SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  26
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ
tubuh, namun sebagain besar menyerang paru. Tuberkulosis merupakan masalah
kesehatan masyarakat terbesar, khususnya di negara berkembang. Beberapa fakta
menunjukkan hal ini antara lain:1
1. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ke-4 di dunia
setelah India, Cina dan Afrika Selatan.. Diperkirakan jumlah pasien TB di
Indonesia sekitar 5,8% (tahun 2008) dari total jumlah pasien TB di dunia
2. Data yang didapat dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2002,
terdapat 22 negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB terbesar di dunia.
3. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan
diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya kasus baru
tuberkulosis bertambah seperempat juta.
4. Penemuan kasus BTA positif (case detection rate, CDR) mengalami peningkatan
selama periode 2003-2006 dan tahun 2007 menunjukkan penurunan di bawah
target global (70%). Angka penemuan kasus TB paru tahun 2003 sebesar 42%,
tahun 2005 sebesar 54%, tahun 2006 sebesar 76% yang berarti mencapai target
global, namun pada tahun 2007 kembali menurun sebesar 69%.
Dengan penanganan yang tepat, TB merupakan penyakit yang dapat
disembuhkan. Pemerintah juga telah menetapkan pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan tuberkulosis. Pengobatan TB memakan waktu yang cukup lama dan
rentan untuk timbulnya efek samping. Sebagian besar pasien TB, dalam perjalanan
pengobatannya tidak selalu dijumpai adanya efek samping. Tetapi pada beberapa
pasien didapatkan efek samping yang dirasakan memberat. Penting bagi pasien untuk
dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin
timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi
efek samping tersebut.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengobatan TB
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah
antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas
obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas
sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,
Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut
sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal
membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan
pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 2
Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino
Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin.
Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin
umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat
primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai
alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB. 2
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,
maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
 Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
 Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly ObservedTreatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
3
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap
dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi
OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf
tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni : 2
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau
frekwensi.Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2
bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf,
seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan).
Kemasan obat dalam bentuk :
 Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol.
 Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Tabel 1. Panduan OAT dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia
Kategori 1 • 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 • 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
OAT sisipan • HRZE
Kategori anak • 2HRZ/4HR
1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)1
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan.
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan
tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Lama pengobatan seluruhnya 6
bulan
Obat ini diberikan untuk:
• Penderita baru TB Paru BTA Positif.
• Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif
• Penderita TB Ekstra Paru, kasus baru
v
2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) 1
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
HRZES setiap hari.Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah
itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Lama pengobatan 8 bulan.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya
pernah diobati, yaitu:
• Penderita kambuh (relaps)
• Penderita gagal (failure)
• Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
3. OAT Sisipan (HRZE)1
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50
kg: 1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet
Pirazinamid 500mg, 3 tablet Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan
berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT1
Obat
Dosis
(mg/Kg
BB/hr)
Dosis yg dianjurkan
Dosis
Maks
(mg)
Dosis mg/KgBB
Harian
(mg/Kg
BB/hr)
Intermitte
n (mg/Kg
BB/kali)
<40 40-60 >60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 35 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000
vi
Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination (FDC).
Obat ini pada dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam
tablet yang ada sudah berisi 2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.WHO
sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan
keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi dalam
bentuk lepas.
Keuntungan penggunaan OAT FDC:
a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu
kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan
penderita.
b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah
pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat
meningkatkan kepatuhan penderita.
c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita
tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.
d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah
pengelolaannyadan lebih murah pembiayaannya.3
Tabel 3. Jenis OAT FDC2
Fase Intensif Fase Intensif
2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE
150/75/400/275
RHZ
150/75/400
RHZ
150/150/500
RH
150/75
RH
150/150
30-37
38-54
55-70
>71
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang
dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat
vii
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk
kerumah sakit / dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.2
4. Kategori Anak
Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan
teliti (termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis
termasuk analisis terhadap kurva pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang
uji tuberkulin, radiologi, serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan.)
Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat
sulit sekali mengambil sampel dahak, maka diagnosis TB anak dapat
menggunakan criteria lain yaiotu denganb menggunakan system pembobotan
(scoring system). Apabila diagnosis hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan foto toraks atau laboratorium saja, sering terjadi misdiagnosis, underdiagnosis
atau overdiagnosis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan (scoring system) yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
viii
Tabel 4. Sistem pembobotan (scoring system) untuk diagnosis TB pada
anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan
keluarga,
BTA tidak
jelas
BTA (+)
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan
/keadaan gizi
Bawah garis
merah (KMS)
atau BB/U <
80%
Klinis gizi
buruk (BB/U
< 60%)
Demam tanpa
sebab jelas
> 2 minggu
(jelas)
Batuk* > 3 minggu
Pembesaran
kelenjar limfe
coli, aksila,
inginal,
> 1cm, jumlah
> 1, tidak nyeri
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut
Ada
pembengkakan
Foto toraks Normal /
tidak jelas
Kesan TB
Catatan:
 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
ix
 Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti : asma, sinusitis dan lain-lain
 Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis
 Berat badan dinilai saat pasien datang
 Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
 Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak.
 Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥6) didiagnosis
sebagai TB anak dan ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis).
Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kea rah TB kuat
maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnosis lainnya sesuai indikasi,
seperti :
 Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan
pleura, cairan serebrospinal, cairan ascites atau spesimen lain.
 Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan
atau biopsy.
 Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu
menggunakan CT-Scan.
 Pemeriksaan lain seperti funduskopi.
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan
dalam waktu minimal 6 bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi 2 tahap, intensif
dan lanjutan. Pada tahap intensif selama 2 bulan awal, mulai bulan ketiga dan
selanjutnya merupakan tahap lanjutan. Pada tahap intensif diberikan paduan >3
OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan diberikan paduan 2 obat H dan R.
x
Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan, Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Tabel 5. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak
Obat Dosis Harian
(mg/KgBB/hari)
Dosis maksimal
(mg per hari)
Isoniazid (H) 5-15* 300
Rifampisisn ** (R) 10-20 600
Pyrazinamide (z) 15-40 2000
Streptomisin (S) 15-40 1000
Catatan:
* Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh
melebihi 10 mg/Kg?BB/hari
** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain
karena bioavailabilitas rifampisin dapat terganggu. Rifampisisn dapat
diabsorbsi dengan baik melaui sistem gastrointestinal pada saat perut
kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan).
Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT)
Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap
lanjutan. Satu tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisisn 75
mg, dan pirazinamid 150 mg. Sedangkan satu tablet KDT berisi isoniazid 50 mg
dan rifampisin 75 mg.
Tabel 6. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT
Berat Badan (kg) KDT Tahap intensif H50,
R75, Z150 2 bulan, tiap
hari
KDT tahap lanjutan H50,
R75 4 bulan, Tiap Hari
05-09 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
xi
Catatan:
 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 Kg dirujuk ke RS
 Anak dengan BB > 33 Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel 5
 Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
 Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah
(chewable), atau dilarutkan dalam air (dispersable).
2.2 Efek Samping OAT : 5
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 &
