Laporan ini membahas evaluasi kewenangan dan hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif di Kalimantan. Ada beberapa masalah seperti pemahaman superioritas salah satu lembaga atas yang lain dan intervensi legislatif terhadap tugas eksekutif. Kajian ini bertujuan meningkatkan kerja sama dengan memahami sistem presidensial yang memberi keseimbangan antara kedua lembaga. Hasilnya akan digunakan untuk merumuskan kebijakan pening
Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
1. DRAF LAPORAN KAJIAN
“EVALUASI KEWENANGAN
DAN PENINGKATAN
HUBUNGAN KERJA
ANTARA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF”
PKP2A III LAN
SAMARINDA
2010
2. i
KATA PENGANTAR
Wujud dari purifikasi (pemurnian) UUD 1945 makin mempertegas bahwa
sistem pemerintahan di Indonesia adalah presidensial. Sistem ini menggambarkan
bahwa keberadaan lembaga eksekutif adalah sejajar dengan legislatif. Artinya,
wewenang, tugas, dan kewajiban eksekutif baru akan dapat berjalan jika diberi
kekuatan hukum oleh lembaga legislatif. Daam menjalankan wewenang, tugas dan
kewajibannya tersebut selalu mendapatkan pengawasan oleh DPR sehingga sesuai
dengan keinginan rakyat. Selain itu, implementasi wewenang, tugas, dan kewajiban
pemerintah juga memerlukan pembiayaan yang disusun sesuai ketentuan yang berlaku
yang harus melibatkan lembaga legislatif.
Dalam praktik pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial masih nampak
adanya ketidak harmonisan hubungan eksekutif dan legislatif. Akibat dari fakta
sejarah masa lalu, akhirnya sampai sekarang nuansa konflik masih terasa diantara
keduanya. Hal ini memberikan ekses kepada daerah dalam pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang melibatkan Pemerintah Daerah
(eksekutif) dan DPRD (legislatif)
Adanya fenomena kurang harmonisnya hubungan Pemerintah Daerah
(eksekutif) dan DPRD (legislatif) masih karena adanya pemahaman superioritas oleh
salah satu lembaga kepada lembaga yang lainnya dan begitu pula sebaliknya. Dari
ketidakharmonisan tersebut mucul dampak, baik berupa lambannya penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang berimplikasi terhambatnya perkembangan daerah maupun
berupa ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah dan DPRD dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Untuk itulah dengan hadirnya kajian “Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif”, khususnya dengan mengambil
lokus di wilayah Kalimantan, bisa diambil suatu kebijakan daerah dalam upaya
meningkatkan hubungan kerja antara Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD
(legislatif). Dari berbagai temuan yang menjadi catatan kiranya perlu mendapatkan
upaya perbaikan-perbaikan kedepannya. Namun dengan makin besarnya komitmen
perbaikan hubungan penyelenggara pemerintahan daerah melalui potret hasil kajian
ini, tentu upaya untuk membangun dan menyejahterakan masyarakat menjadi semakin
konkrit.
Akhirnya tim peneliti menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah membantu terlaksananya
kajian “Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan
Legislatif”. Kami juga menyadari adanya kelemahan dalam penyusunan kajian ini.
Untuk itu masukan dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dalam
menyusun kajian yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Samarinda, November 2010
Tim Peneliti
3. vii
Executive Summary
Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar
susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman
daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan
secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan
dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara
demokratis. Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, mengingat
bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan
antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Oleh karenanya maka pemilihan kepala dan wakil
kepala daerah dilakukan secara demokratis yang dipilih oleh rakyat di daerahnya secara
langsung. Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil
kepala daerah, dan perangkat daerah. Sedangkan Gubernur sebagai Kepala Daerah
Provinsi berfungsi sebagai wakil Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk
menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi
Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.
Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 hubungan antara pemerintah daerah dan
DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan.
Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu
memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini
tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah, dimana kepala
daerah dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara
Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat
kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-
masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang
sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain
dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
4. viii
Disamping itu, kepala daerah mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan
keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. DPRD pun mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak untuk menyatakan pendapat. DPRD tidak dapat serta
merta mengangkat dan memberhentikan kepala daerah dan wakil kepala daerah. DPRD
sifatnya mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala
daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada
Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, selain membuat kebijakan bersama,
DPRD juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan
perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah
daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional
di daerah. Namun pada kenyataannya terdapat beberapa fenomena kurang harmonisnya
hubungan eksekutif dan legislatif di daerah, misalnya adanya kecenderungan anggota
dewan untuk mengintervensi tugas-tugas eksekutif hingga ke tingkatan yang sangat
teknis. Padahal seharusnya hubungan antara eksekutif dan legislatif harus mempunyai
suatu keserasian hubungan, dalam arti bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang
dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-
koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai satu
kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.
Lebih dari satu dekade konsolidasi demokrasi di Indonesia, hubungan politik
kedua lembaga ini semakin menampakkan performa yang sebenarnya. Legislatif yang
diwakili oleh orang-orang partai lebih banyak memainkan kepentingan partai politik
ketimbang rakyat yang diwakilinya. Sementara presiden (eksekutif) yang juga
representasi partai politik, meskipun dipilih langsung oleh rakyat sedikit banyak juga
memiliki ikatan historis dengan partai politik yang ada di parlemen, juga memikirkan
kepentingan partai politiknya. Akibat yang menonjol dari hubungan eksekutif dan
legislatif tersebut adalah konflik kepentingan (conflict of interest) antarpartai politik yang
ada.
Adanya masalah dalam pemahaman hubungan kemitraan antara eksekutif dan
legislatif sebenarnya bukanlah perkara baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Pada masa Orde Lama, kegagalan Dewan Konstituante memutuskan untuk kembali ke
UUD 1945 memicu Presiden Soekarno sebagai representasi eksekutif membubarkan
Dewan Konstituante. Menguatnya kewenangan lembaga eksekutif dilanjutkan pada masa
Presiden Soeharto. Lembaga legislatif tidak diposisikan sebagai mitra sejajar pemerintah
sebagaimana layaknya negara demokratis. Akibatnya posisi lembaga tersebut hanya
sebagai pemberi legitimasi kebijakan yang dibuat pemerintah Orde Baru.
Adanya fenomena kurang harmonisnya hubungan eksekutif dan legislatif di
daerah karena adanya pemahaman superioritas oleh salah satu lembaga kepada lembaga
yang lainnya dan begitu pula sebaliknya, misalnya adanya kecenderungan anggota dewan
untuk mengintervensi tugas-tugas eksekutif hingga ke tingkatan yang sangat teknis.
Eksekutif pun berusaha menempatkan institusinya pada posisi yang lebih penting di
hadapan legislatif dengan kerja-kerja yang riil dan jelas bagi rakyat. Sehingga setiap
waktu dan tenaga yang dicurahkannya untuk menjalankan wewenang, tugas, dan
kewajibannya di bidang pemerintahan adalah lebih penting ketimbang hanya
5. ix
mendengarkan kritikan dan pertanyaan dari legislatif yang tidak begitu bermakna
terhadap capaian kinerja eksekutif. Dari ketidakharmonisan tersebut mucul dampak, baik
berupa lambannya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berimplikasi
terhambatnya perkembangan daerah maupun berupa ketidakpercayaan masyarakat pada
pemerintah dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Saat ini, mekanisme pengawasan kepada kepala daerah semakin diperketat,
misalnya presiden tanpa melalui usulan DPRD dapat memberhentikan sementara
terhadap kepala daerah yang didakwa melakukan tindak korupsi, terorisme, dan makar.
Sementara pengawasan terhadap DPRD semakin diperketat dengan adanya Badan
Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
Untuk melengkapinya DPRD wajib pula menyusun kode etik untuk menjaga martabat
dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya. Dengan berbekal ketentuan yang baru,
anggota DPRD bisa diganti sewaktu-waktu (PAW) bila melanggar larangan atau kode
etik.
Dalam sistem pemerintahan presidensial jelas bahwa keberadaan lembaga
eksekutif adalah sejajar dengan legislatif. Artinya, wewenang, tugas, dan kewajiban
eksekutif baru akan dapat berjalan jika diberi kekuatan hukum oleh lembaga legislatif.
Dan dalam menjalankan wewenang, tugas dan kewajibannya tersebut selalu mendapatkan
pengawasan oleh DPR sehingga sesuai dengan keinginan rakyat. Selain itu,
implementasi wewenang, tugas, dan kewajiban pemerintah juga memerlukan pembiayaan
yang disusun sesuai ketentuan yang berlaku yang harus melibatkan lembaga legislatif.
Inilah makna mekanisme check and balances dalam sistem pemerintahan presidensial.
Hubungan kedua lembaga tinggi negara tersebut sebenarnya mencerminkan adanya
kemitraan yang serius dan saling membutuhkan. Jika salah satu lembaga tersebut tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, maka demokrasi berjalan pincang.
Untuk itulah perlu dibuat suatu kajian, khususnya dengan lokus di wilayah
Kalimantan mengenai kewenangan dan hubungan kerja eksekutif dan legislatif.
Meskipun secara yuridis formal istilah eksekutif dan legislatif daerah tidak ada, namun
istilah tersebut cukup dikenal dikalangan para pakar untuk memudahkan pemahaman
hubungan kerja diantara keduanya. Salah satu pakar yang menggunakan istilah eksekutif
dan legislatif di daerah adalah Sadu Wasistiono, sehingga dalam kajian ini tetap
digunakan istilah eksekutif dan legislatif. Akhirnya kajian ini dibuat dengan judul
“Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan
Legislatif”.
Dari hasil evaluasi tugas dan kewenangan eksekutif dan legislatif di semua lokus
kajian, bisa diketahui bahwa semuanya telah mengimplementasikan peraturan
perundangan yang terkait dengan mereka. Didalam Undang-Undang 32/2004 dan
Undang-Undang 27/2009, serta berbagai peraturan perundangan yang terkait, telah jelas
mengatur batasan tugas dan kewenangan Gubernur/Bupati/Walikota dan wakil-wakilnya
(eksekutif) serta bagi DPRD (legislatif).
Perlunya perhatian bagi daerah adalah penamaan aturan yang seharusnya tidak
boleh keliru. Dalam membuat aturan mengenai tata tertib DPRD, di dalam UU No.
27/2009 pasal 344 ayat (2) telah diatur bahwa ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan
tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
6. x
Terdapat 4 (empat) daerah yang telah mencapai mekanisme check and balances
secara murni. Daerah-daerah tersebut antara lain: Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten
Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah.
Adapun daerah yang sedang menuju kearah check and balances antara lain Kabupaten
Hulu Sungai Tengah dan Kabupaten Pontianak.
Kabupaten Kotawaringin Barat keadaan pemerintahannya adalah executive heavy,
akibat dari dominasi dari eksekutif dalam pengelolaan anggaran, sedangkan DPRD
merasa keberadaannya tidak bisa berkembang akibat kurang berpihaknya UU No
32/2004. Sedangkan untuk kondisi di Provinsi Kalimantan Barat merupakan satu temuan
yang unik, karena antara eksekutif dan legislatif sama-sama saling mendominasi,
mempertahankan kepentingannya sendiri. Pada tataran ini memang harus ada satu pihak
atau kedua-duanya yang melakukan rekonsiliasi, menurunkan tensi dominasinya
sehingga bisa tercipta kondisi yang check and balances sesuai dengan semangat
digulirkannya peraturan perundangan saat ini.
Beberapa daerah yang mengindikasikan adanya pola hubungan searah positif
adalah Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Kabupaten Hulu Sungai
Tengah, dan Kabupaten Pontianak. Sedangkan pola hubungan konflik, secara fakta di
lapangan terjadi di semua daerah yang menjadi lokus kajian. Sedangkan pola hubungan
searah negatif tidak terjadi pada semua lokus kajian, yang mengindikasikan bahwa pihak
eksekutif dan legislatif tidak sedang membangun hubungan yang mementingkan dirinya
sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat sebagai pihak yang seharusnya
disejahterakan
daerah yang menggunakan teknik kompromi dalam penyelesaian masalahnya
adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi
Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Barat.
