksanaan kewajiban Instansi Pemerintah untuk menjelaskan (obigation to
answer) mengenai kinerjanya kepada pihak-pihak yang berhak meminta
penjelasan atau pertanggungjawaban. Penyusunan LAKIP harus mengikuti
prinsip-prinsip pelaporan yang lazim, antara lain laporan harus disusun secara
jujur, obyektif, dan transparan.
Adapun prinsip-prinsip dalam pelaksanaan akip yaitu adanya pemahaman
bahwa akip merupakan suatu sistem yang menjamin penggunaan sumber-sumber
daya dengan ketentuan yang berlaku, perlu adanya komitmen dari seluruh jajaran
untuk melaksanakan akip yang benar, menunjukkan tingkat capaian sasaran dan
tujuan, berorientasi pada pencapaian visi dan misi, serta hasil dan manfaat, jujur,
obyektif, transparan dan inovatif, serta mengetahui keberhasilan dan kegagalan.
Akuntabilitas merupakan salah satu pilar utama dari bangunan
kepemerintahan yang baik (good governance). Aspek-aspek yang mempengaruhi
good governance adalah globalisasi, krisis ekonomi, pergantian pemerintah, dan
adanya reformasi. Sistem Akip akan menghasilkan suatu kepemerintahan yang
baik jika sistem Akip itu bersifat transparan, partisipasi dan akuntabilitas.
Siklus dari sistem Akip dapat dilihat pada gambar di bawah ini yang mana
dari pelaporan Kinerja (LAKIP) dua tahun yang lalu akan dilakukan evaluasi dan
pemanfaatan informasi kinerja. Dari situ kemudian dilakukan penyusunan sebuah
perencanaan strategis instansi pemerintah (Renstra, Renja/PK). Dari renstra yang
telah dibuat tersebut, dilakukan pengukuran kinerja mengenai pencapaian renstra
yang telah dilaksanakan dan akhirnya disusun kembali LAKIP yang baru.
3
Drs.H. Bambang Setiawan, MM adalah Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Timur
34. 29
Gambar 4.1
Siklus Sistem LAKIP
B. POSISI PENETAPAN KINERJA DALAM SISTEM
AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH
Penetapan kinerja pada dasarnya merupakan salah satu komponen dari
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Sistem AKIP), meski belum
diatur secara eksplisit dalam Inpres 7 tahun 1999. Penyusunan Penetapan kinerja
ini diharapkan dapat mendorong keberhasilan peningkatan kinerja instansi
pemerintah.
Penyusunan Penetapan kinerja ini dimulai dengan merumuskan renstra
yang merupakan rencana jangka menengah (lima tahunan) yang dilanjutkan
dengan menjabarkan rencana lima tahunan tersebut ke dalam rencana kinerja
tahunan. Berdasarkan rencana kinerja tahunan tersebut, maka diajukan dan
disetujui anggaran yang dibutuhkan untuk membiayai rencana tahunan tersebut.
Berdasarkan rencana kinerja tahunan yang telah disetujui anggarannya, maka
ditetapkan suatu Penetapan kinerja yang merupakan kesanggupan dari penerima
mandat untuk mewujudkan kinerja seperti yang telah direncanakan.
Dalam tahun berjalan, pelaksanaan Penetapan kinerja ini akan dilakukan
pengukuran kinerja untuk mengetahui sejauh mana capaian kinerja yang dapat
diwujudkan oleh organisasi serta dilaporkan dalam suatu laporan kinerja yang
biasa disebut Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
Walaupun penetapan indikator kinerja, penetapan target kinerja, dan
pengukuran kinerja merupakan suatu hal tidak mudah namum hal itu harus tetap
dilakukan dalam kaitan penerapan manajemen pemerintah berbasis kinerja.
Ukuran atau Indikator kinerja adalah unsur utama yang membedakan manajemen
pemerintah masa lalu dengan praktik-praktik terbaik manajemen pemerintah
dewasa ini.