5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)4,5
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi
dengan pemberian piridoksin dengan dosis terendah 10 mg perhari atau
dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom
pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat
timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau
ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada
keadaan khusus.
Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan
dengan dosis dan lama pemberiannya
xii
A. Reaksi Imunologis
Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan
terjadi lupus ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat
B. Toksisitas langsung
Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama
yang paling sering terjadi. Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan
pada aminotransferasi hati (hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang
tidak membutuhkan penghentian obat dan dijumpai pada 10-20% pasien,
yang biasanya asimtomatik. Hepatitis klinis yang disertai hilangnya nafsu
makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas terjadi pada
1% resipien isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak
segera dihentikan. Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan
nekrosis hepatoselular. Risiko hepatitis bergantung pada usia, dan jarang
terjadi pada usia di bawah 20 tahun, sebesar 0,3% pada pasien berusia 21-
35 tahun, 1,2% pada pasien berusia 36-50 tahun, dan 2,3% pada pasien
berusia 50 tahun atau lebih. Risiko hepatitis lebih besar pada pecandu
alcohol dan kemungkinan selama kehamilan serta pada masa
pascapersalinan. Timbulnya hepatitis akibat isoniazid menjadi
kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian obat tersebut.
Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat
dosis lebih besar dari 5 mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian
dosis dewasa standar sebesar 300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai
pada asetilator lambat dan pasien dengan keadaan kondisi presdiposisi,
seperti malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS dan uremia. Neuropati
terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi
piridoksin, dan toksisitas ini cepat dipulihkan melalui pemberian
piridoksin dengan dosis serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf
pusat, yang lebih jarang ditemui, meliputi hilangnya daya ingat, psikosis
dan kejang. Kesemuanya ini juga berespons terhadap piridoksin.
xiii
Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya
anemia defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna. Isoniazid
dapat menurunkan metabolisme fenitoin sehingga meningkatkan
toksisitasnya dalam darah.
2. Rifampisin1, 3, 6
Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin,
keringat, air mata dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara
permanen).
A. Reaksi Imunologis
Efek samping meliputi ruam dan demam.
B. Toksisitas Langsung
Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis.
Rifampin dapat menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis.
Rifampin sering menyebabkan proteinuria rantai-ringan. Jika diberikan kurang
dari dua kali seminggu, rifampin menyebabkan sindrom seperti flu yang
ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan
terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut. Rifampin sanagt menginduksi
kebanyakan isoform sitokrom P450 ( CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4)
yang meningkatkan eliminasi berbagai obat lain seperti metadon,
antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease,
beberapa penghambat reverse transciptase nonnukleosida, kontrasepsi, dan
obat lain. Pemberian rifampin menurunkan kadar semua obat tersebut dalam
serum. Efek lain seperti timbul sindrom seperti flu yang ditandai dengan
demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait
dengan nekrosis tubular akut.
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simptomatik ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang kadang diare
xiv
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
3. Pirazinamid 4,5
Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5%
penderita),
 General
Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan. Hiperurisemia dialami oleh
semua penggunanya dan tidak menjadi alasan penghentian terapi.
Hiperurisemia dapat mencetuskan artritis pirai akut.
 Gastrointestinal
Efek samping utama adalah reaksi hati. Hepatotoksisitas tampaknya
berhubungan dengan dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi.
Gangguan GI termasuk mual, muntah dan anoreksia juga telah dilaporkan.
 Hematologi dan limfatik
Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia,
vakuolasi dari eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang
terjadi pada penggunaan obat ini. Efek samping pada mekanisme
pembekuan darah juga jarang dilaporkan.
 Efek lainnya
Arthralgia dan milagia ringan dilaporkan sering terjadi. Reaksi
hipersensitivitas termasuk ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan.
Demam, timbulnya jerawat, fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis
interstisial telah dilaporkan jarang terjadi.
xv
4. Etambutol 4,5,6
Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang
paling sering terjadi adalah neuritis retrobulbar, yang menyebabkan
penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah-hijau. Efek samping
yang terkait dosis ini lebih sering terjadi pada dosis 25 mg/kg/hari yang
diberikan selama beberapa bulan. Pada dosis 15mg/kg/hari atau kurang,
gangguan penglihatan sangat jarang terjadi. Pemeriksaan ketajaman visual
secara teratur sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar 25 mg/kg/hari
digunakan. Etambutol relatif dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda
untuk dapat diperiksa ketajaman penglihatan dan diskriminasi warna merah-
hijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan.
 Okular
Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman
penglihatan (termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk
neuritis optic atau retrobulbar neuritis), scotoma, dan buta warna.
Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol6
Secara klasik, toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian, dan
bersifat reversibel ketika obat dihentikan.
o Dose-related
Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan
bervariasi antara 18% pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg
per hari, 5-6% dengan 25mg/kg per hari dan kurang dari 1%
dengan 15 mg/kg per hari dari ethambuthol HCL dengan
pemberian lebih dari 2 bulan. Belum ada dosis aman yang
dilaporkan, dengan toksisitas dilaporkan pada dosis yang lebih
rendah dari 12,3 mg/kg per hari.
xvi
o Duration-related
Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan
umumnya tidak berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah
pengobatan. Mean Interval antara onset terapi dengan efek samping
dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan. Manifestasi gangguan setelah
12 bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi. Perlu diperhatikan
bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari pasien yang
diterapi dengan eksternal validitas yang tidak diketahui.
Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman
penglihatan dan penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa
terjadi pada terapi dengan ethambutol dam memerlukan monitoring secara
berkala terhadap ketajaman penglihatan dan perbedaan warna. Optic
neuritis sering terjadi pada pemberian dosis lebih dari 15 mg/kg/hari.
Pemberian terapi sebaiknya dihentikan, ketika didapatkan tanda gangguan
pada penglihatan. Kerusakan dapat mengenai pada saraf perifer maupun
sentral dari nervus optikus. Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan
biasanya terjadi setelah 2 bulan pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat
terjadi. Faktor predisposisi termasuk penurunan fungsi renal, diabetes, dan
kejadian optic neuritis sebelumnya akibat penggunaan alkohol atau
tembakau. Walaupun gangguan penglihatan tersebut bersifat reversibel
setelah beberapa bulan penghentian ethambutol, kasus kebutaan yang
irreversibel dan kerusakan penglihatan juga telah ada dilaporkan.
Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien
dengan kerusakan renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di
dalam tubuh.
 Metabolik
Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor presipitasi
dari terjadinya gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66%
pasien yang menerima terapi dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya,
lebih menuju kepada arthralgia sendi dan gout arthritis setelah 1 sampai 2
xvii
bulan terapi. Gejala biasanya menghilang setelah 15 hari sejak obat
dihentikan.
 Hepatik
Efek samping termasuk toksisitas liver. Peningkatan sementara dan
asimptomatik dari LFT terjadi pada 10% pasien. Jaundice jarang
dilaporkan terjadi. Peningkatan LFT, biasanya tanpa perubahan dari
bilirubin, terjadi pada 10% pasien yang diterapi dengan ethambutol.
Peningkatan ini menghilang secara spontan ketika pemberian obat
dihentikan. Jaundice asimptomatik juga jarang terjadi pada pemberian
terapi ethambutol
 Hipersensitivitas
Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid.
Reaksi hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash,
dermatitis exfoliatif), lichen-planus reaction, dan toxic epidermal
necrolysis. Reaksi hipersensitifitas ditunjukkan dengan demam (spiking
fever), rash, mual, hipotensi, dan eosinofilia. Lichen-planus-like reactions
termasuk hiperpigmentasi dan desquamasi jarang dilaporkan terjadi, sama
seperti toxic epidermal necrolysis.
 Hematologi
Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan
neutropenia.
 Respiratori
Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates
dengan atau tanpa eosinofilia
 Gastrointestinal
Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol
dan biasa berhubungan dengan reaksi hipersensitifitas.
Pseudomembranous colitis dilaporkan terjadi ketika ethambutol diberikan
bersamaan dengan rifampin dan isoniazid. Efek samping yang lain
termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, anorexia.
xviii
 Sistem Saraf
Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar, dan rasa tebal serta
kesemutan pada ekstremitas akibat peripheral neuritis.
 Psikiatrik
EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.
 Dermatologi
Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.
 Muskuloskeletal
Efek samping termasuk gangguan sendi
 Renal
Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal
insufficiency. Terjadi gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin
serum dan idiosyncratic interstitial nephritis.
5. Streptomisin4,5
Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum
Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan
nefrotoksisitas lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih
dari 5 hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada keadaan
insufisiensi ginjal. Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan
diuretik kuat (misalnya furosemid, asam etakrinat) atau antimikroba laninnya
yang bersifat nefrotoksik (misalnya, vankomisin atau amfoterisin) dapat
memperparah nefrotoksisitas dan harus dihindari bila memungkinkan.
Ototoksisitas dapat bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan
pendengaran, yang awalnya menimbulkan tinnitus, atau berupa kerusakan
vestibular yang ditandai adanya vertigo, ataksia, dan hilangnya keseimbangan.
Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau
penurunan clearance kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya
toksistas seringkali berupa peningkatan kadar terendah (trough)
aminoglikosida serum. Neomisin, kanamisin dan amikasin adalah obat-obat
yang paling bersifat ototoksik. Streptomisin dan gentamisin paling bersifat
xix
vestibulotoksik. Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling bersifat
nefrotoksik.
Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek
yang mirip kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis
pernafasan. Paralisis tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian
kalsium glukonat (diberikan segera) atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak
sering terjadi.
Reaksi Simpang Streptomisin5
Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat
hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi akibat
paparan yang lama dengan obat ini, baik pada pasien yang menjalani
pengobatan dalam jangka panjang (misalnya tuberkulosis) maupun pada
petugas media yang bertugas menangani obat ini. Desensitisasi kadang-kadang
berhasil.
Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik
yang paling serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular,
berupa vertigo dan hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan
gangguan ini berhubungan langsung dengan umur, pasien, kadar obat dalam
darah, dan lama pemberian. Disfungsi vestibular dapat terjadi setelah beberapa
minggu dengan kadar obat yang relatif rendah dalam darah. Toksisitas
vestibular cenderung bersifat ireversibel. Streptomisin yang bdiberikan selama
kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonates sehingga
penggunaannya pada kasus ini relatif dikontraindikasikan.
xx
Tabel 7. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya 2
Efek Samping Kemungkinan
Penyebab
Tatalaksana
Minor OAT Teruskan
Tidak nafsu makan, mual,
sakit perut
Rifampisin Obat diminum malam
sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa
terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6 (piridoksin)
1 x 100 mgperhari
Warna kemerahan pada
air seni
Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu
diberi apa-apa
Mayor Hentikan Obat
Gatal dan kemerahan
pada kulit
Semua jenis OAT Beri antihistamin &
dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan
(vertigo dan nistagmus)
Streptomisin Streptomisin dihentikan
Ikterik / Hepatitis Imbas
Obat (penyebab lain
disingkirkan)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Sampai ikterik menghilang
dan boleh diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan confusion
(suspected drug-induced
pre-icteric hepatitis)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT &
lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol
Kelainan sistemik,
termasuk syok dan
purpura
Rifampisin Hentikan Rifampisin
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian
pasien menghilang, namun pada sebagian pasien malah menjadi suatu kemerahan
kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan
tersebut menghilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk.
xxi
Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan) penanganan kasus-kasus
efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
 Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan
menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat
mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
 Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas
atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT
dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai prinsip dechallenge-
rechallenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis
rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi
hipersensitivitas.
 Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,
misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan
TB dapat diberikan lagi tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat
tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu
diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
 Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)
terhadap Isoniasid (INH) atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis
OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting)
dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi
hipersensitivitas terhadap Isoniasid (INH) dan atau Rifampisin tersebut
HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan
lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab
mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.
Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan
rifampisin dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. (drug induced-hepatitis),
sebagai tambahan rifampisin dapat mengakibatkan jaundice yang asimptomatik
tanpa ada buktinya nyata telah terjadinya hepatitis. Sangat penting untuk
xxii
menyingkirkan kemungkinan lain dari penyebab hepatitis selain dari akibat
regimen pengobatan TB.
Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari :
 Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.
 Keparahan dari penyakit hati
 Keparahan dari TB
 Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT.
Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat
anti-TB, semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit
TB sangat berat dan diperkirakan tidak aman untuk menghentikan pengobatan TB,
regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan
fluoroquinolone dapat mulai diberikan.
Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati
kembali normal dan gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang
sebelum memberikan kembali obat anti-TB. Jika tidak memungkinkan melakukan
tes fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu setidaknya 2 minggu setelah
menghilangnya jaundice dan tenderness pada abdomen bagian atas sebelum
memulai pengobatan TB. Jika gejala dan tanda tidak menghilang dan penyakit
hati bertambah parah, pemberian regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari
streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau
dilanjutkan) selama total 18-24 bulan.
Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali
satu persatu. Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat
diberikan. Obat terakhir yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli
menganjurkan untuk memulai dengan rifampisin karena hampir sedikit
samadengan isoniazid atau pyrazinamid dalam menyebabkan hepatotoksik dan
merupakan agen yang paling efektif. Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat mulai
diberikan. Pada pasien yang pernah mengalami jaundice dan tahan terhadap
xxiii
pemberian kembali dari rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari
pyrazinamide.
Regimen alternatif tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan
hepatitis.
 Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa
rifampisin dengan 2 bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti
dengan 10 bulan isoniazid dan ethambutol
 Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan dari rifampisin,
pyrazinamide dan ethambutol dapat dipertimbangkan.
 Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif,
total terapi dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9
bulan.
 Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen
nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan
fluoroquinolone dapat dilanjutkan selama total 18-24 bulan.
Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang
optimal, terutama jika hepatitis pasien sudah berat. Program nasional kontrol TB
menggunakan tablet FDC yang terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang
digunakan untuk pengobatan dengan pendekatan diatas. Bagaimanapun, jika,
suatu unit kesehatan di suatu daerah tidak memiliki anti TB secara terpisah,
(single anti TB-drugs) pengalaman klinis pada daerah dengan sumber daya
terbatas telah menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan pendekatan sebagai
berikut, baik tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase intensif
atau lanjutan.
 Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan
TB dengan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika
hepatitis menghilang, ulangi kembali semua obat kecuali ganti
pyrazinamid dengan streptomycin untuk menyelesaikan 2 bulan dari
permulaan terapi, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 6 bulan pada fase
lanjutan.
xxiv
 Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis
menghilang, ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan
4 bulan dari terapi lanjutan.
xxv
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan, antara lain :
1. Efek Samping Isoniazid berupa hepatitis, neuritis perifer, dan
hipersensitivitas.
2. Efek Samping Rifampisin berupa reaksi kulit, gejala pada
gastrointestinal, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan.
3. Efek samping Pyrazinamide berupa toksisitas hati, artralgia, gejala
pada gastrointestinal dan hipersensitivitas.
4. Efek samping Etambutol berupa neuritis optik, ketajaman penglihatan
berkurang, nuta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang,
hipersensitivitas dan gejala pada gastrointestinal.
5. Efek samping Streptomisin berupa ototoksik dan nefrotoksik.
3.2 Saran
Penting bagi pasien untuk dimonitoring atau dipantau selama pengobatan
terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini
dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut. Oleh karena itu
perlu adanya penjelasan dan edukasi terhadap efek samping dari pemberian OAT.
xxvi
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. 2010. Panduan Tatalaksana Tuberkulosis.
Jakarta
2. World Health Organisation. 2003. Treatment of tuberculosis:
guidelines for national programmes. 3 rd ed. Geneva`: WHO. Hal. 28-
35
3. Dahlan, Z. 1997. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis.Tinjauan Kepustakaan. Cermin Dunia Kedokteran
No.115. Jakarta. Hal. 8-12
4. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Tuberkulosis. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik
Direktorat Jenderal. Edisi 2. Cetakan kedua . Jakarta Dep Kes RI
5. Katzung, 2004. Farmakologi Klinik. Edisi ke 4. EGC. Jakarta.
6. RYC Chan, et al, 2006. Ocular toxicity of ethambutol: review article.
Hong Kong. Medical Journal. Vol 12. No 1. February 2006.
7. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis.