Sedangkan teknik dominasi di pakai oleh daerah-daerah: Kabupaten Hulu Sungai
Tengah, Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Pontianak.
Dalam rangka menindaklanjuti hasil temuan dari berbagai lokus kajian yang ada,
maka dibuatlah suatu rekomendasi sebagai rencana tindak (action plan). Rekomendasi
yang bisa diberikan terbagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu 1) secara personal eksekutif dan
legislatif dan 2) secara kelambagaan.
1. Secara personal, perlu adanya peningkatan terhadap kapasitas personal (software).
Untuk meningkatkan kapasitas personal legislatif dan eksekutif maka diperlukan
banyak pelatihan, baik berupa Bimbingan Teknis (Bimtek), Workshop maupun
Diklat yang menunjang efektifitas dan efisiensi kinerja eksekutif dan legislatif.
Sehingga yang harus dilakukan adalah melakukan analisis kebutuhan pelatihan
(Bimtek, Workshop, Diklat), membuat perencanaan waktu pelaksanaan pelatihan,
dan sebisa mungkin yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah
secara bersama, maka pelatihannya dilakukan juga secara bersama (pelatihan
terkait anggaran, legal drafting, perencanaan pembangunan daerah, pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan, SANKRI, Peningkatan Partisipasi Masyarakat,
Pelayanan Publik, dll). Ini akan memberikan satu pemahaman dan interpretasi yang
sama terhadap hasil (output) pelatihan. Dalam jangka panjang hal ini akan
memperkuat secara emosional dan kebersamaan dalam penyelenggaraan
7. xi
pemerintahan agar makin sinergis. Target yang ingin dicapai dari adanya pelatihan
ini adalah pemahaman dan kemampuan legislatif dan eksekutif yang makin
meningkat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, sehingga bisa
menghasilkan output dan outcome yang makin nyata (misal: pembahasan dan
pengesahan APBD yang berkualitas dan tepat waktu; peningkatan jumlah Perda
inisiatif; pelayanan kepada publik yang lebih responsif, transparan dan akuntabel;
dll)
2. Secara kelembagaan, perlu adanya peraturan yang mengatur mengenai pola
hubungan kerja dan koordinasi antara eksekutif dan legislatif, seperti yang yang
sudah ada di Provinisi Kalimantan Timur (sebagai Best Practice Kajian).
Disamping itu juga perlu adanya kode etik (code of conduct) yang mengatur
hubungan antara eksekutif dan legislatif agar lebih santun dalam berinteraksi.
aturan ini paling tidak mengakomodir konsep pola hubungan yang realistik, terdiri
dari tata cara komunikasi formal dan informal, tata cara tukar menukar informasi,
tata cara kerja sama antar maupun lintas lembaga, serta aturan mengenai klarifikasi
pada saat terjadinya konflik antara eksekutif dan legislatif.
Rekomendasi selanjutnya yang menyangkut hasil kajian adalah konsep pola
hubungan kerja eksekutif dan legislatif yang ideal. Penilaian mengenai ideal atau tidak
paling adalah relatif, namun paling tidak berdasarkan temuan di lapangan bisa
memberikan gambaran seberapa ideal hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif yang
terjadi. Perlunya konsep ini adalah untuk memberikan peta dan arah kondisi hubungan
kerja yang terjadi saat ini, dan strategi peningkatannya di masa yang akan datang.
Semuanya membutuhkan niat baik, kerjasama, dan komitmen yang tinggi dari eksekutif
dan legislatlif untuk meningkatkan perannya bagi penyelenggaraan pemerintahan yang
lebih baik.
8. xii
No Dimensi Implementasi
1 Praktik penyelenggaraan Pemerintahan Daerah hubungan searah positif
2 Pola hubungan yang realistik ✓ Komunikasi,
✓ tukar menukar informasi
✓ kerjasama
✓ klarifikasi
3 Etika komunikasi interpersonal ✓ D + (Distance positive)
✓ W- (Weight imposition
negative)
4 Teknik Penyelesaian konflik Mendorong:
✓ Integrating
✓ Obliging
✓ Collaborating
✓ Compromissing
Menghindari:
✓ Dominating
✓ Avoiding
✓ accomoding
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
Eksekutif Legislatif
= +
Check and Balances
9. ii
Daftar Isi
Halaman
Kata Pengantar ................................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................................. ii
Daftar Tabel ........................................................................................................................ v
Daftar Gambar .................................................................................................................... vi
Executive Summary ………………………………………………………………………………. vii
Bab. I Pendahuluan ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .......................................................................... 4
C. Tujuan ............................................................................................. 4
D. Ruang Lingkup Kajian ....................................................................... 5
E. Kerangka Berpikir ............................................................................ 6
F. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ............................................. 6
1. Wawancara mendalam ............................................................ 6
2. Data Sekunder ........................................................................ 6
G. Target/ Hasil Yang Diharapkan ........................................................ 7
H. Waktu dan Tahapan Penelitian ......................................................... 7
Bab. II Landasan Teori .................................................................................... 9
A. Refleksi Perjalanan Sistem Pemerintahan di Indonesia ....................... 9
B. Mengenal Sistem “Pemerintahan Sendiri” ............................................. 10
C. Reformasi Kelembagaan dan Konflik Eksekutif- Legislatif ..................... 11
D. Harmonisasi Hubungan Antara Eksekutif dan Legislatif ........................ 14
E. Membangun Komunikasi dan Mengelola Konflik .................................. 16
F. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Dalam Formulasi Peraturan
Perundangan .........................................................................................
23
G. Revitalisasi Etika Birokrasi Dalam Membangun Hubungan Antara
Eksekutif dan Legislatif .........................................................................
29
Bab. III Laporan Tiap Lokus Kajian ......................................................................... 33
A. Gambaran Umum Daerah Kajian ........................................................ 33
1. Provinsi Kalimantan Timur ............................................................ 33
2. Kabupaten Penajam Paser Utara ................................................ 34
3. Provinsi Kalimantan Selatan ......................................................... 35
10. iii
4. Kabupaten Hulu Sungai Tengah ................................................. 37
5. Provinsi Kalimantan Tengah ....................................................... 37
6. Kabupaten Kota Waringin Barat ................................................. 39
7. Provinsi Kalimantan Baratt ........................................................ 40
8. Kabupaten Pontianak ............................................................... 41
B. Laporan Dari Tiap Lokus Kajian ..................................................... 42
1. Identifikasi tugas (hak dan kewajiban) serta kewenangan yang
dimiliki .....................................................................................
42
a. Provinsi Kalimantan Timur ................................................. 42
1) DPRD Provinsi Kalimantan Timur ............................... 42
2) Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur .......... 45
b. Kabupaten Penajam Paser Utara ...................................... 46
1) DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara ..................... 46
2) Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara ............. 50
c. Provinsi Kalimantan Selatan .............................................. 51
d. Kabupaten Hulu Sungai Tengah ......................................... 51
e. Provinsi Kalimantan Tengah ............................................... 54
1) DPRD Provinsi Kalimantan Tengah ............................. 54
2) Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah .................... 58
f. Kabupaten Kotawaringin Barat .......................................... 60
g. Provinisi Kalimantan Barat ................................................ 60
h. Kabupaten Pontianak ........................................................ 61
2. Pola-pola hubungan yang terjadi antara eksekutif dan legislatif
pada daerah lokus kajian . ......................................................
64
a. Provinsi Kalimantan Timur ............................................... 64
b. Kabupaten Penajam Paser Utara ..................................... 68
c. Provinsi Kalimantan Selatan ........................................... 69
d. Kabupaten Hulu Sungai Tengah ....................................... 72
e. Provinsi Kalimantan Tengah ............................................. 78
f. Kabupaten Kotawaringin Barat ......................................... 80
g. Provinisi Kalimantan Barat ................................................ 82
h. Kabupaten Pontianak ....................................................... 85
Bab. IV Analisis Kajian ...................................................................................... 90
A. Keterkaitan Tema dan Judul Kajian ............................................... 90
11. iv
B. Menarik dan Menganalisis Isu-Isu dari Masing-Masing Lokus ...... 91
1. Identifikasi tugas dan kewenangan eksekutif dan legislatif ........ 91
2. Identifikasi pola-pola hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif 93
3. Matriks identifikasi tugas dan kewenangan serta pola hubungan
kerja antara eksekutif dan legislatif ............................................
98
C. Konsep Hasil Pembahasan Isu-Isu Yang Ada .................................. 128
BAB. V Penutup ............................................................................................ 130
A. Kesimpulan ....................................................................................... 130
B. Rekomendasi .................................................................................... 138
Daftar Pustaka
Lampiran
12. v
Daftar Tabel
Halaman
Tabel. 1.1 Lokus Kajian “Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif ..................
5
Tabel. 1.2 Tingkat Kinerja Pelayanan Publik ................................................... 9
Tabel. 2.1
Perbedaan Definisi dan Kedudukan DPRD antara UU No. 22/1999,
UU No. 32/2004 dan UU No. 27/2009 ...........................................
24
Tabel. 2.2
Perbedaan Fungsi, Tugas dan Kewenangan Serta Hak-Hak DPRD
antara UU No. 22/1999 dengan UU No. 32/2004 ..........................
25
Tabel. 3.1
Jumlah Penduduk Provinsi Kalimantan Selatan Menurut Kabupaten/
Kota Tahun 2006 ..........................................................................
36
Tabel. 3.2
Jumlah dan Luas Kecamatan di Kabupaten Pontianak ................. 41
Tabel. 3.3
Perbedaan Beberapa Tugas dan Kewenangan DPRD Kabupaten
Pontianak dalam Keputusan Kabupaten Pontianak N0.12/2009
dengan UU No. 27/2009 ...............................................................
63
Tabel. 3.4
Analisis Pola Hubungan Kerja antara Eksekutif dan Legislatif
Kabupaten Hulu Sungai Tengah ..................................................
73
Tabel. 4.1
Matriks Evaluasi Tugas dan Kewenangan Eksekutif-Legislatif dalam
Formulasi Peraturan Perundangan .............................................
98
Tabel. 4.2
Matriks Bandul “Kekuasaan” Eksekutif (Executive Heavy) dan
Legislatif (Legislative Heavy) ......................................................
101
Tabel. 4.3
Matriks Praktik Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ........... 104
Tabel. 4.4
Matriks Pola Hubungan yang Realistik ...................................... 107
Tabel. 4.5
Matriks Konsep Komunikasi Organisasi .................................... 114
Tabel. 4.6
Matriks Etika Komunikasi Interpersonal ...................................... 118
Tabel. 4.7
Matriks Teknik Penyelesaian Konflik ........................................... 121
Tabel. 5.1
Tugas dan Kewenangan DPRD Provinsi/ Kabupaten/ Kota
(Legislatilf) dan Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah (Eksekutif ..
130
13. vi
Daftar Gambar
Halaman
Gambar. 1.1 Alur Berpikir Kajian “Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif .............................
6
Gambar. 1.2 Diagram Alir Penelitian .................................................................... 13
Gambar. 3.1 Skema Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DPRD (Legislatif)
Terhadap Pemerintah Daerah (Eksekutif) .........
87
Gambar. 5.1 Konsep Ideal Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif ...... 139
14. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar
susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman
daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan
secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan
dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara
demokratis. Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, mengingat
bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan
antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Oleh karenanya maka pemilihan kepala dan wakil
kepala daerah dilakukan secara demokratis yang dipilih oleh rakyat di daerahnya secara
langsung. Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil
kepala daerah, dan perangkat daerah. Sedangkan Gubernur sebagai Kepala Daerah
Provinsi berfungsi sebagai wakil Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk
menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi
Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.
Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 hubungan antara pemerintah daerah dan
DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan.
Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu
memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini
15. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab I Pendahuluan
PKP2A III – LAN
1
tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah, dimana kepala
daerah dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara
Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat
kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi
masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja
yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama
lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
Disamping itu, kepala daerah mempunyai kewajiban untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan
laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. DPRD pun
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak untuk menyatakan pendapat. DPRD
tidak dapat serta merta mengangkat dan memberhentikan kepala daerah dan wakil
kepala daerah. DPRD sifatnya mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala
daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD
Provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD
Kabupaten/Kota.
Dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, selain membuat kebijakan bersama,
DPRD juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan
perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah
daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama
internasional di daerah. Namun pada kenyataannya terdapat beberapa fenomena kurang
harmonisnya hubungan eksekutif dan legislatif di daerah, misalnya adanya
kecenderungan anggota dewan untuk mengintervensi tugas-tugas eksekutif hingga ke
tingkatan yang sangat teknis. Padahal seharusnya hubungan antara eksekutif dan
legislatif harus mempunyai suatu keserasian hubungan, dalam arti bahwa pengelolaan
bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda,
bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan
saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan
kemanfaatan.
Lebih dari satu dekade konsolidasi demokrasi di Indonesia, hubungan politik
kedua lembaga ini semakin menampakkan performa yang sebenarnya. Legislatif yang
diwakili oleh orang-orang partai lebih banyak memainkan kepentingan partai politik
ketimbang rakyat yang diwakilinya. Sementara presiden (eksekutif) yang juga
representasi partai politik, meskipun dipilih langsung oleh rakyat sedikit banyak juga
16. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab I Pendahuluan
PKP2A III – LAN
2
memiliki ikatan historis dengan partai politik yang ada di parlemen, juga memikirkan
kepentingan partai politiknya. Akibat yang menonjol dari hubungan eksekutif dan
legislatif tersebut adalah konflik kepentingan (conflict of interest) antarpartai politik
yang ada.
Adanya masalah dalam pemahaman hubungan kemitraan antara eksekutif dan
legislatif sebenarnya bukanlah perkara baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Pada masa Orde Lama, kegagalan Dewan Konstituante memutuskan untuk kembali ke
UUD 1945 memicu Presiden Soekarno sebagai representasi eksekutif membubarkan
Dewan Konstituante. Menguatnya kewenangan lembaga eksekutif dilanjutkan pada
masa Presiden Soeharto. Lembaga legislatif tidak diposisikan sebagai mitra sejajar
pemerintah sebagaimana layaknya negara demokratis. Akibatnya posisi lembaga
tersebut hanya sebagai pemberi legitimasi kebijakan yang dibuat pemerintah Orde Baru.
Adanya fenomena kurang harmonisnya hubungan eksekutif dan legislatif di
daerah karena adanya pemahaman superioritas oleh salah satu lembaga kepada lembaga
yang lainnya dan begitu pula sebaliknya, misalnya adanya kecenderungan anggota
dewan untuk mengintervensi tugas-tugas eksekutif hingga ke tingkatan yang sangat
teknis. Eksekutif pun berusaha menempatkan institusinya pada posisi yang lebih penting
di hadapan legislatif dengan kerja-kerja yang riil dan jelas bagi rakyat. Sehingga setiap
waktu dan tenaga yang dicurahkannya untuk menjalankan wewenang, tugas, dan
kewajibannya di bidang pemerintahan adalah lebih penting ketimbang hanya
mendengarkan kritikan dan pertanyaan dari legislatif yang tidak begitu bermakna
terhadap capaian kinerja eksekutif. Dari ketidakharmonisan tersebut mucul dampak,
baik berupa lambannya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berimplikasi
terhambatnya perkembangan daerah maupun berupa ketidakpercayaan masyarakat pada
pemerintah dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Saat ini, mekanisme pengawasan kepada kepala daerah semakin diperketat,
misalnya presiden tanpa melalui usulan DPRD dapat memberhentikan sementara
terhadap kepala daerah yang didakwa melakukan tindak korupsi, terorisme, dan makar.
Sementara pengawasan terhadap DPRD semakin diperketat dengan adanya Badan
Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
Untuk melengkapinya DPRD wajib pula menyusun kode etik untuk menjaga martabat
dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya. Dengan berbekal ketentuan yang baru,
anggota DPRD bisa diganti sewaktu-waktu (PAW) bila melanggar larangan atau kode
etik.
Dalam sistem pemerintahan presidensial jelas bahwa keberadaan lembaga
eksekutif adalah sejajar dengan legislatif. Artinya, wewenang, tugas, dan kewajiban
17. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab I Pendahuluan
PKP2A III – LAN
3
eksekutif baru akan dapat berjalan jika diberi kekuatan hukum oleh lembaga legislatif.
Dan dalam menjalankan wewenang, tugas dan kewajibannya tersebut selalu
mendapatkan pengawasan oleh DPR sehingga sesuai dengan keinginan rakyat. Selain
itu, implementasi wewenang, tugas, dan kewajiban pemerintah juga memerlukan
pembiayaan yang disusun sesuai ketentuan yang berlaku yang harus melibatkan
lembaga legislatif. Inilah makna mekanisme check and balances dalam sistem
pemerintahan presidensial. Hubungan kedua lembaga tinggi negara tersebut sebenarnya
mencerminkan adanya kemitraan yang serius dan saling membutuhkan. Jika salah satu
lembaga tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka demokrasi berjalan
pincang.
B. Perumusan Masalah
Dari berbagai dasar pemikiran dan fenomena yang dipaparkan diatas, maka
dapat dirumuskan adanya permasalahan penelitian (research problem) sebagai berikut:
1. Kewenangan apa saja yang dimiliki oleh lembaga eksekutif dan legislatif
di daerah saat ini?
2. Bagaimana hubungan kerja antara lembaga eksekutif dan legislatif di
daerah?
3. Bagaimana cara meningkatkan hubungan kerja antara lembaga eksekutif
dan legislatif di daerah?
4. Apa saja kendala dan masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan
kewenangan yang dimiliki eksekutif maupun legislatif dan dalam upaya
meningkatkan hubungan kerja antara lembaga eksekutif dan legislatif di
daerah?
C. Tujuan
Kajian ini diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengidentifikasi kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh
lembaga eksekutif dan legislatif;
2. untuk mengidentifikasi pola-pola hubungan kerja yang ada antara lembaga
eksekutif dan legislatif;
3. mengetahui upaya untuk meningkatkan hubungan kerja antara lembaga
eksekutif dan legislatif di daerah;
4. untuk mengetahui upaya/kebijakan/strategi yang dapat dilaksanakan dalam
mengatasi berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam
pelaksanaan kewenangan yang dimiliki eksekutif dan legislatif dan
18. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab I Pendahuluan
PKP2A III – LAN
4
memperbaiki hubungan kerja antara keduanya.
Adapun hasil kajian ini dapat digunakan sebagai alternatif kebijakan bagi
pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan daerah
D. Ruang Lingkup dan Batasan Kajian
Kajian ini mempunyai ruang lingkup dan batasan tertentu agar dalam
penyajiannya tidak terlalu melebar atau dengan kata lain agar lebih fokus terhadap apa
yang akan dikaji. Untuk itu pembatasan ruang lingkup kajian ini adalah pada apa yang
akan dikaji, yaitu hanya mengenai kewenangan dan hubungan kerja antara Eksekutif
dan Legislatif di wilayah Kalimantan saja. Oleh karena itu jangkauan wilayah kajian ini
terdiri dari 4 (empat) Provinsi dan 4 (empat) Kabupaten, yang ada di Kalimantan.
Adapun penentuan wilayah sampelnya dilakukan secara random bertujuan (purposive
random sampling), dengan rincian daerah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1
Lokus Kajian “Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan Hubungan Kerja Antara
Eksekutif dan Legislatif”
No Wilayah Sampel
1 Kalimantan Timur
1. Prov. Kalimantan Timur
2. Kab. Penajam Paser Utara
2 Kalimantan Selatan
1. Prov. Kalimantan Selatan
2. Kab. Hulu Sungai Tengah
3 Kalimantan Tengah
1.Prov. Kalimantan Tengah
2.Kab. Kotawaringin Barat
4 Kalimantan Barat
1.Prov. Kalimantan Barat
2.Kab. Pontianak
19. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab I Pendahuluan
PKP2A III – LAN
5
E. Kerangka Berpikir
Gambar 1.1
Alur Berpikir Kajian Tentang Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
F. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Kajian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif
Pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu wawancara mendalam, dan
pengumpulan data-data sekunder. Perpaduan kedua metode pengumpulan data tersebut
diharapkan bisa melengkapi semua data yang diperlukan dalam melakukan analisis
secara komprehensif.
1. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan terhadap para key
informant di tingkat pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, DPRD
Provinsi dan kabupaten/kota yang terlibat dalam hubungan kerja antara eksekutif
dan legislatif. Wawancara ini dilakukan untuk menyerap segala informasi
maupun permasalahan yang timbul berkaitan dengan kajian yang dilaksanakan.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data-data pendukung yang digunakan untuk
melengkapi informasi yang dibutuhkan. Data sekunder ini seperti Daerah dalam
Angka, Profil Daerah, Profil DPRD, LPJ Kepala Daerah, Risalah Rapat DPRD,
TATIB DPRD, laporan, jurnal, dokumen lain dan sebagainya.
Analisis
▪ Peraturan
Perundang-Undang
an
▪ Teori-Teori yang
Relevan
Pemilahan
Kewenangan
Identifikasi Masalah
Hubungan Kerja Optimal
(Check and Balances)
Kewenangan Kewenangan
Hubungan
Kerja
Eksekutif Legislatif
20. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab I Pendahuluan
PKP2A III – LAN
6
G. Target / Hasil yang diharapkan
Hasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya sebuah
laporan tentang permasalahan, kondisi dan strategi yang digunakan sebagai
rekomendasi evaluasi kewenangan dan peningkatan hubungan kerja antara eksekutif
dan legislatif, dengan fokus utama wilayah Kalimantan.
H. Waktu dan Tahapan Penelitian
Pelaksanaan kajian ini dilakukan selama satu tahun pada tahun 2010, dengan
tahapan sebagai berikut:
1. Tahapan I : Persiapan penelitian yang meliputi penyusunan proposal
penelitian yang meliputi penetapan lokus dan sampel penelitian, penyusunan
panduan wawancara, penyempurnaan desain penelitian (research design),
serta persiapan administratif lainnya seperti pembentukan dan konsolidasi
tim, penyusunan rencana survei lapangan, dan sebagainya.
2. Tahapan II : Kegiatan pengumpulan dan penggalian data-data di lapangan
melalui wawancara dan pengumpulan data-data sekunder dari responden
maupun dari sumber lain.
3. Tahapan III : Kegiatan analisis dan interpretasi terhadap data-data yang
diperoleh dari lapangan. Jika masih diperlukan dan memungkinkan, data
aktual yang terolah perlu dilakukan klarifikasi ulang ke lokus penelitian untuk
memperoleh akurasi informasi, sehingga analisis dapat dijamin lebih akurat.
4. Tahapan IV : Penyusunan laporan awal hasil penelitian yang disertai
rekomendasi bagi para pengambil kebijakan berkaitan dengan permasalahan
dalam evaluasi kewenangan dan peningkatan hubungan kerja antara eksekutif
dan legislatif.
5. Tahapan V : Presentasi publik terhadap hasil penelitian untuk mendapatkan
input dari berbagai pihak maupun ahli/pakar berkaitan dengan kewenangan
dan peningkatan hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif.
6. Tahapan VI : Penyusunan laporan akhir hasil penelitian.
21. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab I Pendahuluan
PKP2A III – LAN
7
Tahapan-tahapan penelitian tersebut bisa digambarkan dalam diagram alir
sebagai berikut:
Gambar 1.2
Diagram Alir Penelitian
Laporan akhir penelitian tersebut akan diberikan kepada pihak-pihak yang
berkompeten dalam proses pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan
daerah, lembaga penelitian, serta daerah-daerah di Kalimantan terutama yang menjadi
lokus dalam kajian ini.