Sistem AKIP yang selama lima tahun ini dikembangkan setidaknya telah
meletakkan landasan pengukuran kinerja di berbagai instansi pemerintah yang
dapat memudahkan dalam penyusunan kontrak kinerja ini.
P
Pe
er
re
en
nc
ca
an
na
aa
an
n
S
St
tr
ra
at
te
eg
gi
is
s
(
(R
Re
en
ns
st
tr
ra
a,
,
R
Re
en
nj
ja
a/
/P
PK
K)
)
P
Pe
en
ng
gu
uk
ku
ur
ra
an
n
K
Ki
in
ne
er
rj
ja
a
(
(i
in
ns
st
tu
um
me
en
n :
:
I
IK
K)
)
P
Pe
el
la
ap
po
or
ra
an
n
K
Ki
in
ne
er
rj
ja
a
(
(L
LA
AK
KI
IP
P)
)
E
Ev
va
al
lu
ua
as
si
i d
da
an
n
P
Pe
em
ma
an
nf
fa
aa
at
ta
an
n
I
In
nf
fo
or
rm
ma
as
si
i
K
Ki
in
ne
er
rj
ja
a
35. 30
Dalam pelaksanaan kontrak kinerja, pemahaman terhadap pengukuran
kinerja menjadi sangat penting. Sebagai ilustrasi berikut akan disajikan secara
singkat alur indikator kinerja yang nantinya akan dituangkan dalam kontrak
kinerja.
Gambar 4.2
Alur Indikator Kinerja
C. EVALUASI KINERJA
Evaluasi kinerja pada dasarnya membandingkan antara Penetapan kinerja
yang telah ditargetkan dengan realisasi capaian kinerja organisasi. Selisih kinerja
yang terjadi, baik berupa keberhasilan maupun ketidakberhasilan, dilakukan
analisis untuk tujuan perbaikan kinerja di masa mendatang. Evaluasi Kinerja
memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk peningkatan kinerja.
Untuk tingkat kementerian atau Pemerintah Daerah, analisis dapat
dilakukan untuk menelusuri selisih kinerja tersebut ke berbagai unit kerja
pendukung. Disisi lain, pada tingkat unit kerja analisis dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi program atau kegiatan yang tidak memberikan hasil sesuai
dengan yang diharapkan.
Evaluasi LAKIP adalah aktivitas analisis sistematis, pemberian nilai,
pemberian atribut, apresiasi, dan pengenalan masalah, serta pemberian solusi atas
masalah yang ditemukan, untuk tujuan peningkatan akuntabilitas dan kinerja
instansi bersangkutan. Evaluasi implementasi Sistem AKIP bertujuan untuk
memberikan rekomendasi untuk perbaikan penerapan elemen-elemen sistem
AKIP. Kebijakan penugasan evaluasi lakip dilaksanakan oleh Kementerian PAN
I
In
nd
di
ik
ka
at
to
or
r
K
Ki
in
ne
er
rj
ja
a
Perencanaan
strategis
Perencanaan
Kinerja Tahunan
Penganggaran
Kinerja
Kontrak
Kinerja
Pengukuran
Kinerja
Pelaporan
Kinerja
36. 31
dibantu BPKP dimana pemerintah pusat dan provinsi serta beberapa sampling
kab/kota dievaluasi oleh Kementerian PAN. Pemerintah kab/kota selain poin 2
dievaluasi oleh bpkp. Sedangkan evaluasi lakip SKPD dilakukan oleh Bawasda/
Inspektorat Prov/Kab/Kota atau tim khusus yg dibentuk oleh pemerintah
prov/kab/kota apabila di pemda belum terbentuk unit pengawasan intern. Adapun
dasar hukum pelaksanaan evaluasi lakip adalah sebagai berikut:
1. PP No 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja
Instansi Pemerintah;
2. PP No 60 tahun 2008 tentang SPIP;
3. Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
4. Surat Keputusan MENPAN Nomor: KEP/135/M.PAN/2004 tentang
Pedoman Umum Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah; dan
5. Surat MeNeg.PAN No.B/1 301/M.PAN/04/2009 tanggal 13 April
2009 perihal Kebijakan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Tahun 2009
(untuk pelaksanaan evaluasi tahun 2009).
