Dokumen tersebut membahas tentang generasi baru yang disebut Wetizen yang memiliki gaya hidup berkolaborasi dengan berbagi sumber daya. Wetizen mulai mengadopsi gaya hidup berbagi seperti menggunakan layanan transportasi bersama, berbagi ruang kerja, dan berbagi aset melalui platform digital."
2. 1 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
Siapa yang tak kenal Gojek? Sebuah start-up berbasis apps untuk layanan transportasi
ini kian diminati masyarakat. Aplikasi ini menjadi platform yang mempertemukan
antara pengojek dan user yang ingin mendapatkan layanan seperti ojek, pesan makanan,
kirim barang dan sebagainya. Prinsip dari Gojek adalah membuat kendaraan yang
menganggur (idle) untuk dimanfaatkan (sharing) oleh user yang membutuhkan. Prinsip ini
dikenal umum sebagai new sharing economy.
Konsep sharing economy atau collaborative consumption, baru berkembang kira-kira 10
tahun lalu. Salah satu pemicunya adalah munculnya kesadaran akan sumber daya yang
kian terbatas. Terutama, oleh adanya kecenderungan untuk melakukan konsumsi secara
berlebihan. Berkat sharing economy, penggunaan sumber daya yang ada bisa menjadi
lebih irit dan efisien karena dipakai bersama. Alhasil, konsep ini juga bisa dikatakan ramah
lingkungan.
Di Indonesia, istilah sharing economy mungkin masih terdengar asing di telinga
masyarakat kita. Mereka baru paham jika menyebutkan nama Go-Jek, Uber, atau Airbnb.
Layanan berbasis sharing business model tersebut mengajak masyarakat sebagai mitra
kontraktor dengan konsep bagi hasil. Fenomena ini membuat masyarakat kita mulai
terbiasa dengan gaya hidup berbagi (sharing) atau kolaboratif. Gaya hidup baru ini ke
depan akan memporak-porandakan (disrupt) model bisnis yang sudah mapan.
Merebaknya sharing lifestyle atau collaborative lifestyle, meyakinkan kami pada
terbentuknya generasi baru yang kami sebut “Generasi We” atau sebut saja “Wetizen”.
Kami yakin Wetizen akan menjadi mainstream di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Bagaimana perkembangan perilaku Wetizen ini di Indonesia? Berikut ini 10 tren hasil
pengamatan kami.
3. 2 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
1. From Metizen to Wetizen
Keserakahan manusia membuat dunia yang kita rasakan sekarang adalah dunia muram.
Bumi menjadi rusak parah, krisis ekonomi hingga perang terjadi karena keegoisan manusia
mengeksploitasi sumber daya. Hal ini yang menjadi dasar bagi masyarakat dunia untuk tidak
selfish lagi. Mulai ada kesadaran untuk berbagi sumber daya yang ada untuk membuat dunia
lebih baik lagi. Generasi mendatang adalah generasi We yang peduli, bukan generasi Me
yang selfish.
Generasi We segera menjadi tren di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Gaya
hidup berkolaborasi menjadi sesuatu yang keren. Menyelamatkan bumi dengan berbagi
sumberdaya menjadi sesuatu keharusan. Semakin banyak inovasi dan inisiatif muncul
dengan mengusung platform berbasis sharing. Dan Internet dan digital menjadi enabler bagi
merebaknya gelombang besar baru ini. Selamat datang di era kolaborasi, selamat datang
generasi We. Selamat Wetizen.
4. 3 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
2. Disownership Is the New Normal
Di era konsumsi kolaboratif, wetizen melihat bahwa kepemilikan terhadap
sesuatu barang sudah tidak terlalu penting lagi. Gaya hidup berkolaborasi
(collaborative lifestyle) mereka anggap lebih modern, beradab, dan keren
cool. Semua menjadi lebih murah, efisien, ramah bumi. Budaya konsumsi
“share, not own” ini akan kian massif tanah air. Wetizen tak usah membeli CD/
DVD, cukup langganan iTunes atau Netflix. Mereka tak perlu punya mobil
sendiri, kita bisa naik Gojek atau Uber. Bahkan bekerja pun tak harus punya
kantor sendiri, wetizen bisa berbagi ruang dengan pekerja lain. Bagi wetizen:
sharing is the new buying, disownership is the new normal!!