PERSIAPAN
PENELITIAN
PENGUMPULAN
DATA
ANALISIS DAN
INTERPRETASI
DATA
PENYUSUNAN
LAPORAN AKHIR
PRESENTASI
PUBLIK
PENYUSUNAN
LAPORAN AWAL
22. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Refleksi Perjalanan Sistem Pemerintahan di Indonesia
Berbagai hal yang menyangkut hubungan antara eksektif dan legislatif serta
berbagai kejadian yang mewarnainya tidak terlepas dari perjalanan panjang
sejarah bangsa Indonesia. Berdasarkan fakta sejarah, dengan berbagai macam
perbedaan (suku bangsa, bahasa, budaya, dan lain-lain) yang ada di Indonesia
maka bentuk negara yang paling cocok diterapkan adalah bentuk Negara Kesatuan
(Unitarisme). Hal ini secara nyata tertuang di dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (1)
yang berbunyi “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk
Republik”. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil (2005) mendefinisikan bahwa
negara kesatuan merupakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat, diseluruh
negara yang berkuasa hanya ada satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh
daerah. Masih menurut pendapat diatas, bahwa negara kesatuan dapat berbentuk:
1) Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi yang segala sesuatu dalam
negara itu langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat dan daerah-
daerah tinggal melaksanakannya;
2) Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, dimana kepada daerah
diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya
sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah swatantra.
Secara implisit struktur di dalam UUD 1945 mengarah kepada teori
pemisahan kekuasaan, namun pada kenyataannya tidaklah tegas demikian.
Sehingga menurut Jimly Asshiddiqie (2005) didalam UUD 1945 yang belum
mengalami amandemen, tidak diatur pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif
dan eksekutif. Teori mengenai pemisahan kekuasaan diperkenalkan oleh
Montesquieu (1689-1755), seorang ahli politik dan filsafat dari Prancis. Dalam
bukunya yang berjudul L’Esprit des lois (Jiwa Undang-Undang) yang diterbitkan
di Jenewa pada tahun 1748 dalam 2 (dua) jilid, ia menulis tentang Konstitusi
Inggris. Ia mengatakan bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat 3 (tiga) jenis
kekuasaan yang terbagi dalam: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan yudikatif. Ketiga jenis kekuasaan itu harus terpisah, baik mengenai
fungsi (tugas) maupun mengenai alat kelengkapan (organ) yang melaksanakan.
Menurutnya kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh badan perwakilan rakyat
(parlemen), kekuasaan eksekutif oleh pemerintah (presiden atau raja dengan
dibantu oleh menteri-menteri atau kabinet) dan kekuasaan yudikatif oleh badan
peradilan (mahkamah agung dan pengadilan dibawahnya). Ajaran ini yang
kemudian dikenal dengan nama Trias Politica sebuat istilah yang diberikan oleh
Imanuel Kant. Pemisahan kekuasaan yang dilakukan oleh tiga jenis kekuasaan
yang berbeda dimaksudkan untuk menghindari kekuasaan absolut oleh raja pada
waktu itu. Dalam pelaksanaannya di Indonesia Ketiga kekuasaan memang diatur
berbeda dalam UUD 1945, namun seperti dikatakan Jimly Asshiddiqie (2005)
bahwa pemisahannya tidak jelas diantara kekuasaan tadi.
23. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 10
Selain bahwa Trias Polica coba diadopsi dalam sistem pemerintahan
Indonesia, perjalanan sejarah bangsa Indonesia tidak lepas dari kenyataan adanya
pemerintahan parlementer dan presidensial. Saldi Isra (2010) menyatakan bahwa
sepanjang periode 1945-1959, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan
parlementer dengan tiga konstitusi berbeda, yaitu: Undang-Undang Dasar 1945
(1945-1949), Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat (1949-1950), dan
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (1950-1959). Pada
masa 3 bulan setelah disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945,
maka terjadi deviasi praktik sistem pemerintahan dari yang seharusnya menganut
sistem presidensial menjadi praktik sistem parlementer. Hal ini ditandai dengan
dibentuknya sebuah kabinet parlementer dengan Sutan Syahrir sebagai perdana
menterinya. Selanjutnya kurang lebih tercatat 7 (tujuh) kabinet yang mewarnai
sistem pemerintahan Indonesia, yaitu: Kabinet Nasir (1950-1951), Kabinet
Sukiman-Suwirjo (1951-1952), Kabinet Wilopo (1952-1953), Kabinet Ali
Sastroamidjojo I (1953-1955), Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956),
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957), dan Kabinet Djuanda (1957-1959).
Akibat sering jatuh bangunnya kabinet yang menyebabkan situasi politik yang
tidak stabil, maka melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berakhirlah masa sistem
pemerintahan parlementer. Sri Soemantri dalam Saldi Isra (2010) mengatakan
bahwa sistem pemerintahan Indonesia mengandung unsur/ karakter sistem
pemerintahan presidensial dan sistem parlementer. Untuk itulah kemudian selama
empat kali perubahan UUD 1945 dari tahun 1999-2002, berupaya melakukan
purifikasi (pemurnian) terhadap sistem pemerintahan presidensial. Langkah
purifikasi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi karakter sistem pemerintahan
parlementer dalam sistem pemerintahan Indonesia.
B. Mengenal Sistem “Pemerintahan Sendiri”
Diskursus ilmiah mengenai sistem parlementer dan sistem presidensial
sangat berkembang sejak abad pertengahan. Inggris merupakan negara yang
menjadi model penerapan sistem pemerintahan parlementer, sedangkan Amerika
merupakan negara yang menjadi kiblat penerapan sistem pemerintahan
presidensial. Namun dalam perkembangannya Duverger dan Blondel (sekitar
tahun 1980-1984) memperkenalkan bentuk pemerintahan sistem semipresidensial
dan berkembang pula sistem semipresidensial ganda (Sofian Efendi, 2005).
Menurut tulisan beliau, bahwa sistem semi-presidensial adalah bentuk
pemerintahan negara yang mencoba mengatasi kelemahan-kelemahan sistem
parlementer maupun sistem presidensial. Kelemahan pokok sistem parlementer
ialah sifatnya yang tidak stabil karena setiap saat pemerintah, baik kabinet
maupun setiap menteri, dapat menerima mosi tidak percaya dari parlemen.
Akibatnya pemerintah bisa jatuh dan mengalami pergantian pemerintah. Indonesia
sudah membuktikannya sendiri ketika menerapkan sistem parlementer. Sedangkan
sistem presidensial mengandung kecenderungan konflik permanen antara cabang
legislatif dan cabang eksekutif, terutama bila presiden terpilih tidak didukung oleh
partai mayoritas yang berkuasa di parlemen. Padahal negara-negara baru yang
tradisi demokrasinya belum terkonsolidasi dengan mantab selalu menghadapi
situasi seperti ini, termasuk juga Indonesia saat ini. Selain kekuasaan yang besar
24. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 11
ditangan presiden sebagai pemegang jabatan eksekutif tunggal, selalu menggoda
presiden untuk memperpanjang masa jabatannya, yang kemudian berkembang
menjadi kekuasaan otoriter.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pada kedua sistem itulah muncul
kemudian sistem semi-presidensial. Ciri utama sistem semi-presidensial adalah
sebagai berikut: (a) pusat kekuasaan berada pada suatu majelis perwakilan sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi; (b) penyelenggara kekuasaan legislatif adalah
suatu badan perwakilan yang merupakan bagian dari majelis perwakilan; (c)
presiden dipilih secara langsung atau tidak langsung untuk masa jabatan tertentu
dan bertanggung jawab kepada majelis perwakilan; (d) para menteri adalah
pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Kalau kita memperhatikan uraian yang diberikan oleh DR. Sukiman pada
rapat BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945 dan keterangan Prof. Soepomo pada
rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 (beberapa saat sebelum UUD 1945
disahkan), maka jelas sekali bahwa sistem pemerintahan negara Indonesia yang
diikuti oleh UUD pertama Indonesia tersebut adalah sistem semipresidensial.
Ketika MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945,
sistem pemerintahan Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Ini bisa
dilihat dari pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen. MPR tidak lagi
merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang
kedaulatan negara tertinggi. Kemudian pasal 6A ayat (1) menetapkan ”Presiden
dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.
Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas.
C. Reformasi Kelembagaan dan Konflik Eksekutif-Legislatif
Sebuah organisasi yang dinamakan “negara” seperti juga organisasi lainnya
secara pasti telah menjelaskan bahwa keberadaannya, yang oleh Argyris dalam
J. Winardi (2003), dibentuk untuk mencapai sasaran-sasaran yang dapat dicapai
terbaik secara kolektif. Lebih lanjut dikatakan bahwa organisasi dapat memenuhi
aneka macam kebutuhan manusia seperti kebutuhan emosional, spiritual,
intelektual, ekonomi, politik, psikologikal, sosiologikal, kultural, dan lain
sebagainya. Perjalanan panjang sejarah Indonesia telah mengantarkan hingga saat
terjadinya reformasi pada tahun 1998, yang ikut merubah juga tatanan (format)
kelembagaan Indonesia. Jimly Asshiddiqie (2005) menyoroti 3 konsep kedaulatan
yang memengaruhi konsep kenegaraan kita, yaitu konsep kedaulatan Tuhan,
hukum dan rakyat. Secara garis besar, dijelaskan bahwa kekuasaan negara
merupakan derivasi dari kesadaran akan maha kuasanya Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan tersebut diatas diwujudkan dalam paham kedaulatan hukum dan
sekaligus dalam kedaulatan rakyat yang kita terima sebagai dasar-dasar berpikir
sistemik dalam konstruksi Undang-Undang Dasar (UUD) negara Indonesia.
Selanjutnya, penerapan prinsip kedaulatan hukum terlihat dengan adanya gagasan
“rechsstaat” atau “the rule of law” serta prinsip supremasi hukum. Prinsip
kedaulatan rakyat menurut pendapat diatas diwujudkan melalui instrumen-
instrumen hukum dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai
institusi hukum yang tertib.
25. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 12
Reformasi yang terjadi di Indonesia telah memunculkan efek massive
diberbagai bidang, termasuk kelembagaan negara seperti yang telah dijelaskan
diatas. Bahkan Mahfud MD dalam Saldi Isra (2010) mengatakan adanya jargon
“tidak ada reformasi tanpa amandemen konstitusi”. Artinya untuk mengakhiri
rezim sebelumnya (orde baru) yang telah memberi tafsiran “berbeda” pada UUD
1945 demi kelanggengan rezimnya, maka dengan adanya angin reformasi disegala
bidang perlu dilakukan amandemen konstitusi. Akhirnya dicapai satu kesepakatan
bahwa amandemen UUD 1945 harus dilakukan sesuai dengan mekanisme
konstitusi itu sendiri, yaitu melalui penggunaan pasal 37 UUD 1945, dengan
kesepakatan dasar bahwa pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila sebagai
dasar negara tidak akan diubah dan akan dipertahankan serta kesepakatan-
kesepakatan lainnya.
Dengan adanya perubahan pada konstitusi negara berarti proses perwujudan
prinsip kedauatan rakyat masih terus berjalan. Menurut Jimly Asshiddiqie (2005),
ada 2 (dua) cara pengorganisasian prinsip kedaulatan rakyat, yaitu melalui sistem
pemisahan kekuasaan (separation of power) dan/atau pembagian kekuasaan
(distribution atau division of power). Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal
dalam arti kekuasaan dipisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam
lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and
balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal ke bawah kepada
lembaga-lembaga tinggi di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
UUD 1945 yang dikenal selama ini menganut paham pembagian kekuasaan
yang bersifat vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Lebih
lanjut menurut pendapat diatas, perspektif pembagian kekuasaan yang bersifat
vertikal, prinsip kesederajatan dan perimbangan kekuasaan itu tidak bersifat
primer. Oleh karena itu dalam UUD 1945 yang belum mengalami amandemen,
tidak diatur pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif dan eksekutif. Dahulu
fungsi DPR lebih kepada fungsi pengawasan dibandingkan fungsi legislatif. Akan
tetapi dalam amandemen UUD 1945, prinsip pemisahan kekuasaan secara
horizontal nampak jelas disini. Dalam hal ini, prinsip hubungan check and
balances antar lembaga negara dianggap sebagai sesuatu yang sangat pokok.