Contenu connexe

Tendances

Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang pptCase Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang pptSyscha Lumempouw
 
Buku saku tatalaksana kasus Malaria
Buku saku tatalaksana kasus MalariaBuku saku tatalaksana kasus Malaria
Buku saku tatalaksana kasus Malariahersu12345
 
Konsensus insulin
Konsensus insulinKonsensus insulin
Konsensus insulindian dian
 
Asma pada anak (penatalaksanaan, pencegahan, edukasi, prognosis)
Asma pada anak (penatalaksanaan, pencegahan, edukasi, prognosis)Asma pada anak (penatalaksanaan, pencegahan, edukasi, prognosis)
Asma pada anak (penatalaksanaan, pencegahan, edukasi, prognosis)Lena Setianingsih
 
Farmakologi - Penggunaan Obat Pada Penyakit Tuberkulosis (TB)
Farmakologi - Penggunaan Obat Pada Penyakit Tuberkulosis (TB)Farmakologi - Penggunaan Obat Pada Penyakit Tuberkulosis (TB)
Farmakologi - Penggunaan Obat Pada Penyakit Tuberkulosis (TB)Dina Zainuddin
 
Pemeriksaan Jantung Pada Anak
Pemeriksaan Jantung Pada AnakPemeriksaan Jantung Pada Anak
Pemeriksaan Jantung Pada AnakSyscha Lumempouw
 
PENATALAKSANAAN TERKINI PENYAKIT KULIT DALAM PRAKTEK SEHARI HARI
PENATALAKSANAAN TERKINI PENYAKIT KULIT DALAM PRAKTEK SEHARI HARI PENATALAKSANAAN TERKINI PENYAKIT KULIT DALAM PRAKTEK SEHARI HARI
PENATALAKSANAAN TERKINI PENYAKIT KULIT DALAM PRAKTEK SEHARI HARI Suharti Wairagya
 
Management of Acute Coronary Syndrome - Non STEMI
Management of Acute Coronary Syndrome - Non STEMIManagement of Acute Coronary Syndrome - Non STEMI
Management of Acute Coronary Syndrome - Non STEMIIsman Firdaus
 
Antibiotik dan golongannya
Antibiotik dan golongannyaAntibiotik dan golongannya
Antibiotik dan golongannyaArwinAr
 
Referat pneumothorax
Referat pneumothoraxReferat pneumothorax
Referat pneumothoraxListiana Dewi
 
10 preeklampsia eklampsia
10 preeklampsia eklampsia10 preeklampsia eklampsia
10 preeklampsia eklampsiaJoni Iswanto
 

Tendances (20)

Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang pptCase Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
 
Buku saku tatalaksana kasus Malaria
Buku saku tatalaksana kasus MalariaBuku saku tatalaksana kasus Malaria
Buku saku tatalaksana kasus Malaria
 
Guideline stroke-2011
Guideline stroke-2011Guideline stroke-2011
Guideline stroke-2011
 
Konsensus insulin
Konsensus insulinKonsensus insulin
Konsensus insulin
 
Antihistamin
AntihistaminAntihistamin
Antihistamin
 
Bronko pneumonia
Bronko pneumoniaBronko pneumonia
Bronko pneumonia
 
Asma pada anak (penatalaksanaan, pencegahan, edukasi, prognosis)
Asma pada anak (penatalaksanaan, pencegahan, edukasi, prognosis)Asma pada anak (penatalaksanaan, pencegahan, edukasi, prognosis)
Asma pada anak (penatalaksanaan, pencegahan, edukasi, prognosis)
 
Resusitasi cairan
Resusitasi cairanResusitasi cairan
Resusitasi cairan
 
Farmakologi - Penggunaan Obat Pada Penyakit Tuberkulosis (TB)
Farmakologi - Penggunaan Obat Pada Penyakit Tuberkulosis (TB)Farmakologi - Penggunaan Obat Pada Penyakit Tuberkulosis (TB)
Farmakologi - Penggunaan Obat Pada Penyakit Tuberkulosis (TB)
 
Demam tifoid anak
Demam tifoid anakDemam tifoid anak
Demam tifoid anak
 
Pemeriksaan Jantung Pada Anak
Pemeriksaan Jantung Pada AnakPemeriksaan Jantung Pada Anak
Pemeriksaan Jantung Pada Anak
 
PENATALAKSANAAN TERKINI PENYAKIT KULIT DALAM PRAKTEK SEHARI HARI
PENATALAKSANAAN TERKINI PENYAKIT KULIT DALAM PRAKTEK SEHARI HARI PENATALAKSANAAN TERKINI PENYAKIT KULIT DALAM PRAKTEK SEHARI HARI
PENATALAKSANAAN TERKINI PENYAKIT KULIT DALAM PRAKTEK SEHARI HARI
 
Ulkus peptikum
Ulkus peptikum Ulkus peptikum
Ulkus peptikum
 
Management of Acute Coronary Syndrome - Non STEMI
Management of Acute Coronary Syndrome - Non STEMIManagement of Acute Coronary Syndrome - Non STEMI
Management of Acute Coronary Syndrome - Non STEMI
 
Isk
IskIsk
Isk
 
Antibiotik dan golongannya
Antibiotik dan golongannyaAntibiotik dan golongannya
Antibiotik dan golongannya
 
Standar Kompetensi Dokter Indonesia
Standar Kompetensi Dokter IndonesiaStandar Kompetensi Dokter Indonesia
Standar Kompetensi Dokter Indonesia
 
Referat pneumothorax
Referat pneumothoraxReferat pneumothorax
Referat pneumothorax
 
10 preeklampsia eklampsia
10 preeklampsia eklampsia10 preeklampsia eklampsia
10 preeklampsia eklampsia
 
Keseimbangan cairan & elektrolit
Keseimbangan cairan & elektrolitKeseimbangan cairan & elektrolit
Keseimbangan cairan & elektrolit
 

En vedette

tuberkulosis dan penggolongan obatnya
tuberkulosis dan penggolongan obatnyatuberkulosis dan penggolongan obatnya
tuberkulosis dan penggolongan obatnyaFitry Fitros
 
Obat obat yang digunakan pada kemoterapi tuberkulosis
Obat obat yang digunakan pada kemoterapi tuberkulosisObat obat yang digunakan pada kemoterapi tuberkulosis
Obat obat yang digunakan pada kemoterapi tuberkulosisfikri asyura
 
Simposium Online IDAI - Tuberkolosis Anak
Simposium Online IDAI - Tuberkolosis AnakSimposium Online IDAI - Tuberkolosis Anak
Simposium Online IDAI - Tuberkolosis AnakTikabanget Gituh
 
Antihypertensive drugs
Antihypertensive drugsAntihypertensive drugs
Antihypertensive drugsFebbyAyudya
 
Penyakit mata anak
Penyakit mata anakPenyakit mata anak
Penyakit mata anakRizal_mz
 
Plágio e Diretos Autorais
Plágio e Diretos AutoraisPlágio e Diretos Autorais
Plágio e Diretos AutoraisPedroMCiug
 
Jurnal Fitria Ramadani
Jurnal Fitria RamadaniJurnal Fitria Ramadani
Jurnal Fitria Ramadanisapakademik
 
Penanganan terkini tuberkulosis atau tb
Penanganan terkini tuberkulosis atau tbPenanganan terkini tuberkulosis atau tb
Penanganan terkini tuberkulosis atau tbsimantak
 
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014Dokter Tekno
 
Drug Resistance in TB
Drug Resistance in TBDrug Resistance in TB
Drug Resistance in TBswaghmare
 
Struktur Histologi Rongga Mulut
Struktur Histologi Rongga Mulut Struktur Histologi Rongga Mulut
Struktur Histologi Rongga Mulut wayan sugiritama
 
Noli Me Tangere Chapters 50-54 Rizal
Noli Me Tangere Chapters 50-54 RizalNoli Me Tangere Chapters 50-54 Rizal
Noli Me Tangere Chapters 50-54 RizalMeg8
 
PneuVUE: Adult Pneumonia Vaccine Understanding in Europe
PneuVUE: Adult Pneumonia Vaccine Understanding in EuropePneuVUE: Adult Pneumonia Vaccine Understanding in Europe
PneuVUE: Adult Pneumonia Vaccine Understanding in EuropeIpsos UK
 