5. 4 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
3. The New Face of “Saweran”
Tidak jarang mimpi, ide, dan harapan kita tersandung oleh satu hal: pendanaan. Kini, wetizen telah mengenal cara baru menggalang dana
untuk merealisasikan mimpi yang dinamakan crowdfunding. Internet telah menciptakan berbagai ruang baru untuk berkarya, saling berbagi,
dan mencari penghasilan. Tak ketinggalan dari negara maju, para wetizen di Jakarta dan kota-kota besar lain di tanah air, berlomba menginisiasi
corwdfunding untuk mewujudkan proyek-proyek bersama baik untuk tujuan profit maupun non-profit.
Kita biasa mengidentikkan pendanaan dengan melakukan pinjaman ke bank atau mencari investor yang ingin menanamkan modal untuk
memulai sebuah bisnis. Faktanya, tidak semua orang memiliki kemewahan untuk dapat mengakses dana dengan cara tersebut. Sesungguhnya
crowdfunding atau penggalangan dana dari masyarakat, bukanlah hal asing bagi masyarakat Indonesia. Kita mengenalnya dengan sebutan lain:
patungan, urunan, atau saweran.
Beberapa proyek crowdfunding dibesut oleh para wetizen tanah air seperti Kitabisa, Wujudkan, dan Ayopeduli. Semua mengemban misi yang
sama, yaitu memudahkan wetizen mengakses dana dari masyarakat luas yang tertarik atau ingin menjadi bagian dari mimpi, ide, dan harapan
mereka. Crowdfunding bakal marak di tanah air karena by-default kita adalah budaya masyarakat kita adalah komunal yang suka saling tolong-
menolong dan gotong-royong. Ingat, crowdfunding itu Indonesia banget!
6. 5 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
4. Working Alone Sucks!!!
Bagi para wetizen bekerja kini tak lagi harus di kantor. Padatnya
lalu-lintas dan mobilitas yang semakin tinggi membuat mereka kini
bisa bekerja di mana saja. Beberapa perusahaan bahkan sudah tidak
mewajibkan para karyawannya ngantor setiap hari. Karenanya mereka
membutuhkan tempat yang representatif untuk bekerja selain di
kantor.
Kini mulai banyak wetizen yang bekerja atau meeting di kafe atau mal.
Selain itu, tumbuhnya freelancer dan wirausahawan start-up/UKM juga
membutuhkan tempat bekerja yang fleksibel dan terjangkau. Untuk
beli dan sewa kantor dirasa masih terlalu mahal.
Solusinya adalah co-working space. Co-working space memfasilitasi
freelancers, entrepreneurs, atau karyawan perusahaan untuk berbagi
peralatan, ide, dan pengetahuan. Tempat ini dapat juga digunakan
sebagai tempat seminar, meeting, dan pertemuan lainnya. Di Jakarta
sudah banyak proyek co-working space seperti Comma, Conclave,
Jakarta Digital Valley (Telkom) dan sebagainya. Di kota-kota besar
lain seperti Jogja, Bali, atau Surabaya juga tak kalah menjamur seiring
tumbuhnya kewirausahaan dan maraknya sektor kreatif.
“Mereka membutuhkan tempat untuk bekerja
sekaligus berkolaborasi dan berkomunitas.”
7. 6 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
5. Peer-to-Peer Solutions for Traffic Chaos
Kemacetan di kota-kota besar terutama Jakarta sudah kronis. Waktu tempuh dari rumah menuju
kantor atau sekolah bisa berjam-jam. Tumbuhnya kelas menengah membuat ledakan kepemilikan
kendaraan pribadi baik motor maupun mobil. Mereka yang menggunakan kendaraan pribadi
banyak menyisakan kursi/ruang kosong (idle), sementara banyak juga pengguna transportasi
publik yang merasa transportasi publik kita masih belum layak dan bisa diandalkan.