Menurut Dati Fatimah dan A.F. Ismail (2009), pada tahapan dimana mekanisme
check and balances diperkuat, akibatnya ada beberapa kewenangan seperti MPR,
yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Hal ini dikarenakan lembaga itu
menjadi bikameral yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Perubahan ini juga akan membuat presiden dan wakil
presiden akan memiliki otoritas dan legitimasi yang sangat kuat, karena dipilih
langsung oleh rakyat. Kedudukannya akan sama kuat dengan DPR yang juga
dipilih langsung oleh rakyat. Amandemen UUD 1945 secara tekstual juga telah
melahirkan lembaga-lembaga demokratis baru seperti Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY).
Dampak lain dari reformasi kelembagaan yang tidak lain tuntutan
amandemen terhadap UUD 1945 dalam konteks daerah, terlihat pada pasal 18–
nya. Pemerintahan daerah termaksud dalam pasal tersebut merupakan perwujudan
penyelenggara pemerintahan di daerah yang terdiri dari 2 (dua) pihak, yaitu
pemerintah daerah yang terdiri dari gubernur untuk tingkat provinsi serta bupati/
26. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 13
walikota untuk tingkat kabupaten/ kota. Selain itu juga terdapat unsur
penyelenggara dibawah gubernur/ bupati/ walikota yang disebut perangkat daerah.
Unsur perangkat daerah ini merupakan unsur birokratis yang ada di daerah
meliputi tugas-tugas para kepala dinas, kepala badan, unit-unit kerja di lingkungan
pemerintah daerah yang sehari-harinya dikendalikan oleh sekretariat daerah
(Siswanto Sunarno, 2006). Pihak lain dalam penyelenggaraan pemerintah di
daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sehingga didapat
pengertian bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah, fungsi dan peran tersebut
tidak hanya diemban oleh kepala daerah dan perangkat daerah saja, namun
lembaga DPRD juga terlibat dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut.
Amandemen UUD 1945 telah memberikan perubahan pada sistem kebijakan
pemerintah yang semula tersentralisasi menjadi terdesentralisasi, sehingga lahirlah
otonomi daerah yang kita kenal sekarang pasca runtuhnya orde baru. Amanat
konstitusi menjadi sebab lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang menjadi tonggak era otonomi daerah. Namun belum
genap 5 tahun sejak berlakunya, undang-undang ini harus diganti dengan yang
baru, yaitu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
I. Nyoman Sumaryadi (2005) membuat 2 (dua) alasan mengenai kebijakan
otonomi daerah yang tertuang dalam undang-undang baru tersebut bila dilihat dari
aspek sosial dan politik. Pertama adalah meluasnya tuntutan dan aspirasi
demokratisasi pemerintahan, yaitu semakin besarnya tuntutan terhadap partisipasi
politik, transparansi proses pemerintahan, meningkatnya tuntutan akuntabilitas
dan responsivitas pelayanan publik serta meluasnya tuntutan desentralisasi
pemerintahan. Kedua, merebaknya gejala sosial politik di daerah yang pada
tingkat tertentu sulit dikendalikan pemerintah pusat sebagai akibat melemahnya
akuntabilitas pusat dalam menciptakan pemerataan keadilan bagi masyarakat di
seluruh pelosok tanah air.
Rusadi Kantaprawira (2002) mengatakan bahwa di masa orde baru tercipta
kestabilan yang amat sangat, sedangkan masa setelahnya terlihat gejala ancaman
instabilitas pemerintahan. Menurutnya krisis tersebut disebabkan oleh karena
nilai-nilai lama telah dicampakkan, sementara itu nilai-nilai baru belum terbentuk.
Kita sama mengetahui kestabilan masa orde baru dikarenakan kekuatan eksekutif
yang begitu dominan sehingga fungsi check anda balances dari legislatif dan
yudikatif menjadi lebih lemah. Namun berdasarkan fakta sejarah, hubungan antara
eksekutif dan legislatif selalu berpindah bandul antara dominasi eksekutif
(executive heavy) dan dominasi legislatif (legislative heavy). Paparan dari Saldi
Isra (2010) pada penjelasan sebelumnya, mengindikasikan bahwa Indonesia
pernah mengalami praktik sistem pemerintahan yang mengakibatkan perubahan
dominasi antara eksekutif dan legislatif. Dikatakan bahwa Indonesia pernah
menerapkan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer, meskipun pada
prinsipnya Indonesia memakai sistem pemerintahan presidensial, namun sistem
presidensial yang dianut Indonesia mengandung unsur/karakter sistem
pemerintahan parlementer. Artinya komitmen pemisahan secara tegas antara tugas
dan kewenangan eksekutif dan legislatif, terlihat belum bisa diterapkan di
Indonesia. Sehingga akan selalu terjadi tarik ulur yang bisa menyebabkan
timbulnya berbagai konflik antara legislatif dan eksekutif.
27. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 14
Sadu Wasistiono (2002) mengatakan bahwa perseteruan antara eksekutif dan
legislatif di tingkat pusat ternyata menimbulkan dampak pada hubungan antara
eksekutif dan legislatif di daerah. Menurutnya, konflik yang berkepanjangan akan
merugikan kepentingan masyarakat. Konflik pada tingkat elit akan berimbas pada
konflik horizontal di tingkat akar rumput, yang pada akhirnya akan menimbulkan
gangguan ketentraman bahkan ganggunan keamanan. Pada akhirnya hal tersebut
akan semakin memperkecil arus investasi mengalir ke daerah dan jalannya roda
perekonomian menjadi terganggu. Akibatnya sasaran-sasaran yang dapat dicapai
terbaik secara kolektif, seperti diawal tulisan telah disampaikan bahwa organisasi
(dalam hal ini pemerintahan daerah) tidak akan optimal dalam memenuhi aneka
macam kebutuhan masyarakatnya seperti kebutuhan emosional, spiritual,
intelektual, ekonomi, politik, psikologikal, sosiologikal, kultural, dan lain
sebagainya.
D. Harmonisasi Hubungan Antara Eksekutif dan Legislatif
Rusadi Kantaprawira (2002) mengartikan bahwa sistem pemerintahan
merupakan suatu cara hubungan kerja dan sekaligus hubungan fungsi antara
lembaga-lembaga negara. Fakta sejarah mengenai sistem pemerintahan di
Indonesia, baik sistem parlementer maupun presidensial dapat dijadikan alternatif
utama untuk mengukur hubungan yang terjadi antara eksekutif dan legislatif
(Lijphart dalam A.M. Munir, 2009). Upaya purifikasi terhadap UUD 1945
semakin menguatkan sistem pemerintahan presidensial. Prinsip anutan paham
pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan ini penting untuk dijernihkan
karena pilihan di antara keduanya akan sangat mempengaruhi mekanisme
kelembagaan negara secara keseluruhan, terutama dalam hubungannya dengan
penerapan prinsip check and balances (Jimly Asshiddiqie (2005), terutama
diantara fungsi eksekutif dan legislatif. Sebenarnya hubungan antara eksekutif dan
legislatif yang harmonis namun tetap kritis bisa dibangun dengan landasan
filosofis ”Siapa, Mengerjakan Apa, Serta Bagaimana Caranya?” (Sadu
Wasistiono,2002).
Menurut Ichlasul Amal (2000) pola hubungan eksekutif-legislatif terbagi
dalam tiga pola hubungan yakni: dominasi eksekutif, dominasi legislatif, dan
hubungan yang seimbang. Lebih lanjut dikatakannya dalam suatu sistem politik
satu negara ketiga pola hubungan tersebut tidak berjalan dengan tetap. Sadu
Wasistiono,2002 membandingkan UU Nomor 5 Tahun 1974 yang cenderung
merupakan dominasi eksekutif (executive heavy) yang kemudian diganti dengan
UU Nomor 22 Tahun 1999 yang cenderung merupakan dominasi legislatif
(legislative heavy) sama-sama merupakan cara yang tidak sehat bagi pertumbuhan
demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu untuk membangun pola hubungan yang
ideal antra eksekutif dan legislatif dalam arti terciptanya keseimbangan antara
kedua lembaga tersebut sangat tergantung pada sistem politik yang dibangun.
Semakin demokratis sistem politik itu, maka hubungan antara eksekutif dan
legislatif akan semakin seimbang atau dengan kata lain akan tercipta mekanisme
check and balances. Sebaliknya, semakin tidak demokratis sistem politik suatu
negara maka ynag tercipta dua kemungkinan, yaitu dominasi eksektuif yang akan
menciptakan rezim otoriter dan dominasi legislatif yang akan menciptakan anarki
28. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 15
politik. Begitu juga ekses bagi daerah, karena dalam pola yang seimbang antara
eksekutif dan legislatif itu pulalah hubungan yang hendak dibangun oleh daerah
dalam melaksanakan demokrasi lokal. Melalui keseimbang kekuasaan antara
eksekutif dan legislatif didaerah diharapakan mekanisme check and balances
ditingkat lokal dapat direalisasikan dalam rangka memperjuangkan kepentingan
rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.
Menurut A.M. Munir (2009), dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan
daerah, bentuk hubungan eksekutif dengan legislatif setidaknya terbangun dalam
3 (tiga) pola hubungan yaitu:
1) Pola hubungan searah positif
Pola hubungan searah positif terjadi apabila baik eksekutif maupun legislatif
memiliki visi yang sama dalam menjalankan pemerintahan berdasarkan
prinsip-prinsip good governance. Eksekutif dan legislatif selayaknya
mengembangkan potensinya dan meningkatkan kapasitasnya secara bersama-
sama sehingga memiliki pemahaman yang sama baiknya dalam menyikapi
setiap isu dan agenda perumusan kebijakan publik dan implementasinya.
Adanya pemahaman yang tidak sama, bahkan dalam kapasitas yang tidak
seimbang, akan menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam berkomunikasi
yang dapat mengganggu harmonisasi keduanya. Disharmonisasi hubungan
antara eksekutif dan legislatif pada akhirnya hanya akan merugikan
kepentingan masyarakat
2) Pola hubungan konflik
Pola hubungan konflik terjadi apabila kedua lembaga tersebut saling
bertentangan dalam visinya, sehingga memunculkan perilaku dan tindakan-
tindakan yang tidak produktif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pada kondisi yang demikian, keduanya dihadapkan pada kontrol masyarakat
yang akan menilai siapa diantara keduanya yang visi dan perilakunya
berdekatan (sama) dengan kepentingan masyarakat. Kondisi terburuk terjadi,
jika ternyata pertentangan yang terjadi diantara eksekutif dan legislatif justru
kepentingan keduanya tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Disinilah
sensitifitas keberpihakan kepada masyarakat kedua lembaga tersebut diuji,
seberapa besar berpihaknya mereka kepada masyarakat.
3) Pola hubungan searah negatif
Sedangkan pola hubungan searah negatif terjadi apabila eksekutif dan
legislatif berkolaborasi secara negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Hal ini sangatlah dimungkinkan, terlebih jika keduanya memiliki
kepentingan tersembunyi (hidden agenda) yang sama buruknya dan
bertentangan dengan kepentingan masyarakat, baik dalam penganggaran
maupun dalam perumusan kebijakan publik. Pada kondisi ini, masyarakatlah
yang paling dirugikan. Seharusnya diantara yang diawasi (eksekutif) dan yang
mengawasi (legislatif) bekerja atas dasar amanah masyarakat yang harus
dipertanggungjawabkan.
29. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 16
Kondisi ideal terwujud manakala hubungan eksekutif dan legislatif daerah
terbangun pada pola hubungan searah positif. Dalam membangun pola hubungan
ini, keduanya tidak semata-mata didasarkan atas sistem atau perundang-undangan
yang berlaku, tetapi juga didasarkan pada konsensus-konsensus etis dan nilai-nilai
budaya lokal.Untuk menjamin bahwa pola hubungan keduanya terbangun searah
positif, maka ruang publik (public sphere) harus terbangun secara luas. Public
sphere akan memberikan ruang yang cukup bagi interaksi antara Pemerintah
Daerah dan DPRD serta interaksi antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah
dan DPRD dalam menggunakan fungsi kontrol terhadap kinerja Pemerintah
Daerah dan DPRD.