Pelayanan Kontrasepsi dan KB di Masyarakat Poltekkes Surakarta
Pelayanan Kontrasepsi dan KB di Masyarakat Poltekkes SurakartaPelayanan Kontrasepsi dan KB di Masyarakat Poltekkes Surakarta
Pelayanan Kontrasepsi dan KB di Masyarakat Poltekkes Surakartashashamarta
 

En vedette (20)

tuberkulosis dan penggolongan obatnya
tuberkulosis dan penggolongan obatnyatuberkulosis dan penggolongan obatnya
tuberkulosis dan penggolongan obatnya
 
Obat obat yang digunakan pada kemoterapi tuberkulosis
Obat obat yang digunakan pada kemoterapi tuberkulosisObat obat yang digunakan pada kemoterapi tuberkulosis
Obat obat yang digunakan pada kemoterapi tuberkulosis
 
Tbc
TbcTbc
Tbc
 
Tbc pada anak
Tbc pada anak Tbc pada anak
Tbc pada anak
 
Simposium Online IDAI - Tuberkolosis Anak
Simposium Online IDAI - Tuberkolosis AnakSimposium Online IDAI - Tuberkolosis Anak
Simposium Online IDAI - Tuberkolosis Anak
 
POWERPOINT TB PARU
POWERPOINT TB PARUPOWERPOINT TB PARU
POWERPOINT TB PARU
 
TB Paru.Ppt
TB Paru.PptTB Paru.Ppt
TB Paru.Ppt
 
Lamp materi penyuluhan tb
Lamp materi penyuluhan tbLamp materi penyuluhan tb
Lamp materi penyuluhan tb
 
Antihypertensive drugs
Antihypertensive drugsAntihypertensive drugs
Antihypertensive drugs
 
Penyakit mata anak
Penyakit mata anakPenyakit mata anak
Penyakit mata anak
 
Plágio e Diretos Autorais
Plágio e Diretos AutoraisPlágio e Diretos Autorais
Plágio e Diretos Autorais
 
Jurnal Fitria Ramadani
Jurnal Fitria RamadaniJurnal Fitria Ramadani
Jurnal Fitria Ramadani
 
Penanganan terkini tuberkulosis atau tb
Penanganan terkini tuberkulosis atau tbPenanganan terkini tuberkulosis atau tb
Penanganan terkini tuberkulosis atau tb
 
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
 
Resume jurnal ilmiah laktosa
Resume jurnal ilmiah laktosaResume jurnal ilmiah laktosa
Resume jurnal ilmiah laktosa
 
Drug Resistance in TB
Drug Resistance in TBDrug Resistance in TB
Drug Resistance in TB
 
Struktur Histologi Rongga Mulut
Struktur Histologi Rongga Mulut Struktur Histologi Rongga Mulut
Struktur Histologi Rongga Mulut
 
Noli Me Tangere Chapters 50-54 Rizal
Noli Me Tangere Chapters 50-54 RizalNoli Me Tangere Chapters 50-54 Rizal
Noli Me Tangere Chapters 50-54 Rizal
 
PneuVUE: Adult Pneumonia Vaccine Understanding in Europe
PneuVUE: Adult Pneumonia Vaccine Understanding in EuropePneuVUE: Adult Pneumonia Vaccine Understanding in Europe
PneuVUE: Adult Pneumonia Vaccine Understanding in Europe
 
Pelayanan Kontrasepsi dan KB di Masyarakat Poltekkes Surakarta
Pelayanan Kontrasepsi dan KB di Masyarakat Poltekkes SurakartaPelayanan Kontrasepsi dan KB di Masyarakat Poltekkes Surakarta
Pelayanan Kontrasepsi dan KB di Masyarakat Poltekkes Surakarta
 

Similaire à TB PENDAHULUAN

idoc.pub_kmk-no-hk0202-menkes-514-2015-ttg-panduan-praktik-klinis-dokter-fasy...
idoc.pub_kmk-no-hk0202-menkes-514-2015-ttg-panduan-praktik-klinis-dokter-fasy...idoc.pub_kmk-no-hk0202-menkes-514-2015-ttg-panduan-praktik-klinis-dokter-fasy...
idoc.pub_kmk-no-hk0202-menkes-514-2015-ttg-panduan-praktik-klinis-dokter-fasy...maharanimariam
 
PIK-TB-Solo-17-maret-2018-Ko-Infeksi-Tuberkulosis-Resisten-Obat-dan-Human-Imm...
PIK-TB-Solo-17-maret-2018-Ko-Infeksi-Tuberkulosis-Resisten-Obat-dan-Human-Imm...PIK-TB-Solo-17-maret-2018-Ko-Infeksi-Tuberkulosis-Resisten-Obat-dan-Human-Imm...
PIK-TB-Solo-17-maret-2018-Ko-Infeksi-Tuberkulosis-Resisten-Obat-dan-Human-Imm...linda399806
 
TBC Patofisiologi Penyakit Menular
TBC Patofisiologi Penyakit MenularTBC Patofisiologi Penyakit Menular
TBC Patofisiologi Penyakit MenularSissi Syifa Meidia
 
Dosis Obat Anti Tuberkulosis berdasarkan Berat badan
Dosis Obat Anti Tuberkulosis berdasarkan Berat badanDosis Obat Anti Tuberkulosis berdasarkan Berat badan
Dosis Obat Anti Tuberkulosis berdasarkan Berat badansisiliafitriapurnani
 
Farmakoterapi_TBC.pptx
Farmakoterapi_TBC.pptxFarmakoterapi_TBC.pptx
Farmakoterapi_TBC.pptxDALISAPARI2021
 
Summary interna mdr tb
Summary interna mdr tbSummary interna mdr tb
Summary interna mdr tbwirawicaksana
 
Tuberkulostatik dan leprostatik vina r
Tuberkulostatik dan leprostatik vina rTuberkulostatik dan leprostatik vina r
Tuberkulostatik dan leprostatik vina rVina Ramdhiani
 
Sosialisasi TPT Kab Bogor 25-27 Jul 22.pptx
Sosialisasi TPT Kab Bogor 25-27 Jul 22.pptxSosialisasi TPT Kab Bogor 25-27 Jul 22.pptx
Sosialisasi TPT Kab Bogor 25-27 Jul 22.pptxdwiputriarlina1
 
Penyakit TB.ppt
Penyakit TB.pptPenyakit TB.ppt
Penyakit TB.pptBankSoal8
 
DOSIS OBAT.ppt
DOSIS OBAT.pptDOSIS OBAT.ppt
DOSIS OBAT.pptDieny4
 
Presentasi marini
Presentasi mariniPresentasi marini
Presentasi mariniivanho86
 

Similaire à TB PENDAHULUAN (20)

Pengobatan paru
Pengobatan paruPengobatan paru
Pengobatan paru
 
idoc.pub_kmk-no-hk0202-menkes-514-2015-ttg-panduan-praktik-klinis-dokter-fasy...
idoc.pub_kmk-no-hk0202-menkes-514-2015-ttg-panduan-praktik-klinis-dokter-fasy...idoc.pub_kmk-no-hk0202-menkes-514-2015-ttg-panduan-praktik-klinis-dokter-fasy...
idoc.pub_kmk-no-hk0202-menkes-514-2015-ttg-panduan-praktik-klinis-dokter-fasy...
 
PIK-TB-Solo-17-maret-2018-Ko-Infeksi-Tuberkulosis-Resisten-Obat-dan-Human-Imm...
PIK-TB-Solo-17-maret-2018-Ko-Infeksi-Tuberkulosis-Resisten-Obat-dan-Human-Imm...PIK-TB-Solo-17-maret-2018-Ko-Infeksi-Tuberkulosis-Resisten-Obat-dan-Human-Imm...
PIK-TB-Solo-17-maret-2018-Ko-Infeksi-Tuberkulosis-Resisten-Obat-dan-Human-Imm...
 