Evaluasi ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang implementasi
Sistem AKIP, menilai akuntabilitas kinerja instansi pemerintah serta memberikan
saran perbaikan untuk peningkatan kinerja dan penguatan akuntabilitas instansi.
Sedangkan ruang lingkup evaluasi lakip yaitu evaluasi atas penerapan Sistem
AKIP dan pencapaian kinerja organisasi, menyusun peringkat hasil evaluasi
Pemerintah/SKPD dan entitas akuntabilitas yang dievaluasi umumnya adalah
seluruh instansi pemerintah pusat dan provinsi serta sekitar 50% pemerintah
kabupaten/kota yang telah menyampaikan LAKIP.
Strategi yang dilakukan untuk evaluasi ini adalah : evaluasi dilaksanakan
untuk peningkatan mutu SAKIP, strategi menggunakan prinsip dimana partisipasi
dan coevaluation dengan pihak yang dievaluasi untuk meningkatkan efektivitas
evaluasi serta proses konsultasi yang terbuka dan berfokus pada pengembangan
SAKIP. Selain itu untuk instansi yang pernah dievaluasi langkah pertama adalah
monitoring tindak lanjut saran tahun lalu dan hambatannya.
Adapun tahapan evaluasi yang dilakukan yaitu : Persiapan evaluasi, Reviu
tindak lanjut evaluasi tahun lalu, Evaluasi akuntabilitas kinerja instansi dan
Pelaporan yang terdiri dari penyusunan draft laporan dan pembahasan serta
pengkomunikasian laporan. Isu-isu yang dapat dapatdiangkat dalam mengevaluasi
kinerja diantaranya:
1. Kesungguhan instansi pemerintah dalam menyusun perencanaan
kinerja benar-benar berfokus pada hasil;
2. Pembangunan sistem pengukuran dan pengumpulan data kinerja;
3. Isi informasi kinerja dalam LAKIP;
4. Pengungkapan pencapaian kinerja instansi dalam LAKIP;
5. Monitoring dan evaluasi kinerja pelaksanaan program khususnya
program strategis instansi;
37. 32
6. Pelaksanaan dan keterkaitan diantara seluruh komponen-komponen
perencanaan kinerja tersebut dengan penganggaran dan kebijakan
pelaksanaan serta pengendaliannya;
7. Tingkat akuntabilitas instansi;
Beberapa metode/ teknik yang dapat digunakan dalam melakukan evaluasi
lakip berupa : Analisis logika atau logic model atau analisis logika program;
Criteria Referenced Test (CRT); Review Pencapaian Sasaran; Review Indikator
Kinerja dan uji petik (konfirmasi data, verifikasi data, observasi langsung, Review
dokumen, wawancara untuk mengetahui hasil/ manfaat program).
Criteria referenced test adalah teknik yang lazim digunakan dalam
evaluasi LAKIP, yaitu mengevaluasi dengan menggunakan sejumlah kriteria
penilaian; membandingkan keadaan/fakta/kondisi yang ada dengan kriteria yang
relevan; semakin banyak memenuhi kriteria dianggap semakin baik.
D. EVALUASI ATAS KOMPONEN AKUNTABILITAS KINERJA
Evaluasi akuntabilitas kinerja instansi, terdiri atas evaluasi penerapan
komponen manajemen kinerja yang meliputi:
1. perencanaan kinerja;
2. pengukuran kinerja;
3. pelaporan kinerja;
4. evaluasi kinerja; dan
5. evaluasi pencapaian kinerja yang meliputi pencapaian kinerja keluaran
(output) dan hasil (outcome).