Selain itu menurut Siti Nurbaya (2002), untuk mewujudkan hubungan
eksekutif dan legislatif yang harmonis, idealnya dikembangkan pola hubungan
yang realistik dalam bentuk: komunikasi, tukar menukar informasi, kerja sama
antara beberapa subjek, program, masalah dan pengembangan regulasi serta
klarifikasi atas berbagai permasalahannya. Patawari (2009) mengartikan politik
sebagai gejala manusia dalam rangka mengatur hidup bersama dengan esensi
membangun komunikasi.
E. Membangun Komunikasi dan Mengelola Konflik
Seiler dalam Arni Muhammad (2005) memberikan definisi komunikasi
yang bersifat universal yaitu sebagai suatu proses dengan mana simbol verbal dan
non verbal dikirimkan, diterima dan diberi arti. Secara lebih komprehensif Brent
D. Ruben dalam Arni Muhammad (2005) juga memberi artian komunikasi
sebagai suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya dengan
kelompok, organisasi dan masyarakat, menciptakan, mengirimkan dan
menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungan dan orang lain. Secara
lebih sederhana komunikasi adalah hubungan antar manusia dalam rangka
mencapai saling pengertian (Panuju, 1998). Namun terkadang definisi dari
Shannon dan Weaver (dalam Patawari, 2009) yang sering terjadi dalam proses
komunikasi politik antara eksekutif dan legislatif. Mereka menyatakan bahwa
komunikasi adalah bentuk interaksi munusia yang saling pengaruh dan
mempengaruhi satu sama lainnya baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Menurut Alfian (1993) komunikasi politik diasumsikan sebagai yang menjadikan
sistem politik itu hidup dan dinamis. Komunikasi politik adalah upaya
sekelompok manusia yang mempunyai orientasi, pemikiran politik atau ideologi
tertentu dalam rangka menguasai atau memperoleh kekuasaan (Rauf, 1993).
Unsur-unsur dalam komunikasi pada umumnya terdiri dari: komunikator,
komunikan, pesan, media, tujuan, efek, dan sumber komunikasi. Semua unsur
tersebut berada pada dua situasi politik atau struktur politik yakni pada
suprastruktur politik dan infrastruktur politik. Yang dimaksud suprastruktur
misalnya: Lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Sedangkan yang
dimaksud dengan infrastruktur misalnya: partai politik, kelompok kepentingan,
tokoh politik, dan media komunikasi politik.
Goldhaber (dalam Arni Muhammad, 2005) membuat 7 (tujuh) konsep kunci
komunikasi organisasi yang bisa diterapkan termasuk didalam melakukan
komunikasi politik eksekutif dan legislatif, yaitu:
30. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 17
1) Proses
Suatu organisasi adalah suatu sistem terbuka yang dinamis yang menciptakan
dan saling menukar pesan diantara anggotanya. Karena adanya gejala
menciptakan dan menukar informasi ini berjalan terus-menerus dan tidak ada
henti-hentinya maka dikatakan sebagai suatu proses.
2) Pesan
Pesan disini diartikan sebagai susunan simbol yang penuh arti tentang orang,
objek, kejadian yang dihasilkan oleh interaksi denga orang. Untuk
berkomunikasi seseorang harus sanggup menyusun suatu gambaran mental,
memberi gambaran itu nama dan mengembangkan suatu perasaan
terhadapnya. Komunikasi itu efektif apabila pesan yang dikirimkan itu
diartikan sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si pengirim. Pesan dapat
diklasifikasikan menjadi 4 (empat), yaitu: (a) menurut bahasa, menjadi pesan
verbal dan non verbal. Pesan verbal dalam organisasi misalnya seperti surat,
memo, pidato, percakapan. Sedangkan pesan non verbal dalam organisasi
terutama sekali yang tidak diucapkan atau tidak tertulis, gerakan badan, mimik
muka, sentuhan, dan lain-lain. (b) Klasifikasi pesan menurut penerima yang
diharapkan, dapat dibagi menjadi dua, yaitu pesan internal dan eksternal.
Pesan internal khusus dipakai dalam organisasi seperti memo, buletin, rapat-
rapat dan lain-lain. Sedangkan pesan eksternal adalah untuk memenuhi
kebutuhan lingkungan dan masyarakat umum, seperti: iklan, usaha hubungan
dengan masyarakat, informasi pelayanan dan lain-lain. (c) Klasifikasi pesan
menurut cara penyebarluasannya atau metode difusinya, dibagi menjadi
menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak. Menggunakan perangkat
keras artinya pesan dikirim melalui alat-alat elektronik atau mempunyai
tenaga/arus listrik, seperti telepon, teleks, radio, videotape, komputer, dan
lain-lain. Sedangkan pesan menggunakan perangkat lunak tergantung pada
kemampuan dan keterampilan dari individu untuk berpikir, menulis, berbicara,
dan mendengar agar dapat berkomunikasi satu sama lain. Termasuk dalam
pesan dengan menggunakan perangkat lunak adalah komunikasi lisan secara
berhadapan, percakapan dalam rapat-rapat, interview, diskusi dan kegiatan
tulis menulis seperti surat, nota, laporan, usulan dan pedoman. (d) Klasifikasi
terakhir adalah berdasarkan tujuan dari pengiriman dan penerimaan pesan.
Berdasarkan klasifikasi keempat ini terdapat 4 (empat) alasan mengapa pesan
dikirim dan diterima, yaitu: berkenaan dengan tugas-tugas organisasi,
pemeliharaan organisasi, kemanusiaan, dan inovasi. Pesan yang berkenaan
dengan tugas-tugas organisasi adalah kaitannya dengan bisnis proses
organisasi, pelayanan, serta kegiatan khusus seperti peningkatan kualitas
kinerja organisasi. Pesan yang terkait dengan pemeliharaan organisasi seperti:
kebijaksanaan, aturan-aturan yang membantu eksistensi organisasi. Pesan
terkait dengan kemanusiaan adalah mengenai sikap anggota organisasi, moral,
kepuasan dan pemenuhan kebutuhan anggota organisasi. Pesan terkait dengan
inovasi adalah kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan lingkungan
yang selalu berubah. Pesan inovasi misalnya adalah rencana baru organisasi,
31. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 18
kegiatan baru, program baru atau pengarahan/ pencerahan baru yang
membangkitkan pemecahan masalah.
3) Jaringan
Organisasi terdiri dari satu seri orang yang tiap-tiapnya menduduki posisi atau
peranan tertentu. Ciptaan dan pertukaran pesan dari orang-orang ini
sesamanya terjadi melewati suatu set jalan kecil yang dinamakan jaringan
komunikasi. Suatu jaringan komunikasi ini mungkin mencakup hanya dua
orang, beberapa orang atau keseluruhan orang dalam organisasi. Hakikat dan
luas dari jaringan ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: hubungan
peranan, arah dan arus pesan, hakikat seri dari arus pesan, dan isi dari pesan.
4) Saling tergantung
Konsep kunci komunikasi ini merupakan keadaan saling tergantung satu sama
lain. Hal ini telah menjadi sifat dari suatu organisasi yang merupakan suatu
sistem terbuka. Bila suatu bagian dari organisasi mengalami gangguan maka
akan berpengaruh kepada bagian lainnya dan mungkin berpengaruh langsung
terhadap sistem dalam organisasi. Begitu juga halnya dengan jaringan
komunikasi dalam suatu organisasi saling melengkapi. Implikasinya, bila
pimpinan mengambil suatu keputusan, dia harus memperhitungkan implikasi
keputusan itu terhadap organisasinya secara menyeluruh.
5) Hubungan
Karena organisasi merupakan suatu sistem terbuka maka berfungsinya bagian-
bagian itu terletak pada tangan manusia. Dengan kata lain jaringan melalui
mana jalannya pesan dalam suatu organisasi dihubungkan oleh manusia. Oleh
karena itu hubungan manusia dalam organisasi yang memfokuskan kepada
tingkah laku komunikasi dari orang yang terlibat didalamnya perlu dipelajari.
6) Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan adalah semua totalitas secara fisik dan
faktor sosial yang diperhitungkan dalam pembuatan keputusan mengenai
individu dalam suatu sistem. Lingkungan dapat dibedakan dalam lingkungan
internal dan eksternal. Komunikasi organisasi terutama berkenaan dengan
transaksi yang terjadi dalam lingkungan internal organisasi yang terdiri dari
organisasi dan kulturnya, dan antara organisasi dengan lingkungan
eksternalnya. Yang dimaksud dengan kultur organisasi adalah pola
kepercayaan dan harapan dari anggota oganisasi yang menghasilkan norma-
norma yang membentuk tingkah laku individu dan kelompok dalam
organisasi.
7) Ketidakpastian
Ketidakpastian adalah perbedaan informasi yang tersedia dengan informasi
yang diharapkan.untuk mengurangi faktor ketidakpastian ini organisasi
menciptakan dan menukar pesan diantara anggota, melakukan suatu
penelitian, pengembangan kapasitas organisasi, dan menghadapi tugas-tugas
yang kompleks dengan integritas yang tinggi. Ketidakpastian juga disebabkan
32. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 19
oleh terlalu banyaknya informasi yang diterima dari yang sesungguhnya
diperlukan untuk menghadapi lingkungan mereka. Oleh karena itu salah satu
urusan utama dari komunikasi organisasi adalah menentukan dengan tepat
berapa banyaknya informasi yang diperlukan untuk mengurangi
ketidakpastian tanpa informasi yang berlebih-lebihan. Jadi ketidakpastian
dapat disebabkan oleh terlalu sedikitnya informasi yang diperlukan dan juga
karena terlalu banyak yang diterima.
Panuju (1998) menyatakan bahwa komunikasi politik dapat melakukan hal-
hal sebagai berikut:
1) Komunikasi merupakan cara dan teknik penyerahan sejumlah tuntutan dan
dukungan sebagai input dalam sistem politik. Misalnya, dalam rangka
artikulasi kepentingan.
2) Komunikasi digunakan sebagai penghubung antara pemerintah dengan
rakyat, baik dalam rangka mobilitass sosial untuk implementasi tujuan,
memperoleh dukungan, memperoleh kepatuhan dan integrasi politik.
Komunikasi juga digunakan sebagai bentuk umpan balik (feed back) atas
sejumlah output (kebijaksanaan pemerintah).
3) Komunikasi menjalankan fungsi sosialisasi politik kepada warga negara.
4) Komunikasi menjalankan peran memberi ancaman untuk memperoleh
kepatutan sebelum alat paksa dipergunakan, sekaligus juga memberi
batasan-batasan mengenai hal-hal yang ditabukan untuk membatasi ruang
gerak aktivitas politik masyarakat.
5) Komunikasi mengkoordinasikan tata nilai politik yang diinginkan,
sehingga mencapai tingkat homogenitas yang relatif tinggi. Homogenitas
nilai-nilai politik ini sangat menentukan stabilitas politik.
6) Komunikasi sebagai kekuatan kontrol sosial yang memelihara idealisasi
sosial dan keseimbangan politik.
Menurut Riswanda (dalam Patawari, 2009), Legislatif/Parlemen adalah
suatu tempat dimana secara formal masalah-masalah kemasyarakatan dibahas oleh
anggota masyarakat. Kerena anggota masyarakat terlibat didalam pembahasan itu,
maka apapun yang diputuskan mengikat seluruh anggota masyarakat untuk
melaksanakan. Karena fungsinya sebagai tempat berdiskusi seluruh anggota
masyarakat, maka legislatif/parlemen harus:
1) Menggambarkan secara utuh kelompok yang ada dalam masyarakat;
2) Orang-orang yang terlibat didalamnya memilliki keahlian minimal dan
pengetahuan luas untuk memecahkan persoalan masyarakat;
3) Anggota Legislatif/Parlemen harus mengutamakan kepentingan
masyarakat daripada kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.