Tuberculosis (TBC)
Tuberculosis (TBC)Tuberculosis (TBC)
Tuberculosis (TBC)
 
TB Paru (dewasa)
TB Paru (dewasa)TB Paru (dewasa)
TB Paru (dewasa)
 
TBC Patofisiologi Penyakit Menular
TBC Patofisiologi Penyakit MenularTBC Patofisiologi Penyakit Menular
TBC Patofisiologi Penyakit Menular
 
TBC Patofisiologi Penyakit Menular
TBC Patofisiologi Penyakit MenularTBC Patofisiologi Penyakit Menular
TBC Patofisiologi Penyakit Menular
 
DT TB RO.pptx
DT TB RO.pptxDT TB RO.pptx
DT TB RO.pptx
 
Dosis Obat Anti Tuberkulosis berdasarkan Berat badan
Dosis Obat Anti Tuberkulosis berdasarkan Berat badanDosis Obat Anti Tuberkulosis berdasarkan Berat badan
Dosis Obat Anti Tuberkulosis berdasarkan Berat badan
 
Farmakoterapi_TBC.pptx
Farmakoterapi_TBC.pptxFarmakoterapi_TBC.pptx
Farmakoterapi_TBC.pptx
 
Summary interna mdr tb
Summary interna mdr tbSummary interna mdr tb
Summary interna mdr tb
 
TB - MDR
TB - MDRTB - MDR
TB - MDR
 
Tuberkulostatik dan leprostatik vina r
Tuberkulostatik dan leprostatik vina rTuberkulostatik dan leprostatik vina r
Tuberkulostatik dan leprostatik vina r
 
Tuberculosis
Tuberculosis Tuberculosis
Tuberculosis
 
Manajemen askep tb
Manajemen askep tbManajemen askep tb
Manajemen askep tb
 
Sosialisasi TPT Kab Bogor 25-27 Jul 22.pptx
Sosialisasi TPT Kab Bogor 25-27 Jul 22.pptxSosialisasi TPT Kab Bogor 25-27 Jul 22.pptx
Sosialisasi TPT Kab Bogor 25-27 Jul 22.pptx
 
KEL 1 (TB ANAK)-1.pptx
KEL 1 (TB ANAK)-1.pptxKEL 1 (TB ANAK)-1.pptx
KEL 1 (TB ANAK)-1.pptx
 