Ada dua Metodologi yang digunakan dalam melakukan evaluasi komponen
akuntabilitas kinerja, yaitu:
1. Menggunakan teknik “criteria referrenced survey” terhadap
implementasi Perencanaan Kinerja, Pengukuran Kinerja, Pelaporan
Kinerja, Evaluasi Kinerja dan Pencapaian Kinerja yang dilakukan
secara mendalam. yaitu menilai secara bertahap langkah demi langkah
(step by step assessment) setiap komponen dan menilai secara
keseluruhan (overall assessment) dengan kriteria evaluasi dari
masing-masing komponen yang telah ditetapkan sebelumnya;
2. Penentuan kriteria evaluasi seperti tertuang dalam dalam Lembar
Kriteria Evaluasi (LKE) akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
Lembar Kriteria Evaluasi (LKE) dengan berdasarkan kepada:
1. Kebenaran normatif apa yang seharusnya dilakukan menurut pedoman
penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah;
2. Kebenaran normatif yang bersumber pada modul-modul atau buku-
buku petunjuk mengenai Sistem AKIP;
3. Kebenaran normatif yang bersumber pada best practice baik di
Indonesia maupun di luar negeri;
38. 33
4. Kebenaran normatif yang bersumber pada berbagai praktik
manajemen stratejik, manajemen kinerja, dan sistem akuntabilitas
yang baik;
5. Dalam menilai apakah suatu instansi telah memenuhi suatu kriteria,
harus didasarkan pada fakta obyektif dan professional judgement dari
para evaluator dan supervisor pekerjaan evaluasi LAKIP.
E. PENILAIAN DAN SIMPULAN
Evaluasi atas akuntabilitas kinerja instansi harus menyimpulkan hasil
penilaian atas fakta objektif instansi pemerintah dalam mengimplementasikan:
1. perencanaan kinerja,
2. pengukuran kinerja,
3. pelaporan kinerja,
4. evaluasi kinerja dan
5. capaian kinerja sesuai dengan kriteria masing-masing komponen yang
ada dalam LKE.keluaran (output) dan hasil (outcome).
Dalam melakukan penilaian, terdapat tiga variabel yaitu:
1. komponen;
2. sub- komponen; dan
3. criteria.
Dari hasil penilaian yang ada, maka ditemukanlah berbagai permasalahan
yang muncul, antara lain:
1. Perencanaan Kinerja
Meliputi penilaian atas kelengkapan dokumen RPJMD /Renstra,
RKPD/RKT, dan penetapan kinerja memperoleh nilai KURANG karena
antara lain:
a. RPJMD/Renstra belum dikomunikasikan ke seluruh anggota
organisasi atau belum disusun sama sekali;
b. RPJMD/Renstra belum dilengkapi dengan target jangka menengah
c. Dokumen Renstra belum direviu secara berkala;
d. Dokumen RKT belum digunakan untuk menyusun penetapan
kinerja (PK);
e. Dokumen penetapan kinerja belum ada.
2. Pengukuran Kinerja
Meliputi penilaian atas indikator kinerja dan pengukuran kinerja
memperoleh nilai KURANG, karena antara lain:
a. Belum terdapat indikator kinerja utama (IKU) sebagai ukuran
kinerja secara formal;
b. Pengukuran kinerja belum mencakup berbagai pembandingan data
kinerja;
39. 34
c. Belum terdapat pedoman pengumpulan data kinerja;
d. Belum terdapat penetapan secara formal pihak yang
bertanggungjawab untuk mengumpulkan kinerja;sasaran strategis.
Pengukuran Kinerja Kurang, dilakukan bila:
a. Hasil pengukuran kinerja belum dapat digunakan untuk
penyusunan laporan kinerja;
b. Pengukuran kinerja belum digunakan untuk pengendalian dan
pemantauan kinerja secara berkala;
c. Pengumpulan data kinerja belum dilakukan secara berkala
(bulanan/ triwulanan/semester).