Fenomena ini dilihat Nebengers menjadi peluang untuk membuat platform komunitas berbagi
kendaraan. Mereka mempertemukan para pengguna motor atau mobil yang punya kursi kosong
dengan orang yang ingin menebeng dengan kesepakatan share tertentu, win-win solution. Dalam
versi yang komersial, muncul Gojek, Uber dan Grab mengusung platform yang sama/mirip. Kini
wetizen semakin meminati model transportasi ini, karena lebih murah dan efisien. Sebuah solusi
cespleng bagi Jakarta yang macetnya minta ampun.
“Kini wetizen semakin meminati model transportasi ini, karena lebih murah dan efisien.”
8. 7 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
6. More Experiential Shared Space
Travelling kini sudah bukan menjadi sesuatu yang mewah lagi. Makin terjangkaunya biaya perjalanan
dan akomodasi membuat masyarakat terutama kelas menengah berbondong-bondong liburan. Setiap
libur panjang baik itu lebaran, natal,tahun baru atau saat long-weekend, tempat-tempat wisata penuh
oleh traveller. Hotel-hotel pun sudah full booked hingga banyak yang kesulitan mendapatkan tempat
penginapan.
Fenomena ini memunculkan inovasi untuk menyewakan ruang/kamar yang kosong di rumah atau
apartemen untuk para wisatawan. Traveller dengan bujet minim (backpacker) pun ramai memanfaatkan
platform ini, sekaligus mencari pengalaman baru yang berbeda dari menginap di hotel. Beberapa pemain
yang muncul mengusung platform ini antara lain adalah Airbnb dan Couchsurfing.
“Bagi wetizen, kini menginap di hotel bukan lagi satu-satunya
solusi akomodasi untuk berlibur, menginap via Airbnb atau
Couchsurfing lebih cool dan experiential.”
9. 8 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
7. When Access Is Better Than
Ownership
Industri musik terutama ritel berguncang
hebat beberapa tahun terakhir. Disc Tarra
baru saja mengumumkan telah menutup
puluhan jaringan tokonya, peritel musik
yang lebih kecil lainnya pun berguguran.
Apa pasal?
Melalui iTunes atau Spotify misalnya, mereka
cukup berlangganan setiap bulan untuk bisa
mendengarkan koleksi jutaan lagu dalam
database sepuasnya. Hal ini tentu lebih
menguntungkan daripada harus membeli
per album. Dengan platform yang sama,
Netflix juga hadir untuk para penggemar
film. Menonton film dan serial favorit cukup
melalui aplikasi ini daripada harus membeli
DVD. Mereka bisa menonton ribuan koleksi
film dan serial dari Netflix sepuasnya tanpa
harus membeli satu per satu.
“Penikmat musik kini sudah berubah,
terutama para wetizen sudah tak lagi
mendengarkan musik dalam bentuk
rilisan fisik. Bahkan, mereka kini tak perlu
lagi harus membeli atau memiliki album
musik secara penuh.”
10. 9 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
8. Towards a Sustainable Co-housing Community
Seiring tumbuhnya kelas menengah dengan pendapatan yang semakin meningkat, kebutuhan memiliki rumah tak terelakkan lagi.
Namun, dengan harga properti yang setiap tahun naik gila-gilaan, mendapatkan hunian di lingkungan yang nyaman dan akses yang
terjangkau semakin susah didapatkan. Hal ini menimbulkan inisiatif co-housing di kalangan para wetizen.
Secara umum, konsep co-housing adalah membuat sebuah komunitas yang dibentuk berdasarkan rencana bangun-lingkungan-hunian
yang akan dinikmati bersama. Komunitas ini merencanakan klaster hunian bersama-sama, mulai dari mencari lahan/lokasi yang cocok,
desain arsitektur, hingga pendanaan (dengan bantuan bank).