Penyakit TB.ppt
Penyakit TB.pptPenyakit TB.ppt
Penyakit TB.ppt
 
DOSIS OBAT.ppt
DOSIS OBAT.pptDOSIS OBAT.ppt
DOSIS OBAT.ppt
 
Presentasi marini
Presentasi mariniPresentasi marini
Presentasi marini
 

TB PENDAHULUAN

  • 1. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ tubuh, namun sebagain besar menyerang paru. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar, khususnya di negara berkembang. Beberapa fakta menunjukkan hal ini antara lain:1 1. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ke-4 di dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan.. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% (tahun 2008) dari total jumlah pasien TB di dunia 2. Data yang didapat dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2002, terdapat 22 negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB terbesar di dunia. 3. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya kasus baru tuberkulosis bertambah seperempat juta. 4. Penemuan kasus BTA positif (case detection rate, CDR) mengalami peningkatan selama periode 2003-2006 dan tahun 2007 menunjukkan penurunan di bawah target global (70%). Angka penemuan kasus TB paru tahun 2003 sebesar 42%, tahun 2005 sebesar 54%, tahun 2006 sebesar 76% yang berarti mencapai target global, namun pada tahun 2007 kembali menurun sebesar 69%. Dengan penanganan yang tepat, TB merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Pemerintah juga telah menetapkan pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis. Pengobatan TB memakan waktu yang cukup lama dan rentan untuk timbulnya efek samping. Sebagian besar pasien TB, dalam perjalanan pengobatannya tidak selalu dijumpai adanya efek samping. Tetapi pada beberapa pasien didapatkan efek samping yang dirasakan memberat. Penting bagi pasien untuk dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut.
  • 2. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengobatan TB Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 2 Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB. 2 Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :  Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.  Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly ObservedTreatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).  Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
  • 3. 3 1. Tahap Intensif Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. 2. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya kekambuhan Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni : 2 H = Isoniazid R = Rifampisin Z = Pirazinamid E = Etambutol S = Streptomisin
  • 4. Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi.Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan). Kemasan obat dalam bentuk :  Obat tunggal, Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol.  Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet Tabel 1. Panduan OAT dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia Kategori 1 • 2HRZE/4H3R3 Kategori 2 • 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 OAT sisipan • HRZE Kategori anak • 2HRZ/4HR 1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)1 Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Lama pengobatan seluruhnya 6 bulan Obat ini diberikan untuk: • Penderita baru TB Paru BTA Positif. • Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif • Penderita TB Ekstra Paru, kasus baru
  • 5. v 2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) 1 Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari.Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Lama pengobatan 8 bulan. Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu: • Penderita kambuh (relaps) • Penderita gagal (failure) • Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default). 3. OAT Sisipan (HRZE)1 Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg: 1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid 500mg, 3 tablet Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil. Tabel 2. Jenis dan dosis OAT1 Obat Dosis (mg/Kg BB/hr) Dosis yg dianjurkan Dosis Maks (mg) Dosis mg/KgBB Harian (mg/Kg BB/hr) Intermitte n (mg/Kg BB/kali) <40 40-60 >60 R 8-12 10 10 600 300 450 600 H 4-6 5 10 300 150 300 450 Z 20-30 25 35 750 1000 1500 E 15-20 15 35 750 1000 1500 S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000
  • 6. vi Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination (FDC). Obat ini pada dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada sudah berisi 2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.WHO sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi dalam bentuk lepas. Keuntungan penggunaan OAT FDC: a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan penderita. b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita. c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan. d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah pengelolaannyadan lebih murah pembiayaannya.3 Tabel 3. Jenis OAT FDC2 Fase Intensif Fase Intensif 2 bulan 4 bulan BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu RHZE 150/75/400/275 RHZ 150/75/400 RHZ 150/150/500 RH 150/75 RH 150/150 30-37 38-54 55-70 >71 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat
  • 7. vii kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk kerumah sakit / dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.2 4. Kategori Anak Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti (termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis termasuk analisis terhadap kurva pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang uji tuberkulin, radiologi, serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan.) Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat sulit sekali mengambil sampel dahak, maka diagnosis TB anak dapat menggunakan criteria lain yaiotu denganb menggunakan system pembobotan (scoring system). Apabila diagnosis hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan foto toraks atau laboratorium saja, sering terjadi misdiagnosis, underdiagnosis atau overdiagnosis. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan (scoring system) yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
  • 8. viii Tabel 4. Sistem pembobotan (scoring system) untuk diagnosis TB pada anak Parameter 0 1 2 3 Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga, BTA tidak jelas BTA (+) Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10 mm, atau ≥ 5 mm pada keadaan imunosupresi) Berat badan /keadaan gizi Bawah garis merah (KMS) atau BB/U < 80% Klinis gizi buruk (BB/U < 60%) Demam tanpa sebab jelas > 2 minggu (jelas) Batuk* > 3 minggu Pembesaran kelenjar limfe coli, aksila, inginal, > 1cm, jumlah > 1, tidak nyeri Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut Ada pembengkakan Foto toraks Normal / tidak jelas Kesan TB Catatan:  Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
  • 9. ix  Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti : asma, sinusitis dan lain-lain  Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis  Berat badan dinilai saat pasien datang  Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak  Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak.  Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)  Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥6) didiagnosis sebagai TB anak dan ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kea rah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnosis lainnya sesuai indikasi, seperti :  Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan pleura, cairan serebrospinal, cairan ascites atau spesimen lain.  Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan atau biopsy.  Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu menggunakan CT-Scan.  Pemeriksaan lain seperti funduskopi. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu minimal 6 bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi 2 tahap, intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif selama 2 bulan awal, mulai bulan ketiga dan selanjutnya merupakan tahap lanjutan. Pada tahap intensif diberikan paduan >3 OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan diberikan paduan 2 obat H dan R.
  • 10. x Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan, Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak. Tabel 5. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak Obat Dosis Harian (mg/KgBB/hari) Dosis maksimal (mg per hari) Isoniazid (H) 5-15* 300 Rifampisisn ** (R) 10-20 600 Pyrazinamide (z) 15-40 2000 Streptomisin (S) 15-40 1000 Catatan: * Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/Kg?BB/hari ** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena bioavailabilitas rifampisin dapat terganggu. Rifampisisn dapat diabsorbsi dengan baik melaui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan). Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT) Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap lanjutan. Satu tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisisn 75 mg, dan pirazinamid 150 mg. Sedangkan satu tablet KDT berisi isoniazid 50 mg dan rifampisin 75 mg. Tabel 6. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT Berat Badan (kg) KDT Tahap intensif H50, R75, Z150 2 bulan, tiap hari KDT tahap lanjutan H50, R75 4 bulan, Tiap Hari 05-09 1 tablet 1 tablet 10-14 2 tablet 2 tablet 15-19 3 tablet 3 tablet 20-32 4 tablet 4 tablet
  • 11. xi Catatan:  Bayi dengan berat badan kurang dari 5 Kg dirujuk ke RS  Anak dengan BB > 33 Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel 5  Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah  Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah (chewable), atau dilarutkan dalam air (dispersable). 2.2 Efek Samping OAT : 5 Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. 1. Isoniazid (INH)4,5 Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis terendah 10 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus. Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan dengan dosis dan lama pemberiannya
  • 12. xii A. Reaksi Imunologis Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan terjadi lupus ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat B. Toksisitas langsung Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama yang paling sering terjadi. Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan pada aminotransferasi hati (hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang tidak membutuhkan penghentian obat dan dijumpai pada 10-20% pasien, yang biasanya asimtomatik. Hepatitis klinis yang disertai hilangnya nafsu makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas terjadi pada 1% resipien isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak segera dihentikan. Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan nekrosis hepatoselular. Risiko hepatitis bergantung pada usia, dan jarang terjadi pada usia di bawah 20 tahun, sebesar 0,3% pada pasien berusia 21- 35 tahun, 1,2% pada pasien berusia 36-50 tahun, dan 2,3% pada pasien berusia 50 tahun atau lebih. Risiko hepatitis lebih besar pada pecandu alcohol dan kemungkinan selama kehamilan serta pada masa pascapersalinan. Timbulnya hepatitis akibat isoniazid menjadi kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian obat tersebut. Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat dosis lebih besar dari 5 mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian dosis dewasa standar sebesar 300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai pada asetilator lambat dan pasien dengan keadaan kondisi presdiposisi, seperti malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS dan uremia. Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi piridoksin, dan toksisitas ini cepat dipulihkan melalui pemberian piridoksin dengan dosis serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf pusat, yang lebih jarang ditemui, meliputi hilangnya daya ingat, psikosis dan kejang. Kesemuanya ini juga berespons terhadap piridoksin.
  • 13. xiii Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna. Isoniazid dapat menurunkan metabolisme fenitoin sehingga meningkatkan toksisitasnya dalam darah. 2. Rifampisin1, 3, 6 Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air mata dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara permanen). A. Reaksi Imunologis Efek samping meliputi ruam dan demam. B. Toksisitas Langsung Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis. Rifampin dapat menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis. Rifampin sering menyebabkan proteinuria rantai-ringan. Jika diberikan kurang dari dua kali seminggu, rifampin menyebabkan sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut. Rifampin sanagt menginduksi kebanyakan isoform sitokrom P450 ( CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4) yang meningkatkan eliminasi berbagai obat lain seperti metadon, antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease, beberapa penghambat reverse transciptase nonnukleosida, kontrasepsi, dan obat lain. Pemberian rifampin menurunkan kadar semua obat tersebut dalam serum. Efek lain seperti timbul sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut. Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatik ialah : - Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang - Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang kadang diare
  • 14. xiv - Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah : - Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus - Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang - Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas 3. Pirazinamid 4,5 Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5% penderita),  General Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan. Hiperurisemia dialami oleh semua penggunanya dan tidak menjadi alasan penghentian terapi. Hiperurisemia dapat mencetuskan artritis pirai akut.  Gastrointestinal Efek samping utama adalah reaksi hati. Hepatotoksisitas tampaknya berhubungan dengan dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi. Gangguan GI termasuk mual, muntah dan anoreksia juga telah dilaporkan.  Hematologi dan limfatik Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia, vakuolasi dari eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang terjadi pada penggunaan obat ini. Efek samping pada mekanisme pembekuan darah juga jarang dilaporkan.  Efek lainnya Arthralgia dan milagia ringan dilaporkan sering terjadi. Reaksi hipersensitivitas termasuk ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan. Demam, timbulnya jerawat, fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis interstisial telah dilaporkan jarang terjadi.