3. Pelaporan Kinerja
Penilaian pelaporan kinerja meliputi penilaian atas pemenuhan pelaporan,
penyajian informasi kinerja, dan pemanfaatan informasi kinerja,
memperoleh nilai KURANG, karena antara lain:
a. LAKIP masih merupakan kompilasi dari LAKIP SKPD;
b. Belum memperbandingkan realisasi dan capaian data kinerja
dengan tahun-tahun sebelumnya;
c. Pemanfaatan informasi kinerja yang disajikan dalam LAKIP belum
dilakukan secara optimal baik dalam perbaikan perencanaan,
perbaikan pelaksanaan program dan kegiatan serta peningkatan
kinerja.
Pelaporan Kinerja, Kurang karena : Laporan pertanggungjawaban instansi
pemerintah selama ini hanya menekankan pada pertanggungjawaban
anggaran dan terlaksananya program/kegiatan tanpa mengungkapkan
secara memadai hasil atau manfaat yang dirasakan oleh masyarakat
ataupun pihak terkait lainnya.
4. Evaluasi Kinerja
Penilaian evaluasi kinerja meliputi penilaian atas pelaksanaan evaluasi dan
pemanfaatan evaluasi memperoleh nilai KURANG, karena antara lain:
a. Belum terdapat pedoman evaluasi akuntabilitas kinerja;
b. Evaluasi program belum dilakukan;
c. Sebagian besar Pemkab/Pemkot belum melakukan Evaluasi
akuntabilitas kinerja SKPD;
d. Belum terdapat penilaian atas akuntabilitas kinerja SKPD; dan
e. Hasil evaluasi belum ditindaklanjuti untuk perbaikan perencanaan,
perbaikan penerapan manajemen kinerja dan mengukur
keberhasilan SKPD.
5. Pencapaian Kinerja
Meliputi penilaian atas ketepatan sasaran, indikator kinerja, pencapaian
sasaran, kehandalan informasi kinerja sasaran, baik input, output maupun
outcome memperoleh nilai KURANG, karena antara lain :
40. 35
a. Penetapan indikator kinerja tidak tepat
b. Target indikator kinerja sasaran tidak tercapai
c. Perumusan indikator kinerja tidak SMART
d. Belum memiliki sasaran stratejik yang spesifik, jelas dan terukur
41. 36
BAB V
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
KABUPATEN ACEH TENGAH DALAM MENDAPATKAN OPINI WTP
Oleh: Ir. H. Nasaruddin ,MM.4
A. PENDAHULUAN
Reformasi pengelolaan keuangan Negara ditandai dengan terbitnya paket
undang-undang keuangan yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dalam rangka kepatuhan pelaksanaan anggaran sesuai dengan peraturan
perundang-undangan tersebut, diperlukan pemeriksaan atas laporan keuangan
yang disajikan oleh pemerintah daerah. Pemeriksaan laporan keuangan
pemerintah daerah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam
rangka pemberian pernyataan pendapat (opini) tentang tingkat kewajaran
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
Hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK akan menghasilkan opini yang
merupakan pernyataan professional pemeriksa mengenai kewajaran informasi
keuangan yang disajikan. Jenis opini yang diberikan pemeriksa atas laporan
keuangan pemerintah daerah terdiri dari:
1. Opini Wajar Tanpa Pengecualian – WTP (unqualified opinion); opini
wajar tanpa pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan telah
disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material
dan informasi keuangan dalam laporan keuangan dapat digunakan oleh
para pengguna laporan keuangan.
2. Opini Wajar Dengan Pengecualian – WDP (qualified opinion); opini
wajar dengan pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan telah
disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material,
kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang
dikecualikan, sehingga informasi keuangan dalam laporan keuangan yang
tidak dikecualikan dalam opini pemeriksaan dapat digunakan oleh para
pengguna laporan keuangan.
3. Opini Tidak Wajar – TW (adverse opinion); opini tidak wajar menyatakan
bahwa laporan keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara wajar
dalam semua hal yang material, sehingga informasi keuangan dalam
laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh para pengguna laporan
keuangan.