Dalam hubungan Legislatif dan Eksekutif Daerah dalam proses perumusan
Peraturan Daerah maka komunikasi yang sering dilakukan adalah komunikasi
organisasi (antar organisasi) dan komunikasi antar pribadi (interpersonal). Teori
mengenai komunikasi organisasi telah dijelaskan di atas. Uraian mengenai
komunikasi interpersonal dapat diketahui dari definisi yang dibuat oleh Arni
Muhammad (2005), yaitu proses pertukaran informasi diantara seseorang dengan
33. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 20
paling kurang seorang lainnya atau biasanya diantara dua orang yang dapat
langsung diketahui balikannya. Redding (dalam Arni Muhammad, 2005)
membuat klasifikasi komunikasi interpersonal menjadi interaksi intim, percakapan
sosial, interogasi dan wawancara. Pace dan Boren (dalam Arni Muhammad, 2005)
membuat standar kesempurnaan komunikasi interpersonal diantara kedua belah
pihak, antara lain:
1) Mengembangkan suatu pertemuan personal yang langsung satu sama lain
mengkomunikasikan perasaan secaa langsung;
2) Mengkomunikasikan suatu pemahaman empati secara tepat dengan pribadi
orang lain melalui keterbukaan diri;
3) Mengkomunikasikan suatu kehangatan, pemahaman yang positif
mengenai orang lain dengan gaya mendengarkan dan berespons;
4) Mengkomunikasikan keaslian dan penerimaan satu sama lain dengan
ekpresi penerimaan secara verbal dan non verbal;
5) Berkomunikasi dengan ramah tamah, wajar, menghargai secara positif satu
sama lain melalui respons yang tidak bersifat menilai;
6) Mengkomunikasikan satu keterbukaan dan iklim yang mendukung melalui
konfrontasi yang bersifat membangun;
7) Berkomunikasi untuk menciiptakan kesamaan arti dengan negosiasi arti
dan memberikan respons yang relevan.
Dalam membangun etika komunikasi interpersonal, Hofstede serta Scollon
dan Wong Scollon (dalam Ferry Firdaus, 2000) membagi dalam 3 (tiga) faktor
yang mempengaruhinya, yaitu:
1) Power (+P,-P)
Merupakan suatu bentuk komunikasi yang asimetris, dimana terdapat satu
pihak yang mempunyai posisi lebih tinggi dibanding dengan pihak yang
lain. Jadi bentuk hubungannya adalah struktural hirarkhis. Bentuk power
(kekuatan), dikatakan (+P) apabila salah satu pihak (pihak I) mempunyai
keistimewaan dan tanggung jawab lebih daripada pihak lainnya (pihak II),
dan pihak II menganggap bahwa dirinya lebih rendah posisinya dari pihak
I. Biasanya ini digambarkan secara jelas didalam struktrur organisasi yang
tersusun dalam hirarki-hirarki tertentu. Selanjutnya power akan dikatakan
(-P) apabila meskipun terdapat hirarki tertentu namun pada praktiknya
kedua belah pihak menganggap bahwa hanya ada sedikit atau bahkan
tidak ada hirarki sama sekali. Mereka bahkan terlihat seperti teman, kolega
ataupun nampak sederajat hubungannya.
2) Distance (+D,-D)
Distance atau jarak, merupakan bentuk hubungan komunikasi antara
pihak-pihak terkait dilihat dari jarak kedekatannya. Pihak-pihak yang
berasal dari kelompok (dalam hal ini dari partai politik, suku, daerah,dan
lain-lain yang sama) akan mendapat nilai (-D) karena tingkat kedekatan
yang tinggi. Sebaliknya pihak-pihak yang berangkat dari afiliasi (partai
34. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 21
politik, suku, daerah,dan lain-lain) berbeda, maka akan mendapat nilai
(+D).
3) Weight of Imposition (+W,-W)
Terkait dengan formalitas dari konten pembicaraan masalah yang
disampaikan. (+W) akan tercapai apabila kedua pihak akan semakin
formal dalam menyikapi suatu permasalahan yang terkait dengan kegiatan-
kegiatan resmi daerah. (-W) akan terjadi apabila dalam kerangka formal
namun kedua belah pihak menganggap tidak perlu membangun
komunikasi yang formal dan terkesan biasa saja (informal)
Dalam sebuah interaksi politik, baik berupa komunikasi biasa dan kerjasama
pastilah terdapat konflik yang mewarnai. Keberadaan konflik tidak dapat dihindari
karena adanya perbedaan cara pandang dan pendapat. Hal tersebut adalah wajar
selama konflik tidak menjadi berlarut-larut dan segera menemui pemecahannya.
Definisi konflik menurut Stoner dan Wankel (dalam Wahyudi dan H. Akdon,
2005) adalah ketidak sesuaian antara dua orang anggota organisasi atau lebih yang
timbul karena fakta bahwa mereka harus berbagi dalam hal mendapatkan sumber-
sumber daya yang terbatas, atau aktivitas-aktivitas pekerjaan, dan atau karena
fakta bahwa mereka memiliki status, tujuan, nilai-nilai atau persepsi yang
berbeda. Sehingga suatu organisasi yang berinteraksi dan sedang mengalami
konflik akan menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Terdapat perbedaan pendapat atau pertentangan antara individu atau
kelompok;
2) Terdapat perselisihan dalam mencapai tujuan yang disebabkan adanya
perbedaan persepsi dalam menafsirkan program organisasi;
3) Terdapat pertentangan norma dan nilai-nilai individu maupun kelompok;
4) Adanya sikap dan perilaku saling meniadakan, menghalangi pihak lain
untuk memperoleh kemenangan dalam memperebutkan sumber daya
organisasi yang terbatas;
5) Adanya perdebatan dan pertentangan sebagai akibat munculnya
kreativitas, inisiatif atau gagasan-gagasan baru dalam mencapai tujuan
organisasi.
Dalam hal teknik penyelesaian terhadap konflik Hendriks, W. (1992)
membagi dalam 5 (lima) gaya penyelesaian, yaitu:
1) Gaya penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan (integrating)
Cara ini dilakukan melalui tukar menukar informasi. Disamping itu kedua
belah pihak mempunyai keinginan untuk mengamati perbedaan dan mencaru
solusi yang dapat diterima oleh semua kelompok. Cara ini mendorong
kreativitas yang bersangkutan. Namun kelemahan cara ini adalah
membutuhkan waktu yang relatif lama dan dapat menimbulkan kekecewaan
karena penalaran dan pertimbangan rasional dikalahkan oleh komitmen
emosional untuk suatu posisi.
35. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 22
2) Gaya penyelesaian konflik dengan cara kerelaan untuk membantu
(obliging)
Cara ini dilakukan melalui dorongan bagi pihak yang berkonflik untuk
mencari persamaan-persamaan. Perhatian pada orang/kelompok lain tinggi
yang menyebabkan seseorang merasa puas karena keinginannya dipenuhi oleh
pihak lainnya, walaupun salah satu pihak harus mengorbankan sesuatu yang
penting bagi dirinya.
3) Gaya penyelesaian konflik dengan cara mendominasi (dominating)
Cara ini merupakan kebalikan dari obliging. Dominating menekankan pada
kepentingan diri sendiri. Kewajiban sering diabaikan demi kepentingan
pribadi atau kelompok dan cenderung meremehkan kepentingan orang lain.
Gaya ini dilakukan jika dihadapkan pada konflik yang membutuhkan
keputusan cepat sedangkan pihak lain yang terlibat kurang memiliki
pengetahuan atau keahlian tentang isu yang sedang menjadi konflik.
4) Gaya penyelesaian konflik dengan cara menghindar (avoiding)
Cara ini dilakukan melalui jalan menghindari persoalan. Pihak yang
menghindari konflik tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau
orang lain. Gaya ini merupakan suatu bentuk penghindaran terhadap
tanggungjawab atau mengelak dari suatu konflik. Seseorang yang
menggunakan teknik ini akan berusaha lari dari permasalahan yang menjadi
tanggungjawabnya atau meninggalkan pertarungan untuk mendapatkan hasil,
meskipun hal itu tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas.
5) Gaya penyelesaian konflik dengan cara kompromi (compromising)
Cara ini bisa menjadi efektif bila isu konflik sangat komplek dan kedua belah
pihak yang terlibat konflik mempunyai kekuatan yang berimbang. Teknik ini
merupakan alternatif yang dapat ditempuh apabila teknik lainnya gagal dan
kedua belah pihak dapat mencapai jalan tengah. Para gaya compromising,
masing-masing pihak rela memberikan sebagian kepentingannya (win-win
solution).
Terdapat 2 (dua) teknik tambahan yang dikemukakan oleh Hardjana A.M
(dalam Wahyudi dan H. Akdon, 2005) yaitu:
6) Gaya penyelesaian konflik dengan cara kerjasama (collaborating)
Melalui cara ini pihak-pihak yang berkonflik bekerja sama mencari
pemecahan masalah yang dapat memuaskan kepentingan kedua belah pihak.
Pengelolaan konflik dengan cara ini merupakan pendekatan menang-menang
(win-win approach). Kedua belah pihak mendapatkan apa yang diinginkan
tapi tidak penuh dan kehilangan tetapi tidak seluruhnya.
7) Gaya penyelesaian konflik dengan cara menyesuaikan (accomoding)
Pendekatan ini dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik dengan cara
salah satu pihak melepaskan atau mengenyampingkan keinginan kelompoknya
dan memenuhi keinginan pihak lain. Melalui cara ini, pihak yang satu
36. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 23
merelakan kebutuhannya, sehingga pihak yang lain mendapatkan sepenuhnya
hal yang diinginkan, atau dikenal dengan nama teknik kalah-menang (lose-win
approach).
F. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Dalam Formulasi Peraturan
Perundangan
Terjadi perubahan paradigma cukup besar yang terjadi pada tubuh
legislatlif, khususnya di daerah. Konsep yang diusung pasca reformasi merupakan
perubahan yang radikal dilihat dari bukti-bukti historis legislatif daerah yang
selalu ditempatkan sebagai bagian dari pemerintah daerah. Lahirnya UU Nomor
22 Tahun 1999, menegaskan rumusan DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah.
Secara lebih rinci kedudukan DPRD pada undang-undang ini adalah sebagai
berikut:
1) DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana
untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila;
2) DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi
mitra dari Pemerintah Daerah;
3) Keanggotaan DPRD dan jumlah anggota-anggota DPRD ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
4) Alat kelengkapan DPRD terdiri dari pimpinan, komisi-komisi dan panitia-
panitia;
5) DPRD membentuk fraksi-fraksi yang bukan merupakan alat kelengkapan
DPRD;
6) Pelaksanaan ketentuan, sebagaimana dimaksud pada butir 4 dan 5, diatur
dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Selanjutnya tugas dan wewenang DPRD dalam undang-undang ini adalah
sebagai berikut:
1) Memilih Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati dan Walikota/
Wakil Walikota;
2) Memilih anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Utusan Daerah;
3) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/ Wakil
Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota;
4) Bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota membentuk Peraturan
Daerah;
5) Bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota menetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
6) Melaksanakan pengawasan terhadap:
a) Pelaksanaan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-Undangan;
b) Pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati dan Walikota;
c) Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
d) Kebijakan Pemerintah Daerah dan;
e) Pelaksanaan kerjasama internasional di daerah
37. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 24
7) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah terhadap
rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah,
dan;
8) Menampung dan menindaklanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.
Yang terlihat mencolok dari masa berlakunya undang-undang ini adalah
DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat
pemerintah atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu
hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan dan
pembangunan. Pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga masyarakat yang
menolak permintaan sebagaimana dimaksud diancam dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun karena merendahkan martabat dan kehormatan DPRD
(contempt of parliament).
Penguatan ”kekuasaan” DPRD yang begitu besar pada masa ini sering
dikatakan bahwa bandul kekuasaan berada disisi legislatif (legislative heavy).