  • 15. xv 4. Etambutol 4,5,6 Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang paling sering terjadi adalah neuritis retrobulbar, yang menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah-hijau. Efek samping yang terkait dosis ini lebih sering terjadi pada dosis 25 mg/kg/hari yang diberikan selama beberapa bulan. Pada dosis 15mg/kg/hari atau kurang, gangguan penglihatan sangat jarang terjadi. Pemeriksaan ketajaman visual secara teratur sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar 25 mg/kg/hari digunakan. Etambutol relatif dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda untuk dapat diperiksa ketajaman penglihatan dan diskriminasi warna merah- hijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.  Okular Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman penglihatan (termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk neuritis optic atau retrobulbar neuritis), scotoma, dan buta warna. Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol6 Secara klasik, toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian, dan bersifat reversibel ketika obat dihentikan. o Dose-related Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan bervariasi antara 18% pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg per hari, 5-6% dengan 25mg/kg per hari dan kurang dari 1% dengan 15 mg/kg per hari dari ethambuthol HCL dengan pemberian lebih dari 2 bulan. Belum ada dosis aman yang dilaporkan, dengan toksisitas dilaporkan pada dosis yang lebih rendah dari 12,3 mg/kg per hari.
  • 16. xvi o Duration-related Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan umumnya tidak berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah pengobatan. Mean Interval antara onset terapi dengan efek samping dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan. Manifestasi gangguan setelah 12 bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi. Perlu diperhatikan bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari pasien yang diterapi dengan eksternal validitas yang tidak diketahui. Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa terjadi pada terapi dengan ethambutol dam memerlukan monitoring secara berkala terhadap ketajaman penglihatan dan perbedaan warna. Optic neuritis sering terjadi pada pemberian dosis lebih dari 15 mg/kg/hari. Pemberian terapi sebaiknya dihentikan, ketika didapatkan tanda gangguan pada penglihatan. Kerusakan dapat mengenai pada saraf perifer maupun sentral dari nervus optikus. Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan biasanya terjadi setelah 2 bulan pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat terjadi. Faktor predisposisi termasuk penurunan fungsi renal, diabetes, dan kejadian optic neuritis sebelumnya akibat penggunaan alkohol atau tembakau. Walaupun gangguan penglihatan tersebut bersifat reversibel setelah beberapa bulan penghentian ethambutol, kasus kebutaan yang irreversibel dan kerusakan penglihatan juga telah ada dilaporkan. Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien dengan kerusakan renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di dalam tubuh.  Metabolik Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor presipitasi dari terjadinya gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66% pasien yang menerima terapi dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya, lebih menuju kepada arthralgia sendi dan gout arthritis setelah 1 sampai 2
  • 17. xvii bulan terapi. Gejala biasanya menghilang setelah 15 hari sejak obat dihentikan.  Hepatik Efek samping termasuk toksisitas liver. Peningkatan sementara dan asimptomatik dari LFT terjadi pada 10% pasien. Jaundice jarang dilaporkan terjadi. Peningkatan LFT, biasanya tanpa perubahan dari bilirubin, terjadi pada 10% pasien yang diterapi dengan ethambutol. Peningkatan ini menghilang secara spontan ketika pemberian obat dihentikan. Jaundice asimptomatik juga jarang terjadi pada pemberian terapi ethambutol  Hipersensitivitas Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid. Reaksi hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash, dermatitis exfoliatif), lichen-planus reaction, dan toxic epidermal necrolysis. Reaksi hipersensitifitas ditunjukkan dengan demam (spiking fever), rash, mual, hipotensi, dan eosinofilia. Lichen-planus-like reactions termasuk hiperpigmentasi dan desquamasi jarang dilaporkan terjadi, sama seperti toxic epidermal necrolysis.  Hematologi Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan neutropenia.  Respiratori Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates dengan atau tanpa eosinofilia  Gastrointestinal Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol dan biasa berhubungan dengan reaksi hipersensitifitas. Pseudomembranous colitis dilaporkan terjadi ketika ethambutol diberikan bersamaan dengan rifampin dan isoniazid. Efek samping yang lain termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, anorexia.
  • 18. xviii  Sistem Saraf Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar, dan rasa tebal serta kesemutan pada ekstremitas akibat peripheral neuritis.  Psikiatrik EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.  Dermatologi Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.  Muskuloskeletal Efek samping termasuk gangguan sendi  Renal Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal insufficiency. Terjadi gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin serum dan idiosyncratic interstitial nephritis. 5. Streptomisin4,5 Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih dari 5 hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada keadaan insufisiensi ginjal. Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan diuretik kuat (misalnya furosemid, asam etakrinat) atau antimikroba laninnya yang bersifat nefrotoksik (misalnya, vankomisin atau amfoterisin) dapat memperparah nefrotoksisitas dan harus dihindari bila memungkinkan. Ototoksisitas dapat bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan pendengaran, yang awalnya menimbulkan tinnitus, atau berupa kerusakan vestibular yang ditandai adanya vertigo, ataksia, dan hilangnya keseimbangan. Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau penurunan clearance kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya toksistas seringkali berupa peningkatan kadar terendah (trough) aminoglikosida serum. Neomisin, kanamisin dan amikasin adalah obat-obat yang paling bersifat ototoksik. Streptomisin dan gentamisin paling bersifat
  • 19. xix vestibulotoksik. Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling bersifat nefrotoksik. Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek yang mirip kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis pernafasan. Paralisis tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian kalsium glukonat (diberikan segera) atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak sering terjadi. Reaksi Simpang Streptomisin5 Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi akibat paparan yang lama dengan obat ini, baik pada pasien yang menjalani pengobatan dalam jangka panjang (misalnya tuberkulosis) maupun pada petugas media yang bertugas menangani obat ini. Desensitisasi kadang-kadang berhasil. Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik yang paling serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular, berupa vertigo dan hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan gangguan ini berhubungan langsung dengan umur, pasien, kadar obat dalam darah, dan lama pemberian. Disfungsi vestibular dapat terjadi setelah beberapa minggu dengan kadar obat yang relatif rendah dalam darah. Toksisitas vestibular cenderung bersifat ireversibel. Streptomisin yang bdiberikan selama kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonates sehingga penggunaannya pada kasus ini relatif dikontraindikasikan.
  • 20. xx Tabel 7. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya 2 Efek Samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana Minor OAT Teruskan Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mgperhari Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa Mayor Hentikan Obat Gatal dan kemerahan pada kulit Semua jenis OAT Beri antihistamin & dievaluasi ketat Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus) Streptomisin Streptomisin dihentikan Ikterik / Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain disingkirkan) Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT Sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotektor Muntah dan confusion (suspected drug-induced pre-icteric hepatitis) Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT & lakukan uji fungsi hati Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol Kelainan sistemik, termasuk syok dan purpura Rifampisin Hentikan Rifampisin Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien menghilang, namun pada sebagian pasien malah menjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan tersebut menghilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
  • 21. xxi Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan) penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:  Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.  Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai prinsip dechallenge- rechallenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi hipersensitivitas.  Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.  Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid (INH) atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid (INH) dan atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat. Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan rifampisin dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. (drug induced-hepatitis), sebagai tambahan rifampisin dapat mengakibatkan jaundice yang asimptomatik tanpa ada buktinya nyata telah terjadinya hepatitis. Sangat penting untuk
  • 22. xxii menyingkirkan kemungkinan lain dari penyebab hepatitis selain dari akibat regimen pengobatan TB. Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari :  Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.  Keparahan dari penyakit hati  Keparahan dari TB  Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT. Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat anti-TB, semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit TB sangat berat dan diperkirakan tidak aman untuk menghentikan pengobatan TB, regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan. Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati kembali normal dan gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang sebelum memberikan kembali obat anti-TB. Jika tidak memungkinkan melakukan tes fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu setidaknya 2 minggu setelah menghilangnya jaundice dan tenderness pada abdomen bagian atas sebelum memulai pengobatan TB. Jika gejala dan tanda tidak menghilang dan penyakit hati bertambah parah, pemberian regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau dilanjutkan) selama total 18-24 bulan. Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali satu persatu. Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat diberikan. Obat terakhir yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli menganjurkan untuk memulai dengan rifampisin karena hampir sedikit samadengan isoniazid atau pyrazinamid dalam menyebabkan hepatotoksik dan merupakan agen yang paling efektif. Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat mulai diberikan. Pada pasien yang pernah mengalami jaundice dan tahan terhadap
  • 23. xxiii pemberian kembali dari rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari pyrazinamide. Regimen alternatif tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan hepatitis.  Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa rifampisin dengan 2 bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti dengan 10 bulan isoniazid dan ethambutol  Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan dari rifampisin, pyrazinamide dan ethambutol dapat dipertimbangkan.  Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif, total terapi dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9 bulan.  Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat dilanjutkan selama total 18-24 bulan. Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang optimal, terutama jika hepatitis pasien sudah berat. Program nasional kontrol TB menggunakan tablet FDC yang terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang digunakan untuk pengobatan dengan pendekatan diatas. Bagaimanapun, jika, suatu unit kesehatan di suatu daerah tidak memiliki anti TB secara terpisah, (single anti TB-drugs) pengalaman klinis pada daerah dengan sumber daya terbatas telah menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut, baik tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase intensif atau lanjutan.  Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan TB dengan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika hepatitis menghilang, ulangi kembali semua obat kecuali ganti pyrazinamid dengan streptomycin untuk menyelesaikan 2 bulan dari permulaan terapi, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 6 bulan pada fase lanjutan.
  • 24. xxiv  Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis menghilang, ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan 4 bulan dari terapi lanjutan.
  • 25. xxv BAB III KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan, antara lain : 1. Efek Samping Isoniazid berupa hepatitis, neuritis perifer, dan hipersensitivitas. 2. Efek Samping Rifampisin berupa reaksi kulit, gejala pada gastrointestinal, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan. 3. Efek samping Pyrazinamide berupa toksisitas hati, artralgia, gejala pada gastrointestinal dan hipersensitivitas. 4. Efek samping Etambutol berupa neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang, nuta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas dan gejala pada gastrointestinal. 5. Efek samping Streptomisin berupa ototoksik dan nefrotoksik. 3.2 Saran Penting bagi pasien untuk dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penjelasan dan edukasi terhadap efek samping dari pemberian OAT.
  • 26. xxvi DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI. 2010. Panduan Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta 2. World Health Organisation. 2003. Treatment of tuberculosis: guidelines for national programmes. 3 rd ed. Geneva`: WHO. Hal. 28- 35 3. Dahlan, Z. 1997. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis.Tinjauan Kepustakaan. Cermin Dunia Kedokteran No.115. Jakarta. Hal. 8-12 4. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal. Edisi 2. Cetakan kedua . Jakarta Dep Kes RI 5. Katzung, 2004. Farmakologi Klinik. Edisi ke 4. EGC. Jakarta. 6. RYC Chan, et al, 2006. Ocular toxicity of ethambutol: review article. Hong Kong. Medical Journal. Vol 12. No 1. February 2006. 7. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.