4
Ir. H. Nasaruddin, MM adalah Bupati Aceh Tengah. Pada Workshop ini diwakili oleh Arslan
Abd. Wahab, SE, MM (Kepala Dinas Pengelola Keuangan & Kekayaan Daerah
Kabupaten Aceh Tengah)
42. 37
4. Pernyataan Menolak Memberi Opini atau Tidak Memberikan Pendapat –
TMP (disclaimer of opinion); pernyataan menolak memberikan opini
menyatakan bahwa pengelolaan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai
dengan standar pemeriksaan. Dengan kata lain, pemeriksa tidak dapat
memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji
material sehingga informasi keuangan dalam laporan keuangan tidak dapat
digunakan oleh para pengguna laporan keuangan.
Secara umum terdapat 4 (empat) kriteria yang dinilai dalam pemberian
opini tersebut:
1. Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan
Bahwa Laporan Keuangan telah disajikan dan diungkapkan sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang terdiri dari Laporan Realisasi
APBK (LRA), Laporan Arus Kas (LAK), Neraca, dan Catatan Atas
Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan Laporan Keuangan
BUMD.
2. Kecukupan pengungkapan
Bahwa informasi yang disajikan dalam laporan keuangan harus
diungkapkan secara lengkap untuk menghindari kesalahpahaman dan
kekeliruan penafsiran oleh para pengguna laporan keuangan dalam
mengambil suatu keputusan.
3. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
Bahwa pengelolaan keuangan daerah telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan sehingga dalam pemeriksaan tidak
ditemukan hal-hal yang mengakibatkan kerugian Negara/daerah, potensi
kerugian Negara/daerah, kekurangan penerimaan, administrasi,
ketidakekonomisan, ketidakefektifan.
4. Efektivitas Sistem Pengendalian Internal.
Bahwa untuk mencapai pengelolaan keuangan daerah yang efektif,
efesien, transparan dan akuntabel, Kepala Daerah wajib melakukan
pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintah. Sistem
Pengendalian Intern merupakan proses yang integral pada tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh
pegawai untuk memeberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efesien, keandalan laporan
keuangan, pengamanan asset daerah, dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan.
B. GAMBARAN UMUM DAERAH
Kabupaten Aceh Tengah merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi
Aceh yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 7 (Drt) Tahun 1956.
Kabupaten yang beribukota Takengon ini, berada pada posisi:
➢ 040
10’33” – 050
57’ 50” Lintang Utara dan;
➢ 950
15’ 40” – 970
20’ 25” Bujur Timur.
43. 38
Ketinggian dari permukaan laut antara 100–2500 meter, dengan batas-
batas sebagai berikut :
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pidie dan Aceh Barat;
• Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur;
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Nagan Raya dan
Kabupaten Gayo Lues;
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bireuen dan Kabupaten
Bener Meriah;
Luas wilayah Kabupaten Aceh Tengah mencapai 4.318,39 Km2
. Jumlah
penduduk pada tahun 2006 sebanyak 173.589 jiwa, tahun 2007 menjadi 182.126
jiwa, dan pada bulan Desember 2008 jumlah penduduk Kabupaten Aceh Tengah
mencapai 192.201 jiwa. Sekitar 80,18% penduduk Kabupaten Aceh Tengah
bekerja pada lapangan usaha pertanian, terutama perkebunan kopi, dan tanaman
pangan serta hortikultura.
Secara administratif, Kabupaten Aceh Tengah meliputi 14 kecamatan, 16
kemukiman dan 295 kampung (268 kampung definitif dan 27 kampung
persiapan). Mereka yang mendiami wilayah pemerintahan tersebut terdiri dari sub
etnik Gayo, Aceh, Jawa, Batak, Minang, Alas, Cina dan lain-lain, sehingga
keberagaman suku dan etnis di daerah ini merupakan potensi bagi pengembangan
perekonomian yang lebih baik.