Kecenderungan adanya kekuasaan yang berlebih menimbulkan reaksi untuk
kembali mempertegas kembali prinsip check and balances dalam hubungan antara
DPRD dan Pemerintah Daerah. Untuk itulah kemudian UU Nomor 22 Tahun
1999 direvisi dan lahirlah UU Nomor 32 Tahun 2004. dalam undang-undang baru
ini, DPRD kemudian dirumuskan ulang dari kedudukan sebagai Badan Legislatif
Daerah menjadi sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah (pasal 40 UU
Nomor 32/2004). Menurut Ari Dwipayana (2008) ada beberapa perspektif yang
melatar belakangi dibentuknya undang-undang baru tersebut antara lain: pertama,
bagi perumus undang-undang itu, dalam sistem negara kesatuan (unitarian state)
tidak dikenal istilah badan legislatif daerah. Badan legislatif hanya berada di level
nasional (pusat). Oleh kerena itu, dalam cara berpikir UU Nomor 32 Tahun 2004,
DPRD bukan lembaga legislatif. Meskipun pada praktiknya DPRD bisa membuat
Peraturan Daerah (Perda), namun hal ini tidak sama dengan undang-undang
karena Perda merupakan derivasi dari kebijakan pusat. Kedua, karena DPRD tidak
lagi menjadi lembaga legislatif daerah maka DPRD mempunyai kedudukan sama-
sama sebagai unsur pemerintahan daerah bersama dengan Pemerintah Daerah.
Berikut ini adalah tabel perbedaan definisi dan kedudukan DPRD antara UU
Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 22/2003 dan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Tabel 2.1
Perbedaan Definisi dan Kedudukan DPRD antara UU Nomor 22 Tahun
1999, UU Nomor 27 Tahun 2009 dan UU Nomor 32 Tahun 2004
Aspek UU Nomor 22
Tahun 1999
UU Nomor 27
Tahun 2009
32 Tahun 2004
Definisi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah,
selanjutnya
disebut DPRD,
adalah Badan
Legislatif Daerah
(pasal 1)
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah,
selanjutnya
disingkat DPRD
adalah Dewan
Perwakilan Rakyat
Daerah
sebagaimana
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
yang selanjutnya
disebut DPRD
adalah lembaga
perwakilan rakyat
daerah sebagai
unsur
38. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 25
Aspek UU Nomor 22
Tahun 1999
UU Nomor 27
Tahun 2009
32 Tahun 2004
dimaksud dalam
Undang-Undang
Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun
1945 (pasal 1 ayat
(4))
pemerintahan
daerah (pasal 1)
kedudukan (1) DPRD sebagai
lembaga
perwakilan
rakyat di
daerah
merupakan
wahana untuk
melaksanakan
demokrasi
berdasarkan
Pancasila
(2) DPRD sebagai
Badan
Legislatif
Daerah
berkedudukan
sejajar dan
menjadi mitra
Pemerintah
Daerah
(pasal 16)
DPRD merupakan
lembaga
perwakilan rakyat
daerah yang
berkedudukan
sebagai lembaga
pemerintahan
daerah (pasal 291
dan 342)
DPRD merupakan
lembaga
perwakilan rakyat
daerah dan
berkedudukan
sebagai unsur
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah (pasal 40)
Dalam hal kewenangan yang luas saat ini DPRD tidak lagi bisa seperti pada
UU Nomor 22 Tahun 1999. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan antara tugas,
kewenangan dan hak-hak DPRD antara UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU
Nomor 32 Tahun 2004 dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.2
Perbedaan Fungsi, Tugas dan Kewenangan Serta Hak-Hak DPRD Antara
UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004
Aspek UU Nomor 22 Tahun
1999
UU Nomor 32 Tahun 2004
Fungsi Tidak disebutkan DPRD memiliki fungsi
legislasi, anggaran dan
pengawasan
Tugas dan Kewenangan (1) Memilih kepala (1) Membentuk Perda yang
39. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 26
Aspek UU Nomor 22 Tahun
1999
UU Nomor 32 Tahun 2004
daerah/ wakil
kepala daerah;
(2) Memilih anggota
MPR dan Utusan
Daerah;
(3) Mengusulkan
pengangkatan dan
pemberhentian
kepala daerah/
wakil kepala
daerah;
(4) Bersama dengan
kepala daerah
membentuk
Peraturan Daerah;
(5) Bersama dengan
kepala daerah
menetapkan APBD;
(6) Melaksanakan
pengawasan;
(7) Memberikan
pendapat dan
pertimbangan
kepada pemerintah
terhadap rencana
perjanjian
internasional yang
menyangkut
kepentingan daerah;
(8) Menampung dan
menindaklanjuti
aspirasi daerah dan
masyarakat
(pasal 18)
dibahas dengan kepala
daerah untuk
mendapatkan
persetujuan bersama;
(2) Membahas dan
menyetujui rancangan
Perda tentang APBD
bersama dengan kepala
daerah;
(3) Melaksanakan
pengawasan;
(4) Mengusulkan
pengangkatan dan
pemberhentian kepala
daerah/ wakil kepala
daerah;
(5) Memilih wakil kepala
daerah dalam hal terjadi
kekosongan jabatan
wakil kepala daerah;
(6) Memberikan pendapat
dan pertimbangan
kepada pemerintah
daerah terhadap
perjanjian internasional
di daerah;
(7) Memberikan
persetujuan terhadap
rencana kerjasama
internasional yang
dilakukan pemerintah
daerah;
(8) Meminta laporan
keterangan
pertanggungjawaban
kepala daerah dalam
penyelenggaraan
pemerintahan daerah;
(9) Membentuk panitia
pengawas pemilihan
kepala daerah;
(10) Memberikan
persetujuan terhadap
rencana kerjasama antar
40. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 27
Aspek UU Nomor 22 Tahun
1999
UU Nomor 32 Tahun 2004
daerah dan dengan
pihak ketiga yang
membebani masyarakat
dan daerah.
Hak-Hak DPRD DPRD mempunyai hak:
(1) Meminta
pertanggungjawaban
kepala daerah;
(2) Meminta keterangan
kepada pemerintah
daerah;
(3) Mengadakan
penyelidikan;
(4) Mengadakan
perubahan atas
Rancangan Perda;
(5) Mengajukan
pernyataan pendapat;
(6) Mengajukan
Rancangan Peraturan
Daerah;
(7) Menentukan APBD;
(8) Menetapkan
Peraturan Tata T ertib
DPRD (pasal 19)
Dalam pasal 20 ayat (1)
dan (2) disebutkan
bahwa dalam
melaksanakan tugasnya
berhak meminta pejabat
negara, pejabat
pemerintah atau warga
masyarakat untuk
memberikan keterangan.
Apabila mereka
menolak permintaan
DPRD diancam dengan
pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun
karena merendahkan
martabat dan
kehormatan DPRD.
DPRD mempunyai hak:
interpelasi, angket dan
menyatakan pendapat
Dalam pasal 43 ayat (5) dan
(6) disebutkan kewajiban
bagi setiap orang yang
dipanggil, didengar dan
dipaksa oleh panitia angket.
Apabila tidak memenuhi
panggilan maka panitia
angket dapat memanggil
secara paksa dengan bantuan
kepolisian
41. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 28
Terkait dengan fungsi yang dimiliki DPRD, maka Patawari (2009) melihat
bahwa lembaga perwakilan memiliki 6 (enam) fungsi dasar, yakni:
1) Fungsi Perwakilan Rakyat
Fungsi ini berhubungan dengan posisi para aktivis partai (yang mewakili
rakyat) sebagai agregator dan artikulator aspirasi masyarakat. DPRD yang
baik adalah yang sanggup memahami, menjaring, merekam aspirasi
masyarakat.
2) Fungsi Legislasi
Fungsi ini berhubungan dengan upaya menterjemahkan aspirasi masyarakat
menjadi keputusan-keputusan politik yang nantinya dilaksanakan oleh pihak
eksekutif (pemerintah). Disini kualitas anggota DPRD diuji. Mereka harus
mampu merancang dan menentukan arah serta tujuan aktivitas pemerintahan
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat.
3) Fungsi Legislatif Review
Fungsi ini berhubungan dengan upaya menilai kembali semua produk politik
yang secara umum dirasakan mengusik rasa keadilan ditengah masyarakat.
Akibat yang ditimbulkan antara lain: membebani masyarakat, membatasi hak-
hak masyarakat dan mengakibatkan ketimpangan distribusi sumber daya alam.
4) Fungsi Pengawasan
Fungsi yang berkaitan dengan upaya memastikan pelaksanaan keputusan
politik yang telah diambil tidak menyimpang dari arah dan tujuan yang telah
ditetapkan. Idealnya anggota DPRD tidak sekedar mendeteksi adanya
penyimpangan yang bersifat prosedural, juga diharapkan dapat mendeteksi
penyimpangan teknis, seperti dalam kasus bangunan fisik yang daya tahannya
diluar perhitungan normal.
5) Fungsi Anggaran
Fungsi ini berkaitan dengan kemampuan DPRD mendistibusikan sumber daya
lokal (termasuk anggaran, dsb) sesuai dengan skala prioritas yang secara
politis telah ditetapkan.
6) Fungsi Pengaturan Politik
Melalui fungsi ini anggota DPRD dituntut untuk:
(a) Menjadi fasilitator aspirasi dan konflik yang ada pada tataran masyarakat,
sehingga menghindari penggunaan kekerasan pada tingkat masyarakat;
(b) Menjadi mediator kepentingan masyarakat dengan pemerintah.
42. Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan
Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif
Bab II Landasan Teori
PKP2A III LAN Halaman | 29
G. Revitalisasi Etika Birokrasi Dalam Membangun Hubungan Antara
Eksekutif dan Legislatif
Berbicara mengenai etika, maka Bertens (dalam Rini Darmastuti, 2007)
menjelaskan etika sebagai:
1) Etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan dalam kehidupan seseorang atau suatu kelompok yang
digunakan untuk mengatur tingkah lakunya. Menggunakan perkataan lain,
maka etika bisa dirumuskan sebagai sistem nilai yang berfungsi dalam
hidup manusia secara perorangan maupun sosial;
2) Etika berarti kumpulan asas atua nilai moral. Kumpulan asas atau nilai
moral yang dimiliki oleh suatu masyarakat biasanya diaplikasikan dalam
bentuk kode etik. Tujuannya untuk mempermudah masyarakat tersebut
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari;
3) Etika memiliki arti ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika baru menjadi
ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang
yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat.
Untuk mempelajari etika yang berhubungan dengan tingkah laku dan moral
manusia, Rini Darmastuti (2007) membaginya kedalam 3 (tiga) pendekatan, yaitu:
1) Etika Deskriptif
Etika ini digunakan untuk memahami etika dari deskripsi tingkah laku
manusia dan hanya melukiskan tindakan-tindakan dan tingkah laku manusia
tanpa memberikan penilaian terhadap tingkah laku manusia itu sendiri. Yang
termasuk dalam etika deskriptif menurut pendapat diatas antara lain: adat
istiadat, tindakan-tindakan yang berlaku dalam masyarakat, pendapat-
pendapat tentang yang baik atau buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan
atau tidak diperbolehkan, dan sebagainya.
2) Etika Normatif
Etika normatif merupakan suatu etika yang memberikan penilaian sekaligus
memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
Penilaian yang diberikan didasarkan pada norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat, serta didasarkan atas rasionalitas yang ada dalam kehidupan
manusia. Etika normatif ini bersifat prespektif atau memerintahkan. Artinya
etika ini menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya
dimiliki manusia, serta apa yang seharusnya dijalankan dan tindakan-tindakan
apa yang seharusnya diambil untuk mencapai apa yang bernilai dalam
kehidupan manusia itu. Inti pendekatan ini adalah norma-norma yang
menuntun tingkah laku setiap individu yang ada dalam masyarakat serta
aplikasi dari norma itu yang memberikan pengarahan, penilaian serta
himbauan supaya manusia bertindak berdasarkan norma-norma tersebut. Yang
dimaksud denga norma atau kaidah disini adalah tata aturan dalam etika.
Norma yang berlaku dalam kehidupan manusia dibagi menjadi 2 (dua) yaitu