Intinya, konsep ini akan mengurangi atau menghilangkan peran developer sehingga biaya lebih murah dan terjangkau. Di Jakarta,
beberapa komunitas ini sudah terbentuk, salah satunya diinisiasi oleh DFhousing. Komunitas ini juga telah melebarkan sayap hingga
Surabaya dan Yogyakarta. Ke depan platform co-housing dapat menjadi gaya hidup baru serta solusi dalam membantu pemerintah
memaksimalkan ruang kota.
11. 10 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
9. A Shared-Workshop for Makers
Beberapa tahun terakhir perekonomian Indonesia sedang naik daun. Kelas menengah
tumbuh dengan pesatnya seiring naiknya GDP per kapita melebihi $ 3000. Hal ini
memunculkan banyak entrepeneur baru, terutama di kalangan milenial. Dengan teknologi
kini setiap orang bisa dengan mudah berbisnis, namun kadang ada kendala dalam
menciptakan produk. Alat produksi yang mahal misalnya, menjadi barrier tersendiri bagi
para entrepreneur pemula berbasis manufaktur (makers).
Hal ini bisa diatasi dengan semangat berbagi yang kini menjadi tren. Berbagi alat produksi
tanpa harus membeli sendiri menjadi solusi bagi para makers. Sebut saja Indoestri dan
Conclave, sebuah maker’s space di Jakarta, mereka menyediakan fasilitas alat produksi
untuk bisa digunakan para makers. Misalnya mesin bubut, mesin jahit, peralatan sablon dan
sebagainya bisa dimanfaatkan bareng-bareng sembari berkolaborasi menciptakan produk
dengan efisien.
“Dengan teknologi kini setiap orang
bisa dengan mudah berbisnis,
namun kadang ada kendala dalam
menciptakan produk.”
12. 11 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
10. Connecting the Learning Enthusiasts
Selain bekerja, kini belajar pun bisa di mana saja, tak harus di sekolah atau institusi formal lainnya. Kini mulai banyak wetizen dari kalangan
profesional yang ingin berbagi pengetahuan atau pengalamannya. Banyak juga yang ingin belajar atau diajar. Kedua needs ini bisa dipertemukan
dalam platform berbagi tanpa sekat formalitas, dengan kemudahan teknologi.
Semangat berbagi inilah yang mengilhami berdirinya beberapa inisiatif komunitas belajar seperti Akademi Berbagi, Komunitas Memberi, Kelas
Inspirasi, dan sebagainya. Konsep kelasnya sangat sederhana dan efisien, pengumuman dan pendaftaran cukup melalui media sosial. Tempat
belajarnya memanfaatkan ruang-ruang yang luang di kafe atau kantor (sponsor). Semua serba efisien dan dijalankan dengan semangat social
entrepreneurship.
13. 12 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id
New Sharing Economy Map
Pemetaan sektor sharing economy berikut dia-
daptasi dari laporan yang dikeluarkan oleh Lati-
tude, sebuah lembaga riset bisnis internasional.
Sumbu vertical menunjukkan latent demand yang
diukur dengan besarnya sharing secara kasual
(tidak melalui platform/institusi tertentu) dan
tingkat ketertarikan. Sedangkan sumbu horizontal,
menunjukkan market saturation, yaitu besarnya
sharing yang sudah dilakukan melalui platform/
institusi yang sudah ada.
Dua sumbu tersebut menghasilkan empat kuadran
yaitu Low Interest, Best New Opportunities, Op-
portunities still remain, dan Establish. Low Interest
menunjukkan sektor apa saja yang masih rendah
tingkat sharing dan ketertarikannya. Best new
opportunities menunjukkan sektor yang memiliki
potensi besar dalam sharing. Opprtunities still re-
main menunjukkan pasar yang sudah cukup jenuh
namun masih ada demand sharing. Sedangkan Es-
tablish, menunjukkan sektor yang sudah matang,
tingkat sharingnya tinggi namun latent demandn-
ya sudah rendah.
Secara umum di Indonesia, sektor-sektor dalam
sharing economy masih memiliki potensi dan
opportunity yang besar (di kuadran atas) karena
memang relatif masih baru.
14. 13 | 10 Cool Trends about Wetizenwww.inventure.id