C. GAMBARAN APBK ACEH TENGAH
Pada Tahun 2007 pendapatan daerah Kabupaten Aceh Tengah mencapai
Rp.428.273.909.621. Komponen pendapatan daerah ini terbagi dalam tiga bagian
utama: Pertama, pendapatan asli daerah sebesar Rp.18.013.530.700; Kedua,
Dana Perimbangan mencapai Rp.347.720.000.000: dan Ketiga, Lain-lain
pendapatan yang sah sebesar Rp.62.542.378.921. Belanja daerah sebesar
Rp.479.342.009.544 yang terdiri dari dua komponen utama yaitu Belanja
Langsung dan Belanja Langsung. Untuk belanja tidak langsung dianggarkan
sebesar Rp.232.648.330.095, dan belanja langsung sebesar Rp.246.693.679.449
serta Pembiayaan daerah sebesar Rp. 51.068.099.923.
Pada Tahun 2008 pendapatan daerah Kabupaten Aceh Tengah mencapai
Rp.448.958.305.182. Komponen pendapatan daerah ini terbagi dalam tiga bagian
utama: Pertama, pendapatan asli daerah sebesar Rp.16.543.722.200; Kedua,
Dana Perimbangan mencapai Rp.405.275.199.498: dan Ketiga, Lain-lain
pendapatan yang sah sebesar Rp.27.139.383.484. Belanja daerah sebesar
Rp.478.800.018.256 yang terdiri dari dua komponen utama yaitu Belanja
Langsung dan belanja tak langsung. Untuk belanja tidak langsung dianggarkan
sebesar Rp.269.323.044.337, dan belanja langsung sebesar Rp.209.476.973.919
serta Pembiayaan daerah sebesar Rp.29.841.712.074.
Pada Tahun 2009 pendapatan daerah Kabupaten Aceh Tengah
direncanakan mencapai Rp.446.948.985.396. Komponen pendapatan daerah ini
terbagi dalam tiga bagian utama: Pertama, pendapatan asli daerah sebesar
44. 39
Rp.16.033.709.090. Dalam tahun 2009 terjadi penurunan PAD apabila
dibandingkan dengan target tahun 2007 dan 2008. Hal ini disebabkan oleh
pemberlakukan pelayanan kesehatan gratis, sehingga penerimaan dari retribusi
pelayanan kesehatan tidak dipungut lagi; Kedua, Dana Perimbangan mencapai
Rp.415.580.440.222: dan Ketiga, Lain-lain pendapatan yang sah sebesar
Rp.15.334.836.084. Belanja daerah sebesar Rp.470.158.241.675 yang terdiri dari
dua komponen utama yaitu Belanja Langsung dan belanja tak langsung. Untuk
belanja tidak langsung dianggarkan sebesar Rp.286.355.409.188, dan belanja
langsung sebesar Rp.183.802.832.487 serta Pembiayaan daerah sebesar
Rp.23.209.256.279. Secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 5.1
Gambaran APBK Aceh Tengah
TA. 2007, TA. 2008, TA. 2009
No
.
URAIAN
Tahun Anggaran
2007 2008 2009
1 2 3 4 5
I.
PENDAPATAN
428,275,909,62
1
448,958,305,18
2 446,948,985,39
6
A.
Pendapatan Asli Daerah
18,013,530,700 16,543,722,200 16,033,709,090
1. Pajak Daerah
1,342,338,000 1,734,386,700 1,899,909,814
2. Retribusi Daerah
7,686,193,000 9,745,929,750 8,088,212,200
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan
Daerah yang dipisahkan 1,116,432,000 1,365,000,000 2,365,000,000
4. Lain-lain Pendapatan Asli
Daerah 7,868,567,700 3,698,405,750 3,680,587,076
B.
Dana Perimbangan
347,720,000,00
0
405,275,199,49
8 415,580,440,22
2
1. Dana Bagi hasil
pajak/bukan pajak 31,000,000,000 55,568,669,498
56,951,960,222
2. Dana Alokasi Umum
274,186,000,000 300,339,530,000
317,753,480,000
3. Dana Alokasi Khusus
42,534,000,000 49,367,000,000
40,875,000,000
C. Lain-Lain Pendapatan Yang Sah
62,542,378,921 27,139,383,484 15,334,836,084
1. Pendapatan Hibah
- 3,500,000,000
2,500,000,000
2. Bagi Hasil Pajak dari
Provinsi dan pemda lainnya 5,787,784,159
11,834,836,084 12,834,836,084
3. Dana penyesuaian otonomi
dan otonomi khusus 5,000,000,000 7,561,741,400
4. Bantuan Keungan dari prov
atau pemda lainnya 51,754,594,762 4,242,806,000
II.
BELANJA DAERAH
479,342,009,54
4
478,800,018,25
6 470,158,241,67
5
A.
Belanja Tidak Langsung
232,648,330,09
5
269,323,044,33
7 286,355,409,18
8
1 Belanja Pegawai
183,821,289,658 226,000,900,137 242,691,745,98
45. 40
8
2 Belanja Bunga
68,663,200 68,663,200 68,663,200
3 Belanja Hibah
1,010,000,000
10,317,468,000 7,464,000,000
4 Belanja Bantuan Sosial
16,984,277,237 6,005,000,000
5,095,000,000
5 Bantuan keuangan Kepada
Prov/Kab/kota & Pemerintahan
lain
25,039,100,000
25,479,200,000 29,036,000,000
6 Belanja Tidak terduga
5,725,000,000
1,451,813,000 2,000,000,000
B.
Belanja Langsung
246,693,679,44
9
209,476,973,91
9 183,802,832,48
7
1 Belanja Pegawai
34,448,477,878 20,382,316,727
24,496,974,267
2 Belanja Barang dan Jasa
66,540,894,508 67,221,813,946
65,370,894,088
3 Belanja Modal
145,704,307,063 121,872,843,246
93,934,964,132
III.
PEMBIAYAAN DAERAH
51,068,099,923 29,841,712,074 23,209,256,279
A.
Penerimaan Pembiyaan
54,115,142,043 32,845,530,194 33,815,298,399
1 Sisa Lebih Perhitungan TA
sebelumnya (SILPA) 54,115,142,043 32,845,530,194
25,815,298,399
2 Hasil Penjualan Kekayaan daerah
yang dipisahkan - -
8,000,000,000
B.
Pengeluaran Pembiyaan
3,047,042,120 3,003,818,120 10,606,042,120
1 Penyertaan Modal (Investasi)
Pemda 3,000,000,000 2,956,776,000
10,559,000,000
2 Pembayaran Pokok Utang
47,042,120 47,042,120 47,042,120
D. LANGKAH-LANGKAH PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Hasil pemeriksaan BPK tahun 2004 dan 2005 pengelolaan keuangan
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian
(WDP). Dalam hasil pemeriksaan tersebut terdapat beberapa temuan yang dapat
berdampak pada tuntutan hukum apabila tidak ditindaklanjuti.
Terdapatnya beberapa temuan tersebut dinilai karena ketidak patuhan
terhadap Ketentuan Perundang-undangan yang dapat mengakibatkan : Kerugian
daerah, Potensi Kerugian Daerah, Kekurangan Penerimaan, Administrasi,
Ketidakhematan dan Ketidakefektifan. Temuan tersebut menyadarkan jajaran
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah bahwa Pengelolaan Keuangan selama ini
belum sesuai dengan aturan yang berlaku serta masih lemahnya Sistem
Pengendalian Internal.
Temuan-temuan tersebut segera ditindaklanjuti oleh semua Objek
Pemeriksaan sesuai saran/rekomendasi BPK. Sejak itu, aparatur Pengelolaan
Keuangan Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah tidak
mengulangi lagi kesalahan yang menjadi temuan BPK. Pada akhirnya, tahun
2007 dan 2008 BPK memberikan opini WTP terhadap Laporan Keuangan